A.
PENDAHULUAN
Orang tua yang memiliki anak gadis
sekarang ini lebih was-was dengan suasana pergaulan bebas. Apalagi bila orang
tua baik si ayah maupun ibu sibuk dengan urusannya, anak gadis lepas kontrol.
Padahal pendidikan dalam keluarga, perhatian oang tua merupakan fundamen penanaman norma dan kaidah akhlakul kharimah.
Dunia pendidikan tidak cukup
menjamin untuk mampu membentengi pergaulan yang aman dan mulia. Satu sisi
cenderung banyak yang keliru memaknai emansipasi wanita itu artinya kedudukannya
sama dengan pria. Jelas-jelas Sang Pencipta menciptakan mahkluknya antara pria
dan wanita berbeda secara kodrati. Di sisi lain masih banyak orang tua dewasa
ini yang berpikiran kolot dan sempit dalam menyikapi suatu tradisi. Munculah
fenomena-fenomena penyimpangan sosial sebagai
dampak salah penanganan, menjadi berita yang laku keras dilayar kaca.
Orang tua seakan kewalahan, yang
kemudian para ibu yang memiliki anak gadis ingin belajar sejarah kembali dan
menarik kecaman atas tindakan memingit gadis pada masa dulu. Muncul adanya
pemikiran pembenaran terhadap perlakuan memingit gadis. Sosok Kartini dan Dewi
Sartika sah-sah saja berteriak bahwa dunia pingitan itu ibaratnya penjara dan
merupakan siksaan. Untuk era sekarang dunia pingitan bagi anak gadis perlu
ditinjau kembali dalam menyikapi, harus memiliki warna sendiri.
B.
TRADISI MEMINGIT GADIS
Tinjauan historis mencatat bahwa seorang
gadis sampai usia 10 tahun terutama dari golongan priyayi merupakan saat-saat
kehidupan yang menyenangkan. Mereka leluasa bermain dengan teman dan tempat
yang mereka senangi dalam batas-batas tertentu. Pendidikan yang mereka terima
pada umumnya cukup dengan pelajaran agama. Kewajiban untuk masuk sekolah belum
ada, karena sekolah jumlahnya masih sangat sedikit, yang diutamakan anak
laki-laki. Pendidikan anak perempuan menurut adat-istiadat lebih terikat kepada
lingkungan rumah.
Semua kebebasan dan pendidikan yang
dinikmati anak-anak gadis itu berakhir, begitu ia menginjak dewasa dan
menjelang pernikahan. Ukuran dewasa bagi gadis-gadis remaja yang hidup di
daerah tropis ini sangat cepat, sekitar 10 sampai 12 tahun. Mulailah ia
dipersiapkan untuk kehidupan berkeluarga dengan memasuki dunia pingitan.
Pingitan adalah dunia wanita, dimana
gadis-gadis kecil ini mulai belajar bekerja. Bidang pekerjaannya adalah
membantu ibu mereka mengasuh dan mengurus adik-adik mereka yang masih kecil,
belajar memasak dan menjahit, serta kecakapan-kecakapan lain yang perlu
dimiliki oleh seorang ibu rumah tangga. Rumah tangga adalah tiang masyarakat,
dan masyarakat adalah tiang Negara, sebab itu setiap wanita harus menjadi ibu
yang baik dan cakap dalam penanganan rumah tangga.
Pada waktu Kartini ditanya sahabatnya
yang bernama Stella tentang ‘masa pingitan’ ia bercerita :
Kau tanyakan
kepadaku, bagaimanakah keadaanku pada waktu aku terkurung dalam empat tembok yang
tebal. Menurut persangkaanmu, tentu aku tinggal di dalam terungku tau yang
serupa itu. Bukan Stella, penjaraku adalah rumah besar, dengan dikelilingi
halaman yang luas. Tetapi sekitar halaman itu terdapat pagar tembok yang
tinggi. Tembok inilah menjadi penjara kami. Bagaimana juga luasnya rumah dan
pekarangan kami, bila senantiasa harus tinggal di sana , sesak juga rasanya. Teringatlah aku,
betapa aku, oleh karena putus asa dan sedih hati yang tiada terhingga, lalu
menghempaskan badanku berulang-ulang kepada pintu yang senantiasa tertutup itu,
dan kepada dinding batu yang bengis itu, arah kemana juga aku pergi, setiap
kali terhenti juga jalanku oleh tembok batu atau pintu terkunci (Tashadi. 1985
: 39).
Barangkali kesedihan
Kartini dalam menjalani masa dipingit, bukan sekedar hidupnya dibatasi oleh dinding-dinding,
melainkan karena ia ditolak Bapaknya untuk melanjutkan sekolah. Menurut
keterangan adiknya, Kardinah Reksonegoro ( 1958 : 26 ), almarhumah Bakyu
Kartini banyak yang dinginkan, misalnya ingin belajar menjadi bidan, atau
belajar menjadi guru, tetapi tempat belajar di negeri Belanda, karena di sana
dapat belajar lain-lainnya yang diinginkan.
Bapaknya, Raden Mas Ario Adipati Sasraningrat belum berani melanggar
adat. Menurut anggapannya, bekal pengetahuan dan pendidikan yang diberikan
kepada anak-anak gadisnya semenjak mereka masih kanak-kanak sudah cukup. Mereka
tidak diperbolehkan menuntut ilmu lebih banyak lagi. Tetapi sesudah berumur 12
tahun, mereka harus meninggalkan masa kanak-kanaknya dan harus tinggal di
rumah. Tidak bedanya dengan gadis-gadis
yang lain, ia harus mematuhi adat yang berlaku pada waktu itu. Lebih-lebih ia
putri seorang bangsawan. Segala sesuatu selalu diperhatikan dan disorot oleh
masyarakat, baik tentang tindak-tanduk dan caranya bicara, maupun tentang
caranya berpakaian. Pendek kata ia selalu menjadi pusat perhatian masyarakat.
Ia tidak dapat bergerak bebas lagi. Ia harus tinggal di rumah hingga seseorang
datang melamarnya.
Pada masa pingitan, menurut adat,
gadis-gadis yang menjelang dewasa, terutama yang hidup di lingkungan bangsawan,
tidak diperbolehkan bergaul rapat dengan ayah-ibunya. Mereka harus menghormati,
tunduk dan patuh kepada ayah-ibunya dan saudara-saudaranya yang lebih tua.
Mereka harus senantiasa menurut perintah orang tua. Walau kadang-kadang
perintah-perintah itu tidak seluruhnya dapat diterima atau dibenarkan. Ia tidak
dapat lagi bergurau atau bercanda dengan orang tuanya seperti yang dilakukan
anak-anak zaman sekarang. Apalagi makan bersama dalam satu meja. Suasana
menjadi kaku dan asing. Mereka bersaudara dan hidup bersama-sama dalam satu
keluarga, tetapi hubungan sehari-hari dengan lingkungan keluarga mereka kaku.
Mereka sangat terikat oleh aturan-aturan adat yang harus ditaati dan di
laksanakan. Dibalik semua itu , akan muncul proses pematangan dan kemandirian
dalam mempersiapkan diri selaku pengelola rumah tangga, ketergantungan dan
pengaruh orang tua ataupun yang lebih tua akan lepas, siaplah untuk berumah
tangga nantinya.
C.
DAMPAK MEMINGIT GADIS
Secara umum, dampak dari memingit
gadis saat itu cenderung disoroti secara
negatif. Kemerosotan kedudukan wanita salah satu biangnya adalah dunia
pingitan. Sebagai pembanding bahwa dulu, kedudukan wanita dalam masyarakat
nusantara sempat mempunyai tempat yang sangat baik, mendapat penghargaan dan
derajat yang sama dengan kaum pria. Sejarah menunjukkan bahwa kepemimpinan
pernah dikuasai oleh kaum wanita, misalnya Ratu Sima dari kerajaan Keling,
Tribhuwana Tunggadewi dari wangsa Isyana, Suhita dari Majapahit dan Ratu
Kalinyamat dalam sejarah Demak.
Kemunduran dalam posisi wanita dalam
masyarakat dari memingit adalah
menimbulkan ekses-ekses, antara lain :
1. Mentradisi perkawinan anak-anak
2. Muncul kawin paksa
3. Poligami, system selir dan pergundikan
4. Mudahnya perceraian
5. mendorong kaum wanita ke prostitusi (Rochiati W. 1985 : 29)
Namun ada yang menyoroti bahwa
sebab-sebab perkawinan anak bukan ekses dari pingitan, melainkan :
1. Terdorong hasrat untuk menambah jumlah
keluarga
2. Kurangnya
pengetahuan atau tidak mengetahui sama sekali kerugian-kerugian akibat
perkawinan anak.
3. Tidak mau atau takut melanggar adapt.
4. Orang tua
si anak gadis ingin lekas punya menantu yang kuat bekerja di lading atau di
pasar sehingga meringankan tugas sang mertua.
5. Pandangan
rakyat bahwa status tidak menikah itu kurang baik atau tidak wajar, sehingga
hal itupun mendorong kea rah perkawinan muda usia.
Tinjauan lain bila dicermati, ada
sisi positif seorang gadis melewati dunia pingit setelah menginjak remaja.
Secara kodrati kedudukan wanitia sebagai istri nantinya harus matang mengenai
hak dan kewajibannya, tugasnya dan bidang garapannya. Oleh karena itu, manfaat
di masa pingitan adalah :
- Mendapatkan bekal mempersiapkan diri tugas pokok sebagai istri.
- Mampu menahan diri dan mengendalikan diri karena kodratnya.
- Sebagai wahana latihan untuk dapat membantu si suami melalui jalur posisi istri.
- mampu mengelola rumah tangga yang harmonis dan langgeng.
- Menghindari pergaulan bebas, kumpul kebo ataupun penyimpangan social yang lain.
- Menjunjung tinggi tradisi atau adat yang berlaku.
Tampaknya tokoh proklamator Republik
Indonesia ,
Ir. Sukarno, keberhasilannya menggapai posisi puncak tidak lepas dari peran
istri-istrinya yang sembilan orang itu. Terhitung dari Oetari, Inggit Garnasih,
Fatmawati, Hartini, Dewi ‘Syuga’, Haryati, Yurike Sanger, Kartini Manoppo dan
Heldy Djafar terlihat peran dan sumbangsihnya bagi perjuangan Soekarno. Kualitas
peran terlihat pada kematangan Ibu Inggit dan Ibu Fatma ( lihat Reni Nuryanti.
Dkk. 2007 : 43-98). Saat itu Sukarno membutuhkan peran ibu rumah tangga yang
paham akan tugas dan bidang garapannya, kewajibannya.
Bagaimana untuk sekarang ini dengan
munculnya Gank Nero, fenomena nikah siri, nikah anak ala Syek Puji, pemerkosaan
gadis di SMP satu atap di desa Kedung banteng, Banyumas, dan
peristiwa-peristiwa lain yang membuat ibu-ibu berdiri bulu romanya? Perlukah tradisi memingit diterapkan kembali
dengan corak yang mungkin ada sedikit toleransi, misalnya senantiasa diawasi
orang tua segala tindak-tanduknya, lebih terbuka untuk komunikasi dan ada
pendidikan khsusus tentang kerumahtanggaan ? Tidak perlu dijawab, cukup untuk
direnungkan…
D.
PENUTUP
Kontroversi tentang dunia memingit
gadis muncul setelah Kartini, dan Dewi Sartika ‘ memberontak’ tradisi. Mereka
menyerukan kaum wanita untuk diberi hak dan kedudukan yang sama dengan kaum
pria, terutama dalam meraih pendidikan. Kecaman terhadap perlakuan memingit
anak gadis adalah sesuatu yang dianggap menyiksa, tak ubahnya seperti penjara.
Namun bila melihat realita sekarang
dengan pergaulan bebas tanpa batas antara laki-laki dan perempuan, dampaknya
sangat mengejutkan. Bermuncullah penyimpangan social yang kala itu tidak ada.
Saat ini menjadi penyakit social yang sulit untuk diobati apalagi dicegah.
Jadi, masih relevankah seandainya
praktik memingit anak gadis diterapkan kembali demi menghindari kekhawatiran
ibu-ibu yang punya anak gadis ?
DAFTAR PUSTAKA
Kardinah Reksonegoro.1958. Tiga Saudara; Kartini, Roekmini,
Kardinah, Rembang
Pemerintah Kabupaten Baerah Tk.
II Rembang.
Lasmidjah Hardi. 1981. Sumbangsihku Bagi Pertiwi. Jakarta ; PT Dunia Pustaka
Jaya
Reni Nuryanti, dkk. 2007. Istri-istri Sukarno, Yogyakarta :
Pernerbit Ombak
Rochiati Wiriaatmadja. 1985. Dewi Sartika. Jakarta ; Departemen
Pendidikan dan
Kebudayaan
Tashadi.1985. RA Kartini, Jakarta ; Departemen Pendidikan dan
Kebudayaan
Tidak ada komentar:
Posting Komentar