OPERA RAKYAT BANYUMAS
Kebudayaan
bangsa Indonesia ialah kebudayaan yang timbul sebagai buah usaha budinya rakyat
Indonesia seluruhnya. Menurut Fuad Hasan (1989: 17), kebudayaan lama dan
asli terdapat sebagai puncak-puncak kubudayaan di daerah-daerah di seluruh Indonesia ,
terhitung sebagai kebudayan bangsa.
Sementara Kuntjaraningrat (2002 :
110) menyatakan bahwa lepas dari soal daerah, maka tiap hasil karya putera
Indonesia dari suku bangsa manapun asalnya, pokoknya asal khas dan bermutu
saja, sedemikian rupa sehingga sebagian besar orang Indonesia mau dan bisa
mengidentifikasikan diri dan merasa bangga dengan karya tadi, maka itulah
kebudayaan Nasional Indonesia.
Dengan demikian, dalam usaha
pelestarian dan pengembangan kebudayaan nasional tidak perlu ingkar terhadap
pluralisme kebudayaan tradisional, seraya bersikap terbuka dalam pertemuan
antar budaya yang beraneka itu. Keberadaan kebudayaan daerah sebagai aset
kebudayaan nasional harus bisa diwariskan secara turun-temurun. Hal ini untuk menopang keberlangsungan kebudayaan
nasional dari masa-ke masa.
Alur
kehidupan bangsa Indonesia dari waktu ke waktu membuahkan bermacam-macam kebudayan
daerah yang tersebar dari Sabang sampai Merauke. Kondisi kebudayaan daerah saat
ini ada yang masih abadi, ada yang tidak diketahui, ada yang masih tersembunyi
atau punah menjadi legenda tanpa arti. Mesti diantaranya merupakan warisan
budaya lokal sebagai pusaka daerah yang mengandung kreasi bernilai, kearifan,
varian budaya dan kesejarahan yang berarti. Namun kenyataannya menunjukkan
banyak yang keberadaannya terabaikan.
Termasuk
di daerah Banyumas, banyak warisan budaya lokal yang terabaikan, salah satunya
seni begalan. Padahal mengenal budaya sendiri untuk kemudian memahami merupakan
bekal mengambil langkah bijaksana. Sebagaimana pendapat Laretna T. Adhisakti (Arwan
Tuti Artha, Heddy Shri Ahimsa-Putra. 2004: 15) dengan mengenal dan memahami
budaya sendiri, nantinya mampu :
1.
Menentukan
pilihan melangkah ke depan, bagaimana menyikapi keberadaan suatu warisan
budaya. Apakah diawetkan seutuhnya, dialihfungsikan, ada pengembangan atau
perubahan, atau berbagai keputusan lain. Sebuah keputusan yang perlu didasari
rasa memiliki dan kepekaan tinggi. Karena secara sadar mengerti dan memahami
berbagai nilai yang terkandung di dalamnya serta ekspresi yang akan
terwujudkan, baik berbentuk fisik maupun non fisik.
2.
Sebuah
pemahaman yang dalam, mampu mencari jalan yang tepat dalam mengelola dan
memeliharanya. Kesemua ini merupakan perjalanan pemahaman yang perlu selalu
dipupuk dan diasah tiada henti.
Berdasar uraian latar belakang masalah, maka dapat dirumuskan permasalahan
sebagai berikut :
1.
Apakah
budaya Banyumas yang berupa seni begalan memiliki kekhasan ?
2.
Apakah
budaya Banyumas yang berupa seni begalan memiliki multi fungsi (banyak fungsi)
C. Pembahasan
Pada pembahasan ini berisi
uraian secara deskripsi tentang begalan dari hasil studi referensi, observasi dan wawancara. Dalam wawancara, informan
adalah pelaku yang berprofesi sebagai pemeran seni begalan di Desa Notog,
Banyumas, yaitu Dibyo Suwignyo dan Nano. Terkait dengan dunia pewayangan, ada
dalang kondang di kawasan Banyumas, Ki Sugino Siswocarito. Pendekatan yang digunakan menggunakan
teori fungsi dengan deskripsi penelitian dilihat dari berbagai fungsi.
Istilah begalan, berasal dari
kata begal, artinya sama dengan perampok. Jadi orang yang pekerjaanya merampas
barang orang lain disebut merampok atau membegal. Istilah begalan di sini
menurut Supriyadi (1993: 6) bukan berarti merampas barang orang lain, tetapi
menjaga keselamatan apabila nanti ada roh-roh jahat datang untuk mengganggunya.
Istilah begalan di sini sebagai syarat atau krenah/
pengruwat guna menghindari segala kekuatan-kekuatan gaib yang mengancam
keselamatan kedua mempelai. Arti begalan diartikan dengan ucapan kebegalan
sambekalanipun, maksudnya dijauhkan dari segala mara bahaya.
Seni begalan dipertunjukkan
apabila seseorang mempunyai hajat mengawinkan anak sulung dengan anak sulung,
anak bungsu dengan anak sulung atau anak bungsu dengan anak bungsu. Hal semacam
itu merupakan suatu pantangan, apabila perkawinan seperti itu terjadi, perlu
diadakan begalan. Seni begalan ini biasanya dilakukan pada sore hari, kurang
lebih pukul empat sore. Pada umumnya orang Jawa tidak lepas dari
perhitungan-perhitungan menurut cara kejawen atau kepercayaan naluri. Segala
sesuatu diperhitungkan dengan teliti, baik waktu, hari, bulan sampai tahun.
Sebenarnya seni begalan pada
jaman dahulu diadakan oleh para demang, dimana kekuasaan demang pada waktu itu
adalah mutlak berbuat seperti raja. Setiap perintahnya harus cepat atau segera
dilaksanakan. Itu, rakyat beranggapan bahwa seni begalan adalah merupakan
warisan dari para leluhur Banyumas yang tidak boleh ditinggalkan. Oleh karena
sangat taatnya sehingga seseorang yang sebenarnya kurang mampu untuk mengadakan
hal itu lalu mengada-ada. Mereka beranggapan apabila dapat mengadakan hal
tersebut di atas mereka bangga dan terpandang.
A. Prosesi Opera Begalan
Syarat tentang tempat untuk keperluan
pertunjukkan tidak memerlukan tempat yang khusus atau mewah. Tidak perlu
mendirikan panggung, cukup dihalaman rumah, tanpa dekor. Tata pakaian dan tata
rias sangat sederhana. Pakaian cukup baju koko hitam, celana komprang hitam,
stagen dan sabuk, kain atau sarung, sampur dan iket wulung (hitam). Sedang
perlengkapan yang dipergunakan yaitu Wlira
dan Brenong Kepang. Wlira yaitu alat yang berujud pedang,
dipergunakan sebagai pemukul. Panjang Wlira 1 meter, tebal 2 centi meter dan
lebar 4 centimeter. Bahan yang dipergunakan dari ruyung atau pohon pinang. Pembawa
Wlira adalah si begal dari pihak mempelai wanita dengan nama Suradenta.
Pengantar mempelai laki-laki yang membawa peralatan-peralatan Brenong Kepang
bernama Surantani atau Jurutani.
Brenong Kepang merupakan
sepikul alat-alat dapur. Masing-masing alat-alat dapur itu memiliki makna kias
tersendiri. Adapun macam-macam alat dapur tersebut yaitu wangkring atau
pikulan, ian dan ilir, cething, kukusan, kalo, tampah, sorok, cethong, irus,
siwur, kendil, pala pendem, pala gumantung, dan seikat padi.
Kebiasaan orang Banyumas,
sebelum pertunjukkan dimulai didahului dengan mengadakan (menyajikan ) sesajen
dengan membakar kemenyan disertai pembacaan mantra-mantra. Maksud sesajen itu supaya
selama berhajat dan waktu mempelai disandingkan selamat, tidak ada gangguan
apapun juga. Macam sesajian yang biasa diadakan yaitu :
1.
Tumpeng sewu, yaitu tumpeng kecil yang jumlahnya seribu.
Tetapi di sini tidak harus berjumlah seribu, arti bilangan seribu hanya untuk
menunjukkan jumlah banyak.
2.
Panggang emas, yaitu panggang dari ikan emas yang dibakar tidak
diberi bumbu.
3.
Kembang telon, yaitu bunga yang tediri dari tiga macam; bunga
mawar merah, bunga kanthil, dan bnga kenanga.
4.
Pisang,
meliputi pisang ambon, pisang emas dan pisang raja.
5.
Candu
6.
Wedang
pitu, yaitu tujuh macam minutan; kopi pahit, kopi manis, teh pahit, teh
manis, air putih, air bunga dan wedang
jembawuk.
7.
Bubur abang dan bubur putih, nasi lembek (bubur) warna merah dan putih.
8.
Rakan
9.
Krawu menir, yaitu nasi menir yang diberi kelapa.
10. Kaca
pengilon dan pupur
(bedak)
11.
Pepesan bekatul
12. Minyak Wangi
13. Kemenyan
14. Tebu
15. Cengkir
Gading (kelapa muda
gading)
16. Beras kuning
17. Ayam
tulak, yaitu ayam berbulu
hitam semuanya, hanya pada sayapnya saja yang ada sedikit putih.
18. Dawegan
kelapa hijau, yaitu
kelapa muda kulitnya berwarna hijau.
Macam-macam sesajian ini
biasanya diletakkan ditempat yang tidak terjangkau oleh pengunjung atau tamu.
Sering ditempatkan di bagian dapur atau dekat mempelai disandingkan.
Jalannya pertunjukkan, kedua
penari Suradenta dan Surantani dengan membawa peralatannya masuk sambil menari
ke tempat pentas diiringi gendhing kricik-kricik. Setelah gending suwuk (berhenti), salah satu dari
penari, biasanya Suradenta, memperkenalkan diri, menceritakan maksud dan
tujuannya mengadakan begalan. Penari berdialog menanyakan nama dan maksudnya,
lalu minta gendhing Gunungsari. Di sinilah Surantani menjelaskan panjang lebar sanepa (makna kias) dari semua isi
brenong kepang. Satu persatu dijelaskan dengan jelas arti dari Ian, ilir sampai
seikat padi atau hasil bumi. Intinya berisi nasehat untuk mempelai berdua dalam
membangun rumah tangganya agar nantinya langgeng sampai kakek-kakek
nenek-nenek.
Saat terjadi pertengkaran adu
mulut, diiringi gendhing Pisang Balik. Pada waktu gendhing suwuk, pertengkaran
berbuntut perkelahian diiringi gendhing Renggong Kulon. Selesai perkelahian,
diakhiri dengan pemecahan kendil yang berisi beras kuning, pertanda rejeki bagi
mempelai kelak akan senantiasa melimpah, kemudian isi brenong kepang
diperebutkan oleh penonton. Mereka meyakini, bila mendapat barang dari brenong
kepang akan mendapat sawab ( berkah
). Alunan gendhing Eling-eling Banyumasan mengakhiri opera begalan ini.
Maka tampak jelas, seni
begalan di Banyumas memiliki kekhasan tersendiri. Baik masalah pemeran,
perlengkapan, maupun penyajian ternyata memiliki keunikkan dan penuh
perhitungan yang dikaitkan dengan kesakralan. Hal seperti ini tidak dijumpai di
daerah lain, kecuali semacam upacara ruwatan melalui pertunjukkan wayang.
Menurut Ki Sugino Siswocarito, begalan dalam dunia pewayangan pada perang kembang atau perang sintren sangatlah berbeda. Perang kembang dalam pewayangan
adalah peperangan antara seorang ksatria melawan raksasa atau biasa disebut buta begal.
B. Kajian Fungsi
1. Fungsi Historis
Fungsi
historis adalah menurut tinjauan sejarah, mengenai asal usul seni begalan di
Banyumas sekitar abad ke 19, yaitu sejak
Adipati Banyumas mengawinkan putranya Pangeran Tirtokencono dengan putri
bungsu Adipati Wirasaba yaitu Dewi Sukesi. Seminggu setelah perkawinan sang
Adipati Banyumas berkenan memboyong putranya dari Wirasaba ke Kadipaten
Banyumas, istilah Jawa disebut ngunduh
penganten.
Perjalanan
ke Banyumas ditempuh dengan berjalan kaki sekitar 20 kilometer. Di daerah hutan
belantara yang terkenal angker/ wingit, tiba-tiba mereka dicegat oleh orang
yang berpakaian hitam, celana komprang hitam, berikat kepala dan membawa golok.
Orang tersebut bermaksud hendak merampas semua barang, alias merampok atau
membegal. Mata terjadilah pertengkaran mulut dilanjutkan perkelahian. Akhirnya
begal dapat dikalahkan, lari tunggang langgang tanpa dikejar.
Setelah
pagi hari sampailah mereka di Kadipaten Banyumas. Riwayat perjalanan boyongan mempelai dari Wirasaba ke Banyumas
menjadi pelajaran berharga. Kemudian sesepuh Banyumas berpesan seyogyanya
apabila mengawinkan anaknya yang sulung mendapat jodoh anak bungsu agar
diadakan Begalan supaya selamat.
Tahun
timbulnya seni Begalan di Banyumas sulit ditentukan, mengingat Adipati di
Banyumas sendiri ada 17 turunan. Pada buku Sejarah Banyumas, yang disusun oleh S.
Adisarwono dan Bambang S. Purwoko, (1992: 39) secara kronologis menyajikan data
para Adipati/ Bupati yang bergantian menjabat di kabupaten Banyumas, yaitu :
1.
R. Djoko Kaiman / R. Djoko Semangun/ R. Adipati Warga Utama II mendapat
julukan Adipati Marapat tahun 1582.
2.
R. Ngabehi Mertasura I/ R. Adipati Djanah I tahun 1583 – 1600.
3.
R. Ngabehi Mertasura II / R. Adipati Djanah II, dijuluki R. Ngabehi
Kaligethuk, tahun 1601-1620.
4.
R. Adipati Mertajoeda I / R. Ngabehi Bawang, tahun 1620 – 1650.
5.
R. Tumenggung Mertajoeda II, R.T Mertanegara/ R.T. Kokoem/ R.T. Seda
Mesjid, nama paringan R. Tumenggung Joedanegara I tahun 1650 – 1705.
6.
R. Tumenggung Soeradipoera, tahun 1743-1749.
7.
R. Tumenggung Joedanegara II
(Seda Pendapa) tahun 1708 – 1743.
8.
Raden Tumenggung Reksaprodjo, tahun 1743-1749.
9.
R. Tumenggung Joedanegara III, tahun 1749 – 1755, kemudian diangkat
menjadi Patih kasultanan Yogyakarta dengan nama Danoeredjo I.
10. R. Tumenggung Joedanegara IV tahun 1755 –
1780.
11. R. Tumenggung Tedjakusuma tahun 1780-1788,
beliau bukan darah Banyumas tetapi berasal dari Mangkunegaran Surakarta,
mendapat sebutan Tumenggung Kemong.
12. R. Tumenggung Joedanegara V tahun
1788-1816. Setelah beliau, Kabupaten Banyumas dibagi menjadi dua wilayah yaitu
Kasepuhan dan Kanoman, masing-masing diperintah oleh kepala wilayah dengan
sebutan Wedana Bupati.
13. a. R. Adipati Tjokrowedono tahun 1816 –
1830, beliau berasal dari Surakarta Wedana Bupati Kasepuhan membawahi daerah
Adiredja, Adipala, Purwokerto sebagian daerah Kabupaten Panjer atau Kebumen,
sebagian Kabupaten Banjarnegara.
b. R.T. Mertadiredja/ R. Adipati Brotodiningrat
tahun 1816-1830, Wedana Bupati Kanoman membawahi daerah Panjer/ Kebumen, sebagian
Banjarnegara.
14. R.T
mertadiredja II tahun 1831 – 1832 kemudian dipindah menjabat Bupati Purwokerto
berkedudukan di Ajibarang.
15. R.
Adipati Tjakranegara I tahun 1832-1864 (keturunan Kasepuhan)
16. R.
Adipati Tjakranegara II, tahun 1864-1879 (keturunan Kasepuhan)
17.
Kanjeng Pangeran Arya Mertadiredja III tahun 1879-1913 (pindahan dari
Purwokerto).
Berdasar
sejarah banyumas, maka asal usul seni begalan, sekitar abad ke 19, berarti
bertepatan masa pemerintahan Kanjeng Pangeran Arya Mertadiredja III. Masa
pemerintahannya paling lama, 53 tahun. Beliau wafat tanggal 19 Maret 1927,
dimakamkan di Kalibagor, 2 km sebelah barat kota Purwokerto.
2. Fungsi Religi
Menurut
orang Banyumas, seni begalan erat kaitannya dengan religi, yaitu kepercayaan
seandainya tidak diadakan begalan mempelai akan terancam oleh kekuatan-kekuatan
yang ada di luar diri mereka. Dalam hal ini seperti ruwatan, bila tanpa ruwatan
akan menjadi mangsa Bethara Kala.
Dahulu para pemain seni Begalan tidak dibayar atau hanya sekedar menolong saja,
sebab mereka menginsafi bahwa hal itu adalah merupakan kepentingan upacara
adat. Jadi mereka dianggap sebagai pawang, sebagai orang yang dapat mendekati
leluhur atau roh-roh halus agar supaya jangan mengganggu jalannya upacara
perkawinan (Supriyadi.1993: xii).
Kebiasaan
orang Banyumas, sebelum pertunjukkan seni begalan dimulai, didahului dengan
mengadakan sesajian (sajen), dengan membakar kemenyan disertai pembacaan
mantra-mantra. Maksud sesajian itu supaya selama berhajat dan waktu mempelai
disandingkan selamat, tidak ada gangguan apapun juga.
3. Fungsi Pendidikan
Tujuan
utama seni begalan justru banyak dari fungsi pendidikan khususnya bagi mempelai
berdua. Intinya berisi nasehat dari Suradenta dan Surantani supaya mempelai
dalam berkeluarga nanti dapat rukun dan damai, seperti pepatah Jawa mengatakan,
’kaya dene mimi lan mintuna nganti tekan
kaken-kaken ninen-ninen’, yang artinya hidup rukun sampai akhir nanti.
Brenong
Kepang dan Wlira ternyata memiliki sanepo
atau makna kias tinggi yang bermuatan pendidikan. Menurut Dibyo Suwignyo,
pemeran Suradenta, bahwa :
1. Wlira, menggambarkan
orang yang bersenjata wlira sebagai sosok yang berani menghadapi segalanya yang
menyangkut keluarga, dan bertanggung-jawab.
2. Wangkring atau pikulan,
maksud yang terkandung adalah apabla seseorang akan menjalankan hidup bersuami
istri sebelumnya harus dipertimbangkan terlebih dahulu, supaya nanti bila
menghadapi keadaan enak atau tidak enak dipikul bersama-sama.
3. Ian-ilir, biasanya untuk
membuat nasi angi atau nasi golong, memiliki arti bahwa dengan bersuami istri
berarti menggabungkan 2 keluarga besar menjadi satu, dan supaya dapat
membedakan mana perbuatan buruk mana perbuatan yang baik. Ilir biasanya untuk
mengipas agar nasi cepat dingin, maksudnya dalam berkeluarga yang satu emosi,
yang lainnya dapat mendinginkan. Ian menggambarkan lebarnya jagad, dari Baratke
Timur, Utara ke selatan, artinya dalam berkeluarga harus bisa bermasyarakat.
4. Siwur, bila isnya penuh airnya akan tumpah (Banyumas
: mawur), maknanya bila memiliki banyak rejeki, sebagian harus diibadahkan,
jangan boros.
5. Ciri dan Muthu ( Cobek
dan ulegan), fungís menggerus bumbu, ada garam, cabe, gula, trasi, bawang
memiliki arti mempelai memiliki dua pemikiran yang berbeda harus bisa menjadi
satu rasa, segala sesuatu diselesaikan dengan musyawarah.
6. Kusan (kukusan), memiliki
sudut 5, ujungnya lancip menggambarkan Ibadan sholat lima waktu, untuk mencapai
tujuan karena sang Maha Kuasa. Gunanya untuk menanak nasi, artinya sebelum
membuat keputusan dalam keluarga harus dipikir sampai matang.
7. Kendil berisi beras
kuning, terbuat dari tanah fungsi kendil mengambil air, melambangkan bahwa kita
dari tanah, sebelum kembali ke tanah harus menimba sebanyak-banyaknya amalan
untuk sangu di akherat. Beras kuning, bebasan kinuber ing seger waras, kabeh laku kudu tansah di ening... Artnya
sebelum kita melakukan apapun, agar selamat harus berdoa pada yang Maha Kuasa.
8. Irus, kreta basa aja iri
terus, artinya mempelai nantinya harus bisa menahan godaan hawa nafsu terhadap
lingkungan, jangan iri, dengki dan sombong.
9. Pala pendem, dan padi
memiliki makna bahwa suami wajib memberi nafkah istri, padi yang semakin berisi
dan menunduk artinya tidak boleh sombong, dan suami atau istri harus mantap
tidak boleh tergoda lelaki atau perempuan yang lain.
4. Fungsi Sosial
Tradisi
atau ketentuan adat bila tidak dijalankan, oleh masyarakat khususnya Banyumas
terkait dengan seni begalan akan menjadi gunjingan atau cibilan. Lingkungan akan mendiga-duga gerangan
musibah apa yangakan menimpa mempelai yang seharusnya ada ketentuan begalan
tetapi tidak melakukan. Namun sebaliknya bila melakukan ketentuan adat dengan
mengadakan begalan, masyarakat sekitar akan ikut senang, minimal bisa melihat
tontonan begalan sebagai hiburan.
Seseorang
merasa bangga apabila dapat menjalankan tradisi yang dianggap wewaler darinenek
moyangnya. Di mata masyarakat, status sosial dipandang terhormat dan merasa
terpandang.
5. Fungsi Kesenian
Seni
begalan merupakan opera rakyat Banyumas yang syarat dengan nilai seni. Dari cara
berpakaian menggunakan sampur, wajah di rias ssuai karakter. Suradenta biasanya
dirias dengan karakter galak atau sangar. Perlengkapan seperti wlira dan
brenonng kepang juga ditata sedemikian rupa dan dihias. Prosesi atau penyajian diwarnai tarian, diaog
yang menegangkan bercampur kocak akting pelaku.Ini semata merupakan hiburan
penolak bala pada upacara pernikahan.
Apalagi
diiringi seperangkat gamelan yang mengalunkan gendhing-gendhing Banyumasan. Dialog
Suradenta dan Surantani yang dramatis diikuti tariannya yang mengikuti
gendhing, semakin enak sebagai hiburan. Terkadang diseliki banyolan kocak dan
tarian lucu membuat penonton terpingkal-pingkal. Pada akhir pertunjukkan
beramai memperebutkan isi Brenong Kepang.
6. Fungsi Ekonomi
Seni begalan sebagai tontonan tentunya akan
mengundang pengunjung. Suara gendhing seakan memanggil masyarakat di sekitar
untuk hadir. Laki-laki-perempuan, tua –muda, besar – kecil berbondong-bondong
untuk menonton. Hal ini terjadi jaman dulu, saat Banyumas belum mengenal
televisi, apalagi internet. Mereka sangat haus hiburan, sehingga upacara
perkawinan, apalagi ada seni begalan merupakan tontonan gratis yang sangat
menghibur.
Dengan
banyaknya penonton otomatis banyak orang mengais rejeki melalui berdagang.
Bermunculan pedagang kagetan (dadakan) menjual makanan tradisional, mainan
anak-anak sampai peralatan dapur.
Keuntungan yang mereka dapatkan cukup besar. Maka seni begalan waktu itu
memiliki fungsi ekonomi.
Secara
ekonomis, pengadaan opera begalan lebih hemat dibanding pengadaan pagelaran
wayang bagi sipunya hajat ruwatan. Pagelaran wayang bisa memakan dana lima
sampai sepuluh kali lipat dibanding
biaya untuk begalan. Dewasa ini, biaya begalan untuk pelaku dan oborampe cukup
menghabiskan Rp. 500.000,00 – Rp. 1.000.000,00 sedangkan untuk pengadaan
pertunjukkan wayang bisa menghabiskan lebih dari Rp. 12.000.000,00.
Opera
begalan untuk saat ini sudah cenderung sebagai profesi dengan tarif tertentu
bagi pemeran. Dari segi ekonomi, bagi pemeran sekali main cukup menguntungkan.
Jika satu bulan dapat order 5 kali main, pemeran Surodenta dan Surontani dapat
mengantongi Rp. 1.500.000 bersih dalam satu bulan.
Seni begalan di Banyumas
merupakan pertunjukkan sebagai ketentuan adat yang digunakan untuk meramaikan
upacara perkawinan. Kekhasan dan mutu seni begalan masyarakat Banyumas memiliki
muatan multi fungsi, maka sangatlah layak dikatakan sebagai Kebudayaan Nasional
Indonesia, sebagaimana rambu-rambu yang dikemukakan Kuntjaraningrat.
Fungsi seni begalan masyarakat
Banyumas bila dipahami lebih jauh memiliki pembelajaran jauh ke depan, terutama
bagi mempelai berdua. Bila tidak diselenggarakan begalan, kedua mempelai kurang
atau buta akan hakekat kehidupan berumah tangga. Fungsi pendidikan disini
sangat berperan dan bermanfaat bagi mempelai.
Fungsi-fungsi yang lain merupakan muatan budaya yang erat kaitannya
dengan hiburan atau tontonan.
DAFTAR PUSTAKA
Adisarwono,S., Bambang S. Purwoko, BA. 1992. Sejarah Banyumas. Purwokerto :
UD Satria Utama
Arwan Tuti Artha, Heddy Shri
Ahimsa-Putra. 2004. Sejuta Warisan Budaya.
Yogyakarta : Kunci Ilmu
Fuad Hasan. 1989. Renungan Budaya.
Jakarta : Balai Pustaka
Koentjaraningrat. 2002. Kebudayaan
Mentalitas dan Pembangunan. Jakarta : PT
Gramedia Pustaka Utama
Supriyadi, Drs. 1993. Begalan.
Purwokerto : UD Satria Utama
WAWANCARA
A. Informan
1. Pelaku
Seni Begalan di Desa Notog, Banyumas,
Pada
hari Minggu, tanggal 21 Desember 2008,
a. Dibyo Suwignyo, pemeran Suradenta
b. Nano,
pemeran Surantani
2. Sesepuh Budayawan Banyumas
Dalang Ki Sugino Siswocarito
B. Kuesioner
No
|
Batir Pertanyaan
|
Jawaban informan
|
1
|
Mengapa opera rakyat Banyumas ini
menggunakan istilah begalan ?
|
|
2
|
Bagimana riwayat timbulnya begalan di Banyumas ?
|
|
3
|
Bagaimana ketentuan pelaksanaan begalan ?
|
|
4
|
Apa fungsi begalan ?
|
|
5
|
Bagaimana dialog awal begalan ?
|
Khusus wawancara wayang dengan Ki Sugino
Siswacarito telah dilakukan beberapa tahun yang lalu saat diskusi tentang misi
dalam wayang.
Dialod Awal Seni Begalan
(Hasil wawancara tentang dialog Begalan
Banyumas)
Suradenta : Tek
pan panna kaya ana wong Nang ngarepku tur gawane rembyak-rembyak.
Sapa jenengmu, man? Ora semaur, tak glitho
engko lo !
Surantani : Deneng
...... takon karo inyong apa ? Jenengku Surantani.
Suradenta : Rika
sih arep maring ngendi ?
Surantani : Lo,
lo, lo... Apa ko ora ngerti
? Aku lagi diutus karo raja penganten
kon jujugaken barang-barang kiye maring nggone raja penganten.
Suradenta : Ooo...... Sapa baen ora kena liwat dalan kene, kejaba
kaki raja penganten...
Surantani : Lo, apa sebabe aku koh dadi ora olih ?
Suradenta : Lo,
ngerti apa ora, mbok kae ana ganar, sapa baen ora kena liwat dalan kene...
Surantani : Ooo.......
mbok tekan manjat-manjat maring gunung tak lakoni !
Dialog terakhir merupakan sasmita
gendhing atau tanda untuk minta iringan gendhing, ” mbok tekan manjat-manjat
maring gunung tak lakoni” maksudnya minta gendhing Gunung Sari...... diikuti Suradenta dan Surantani menari.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar