Total Tayangan Halaman

Kamis, 26 Januari 2012

SENI BEGALAN


  
OPERA RAKYAT BANYUMAS

 Image Detail
 A.      Latar Belakang Masalah 
               Kebudayaan bangsa Indonesia ialah kebudayaan yang timbul sebagai buah usaha budinya rakyat Indonesia seluruhnya. Menurut Fuad Hasan (1989: 17), kebudayaan lama dan asli terdapat sebagai puncak-puncak kubudayaan di daerah-daerah di seluruh Indonesia, terhitung sebagai kebudayan bangsa.
               Sementara Kuntjaraningrat (2002 : 110) menyatakan bahwa lepas dari soal daerah, maka tiap hasil karya putera Indonesia dari suku bangsa manapun asalnya, pokoknya asal khas dan bermutu saja, sedemikian rupa sehingga sebagian besar orang Indonesia mau dan bisa mengidentifikasikan diri dan merasa bangga dengan karya tadi, maka itulah kebudayaan Nasional Indonesia.
               Dengan demikian, dalam usaha pelestarian dan pengembangan kebudayaan nasional tidak perlu ingkar terhadap pluralisme kebudayaan tradisional, seraya bersikap terbuka dalam pertemuan antar budaya yang beraneka itu. Keberadaan kebudayaan daerah sebagai aset kebudayaan nasional harus bisa diwariskan secara turun-temurun. Hal ini untuk menopang keberlangsungan kebudayaan nasional dari masa-ke masa.
               Alur kehidupan bangsa Indonesia dari waktu ke waktu membuahkan bermacam-macam kebudayan daerah yang tersebar dari Sabang sampai Merauke. Kondisi kebudayaan daerah saat ini ada yang masih abadi, ada yang tidak diketahui, ada yang masih tersembunyi atau punah menjadi legenda tanpa arti. Mesti diantaranya merupakan warisan budaya lokal sebagai pusaka daerah yang mengandung kreasi bernilai, kearifan, varian budaya dan kesejarahan yang berarti. Namun kenyataannya menunjukkan banyak yang keberadaannya terabaikan.
               Termasuk di daerah Banyumas, banyak warisan budaya lokal yang terabaikan, salah satunya seni begalan. Padahal mengenal budaya sendiri untuk kemudian memahami merupakan bekal mengambil langkah bijaksana. Sebagaimana pendapat Laretna T. Adhisakti (Arwan Tuti Artha, Heddy Shri Ahimsa-Putra. 2004: 15) dengan mengenal dan memahami budaya sendiri, nantinya mampu   :
     1.            Menentukan pilihan melangkah ke depan, bagaimana menyikapi keberadaan suatu warisan budaya. Apakah diawetkan seutuhnya, dialihfungsikan, ada pengembangan atau perubahan, atau berbagai keputusan lain. Sebuah keputusan yang perlu didasari rasa memiliki dan kepekaan tinggi. Karena secara sadar mengerti dan memahami berbagai nilai yang terkandung di dalamnya serta ekspresi yang akan terwujudkan, baik berbentuk fisik maupun non fisik.

2.            Sebuah pemahaman yang dalam, mampu mencari jalan yang tepat dalam mengelola dan memeliharanya. Kesemua ini merupakan perjalanan pemahaman yang perlu selalu dipupuk dan diasah tiada henti. 

 B.           Rumusan  Masalah
               Berdasar uraian latar belakang masalah, maka dapat dirumuskan permasalahan sebagai berikut  :
1.            Apakah budaya Banyumas yang berupa seni begalan memiliki kekhasan ?
2.            Apakah budaya Banyumas yang berupa seni begalan memiliki multi fungsi  (banyak fungsi)
        C.  Pembahasan 
Pada pembahasan ini berisi uraian secara deskripsi tentang begalan dari hasil studi referensi, observasi  dan wawancara. Dalam wawancara, informan adalah pelaku yang berprofesi sebagai pemeran seni begalan di Desa Notog, Banyumas, yaitu Dibyo Suwignyo dan Nano. Terkait dengan dunia pewayangan, ada dalang kondang di kawasan Banyumas, Ki Sugino Siswocarito. Pendekatan yang digunakan menggunakan teori fungsi dengan deskripsi penelitian dilihat dari berbagai fungsi.
Istilah begalan, berasal dari kata begal, artinya sama dengan perampok. Jadi orang yang pekerjaanya merampas barang orang lain disebut merampok atau membegal. Istilah begalan di sini menurut Supriyadi (1993: 6) bukan berarti merampas barang orang lain, tetapi menjaga keselamatan apabila nanti ada roh-roh jahat datang untuk mengganggunya. Istilah begalan di sini sebagai syarat atau krenah/ pengruwat guna menghindari segala kekuatan-kekuatan gaib yang mengancam keselamatan kedua mempelai. Arti begalan diartikan dengan ucapan kebegalan sambekalanipun, maksudnya dijauhkan dari segala mara bahaya.
Seni begalan dipertunjukkan apabila seseorang mempunyai hajat mengawinkan anak sulung dengan anak sulung, anak bungsu dengan anak sulung atau anak bungsu dengan anak bungsu. Hal semacam itu merupakan suatu pantangan, apabila perkawinan seperti itu terjadi, perlu diadakan begalan. Seni begalan ini biasanya dilakukan pada sore hari, kurang lebih pukul empat sore. Pada umumnya orang Jawa tidak lepas dari perhitungan-perhitungan menurut cara kejawen atau kepercayaan naluri. Segala sesuatu diperhitungkan dengan teliti, baik waktu, hari, bulan sampai tahun.
Sebenarnya seni begalan pada jaman dahulu diadakan oleh para demang, dimana kekuasaan demang pada waktu itu adalah mutlak berbuat seperti raja. Setiap perintahnya harus cepat atau segera dilaksanakan. Itu, rakyat beranggapan bahwa seni begalan adalah merupakan warisan dari para leluhur Banyumas yang tidak boleh ditinggalkan. Oleh karena sangat taatnya sehingga seseorang yang sebenarnya kurang mampu untuk mengadakan hal itu lalu mengada-ada. Mereka beranggapan apabila dapat mengadakan hal tersebut di atas mereka bangga dan terpandang. 
A.   Prosesi Opera Begalan
 Syarat tentang tempat untuk keperluan pertunjukkan tidak memerlukan tempat yang khusus atau mewah. Tidak perlu mendirikan panggung, cukup dihalaman rumah, tanpa dekor. Tata pakaian dan tata rias sangat sederhana. Pakaian cukup baju koko hitam, celana komprang hitam, stagen dan sabuk, kain atau sarung, sampur dan iket wulung (hitam). Sedang perlengkapan yang dipergunakan yaitu Wlira dan Brenong Kepang.  Wlira yaitu alat yang berujud pedang, dipergunakan sebagai pemukul. Panjang Wlira 1 meter, tebal 2 centi meter dan lebar 4 centimeter. Bahan yang dipergunakan dari ruyung atau pohon pinang. Pembawa Wlira adalah si begal dari pihak mempelai wanita dengan nama Suradenta. Pengantar mempelai laki-laki yang membawa peralatan-peralatan Brenong Kepang bernama Surantani atau Jurutani.
Brenong Kepang merupakan sepikul alat-alat dapur. Masing-masing alat-alat dapur itu memiliki makna kias tersendiri. Adapun macam-macam alat dapur tersebut yaitu wangkring atau pikulan, ian dan ilir, cething, kukusan, kalo, tampah, sorok, cethong, irus, siwur, kendil, pala pendem, pala gumantung, dan seikat padi.
Kebiasaan orang Banyumas, sebelum pertunjukkan dimulai didahului dengan mengadakan (menyajikan ) sesajen dengan membakar kemenyan disertai pembacaan mantra-mantra. Maksud sesajen itu supaya selama berhajat dan waktu mempelai disandingkan selamat, tidak ada gangguan apapun juga. Macam sesajian yang biasa diadakan yaitu   :
1.        Tumpeng sewu, yaitu tumpeng kecil yang jumlahnya seribu. Tetapi di sini tidak harus berjumlah seribu, arti bilangan seribu hanya untuk menunjukkan jumlah banyak.
2.        Panggang emas, yaitu panggang dari ikan emas yang dibakar tidak diberi bumbu.
3.        Kembang telon, yaitu bunga yang tediri dari tiga macam; bunga mawar merah, bunga kanthil, dan bnga kenanga.
4.        Pisang, meliputi pisang ambon, pisang emas dan pisang raja.
5.        Candu
6.         Wedang pitu, yaitu tujuh macam minutan; kopi pahit, kopi manis, teh pahit, teh manis, air putih, air bunga dan wedang jembawuk.
7.        Bubur abang dan bubur putih, nasi lembek (bubur)  warna merah dan putih.
8.        Rakan
9.        Krawu menir, yaitu nasi menir yang diberi kelapa.
10.    Kaca pengilon dan pupur (bedak)
11.    Pepesan bekatul
12.    Minyak Wangi
13.    Kemenyan
14.    Tebu
15.    Cengkir Gading (kelapa muda gading)
16.    Beras kuning
17.    Ayam tulak, yaitu ayam berbulu hitam semuanya, hanya pada sayapnya saja yang ada sedikit putih.
18.    Dawegan kelapa hijau, yaitu kelapa muda kulitnya berwarna hijau.
Macam-macam sesajian ini biasanya diletakkan ditempat yang tidak terjangkau oleh pengunjung atau tamu. Sering ditempatkan di bagian dapur atau dekat mempelai disandingkan.
Jalannya pertunjukkan, kedua penari Suradenta dan Surantani dengan membawa peralatannya masuk sambil menari ke tempat pentas diiringi gendhing kricik-kricik. Setelah gending suwuk (berhenti), salah satu dari penari, biasanya Suradenta, memperkenalkan diri, menceritakan maksud dan tujuannya mengadakan begalan. Penari berdialog menanyakan nama dan maksudnya, lalu minta gendhing Gunungsari. Di sinilah Surantani menjelaskan panjang lebar sanepa (makna kias) dari semua isi brenong kepang. Satu persatu dijelaskan dengan jelas arti dari Ian, ilir sampai seikat padi atau hasil bumi. Intinya berisi nasehat untuk mempelai berdua dalam membangun rumah tangganya agar nantinya langgeng sampai kakek-kakek nenek-nenek.
Saat terjadi pertengkaran adu mulut, diiringi gendhing Pisang Balik. Pada waktu gendhing suwuk, pertengkaran berbuntut perkelahian diiringi gendhing Renggong Kulon. Selesai perkelahian, diakhiri dengan pemecahan kendil yang berisi beras kuning, pertanda rejeki bagi mempelai kelak akan senantiasa melimpah, kemudian isi brenong kepang diperebutkan oleh penonton. Mereka meyakini, bila mendapat barang dari brenong kepang akan mendapat sawab ( berkah ). Alunan gendhing Eling-eling Banyumasan mengakhiri opera begalan ini.
Maka tampak jelas, seni begalan di Banyumas memiliki kekhasan tersendiri. Baik masalah pemeran, perlengkapan, maupun penyajian ternyata memiliki keunikkan dan penuh perhitungan yang dikaitkan dengan kesakralan. Hal seperti ini tidak dijumpai di daerah lain, kecuali semacam upacara ruwatan melalui pertunjukkan wayang. Menurut Ki Sugino Siswocarito, begalan dalam dunia pewayangan pada perang kembang atau perang sintren sangatlah berbeda. Perang kembang dalam pewayangan adalah peperangan antara seorang ksatria melawan raksasa atau biasa disebut buta begal.


B.   Kajian  Fungsi
1.   Fungsi Historis
         Fungsi historis adalah menurut tinjauan sejarah, mengenai asal usul seni begalan di Banyumas sekitar abad ke 19, yaitu sejak  Adipati Banyumas mengawinkan putranya Pangeran Tirtokencono dengan putri bungsu Adipati Wirasaba yaitu Dewi Sukesi. Seminggu setelah perkawinan sang Adipati Banyumas berkenan memboyong putranya dari Wirasaba ke Kadipaten Banyumas, istilah Jawa disebut ngunduh penganten.
         Perjalanan ke Banyumas ditempuh dengan berjalan kaki sekitar 20 kilometer. Di daerah hutan belantara yang terkenal angker/ wingit, tiba-tiba mereka dicegat oleh orang yang berpakaian hitam, celana komprang hitam, berikat kepala dan membawa golok. Orang tersebut bermaksud hendak merampas semua barang, alias merampok atau membegal. Mata terjadilah pertengkaran mulut dilanjutkan perkelahian. Akhirnya begal dapat dikalahkan, lari tunggang langgang tanpa dikejar.
         Setelah pagi hari sampailah mereka di Kadipaten Banyumas. Riwayat perjalanan  boyongan mempelai dari Wirasaba ke Banyumas menjadi pelajaran berharga. Kemudian sesepuh Banyumas berpesan seyogyanya apabila mengawinkan anaknya yang sulung mendapat jodoh anak bungsu agar diadakan Begalan supaya selamat.
         Tahun timbulnya seni Begalan di Banyumas sulit ditentukan, mengingat Adipati di Banyumas sendiri ada 17 turunan. Pada buku Sejarah Banyumas, yang disusun oleh S. Adisarwono dan Bambang S. Purwoko, (1992: 39) secara kronologis menyajikan data para Adipati/ Bupati yang bergantian menjabat di kabupaten Banyumas, yaitu   :
1.   R. Djoko Kaiman / R. Djoko Semangun/ R. Adipati Warga Utama II mendapat julukan Adipati Marapat tahun 1582.
2.   R. Ngabehi Mertasura I/ R. Adipati Djanah I tahun 1583 – 1600.
3.   R. Ngabehi Mertasura II / R. Adipati Djanah II, dijuluki R. Ngabehi Kaligethuk, tahun 1601-1620.
4.   R. Adipati Mertajoeda I / R. Ngabehi Bawang, tahun 1620 – 1650.
5.   R. Tumenggung Mertajoeda II, R.T Mertanegara/ R.T. Kokoem/ R.T. Seda Mesjid, nama paringan R. Tumenggung Joedanegara I tahun 1650 – 1705.
6.   R. Tumenggung Soeradipoera, tahun 1743-1749.
7.   R. Tumenggung Joedanegara II  (Seda Pendapa) tahun 1708 – 1743.
8.   Raden Tumenggung Reksaprodjo, tahun 1743-1749.
9.   R. Tumenggung Joedanegara III, tahun 1749 – 1755, kemudian diangkat menjadi Patih kasultanan Yogyakarta dengan nama Danoeredjo I.
10.  R. Tumenggung Joedanegara IV tahun 1755 – 1780.
11.  R. Tumenggung Tedjakusuma tahun 1780-1788, beliau bukan darah Banyumas tetapi berasal dari Mangkunegaran Surakarta, mendapat sebutan Tumenggung Kemong.
12.  R. Tumenggung Joedanegara V tahun 1788-1816. Setelah beliau, Kabupaten Banyumas dibagi menjadi dua wilayah yaitu Kasepuhan dan Kanoman, masing-masing diperintah oleh kepala wilayah dengan sebutan Wedana Bupati.
13.  a. R. Adipati Tjokrowedono tahun 1816 – 1830, beliau berasal dari Surakarta Wedana Bupati Kasepuhan membawahi daerah Adiredja, Adipala, Purwokerto sebagian daerah Kabupaten Panjer atau Kebumen, sebagian Kabupaten Banjarnegara.
b.  R.T. Mertadiredja/ R. Adipati Brotodiningrat tahun 1816-1830, Wedana Bupati Kanoman membawahi daerah Panjer/ Kebumen, sebagian Banjarnegara.
      14. R.T mertadiredja II tahun 1831 – 1832 kemudian dipindah menjabat Bupati Purwokerto berkedudukan di Ajibarang.
      15. R. Adipati Tjakranegara I tahun 1832-1864 (keturunan Kasepuhan)
      16. R. Adipati Tjakranegara II, tahun 1864-1879 (keturunan Kasepuhan)
      17. Kanjeng Pangeran Arya Mertadiredja III tahun 1879-1913 (pindahan dari Purwokerto).
            Berdasar sejarah banyumas, maka asal usul seni begalan, sekitar abad ke 19, berarti bertepatan masa pemerintahan Kanjeng Pangeran Arya Mertadiredja III. Masa pemerintahannya paling lama, 53 tahun. Beliau wafat tanggal 19 Maret 1927, dimakamkan di Kalibagor, 2 km sebelah barat kota Purwokerto.   
2.   Fungsi Religi
         Menurut orang Banyumas, seni begalan erat kaitannya dengan religi, yaitu kepercayaan seandainya tidak diadakan begalan mempelai akan terancam oleh kekuatan-kekuatan yang ada di luar diri mereka. Dalam hal ini seperti ruwatan, bila tanpa ruwatan akan menjadi mangsa Bethara Kala. Dahulu para pemain seni Begalan tidak dibayar atau hanya sekedar menolong saja, sebab mereka menginsafi bahwa hal itu adalah merupakan kepentingan upacara adat. Jadi mereka dianggap sebagai pawang, sebagai orang yang dapat mendekati leluhur atau roh-roh halus agar supaya jangan mengganggu jalannya upacara perkawinan (Supriyadi.1993: xii).
         Kebiasaan orang Banyumas, sebelum pertunjukkan seni begalan dimulai, didahului dengan mengadakan sesajian (sajen), dengan membakar kemenyan disertai pembacaan mantra-mantra. Maksud sesajian itu supaya selama berhajat dan waktu mempelai disandingkan selamat, tidak ada gangguan apapun juga.

3.   Fungsi Pendidikan
         Tujuan utama seni begalan justru banyak dari fungsi pendidikan khususnya bagi mempelai berdua. Intinya berisi nasehat dari Suradenta dan Surantani supaya mempelai dalam berkeluarga nanti dapat rukun dan damai, seperti pepatah Jawa mengatakan, ’kaya dene mimi lan mintuna nganti tekan kaken-kaken ninen-ninen’, yang artinya hidup rukun sampai akhir nanti.
         Brenong Kepang dan Wlira ternyata memiliki sanepo atau makna kias tinggi yang bermuatan pendidikan. Menurut Dibyo Suwignyo, pemeran Suradenta, bahwa  :
1.  Wlira, menggambarkan orang yang bersenjata wlira sebagai sosok yang berani menghadapi segalanya yang menyangkut keluarga, dan bertanggung-jawab.
2.   Wangkring atau pikulan, maksud yang terkandung adalah apabla seseorang akan menjalankan hidup bersuami istri sebelumnya harus dipertimbangkan terlebih dahulu, supaya nanti bila menghadapi keadaan enak atau tidak enak dipikul bersama-sama.
3.   Ian-ilir, biasanya untuk membuat nasi angi atau nasi golong, memiliki arti bahwa dengan bersuami istri berarti menggabungkan 2 keluarga besar menjadi satu, dan supaya dapat membedakan mana perbuatan buruk mana perbuatan yang baik. Ilir biasanya untuk mengipas agar nasi cepat dingin, maksudnya dalam berkeluarga yang satu emosi, yang lainnya dapat mendinginkan. Ian menggambarkan lebarnya jagad, dari Baratke Timur, Utara ke selatan, artinya dalam berkeluarga harus bisa bermasyarakat.
4.   Siwur,  bila isnya penuh airnya akan tumpah (Banyumas : mawur), maknanya bila memiliki banyak rejeki, sebagian harus diibadahkan, jangan boros.
5.   Ciri dan Muthu ( Cobek dan ulegan), fungís menggerus bumbu, ada garam, cabe, gula, trasi, bawang memiliki arti mempelai memiliki dua pemikiran yang berbeda harus bisa menjadi satu rasa, segala sesuatu diselesaikan dengan musyawarah.
6.   Kusan (kukusan), memiliki sudut 5, ujungnya lancip menggambarkan Ibadan sholat lima waktu, untuk mencapai tujuan karena sang Maha Kuasa. Gunanya untuk menanak nasi, artinya sebelum membuat keputusan dalam keluarga harus dipikir sampai matang.
7.   Kendil berisi beras kuning, terbuat dari tanah fungsi kendil mengambil air, melambangkan bahwa kita dari tanah, sebelum kembali ke tanah harus menimba sebanyak-banyaknya amalan untuk sangu di akherat. Beras kuning, bebasan kinuber ing seger waras, kabeh laku kudu tansah di ening... Artnya sebelum kita melakukan apapun, agar selamat harus berdoa pada yang Maha Kuasa.
8.  Irus, kreta basa aja iri terus, artinya mempelai nantinya harus bisa menahan godaan hawa nafsu terhadap lingkungan, jangan iri, dengki dan sombong.
9.   Pala pendem, dan padi memiliki makna bahwa suami wajib memberi nafkah istri, padi yang semakin berisi dan menunduk artinya tidak boleh sombong, dan suami atau istri harus mantap tidak boleh tergoda lelaki atau perempuan yang lain.

4.   Fungsi Sosial
         Tradisi atau ketentuan adat bila tidak dijalankan, oleh masyarakat khususnya Banyumas terkait dengan seni begalan akan menjadi gunjingan atau cibilan. Lingkungan akan mendiga-duga gerangan musibah apa yangakan menimpa mempelai yang seharusnya ada ketentuan begalan tetapi tidak melakukan. Namun sebaliknya bila melakukan ketentuan adat dengan mengadakan begalan, masyarakat sekitar akan ikut senang, minimal bisa melihat tontonan begalan sebagai hiburan.
         Seseorang merasa bangga apabila dapat menjalankan tradisi yang dianggap wewaler darinenek moyangnya. Di mata masyarakat, status sosial dipandang terhormat dan merasa terpandang.

5.   Fungsi Kesenian
         Seni begalan merupakan opera rakyat Banyumas yang syarat dengan nilai seni. Dari cara berpakaian menggunakan sampur, wajah di rias ssuai karakter. Suradenta biasanya dirias dengan karakter galak atau sangar. Perlengkapan seperti wlira dan brenonng kepang juga ditata sedemikian rupa dan dihias.  Prosesi atau penyajian diwarnai tarian, diaog yang menegangkan bercampur kocak akting pelaku.Ini semata merupakan hiburan penolak bala pada upacara pernikahan.
         Apalagi diiringi seperangkat gamelan yang mengalunkan gendhing-gendhing Banyumasan. Dialog Suradenta dan Surantani yang dramatis diikuti tariannya yang mengikuti gendhing, semakin enak sebagai hiburan. Terkadang diseliki banyolan kocak dan tarian lucu membuat penonton terpingkal-pingkal. Pada akhir pertunjukkan beramai memperebutkan isi Brenong Kepang.

6.   Fungsi Ekonomi
         Seni begalan sebagai tontonan tentunya akan mengundang pengunjung. Suara gendhing seakan memanggil masyarakat di sekitar untuk hadir. Laki-laki-perempuan, tua –muda, besar – kecil berbondong-bondong untuk menonton. Hal ini terjadi jaman dulu, saat Banyumas belum mengenal televisi, apalagi internet. Mereka sangat haus hiburan, sehingga upacara perkawinan, apalagi ada seni begalan merupakan tontonan gratis yang sangat menghibur.
         Dengan banyaknya penonton otomatis banyak orang mengais rejeki melalui berdagang. Bermunculan pedagang kagetan (dadakan) menjual makanan tradisional, mainan anak-anak sampai peralatan dapur.  Keuntungan yang mereka dapatkan cukup besar. Maka seni begalan waktu itu memiliki fungsi ekonomi.
         Secara ekonomis, pengadaan opera begalan lebih hemat dibanding pengadaan pagelaran wayang bagi sipunya hajat ruwatan. Pagelaran wayang bisa memakan dana lima sampai sepuluh kali  lipat dibanding biaya untuk begalan. Dewasa ini, biaya begalan untuk pelaku dan oborampe cukup menghabiskan Rp. 500.000,00 – Rp. 1.000.000,00 sedangkan untuk pengadaan pertunjukkan wayang bisa menghabiskan lebih dari  Rp. 12.000.000,00.
         Opera begalan untuk saat ini sudah cenderung sebagai profesi dengan tarif tertentu bagi pemeran. Dari segi ekonomi, bagi pemeran sekali main cukup menguntungkan. Jika satu bulan dapat order 5 kali main, pemeran Surodenta dan Surontani dapat mengantongi Rp. 1.500.000 bersih dalam satu bulan.

 D.  PENUTUP 
Seni begalan di Banyumas merupakan pertunjukkan sebagai ketentuan adat yang digunakan untuk meramaikan upacara perkawinan. Kekhasan dan mutu seni begalan masyarakat Banyumas memiliki muatan multi fungsi, maka sangatlah layak dikatakan sebagai Kebudayaan Nasional Indonesia, sebagaimana rambu-rambu yang dikemukakan Kuntjaraningrat.
Fungsi seni begalan masyarakat Banyumas bila dipahami lebih jauh memiliki pembelajaran jauh ke depan, terutama bagi mempelai berdua. Bila tidak diselenggarakan begalan, kedua mempelai kurang atau buta akan hakekat kehidupan berumah tangga. Fungsi pendidikan disini sangat berperan dan bermanfaat bagi mempelai.  Fungsi-fungsi yang lain merupakan muatan budaya yang erat kaitannya dengan hiburan atau tontonan.

DAFTAR PUSTAKA


Adisarwono,S., Bambang S. Purwoko, BA. 1992. Sejarah Banyumas. Purwokerto :
UD Satria Utama

Arwan Tuti Artha, Heddy Shri Ahimsa-Putra. 2004. Sejuta Warisan Budaya.
Yogyakarta : Kunci Ilmu

Fuad Hasan. 1989. Renungan Budaya. Jakarta : Balai Pustaka

Koentjaraningrat. 2002. Kebudayaan Mentalitas dan Pembangunan. Jakarta : PT
Gramedia Pustaka Utama

Supriyadi, Drs. 1993. Begalan. Purwokerto : UD Satria Utama


WAWANCARA

A.      Informan
1.   Pelaku Seni Begalan di Desa Notog, Banyumas,
      Pada hari Minggu, tanggal 21 Desember 2008,
a.   Dibyo Suwignyo, pemeran Suradenta
b.   Nano, pemeran Surantani

2.      Sesepuh Budayawan Banyumas
Dalang Ki Sugino Siswocarito

B.      Kuesioner
No
Batir Pertanyaan
Jawaban informan
1
Mengapa opera rakyat Banyumas  ini menggunakan istilah begalan  ?


2
Bagimana riwayat timbulnya begalan di Banyumas ?


3
Bagaimana ketentuan pelaksanaan begalan ?


4
Apa fungsi begalan ?


5
Bagaimana dialog awal begalan ?



Khusus wawancara wayang dengan Ki Sugino Siswacarito telah dilakukan beberapa tahun yang lalu saat diskusi tentang misi dalam wayang.


Dialod Awal Seni Begalan
(Hasil wawancara tentang dialog Begalan Banyumas)


Suradenta   :       Tek pan panna kaya ana wong Nang ngarepku tur gawane rembyak-rembyak.
                           Sapa jenengmu, man? Ora semaur, tak glitho engko lo !
Surantani    :       Deneng ...... takon karo inyong apa ? Jenengku Surantani.
Suradenta   :       Rika sih arep maring ngendi ?
Surantani    :       Lo, lo, lo... Apa ko ora ngerti ?  Aku lagi diutus karo raja penganten kon jujugaken barang-barang kiye maring nggone raja penganten.
Suradenta   :       Ooo......   Sapa baen ora kena liwat dalan kene, kejaba kaki raja penganten...
Surantani    :       Lo, apa sebabe aku koh dadi ora olih  ?
Suradenta   :       Lo, ngerti apa ora, mbok kae ana ganar, sapa baen ora kena liwat dalan kene...
Surantani    :       Ooo....... mbok tekan manjat-manjat maring gunung tak lakoni  !


 Dialog terakhir merupakan sasmita gendhing atau tanda untuk minta iringan gendhing, ” mbok tekan manjat-manjat maring gunung tak lakoni” maksudnya minta gendhing Gunung Sari......  diikuti Suradenta dan Surantani menari.



Tidak ada komentar:

Posting Komentar