A. PENDAHULUAN
Setiap
bangsa atau suku bangsa memiliki kebudayaan sendiri-sendiri yang berbeda.
Demikian pula suku bangsa Jawa, memiliki kebudayaan khas dimana dalam sistem
atau metode budayanya digunakan simbol-simbol atau lambang-lambang sebagai
sarana atau media untuk menitipkan pesan-pesan atau nasehat-nasehat bagi
bangsanya.
Melihat
kenyataan yang ada dalam kehidupan orang Jawa, dimana pada semua bidang
kehidupannya baik dalam bahasa sehari-hari, sastra, kesenian, tindakan-tindakan,
baik dalam pergaulan maupun dalam upacara-upacaranya, selalu terlihat adanya
penggunaan simbol-simbol untuk pengungkapan rasa budayanya. Penggunaan
simbol-simbol ini ternyata dilaksanakan dengan penuh kesadaran, pemahaman dan
penghayatan yang tinggi, dan dianut secara tradisional dari satu generasi ke
generasi berikutnya. Paham atau ideologi yang mendasarkan diri pada
simbol-simbol itu disebut simbolisme.
Budiono
Herusatoto dalam bukunya yang berjudul Simbolisme
dalam Budaya Jawa, mengulas secara mendalam falsafah hidup orang Jawa yang
penuh dengan simbol-simbol. Yang menjadi pertanyaan adalah apa pengertian
simbol, simbolisme dan budaya manusia, simbolisme sebagai media budaya Jawa dan
tindakan simbolisme orang Jawa ? Dalam makalah ini secara ringkas dibahas
dengan mengacu tulisan Budiono.
B. PEMBAHASAN
1.
Pengertian Simbol
Pada
hakekatnya manusia disebut juga sebagai makhluk budaya. Kebudayaan sendiri
terdiri dari gagasan-gagasan, simbol-simbol dan nilai-nilai sebagai hasil karya
dan perilaku manusia. Manusia berpikir, berperasaan dan bersikap dengan
ungkapan-ungkapan yang simbolik. Begitu eratnya kebudayaan manusia dengan
simbol-simbol sehingga manusia dapat pula disebut sebagai makhluk bersimbol.
Dengan perkataan lain, dunia kebudayaan adalah dunia penuh simbol.
Kata
simbol berasal dari kata Yunani symbolos
yang berarti tanda atau ciri yang memberitahukan sesuatu hal kepada seseorang.
Simbol atau lambang adalah sesuatu hal atau keadaan yang merupakan pengantara
pemahaman terhadap objek. Dapat dikatakan sebagai sesuatu hal atau keadaan yang
memimpin pemahaman si subjek kepada objek. Contohnya lambang Garuda Pancasila,
lambang Palang Merah merupakan sesuatu benda, keadaan atau hal yang mempunyai
arti yang lebih luas dan memerluakan pemahaman subjek akan arti yang terkandung
di dalam lambang-lambang tersebut. Sebuah benda seperti bunga, yang dirangkai
menjadi untaian bunga atau krans untuk menyatakan ikut berduka cita atas
meninggalnya seseorang. Bukan bunganya atau bentuk krans atau bendanya, tetapi pemahaman
arti benda atau krans bunga itu yang dipakai sebagai lambang atau simbol
menyatakan ikut berduka cita atas meninggalnya almarhum. Dalam hal ini sifat
kejiwaan yang ditonjolkan. Bendanya sendiri atau si bunga dibebaskan dari unsur
yang terkandung dalam pada dirinya, ia diperluas maknanya.
Drs.
I Kuntara Wiryamartana, S.J., seorang ahli filsafat dan sastra Jawa dari
Fakultas Sastra dan Kebudayaan Universitas Gadjah Mada berpendapat bahwa bentuk
lambang dapat berupa ;
1. Bahasa, yang meliputi cerita, perumpamaan,
pantun, syair dan peribahasa
2. Gerak tubuh, seperti tarian
3. Suara atau bunyi, antara lain lagu dan
musik
4. Warna dan rupa, berupa lukisan, hiasan,
ukiran dan bangunan.
2.
Simbolisme dan Budaya Manusia
Manusia
adalah makhluk budaya, dan budaya manusia penuh dengan simbol-simbol, sehingga
dapat dikatakan bahwa budaya manusia penuh diwarnai dengan simbolisme yaitu
suatu tata pikiran atau paham yang menekankan atau mengikuti pola-pola yang
mendasarkan diri pada simbol-simbol. Sepanjang sejarah budaya manusia
simbolisme telah mewarnai tindakan-tindakan manusia baik tingkah laku, bahasa,
ilmu pengetahuannya maupun religinya.
Simbolisme
sangat menonjol peranannya terutama terkait dengan religi. Hal ini dapat dilihat pada segala
bentuk upacara-upacara religius dan kisah-kisah tentang riwayat para nabi mulai
dari nabi Adam sampai kepada nabi Muhammad SAW. Cara-cara berdoa manusia dari
dulu hingga sekarang selalu diikuti dengan tingkah laku simbolis yaitu
mengucapkan doa sambil menengadahkan kedua telapak tangannya ke atas dan
kadang-kadang dengan mendongakkan kepala ke atas seolah-olah siap menerima
sesuatu dari Tuhan yang dianggap tinggal di atas ( langit ).
Hal
yang kedua dimana simbolisme sangat menonjol peranannya adalah dalam tradisi
atau adat istiadat. Simbolisme ini kentara sekali dalam upacara-upacara adat
yang merupakan warisan turun temurun dari generasi yang tua ke generasi
berikutnya yang lebih muda. Simbolisme ini diperagakan mulai dari upacara saat
si bayi masih dalam kandungan ibunya, saat ia dilahirkan ke dunia sampai saat
upacara kematiannya. Bahkan pada beberapa suku bangsa di Indonesia
upacara-upacara itu masih dilanjutkan lagi sampai beberapa waktu setelah
jenazah dikebumikan atau akan diperabukan. Demikian pula dalam tata pergaulan
antar sesamanya, masyarakat tradisional tetap berpegang kepada tata urutan usia
dan jenjang kedudukan. Mereka berpendapat bahwa yang tua-tua dan yang
berkedudukan lebih tanggi pada dasarnya adalah lebih dekat, paling tidak
mengenal lebih banyak dan mendapat karunia lebih besar dari Tuhan daripada
mereka yang muda-muda atau yang berkedudukan lebih rendah.
Hal
yang ketiga dimana simbolisme digunakan atau menonjol peranannya adalah dalam
ilmu pengetahuan. Segala ulasan atau gambaran yang dipergunakan manusia untuk
menyimpan dan mengembangkan ilmu pengetahuannya adalah simbol-simbol akaliah
belaka. Kadar simbolisme yang terkandung di dalamnya bukan lagi berupa
tindakan-tindakan simbolis tetapi hanya berupa atau berbentuk benda-benda, atau
hal-hal simbolis pula. Benda-benda, bentuk-bentuk atau hal-hal simbolis ini
diciptakan manusia semata-mata untuk mempermudah atau menyederhanakan ingatan
atau kemampuan mengingat sesuatu pengetahuan sehingga energi dalam otak manusia
dapat lebih dihemat pemakaiannya untuk menampung berbagai simbol-simbol
pengetahuan lainnya. Lambang atau simbol dapat berupa benda atau
bentuk seperti lambang partai, salib, bulan bintang, simbol matematika dan
logika, departemen, sekolahan dan sebagainya. Sedangkan simbol yang berupa hal
atau keadaan seperti pepatah, candra sengkala, kisah atau dongeng.
3.
Simbolisme sebagai Media Budaya Jawa
Media
diartikan sebagai alat perantara atau penghantar. Budaya manusia sebagai hasil
dari tingkah laku atau sebagai hasil kreasi manusia memerlukan pula bahan,
material atau alat penghantar untuk
menyampaikan maksud atau pengertian yang terkandung di dalamnya. Alat
penghantar budaya manusia itu dapat berbentuk bahasa, benda atau barang, warna,
suara, tindakan atau perbuatan yang merupakan simbol-simbol budaya.
Budaya
Jawa yang dikatakan edi peni dan adi luhung, yang telah terbina
berabad-abad lamanya, dalam penyampaiannya atau penyuguhannya pun mempergunakan
bentuk-bentuk alat penghantar seperti tersebut di atas, sebagai simbol-simbol
budayanya.
Bahasa
Jawa yang penuh kembang, lambang dan sinamuning samudana atau tersembunyi
dalam kiasan harus dikupas dengan perasaan yang dalam, serta tanggap ing sasmita atau dapat menangkap
maksud yang sebenarnya, yang tersembunyi. Seperti kta pepatah ’wong
Jawa nggone rasa, pada gulangening kalbu, ing sasmita amrih lantip, kuwowo
nahan hawa, kinemat mamoting driya’, yang artinya bahwa orang Jawa itu
tempat perasaan, mereka selalu bergulat dengan kalbu atau suara hati atau jiwa,
agar pintar dalam menangkap maksud yang tersembunyi, dengan jalan berusaha
menahan nafsu, sehingga akal atau ratio dapat menangkap maksud yang sebenarnya.
Terlihat di sini bahwa rasa, karsa dan cipta memegang peranan utama.
Pada
bahasa religiusnya, orang Jawa tidak pernah atau jarang menyebut kata Tuhan
atau Allah secara langsung dan terus terang. Istilah khas yang sering dipakai
sebagai personifikasi simbol Tuhan seperti ; Gusti Kang Maha Agung, Pangeran
Kang Murbeng Dumadi, Pangeran Kang maha Tunggal Gusti Allah. Dan sifat mitis,
magisnya dicetuskan dalam istilah-istilah ; Sing Mbahu Rekso, Sing Momong,
Mbahe, Kyaine dan sebagainya.
Dalam
bahasa sasteranya, orang Jawa selalu memakai pepatah, sengkalan atau sangkala,
dan jarwadosok. Dalam tradisiny atau tindakannya orang Jawa selalu berpegang
kepada dua hal :
1. Pandangan hidupnya atau filsafat hidupnya
yang religius dan mitis.
2. Sikap hidupnya yang etis an menjunjung
tinggi moral atau derajat hidupnya.
Bentuk simbolisme lain terdapat dalam
bentuk benda-benda atau alat-alat yang dipakai dalam kehidupan sehari-hari
orang Jawa. Dalam hal pemakaian warnapun orang Jawa telah memilah-milah arti
simbolisme yang terkandung di dalamnya. Hal ini tampak dalam penggunaan warna
yang dipakai untuk mengecat muka tokoh-tokoh wayang kulit atau ringgit purwa.
4.
Tindakan Simbolisme Orang Jawa
Bentuk-bentuk
simbolisme dalam budaya Jawa sangat dominan dalam segala hal dan dalam segala
bidang. Hal ini terlihat dalam tindakan sehari-hari orang Jawa, sebagai
realisasi dari pandangan dan sikap hidupnya yang berganda. Bentuk-bentuk
simbolis ini dapat dikelompokkan dalam tiga macam tindakan simbolis, yaitu :
pertama, tindakan simbolis dalam religi; kedua, tindakan simbolis dalam
tradisinya; ketiga tindakan simbolis dalam keseniannya.
a. Tindakan simbolis dalam religi
Sejarah perkembangan religi orang
Jawa telah dimulai sejak jaman prasejarah dimana pada waktu itu nenek moyang
orang Jawa sudah beranggapan bahwa semua benda yang ada di sekelilingnya itu
berkekuatan gaib atau mempunyai roh yang berwatak baik maupun jahat. Pengaruh
kebudayaan Hindu di Jawa menambah pula perbendaharaan simbolisme dalam tindakan
religius orang Jawa. Penghormatan dan pemujaan kepada Dewa-dewa Hindu
menimbulkan pula fantasi akan adanya Dewa-dewi lainnya yang asli Jawa. Pengaruh
agama dan filsafat Islam dalam tindakan simbolis orang Jawa terlihat dalam
sikap hidupnya warga Pangestu dan Upacara Sekaten di Yogyakarta.
Tindakan simbolis dalam religi orang
Jawa, dapat disimpulkan dalam tiga golongan
:
1.
Tindakan
simbolis religius yang terbentuk karena pengaruh jaman mitos, atau disebut juga
jaman kebudayaan aseli Jawa.
2.
Tindakan
simbolis religius yang terbentuk karena pengaruh jaman kebudayaan Hindu-Jawa.
3.
Tindakan
simbolis religius yang terbentuk karena pengaruh jaman mitos jaman kebudayaan
Hindu-jawa dan jaman Jawa-Islam.
b. Tindakan simbolis dalam tradisi
Tradisi
atau adat-istiadat atau disebut pula adat tata kelakuan, menurut
Koentjaraningrat dapat dibagi dalam empat tingkatan, yaitu :
1. Tingkat nilai budaya
Berupa
ide-ide yang mengkonsepsikan hal-hal yang paling bernilai dalam kehidupan
masyarakat, dan biasanya berakar dalam bagian emosional dari alam jiwa manusia,
misalnya gotong royong atau sifat suka kerja sama berdasarkan solidaritas yang
besar.
2. Tingkat norma-norma
Sistem
norma-norma yang berupa nilai-nilai budaya yang sudah terkait kepada peranan
masing-masing anggota masyarakat dalam lingkungannya, seperti unggah-ungguh atau kode etik.
3. Tingkat hukum
Sistem
hukum yang berlaku, misalnya hukum adat perkawinan, hukum adat kekayaan.
4. Tingkat aturan khusus
Aturan-aturan
khusus yang mengatur kegiatan-kegiatan yang jelas terbatas ruang lingkupnya
dalam masyarakat dan bersifat kongkrit, misalnya aturan sopan santun.
Dengan berdasar pada keempat
tingkatan adat tata kelakuan tersebut, maka tindakan-tindakan simbolis yang
terdapat dalam tradisi Jawa adalah sebagai berikut ;
Dalam tingkat nilai budaya, tercermin
sikap dan sifat kerja sama seperti gotong-royong , tolong-menolong, rasa
senasib sepenanggungan dalam suka dan duka. Orang jawa memiliki ungkapan
simbolis seperti : saiyeg aeko praya,
yang artinya bergerak bersama untuk mencapai tujuan bersama. Mangan ora mangan kumpul, makan tidak
makan tetap bersama, menggambarkan kuatnya rasa senasib sepenanggungan, tetulung kok dikertoaji, pertolongan itu
jangan dinilai kembali dengan uang. Tepa
salira, tindakan tidak melukai perasaan orang lain.
Dalam tingkat norma-norma, dimana sistem
norma yang berlaku berupa nilai-nilai budaya yang sudah terkait kepada peranan
masing-masing anggota masyarakat, terlihat secara umum dalam sikap dan tindakan
antara yang lebih tua atau yang lebih ahli dalam bidangnya, dengan mereka yang
lebih muda atau lebih awam. Demikian pula dalam derajat kepangkatan, jabatan
atau kedudukan serta usia. Yang muda akan datang ke yang lebih tua untuk sowan , tuwi kasugengan, atur pisungsung,
sungkem dan nyuwun pangestu. Sedangkan yang tua akan memberikan kepada yang
muda berupa puji pangastuti, suwuk
sembur, wejangan, paring sungu dan tulada.
Tindakan simbolis dalam tingkat hukum atau
sistem hukum yang berlaku dalam masyarakat Jawa sangat kentara dalam hukum adat
perkawinan dan hukum adat kekayaan. Menurut hukum adat Jawa, perjodohan dimulai
dengan berbagai upacara yang merupakan rites de passages, yaitu lambang
dari ’peralihan jeneng’. Suami istri tidak lagi memakai nama pemberian orang tua, melainkan memakai nama tua yang
merupakan nama keluarga. Di dalam harta kekayaan keluarga, ada dua jenis harta;
harta gono dan harta gini,
ada istilah sepikul
segendongan.
Dalam tingkatan adat yang keempat,
aturan-aturan khusus yang mengatur kegiatan-kegiatan yang terbatas ruang
lingkupnya, berupa ungkapan-ungkapan seperti ’sapa gawe nganggo, sapa nandur ngunduh’, ’tega larane ora tega
patine’, ’wong temen ketemu, wong salah seleh’, ’ngono ya ngono, nanging ya aja
ngono’.
c. Tindakan simbolis dalam seni
Salah satu wujud rasa budaya manusia
adalah alam seni. Alam seni ini terdiri atas beberapa unsur yaitu : seni rupa, seni sastra, seni suara, seni
tari, seni musik dan seni drama. Alam seni merupakan salah satu dari aktivitas
kelakuan berpola dari manusia yang dalam pengungkapannya penuh dengan
tindakan-tindakan simbolis. Hal ini disebabkan melalui alam seni rasa budaya
manusia yang tidak dapat diungkapkan dalam pergaulan sehari-hari antar manusia,
dicurahkannya dalam bentuk simbol-simbol di dalam alam seninya.
Dalam budaya Jawa, wayang kulit
purwa merupakan kesenian yang merangkum keenam unsur seni dalam satu kesatuan
seni. Tindakan simbolis pertama dilakukan oleh yang menanggap wayang, tujuan
misal untuk ujar atau kaul, meruwat, dan menyediakan ubarampe. Tindakan simbolis yang kedua
oleh dalang sebagai tokoh utama dalam pagelarang wayang. Dalang yang menguasai
jalan cerita, kode/ pertanda penabuh gamelan dan menggerakkan wayang. Tindakan
simbolis ketiga dilakukan oleh para penabuh gamelan dan sinden. Iringan gamelan
ada 7 tahap, yaitu ; klenengan, talu, pathet nem, pathet sanga, pathet manyura,
tancep kayon dan golek. Tindakan simbolis keempat dilakukan oleh pencipta atau
penyungging wayang. Wanda wayang yang terdiri dari bentuk, warna, macam
pakaian, serta dedeg dan tinggi rendahnya ukuran wayang memiliki arti yang
berbeda.
Dalam seni tari, tindakan simbolis
hampir seluruh gerak langkah serta pola-pola setiap tarian. Dalam seni busana
atau pakaian, orang Jawa memiliki aturan simbolis dari corak dan jenis kain,
potongan dan warna baju, bentuk dan corak kain tutup kepala ( blangkon, udeng
), melambangkan kebesaran dan tingkat ilmu atau usia dari masing-masing
pemakainya. Dalam seni pahat, seni topeng, seni kecurigan atau keris, seni
kawarangkan atau tempat keris yang merupakan bagian dari seni rupa, dikenal
pula bentuk-bentuk simbolis dengan tujuan dan maksud tertentu yang bersifat
magis.
C. PENUTUP
Budiono Herusatoto dalam bukunya yang berjudul Simbolisme dalam Budaya Jawa,
menyajikan secara mendalam falsafah
hidup orang Jawa yang penuh dengan simbol-simbol. Kehidupan orang Jawa, pada
semua bidang kehidupannya baik dalam bahasa sehari-hari, sastra, kesenian,
tindakan-tindakan, baik dalam pergaulan maupun dalam upacara-upacaranya, selalu
terlihat adanya penggunaan simbol-simbol untuk pengungkapan rasa budayanya.
Penggunaan simbol-simbol ini ternyata dilaksanakan dengan penuh kesadaran,
pemahaman dan penghayatan yang tinggi, dan dianut secara tradisional dari satu
generasi ke generasi berikutnya.
Paham atau ideologi yang
mendasarkan diri pada simbol-simbol itu disebut simbolisme. Pandangan hidup
atau sikap hidup orang Jawa adalah senantiasa menuju kepada; keselarasan dengan
dunianya, hal ini terwujudkan dalam susila/ etikanta, keselarasan dengan
Tuhannya, diwujudkan dalam taqwanya, kedekatan dengan kesadaran dirinya, hal
ini diwujudkan dalam sikap batin yang selalu eling lan waspada.
Acuan
:
Budiono
Herusatoto. 1983. Simbolisme dalam Budaya Jawa, Yogyakarta : Penerbit PT Hanindita
Tidak ada komentar:
Posting Komentar