Total Tayangan Halaman

Kamis, 26 Januari 2012

SIMBOLISME SEBAGAI IDIOLOGI JAWA


A.  PENDAHULUAN
            Setiap bangsa atau suku bangsa memiliki kebudayaan sendiri-sendiri yang berbeda. Demikian pula suku bangsa Jawa, memiliki kebudayaan khas dimana dalam sistem atau metode budayanya digunakan simbol-simbol atau lambang-lambang sebagai sarana atau media untuk menitipkan pesan-pesan atau nasehat-nasehat bagi bangsanya.
            Melihat kenyataan yang ada dalam kehidupan orang Jawa, dimana pada semua bidang kehidupannya baik dalam bahasa sehari-hari, sastra, kesenian, tindakan-tindakan, baik dalam pergaulan maupun dalam upacara-upacaranya, selalu terlihat adanya penggunaan simbol-simbol untuk pengungkapan rasa budayanya. Penggunaan simbol-simbol ini ternyata dilaksanakan dengan penuh kesadaran, pemahaman dan penghayatan yang tinggi, dan dianut secara tradisional dari satu generasi ke generasi berikutnya. Paham atau ideologi yang mendasarkan diri pada simbol-simbol itu disebut simbolisme.
            Budiono Herusatoto dalam bukunya yang berjudul Simbolisme dalam Budaya Jawa, mengulas secara mendalam falsafah hidup orang Jawa yang penuh dengan simbol-simbol. Yang menjadi pertanyaan adalah apa pengertian simbol, simbolisme dan budaya manusia, simbolisme sebagai media budaya Jawa dan tindakan simbolisme orang Jawa ? Dalam makalah ini secara ringkas dibahas dengan mengacu tulisan Budiono.

B.   PEMBAHASAN
1.      Pengertian Simbol
            Pada hakekatnya manusia disebut juga sebagai makhluk budaya. Kebudayaan sendiri terdiri dari gagasan-gagasan, simbol-simbol dan nilai-nilai sebagai hasil karya dan perilaku manusia. Manusia berpikir, berperasaan dan bersikap dengan ungkapan-ungkapan yang simbolik. Begitu eratnya kebudayaan manusia dengan simbol-simbol sehingga manusia dapat pula disebut sebagai makhluk bersimbol. Dengan perkataan lain, dunia kebudayaan adalah dunia penuh simbol.
            Kata simbol berasal dari kata Yunani symbolos yang berarti tanda atau ciri yang memberitahukan sesuatu hal kepada seseorang. Simbol atau lambang adalah sesuatu hal atau keadaan yang merupakan pengantara pemahaman terhadap objek. Dapat dikatakan sebagai sesuatu hal atau keadaan yang memimpin pemahaman si subjek kepada objek. Contohnya lambang Garuda Pancasila, lambang Palang Merah merupakan sesuatu benda, keadaan atau hal yang mempunyai arti yang lebih luas dan memerluakan pemahaman subjek akan arti yang terkandung di dalam lambang-lambang tersebut. Sebuah benda seperti bunga, yang dirangkai menjadi untaian bunga atau krans untuk menyatakan ikut berduka cita atas meninggalnya seseorang. Bukan bunganya atau bentuk krans atau bendanya, tetapi pemahaman arti benda atau krans bunga itu yang dipakai sebagai lambang atau simbol menyatakan ikut berduka cita atas meninggalnya almarhum. Dalam hal ini sifat kejiwaan yang ditonjolkan. Bendanya sendiri atau si bunga dibebaskan dari unsur yang terkandung dalam pada dirinya, ia diperluas maknanya.
            Drs. I Kuntara Wiryamartana, S.J., seorang ahli filsafat dan sastra Jawa dari Fakultas Sastra dan Kebudayaan Universitas Gadjah Mada berpendapat bahwa bentuk lambang dapat berupa ;
1.      Bahasa, yang meliputi cerita, perumpamaan, pantun, syair dan peribahasa
2.      Gerak tubuh, seperti tarian
3.      Suara atau bunyi, antara lain lagu dan musik
4.      Warna dan rupa, berupa lukisan, hiasan, ukiran dan bangunan.

2.      Simbolisme dan Budaya Manusia
            Manusia adalah makhluk budaya, dan budaya manusia penuh dengan simbol-simbol, sehingga dapat dikatakan bahwa budaya manusia penuh diwarnai dengan simbolisme yaitu suatu tata pikiran atau paham yang menekankan atau mengikuti pola-pola yang mendasarkan diri pada simbol-simbol. Sepanjang sejarah budaya manusia simbolisme telah mewarnai tindakan-tindakan manusia baik tingkah laku, bahasa, ilmu pengetahuannya maupun religinya.
            Simbolisme sangat menonjol peranannya terutama terkait dengan  religi. Hal ini dapat dilihat pada segala bentuk upacara-upacara religius dan kisah-kisah tentang riwayat para nabi mulai dari nabi Adam sampai kepada nabi Muhammad SAW. Cara-cara berdoa manusia dari dulu hingga sekarang selalu diikuti dengan tingkah laku simbolis yaitu mengucapkan doa sambil menengadahkan kedua telapak tangannya ke atas dan kadang-kadang dengan mendongakkan kepala ke atas seolah-olah siap menerima sesuatu dari Tuhan yang dianggap tinggal di atas ( langit ).
            Hal yang kedua dimana simbolisme sangat menonjol peranannya adalah dalam tradisi atau adat istiadat. Simbolisme ini kentara sekali dalam upacara-upacara adat yang merupakan warisan turun temurun dari generasi yang tua ke generasi berikutnya yang lebih muda. Simbolisme ini diperagakan mulai dari upacara saat si bayi masih dalam kandungan ibunya, saat ia dilahirkan ke dunia sampai saat upacara kematiannya. Bahkan pada beberapa suku bangsa di Indonesia upacara-upacara itu masih dilanjutkan lagi sampai beberapa waktu setelah jenazah dikebumikan atau akan diperabukan. Demikian pula dalam tata pergaulan antar sesamanya, masyarakat tradisional tetap berpegang kepada tata urutan usia dan jenjang kedudukan. Mereka berpendapat bahwa yang tua-tua dan yang berkedudukan lebih tanggi pada dasarnya adalah lebih dekat, paling tidak mengenal lebih banyak dan mendapat karunia lebih besar dari Tuhan daripada mereka yang muda-muda atau yang berkedudukan lebih rendah.
            Hal yang ketiga dimana simbolisme digunakan atau menonjol peranannya adalah dalam ilmu pengetahuan. Segala ulasan atau gambaran yang dipergunakan manusia untuk menyimpan dan mengembangkan ilmu pengetahuannya adalah simbol-simbol akaliah belaka. Kadar simbolisme yang terkandung di dalamnya bukan lagi berupa tindakan-tindakan simbolis tetapi hanya berupa atau berbentuk benda-benda, atau hal-hal simbolis pula. Benda-benda, bentuk-bentuk atau hal-hal simbolis ini diciptakan manusia semata-mata untuk mempermudah atau menyederhanakan ingatan atau kemampuan mengingat sesuatu pengetahuan sehingga energi dalam otak manusia dapat lebih dihemat pemakaiannya untuk menampung berbagai simbol-simbol pengetahuan lainnya.   Lambang atau simbol dapat berupa benda atau bentuk seperti lambang partai, salib, bulan bintang, simbol matematika dan logika, departemen, sekolahan dan sebagainya. Sedangkan simbol yang berupa hal atau keadaan seperti pepatah, candra sengkala, kisah atau dongeng.
 

3.      Simbolisme sebagai Media Budaya Jawa
            Media diartikan sebagai alat perantara atau penghantar. Budaya manusia sebagai hasil dari tingkah laku atau sebagai hasil kreasi manusia memerlukan pula bahan, material atau alat penghantar  untuk menyampaikan maksud atau pengertian yang terkandung di dalamnya. Alat penghantar budaya manusia itu dapat berbentuk bahasa, benda atau barang, warna, suara, tindakan atau perbuatan yang merupakan simbol-simbol budaya.
            Budaya Jawa yang dikatakan edi peni dan adi luhung, yang telah terbina berabad-abad lamanya, dalam penyampaiannya atau penyuguhannya pun mempergunakan bentuk-bentuk alat penghantar seperti tersebut di atas, sebagai simbol-simbol budayanya.
            Bahasa Jawa yang penuh kembang, lambang dan sinamuning samudana atau tersembunyi dalam kiasan harus dikupas dengan perasaan yang dalam, serta tanggap ing sasmita atau dapat menangkap maksud yang sebenarnya, yang tersembunyi. Seperti kta pepatah  ’wong Jawa nggone rasa, pada gulangening kalbu, ing sasmita amrih lantip, kuwowo nahan hawa, kinemat mamoting driya’, yang artinya bahwa orang Jawa itu tempat perasaan, mereka selalu bergulat dengan kalbu atau suara hati atau jiwa, agar pintar dalam menangkap maksud yang tersembunyi, dengan jalan berusaha menahan nafsu, sehingga akal atau ratio dapat menangkap maksud yang sebenarnya. Terlihat di sini bahwa  rasa, karsa dan cipta memegang peranan utama.
            Pada bahasa religiusnya, orang Jawa tidak pernah atau jarang menyebut kata Tuhan atau Allah secara langsung dan terus terang. Istilah khas yang sering dipakai sebagai personifikasi simbol Tuhan seperti ; Gusti Kang Maha Agung, Pangeran Kang Murbeng Dumadi, Pangeran Kang maha Tunggal Gusti Allah. Dan sifat mitis, magisnya dicetuskan dalam istilah-istilah ; Sing Mbahu Rekso, Sing Momong, Mbahe, Kyaine dan sebagainya.
            Dalam bahasa sasteranya, orang Jawa selalu memakai pepatah, sengkalan atau sangkala, dan jarwadosok. Dalam tradisiny atau tindakannya orang Jawa selalu berpegang kepada dua hal  :
1.      Pandangan hidupnya atau filsafat hidupnya yang religius dan mitis.
2.      Sikap hidupnya yang etis an menjunjung tinggi moral atau derajat hidupnya.
Bentuk simbolisme lain terdapat dalam bentuk benda-benda atau alat-alat yang dipakai dalam kehidupan sehari-hari orang Jawa. Dalam hal pemakaian warnapun orang Jawa telah memilah-milah arti simbolisme yang terkandung di dalamnya. Hal ini tampak dalam penggunaan warna yang dipakai untuk mengecat muka tokoh-tokoh wayang kulit atau ringgit purwa.

4.      Tindakan Simbolisme Orang Jawa
            Bentuk-bentuk simbolisme dalam budaya Jawa sangat dominan dalam segala hal dan dalam segala bidang. Hal ini terlihat dalam tindakan sehari-hari orang Jawa, sebagai realisasi dari pandangan dan sikap hidupnya yang berganda. Bentuk-bentuk simbolis ini dapat dikelompokkan dalam tiga macam tindakan simbolis, yaitu : pertama, tindakan simbolis dalam religi; kedua, tindakan simbolis dalam tradisinya; ketiga tindakan simbolis dalam keseniannya.
a.       Tindakan simbolis dalam religi
            Sejarah perkembangan religi orang Jawa telah dimulai sejak jaman prasejarah dimana pada waktu itu nenek moyang orang Jawa sudah beranggapan bahwa semua benda yang ada di sekelilingnya itu berkekuatan gaib atau mempunyai roh yang berwatak baik maupun jahat. Pengaruh kebudayaan Hindu di Jawa menambah pula perbendaharaan simbolisme dalam tindakan religius orang Jawa. Penghormatan dan pemujaan kepada Dewa-dewa Hindu menimbulkan pula fantasi akan adanya Dewa-dewi lainnya yang asli Jawa. Pengaruh agama dan filsafat Islam dalam tindakan simbolis orang Jawa terlihat dalam sikap hidupnya warga Pangestu dan Upacara Sekaten di Yogyakarta.
            Tindakan simbolis dalam religi orang Jawa, dapat disimpulkan dalam tiga golongan  :
1.        Tindakan simbolis religius yang terbentuk karena pengaruh jaman mitos, atau disebut juga jaman kebudayaan aseli Jawa.
2.        Tindakan simbolis religius yang terbentuk karena pengaruh jaman kebudayaan Hindu-Jawa.
3.        Tindakan simbolis religius yang terbentuk karena pengaruh jaman mitos jaman kebudayaan Hindu-jawa dan jaman Jawa-Islam.

b.      Tindakan simbolis dalam tradisi
            Tradisi atau adat-istiadat atau disebut pula adat tata kelakuan, menurut Koentjaraningrat dapat dibagi dalam empat tingkatan, yaitu   :
1.      Tingkat nilai budaya
Berupa ide-ide yang mengkonsepsikan hal-hal yang paling bernilai dalam kehidupan masyarakat, dan biasanya berakar dalam bagian emosional dari alam jiwa manusia, misalnya gotong royong atau sifat suka kerja sama berdasarkan solidaritas yang besar.
2.      Tingkat norma-norma
Sistem norma-norma yang berupa nilai-nilai budaya yang sudah terkait kepada peranan masing-masing anggota masyarakat dalam lingkungannya, seperti unggah-ungguh atau kode etik.
3.      Tingkat hukum
Sistem hukum yang berlaku, misalnya hukum adat perkawinan, hukum adat kekayaan.

4.      Tingkat aturan khusus
Aturan-aturan khusus yang mengatur kegiatan-kegiatan yang jelas terbatas ruang lingkupnya dalam masyarakat dan bersifat kongkrit, misalnya aturan sopan santun.
            Dengan berdasar pada keempat tingkatan adat tata kelakuan tersebut, maka tindakan-tindakan simbolis yang terdapat dalam tradisi Jawa adalah sebagai berikut ;
      Dalam tingkat nilai budaya, tercermin sikap dan sifat kerja sama seperti gotong-royong , tolong-menolong, rasa senasib sepenanggungan dalam suka dan duka. Orang jawa memiliki ungkapan simbolis seperti : saiyeg aeko praya, yang artinya bergerak bersama untuk mencapai tujuan bersama. Mangan ora mangan kumpul, makan tidak makan tetap bersama, menggambarkan kuatnya rasa senasib sepenanggungan, tetulung kok dikertoaji, pertolongan itu jangan dinilai kembali dengan uang. Tepa salira, tindakan tidak melukai perasaan orang lain.
      Dalam tingkat norma-norma, dimana sistem norma yang berlaku berupa nilai-nilai budaya yang sudah terkait kepada peranan masing-masing anggota masyarakat, terlihat secara umum dalam sikap dan tindakan antara yang lebih tua atau yang lebih ahli dalam bidangnya, dengan mereka yang lebih muda atau lebih awam. Demikian pula dalam derajat kepangkatan, jabatan atau kedudukan serta usia. Yang muda akan datang ke yang lebih tua untuk sowan , tuwi kasugengan, atur pisungsung, sungkem dan nyuwun pangestu. Sedangkan yang tua akan memberikan kepada yang muda berupa puji pangastuti, suwuk sembur, wejangan, paring sungu dan tulada.
      Tindakan simbolis dalam tingkat hukum atau sistem hukum yang berlaku dalam masyarakat Jawa sangat kentara dalam hukum adat perkawinan dan hukum adat kekayaan. Menurut hukum adat Jawa, perjodohan dimulai dengan berbagai upacara yang merupakan rites de passages, yaitu lambang dari ’peralihan jeneng’. Suami istri tidak lagi memakai nama pemberian orang tua, melainkan memakai nama tua yang merupakan nama keluarga. Di dalam harta kekayaan keluarga, ada dua jenis harta; harta gono dan harta gini,  ada istilah sepikul segendongan.
      Dalam tingkatan adat yang keempat, aturan-aturan khusus yang mengatur kegiatan-kegiatan yang terbatas ruang lingkupnya, berupa ungkapan-ungkapan seperti ’sapa gawe nganggo, sapa nandur ngunduh’, ’tega larane ora tega patine’, ’wong temen ketemu, wong salah seleh’, ’ngono ya ngono, nanging ya aja ngono’.

c.       Tindakan simbolis dalam seni
            Salah satu wujud rasa budaya manusia adalah alam seni. Alam seni ini terdiri atas beberapa unsur yaitu  : seni rupa, seni sastra, seni suara, seni tari, seni musik dan seni drama. Alam seni merupakan salah satu dari aktivitas kelakuan berpola dari manusia yang dalam pengungkapannya penuh dengan tindakan-tindakan simbolis. Hal ini disebabkan melalui alam seni rasa budaya manusia yang tidak dapat diungkapkan dalam pergaulan sehari-hari antar manusia, dicurahkannya dalam bentuk simbol-simbol di dalam alam seninya.
            Dalam budaya Jawa, wayang kulit purwa merupakan kesenian yang merangkum keenam unsur seni dalam satu kesatuan seni. Tindakan simbolis pertama dilakukan oleh yang menanggap wayang, tujuan misal untuk ujar atau kaul, meruwat, dan menyediakan ubarampe. Tindakan simbolis yang kedua oleh dalang sebagai tokoh utama dalam pagelarang wayang. Dalang yang menguasai jalan cerita, kode/ pertanda penabuh gamelan dan menggerakkan wayang. Tindakan simbolis ketiga dilakukan oleh para penabuh gamelan dan sinden. Iringan gamelan ada 7 tahap, yaitu ; klenengan, talu, pathet nem, pathet sanga, pathet manyura, tancep kayon dan golek. Tindakan simbolis keempat dilakukan oleh pencipta atau penyungging wayang. Wanda wayang yang terdiri dari bentuk, warna, macam pakaian, serta dedeg dan tinggi rendahnya ukuran wayang memiliki arti yang berbeda.
            Dalam seni tari, tindakan simbolis hampir seluruh gerak langkah serta pola-pola setiap tarian. Dalam seni busana atau pakaian, orang Jawa memiliki aturan simbolis dari corak dan jenis kain, potongan dan warna baju, bentuk dan corak kain tutup kepala ( blangkon, udeng ), melambangkan kebesaran dan tingkat ilmu atau usia dari masing-masing pemakainya. Dalam seni pahat, seni topeng, seni kecurigan atau keris, seni kawarangkan atau tempat keris yang merupakan bagian dari seni rupa, dikenal pula bentuk-bentuk simbolis dengan tujuan dan maksud tertentu yang bersifat magis.
 
C. PENUTUP
            Budiono Herusatoto dalam bukunya yang berjudul Simbolisme dalam Budaya Jawa, menyajikan  secara mendalam falsafah hidup orang Jawa yang penuh dengan simbol-simbol. Kehidupan orang Jawa, pada semua bidang kehidupannya baik dalam bahasa sehari-hari, sastra, kesenian, tindakan-tindakan, baik dalam pergaulan maupun dalam upacara-upacaranya, selalu terlihat adanya penggunaan simbol-simbol untuk pengungkapan rasa budayanya. Penggunaan simbol-simbol ini ternyata dilaksanakan dengan penuh kesadaran, pemahaman dan penghayatan yang tinggi, dan dianut secara tradisional dari satu generasi ke generasi berikutnya.
Paham atau ideologi yang mendasarkan diri pada simbol-simbol itu disebut simbolisme. Pandangan hidup atau sikap hidup orang Jawa adalah senantiasa menuju kepada; keselarasan dengan dunianya, hal ini terwujudkan dalam susila/ etikanta, keselarasan dengan Tuhannya, diwujudkan dalam taqwanya, kedekatan dengan kesadaran dirinya, hal ini diwujudkan dalam sikap batin yang selalu eling lan waspada.

Acuan  :
Budiono Herusatoto. 1983. Simbolisme dalam Budaya Jawa, Yogyakarta : Penerbit PT Hanindita

Tidak ada komentar:

Posting Komentar