Total Tayangan Halaman

Senin, 30 Januari 2012

PEMBABAKAN SEJARAH BANYUMAS


  1. Kebudayaan Banyumas
            Jenis Budaya Banyumas yang dapat diungkap dan disajikan secara ringkas meliputi babad atau sejarah, tradisi, seni dan cagar budaya. Pembabakan atau periodesasi cerita rakyat yang diyakini memiliki fakta disusun secara kronologis adalah sebagai berikut.
1)   Sejarah Banyumas Prakolonial
            Budiono Herusatoto (2008:31-49) mendeskripsikan sejarah Banyumas prakolonial dalam kronologi dan pembabakan sebagai berikut :
 a)   Babad Pasir Luhur Zaman Hindu
Babad Pasir Luhur merupakan awal dari percaturan sejarah lokal dan menjadi sumber legalitas dari para elit penguasa di wilayah barat daya Jawa bagian tengah, yang kini bernama Banyumas. Babad Pasir Luhur menuturkan kisah dari zaman Kerajaan Pakuan Parahiyangan (Pajajaran) di Jawa Barat bagian timur sejak pemerintahan Sri Prabu Langgawesi Dewa Niskala (1466-1474), yang kemudian dilanjutkan oleh puteranya Sri Prabu Linggawastu Ratu Purana Jaya Dewata (1474-1513). 
            Sri Prabu Linggawastu memiliki empat putera, yaitu :
(1)   Raden Harya Banyak Catra.
(2)   Raden Harya Banyak Blabur.
(3)   Raden Harya Banyak Ngampar.
(4)   Dewi Rena Pamekas.
            Cerita Kamandaka (Lutung Kasarung atau Banyak Catra) merupakan identitas penting sebagai alat penelusur silsilah Pasir (yang merupakan salah satu wilayah di bagian barat Purwokerto) dengan Pajajaran. Menurut silsilah Babad Pasir, yang menjadi Adipati Pasir Luhur hanya sampai pada keturunan keenam, yang dimulai dari Adipati Banyak Catra (Kamandaka), Adipati Banyak Wirata, Adipati Banyak Rama, Adipati Banyak Kesumba, Adipati Banyak Belanak dan Banyak Thole. Setelah masa penyebaran Islam, pada generasi kelima (Banyak Belanak), Pasir Luhur berada di bawah pengaruh Demak. Dengan demikian babakan zaman Hindu dan kekuasaan Kerajaan Majapahit berakhir dan memasuki zaman pra-Islam.
            Pasir Luhur yang notabene Islam saat itu, membantu dalam penyebaran Islam dan pembangunan Masjid Demak. Karena jasanya yang dianggap cukup besar, Banyak Belanak diberi gelar Pangeran Senapati Mangkubumi I oleh Sultan Demak.
                  b)   Babad Wirasaba I Zaman Hindu
Babad Wirasaba menceritakan asal-usul Jaka Katuhu dan Raden Paguwon (Adipati Wirahudaya) yang saat itu menjadi Adipati I di Kadipaten Wirasaba I (abad ke-15). Wilayah Kadipaten Wirasaba I saat itu merupakan bagian wilayah Kerajaan Majapahit II (1429-1522), tepatnya pada masa pemerintahan Prabu Kertabumi-Brawijaya V (1468-1478). Sampai saat wafatnya Adipati Wirahudaya, Kadipaten Wirasaba I merupakan kadipaten yang tentram dan makmur.
Ketika Adipati Anom Wirautama menjabat Adipati II, Kadipaten Wirasaba I itu, wilayahnya hingga batas Gunung Sindoro-Sumbing. Kadipaten Ageng Wirasaba selalu ambal-tinambal (berganti-ganti), dipimpin oleh putera, wayah, buyut, canggah, wareng (lima keturunan trah Wirautama I), yaitu Adipati Wirasaba III, Raden Jaka Hurang, bergelar Adipati Wirautama II, Adipati Wirasaba IV, Raden Jaka Surawin bergelar Adipati Wirautama III, Adipati Wirasaba V, Raden Jaka Tambangan bergelar Kiai Raden Adipati Surautama, dan Adipati Wirasaba VI, Raden Jaka Suwarga, bergelar Kiai Adipati Wargautama I.
                  c)   Babad Pasirbatang Zaman Islam
   Setelah zaman Hindu berakhir (keturunan kedelapan trah Kamandaka, Adipati Banyak Belanak), Pasir Luhur berada di bawah kekuasaan Demak. Didampingi Pangeran Makedum Wali dari Demak, Banyak Belanak berhasil mengembangkan agama Islam sampai ke Tanah Pasundan (Parahiyangan). Rakyat di daerah Kelundhung Bentar, Endralaya, Batulaya, Timbanganten, Ukur, dan Cibalunggung berhasil di Islamkan.
Setelah zaman Adipati Banyak Belanak, trah Kamandaka lenyap akibat ulah putranya sendiri, Raden Arya Banyak Thole yang membangkang dan murtad kembali memeluk Hindu. Ia membunuh ayahnya sendiri dengan cara dikubur hidup-hidup saat tengah sakit. Karena alasan itu, Kadipaten Pasirbatang diserbu pasukan Demak, dan ia melarikan diri.
Patih dari Adipati Banyak Belanak dan sempat juga menjadi Patih dari Adipati Banyak Thole, yang bernama Banyak Geleh alias Patih Wirakencana, diberi kekuasaan penuh untuk mewakili Sultan Demak, menggantikan jabatan sebagai Adipati Pasir. Sejak itulah dalem Kadipaten Pasirluhur pindah dan nama wilayahnya disebut Kadipaten Pasirbatang. Praktis garis keturunan/silsilah keluarga kerajaan pun berganti, dan dimulai dari Adipati Wirakencana tersebut.    
d)   Babad Wirasaba II Zaman Islam
   Pada zaman Kraton Pajang abad ke-16 (1546-1586), tepat setelah masuknya era Islam, yang menjadi Adipati Wirasaba adalah Kiai Adipati Wargautama. Ia memiliki lima putera; Raden Ayu Kartimah, Ngabehi Wargawijaya, Ngabehi Wirakusuma, Ngabehi Wirayuda, dan Raden Rara Sukartiyah. Disebutkan,  Raden Ayu Kartimah dikawinkan dengan Raden Jaka Kaiman yang berasal dari trah keturunan Kadipaten Pasirbatang, dari silsilah Pangeran Senapati Mangkubumi II (Adipati Arya Wirakencana) yang diangkat anak dan juga sebagai murid dari Ki Tolih.   
   Sejak tahun 1582, Jaka Kaiman  (Adipati Wargautama II) menggantikan Kiai Adipati Wargautama. Ia membagi  Kadipaten Wirasaba II  menjadi  empat wilayah. Selanjutnya keempat wilayah tersebut diberikan kepada saudara-saudara iparnya (putera Adipati Wargautama I), sedangkan ia sendiri ditetapkan oleh Sultan Hadiwijaya sebagai Wedana Bupati yang menkoordinir keempat wilayah itu. Karena tindakannya membagi wilayah kadipaten menjadi empat wilayah itu pula, ia kemudian diberi gelar sebagai Adipati Mrapat,  oleh rakyat. Artinya, orang yang membagi menjadi empat.
                                   Empat wilayah pembagian dari kadipaten Wirasaba II adalah  :
(1)  Daerah Wirasaba, utara sungai Serayu-Pegunungan Perahu (Sokaraja Lor, Wirasaba, Kali Merawu) diserahkan kepada Ngabehi Wargawijaya, yang kemudian dibangun menjadi Kabupaten Purbalingga.
(2)   Daerah Merden, asal kata wedhen, mredhen; pesisir laut (Kali Citanduy, Pegunungan Kendeng, pesisir Laut Kidul) diserahkan kepada Ngabehi Wirakusuma, yang kemudian dibangun menjadi Kabupaten Cilacap.
(3)   Wilayah Banjar Pertambakan (kali Merawu, dataran tinggi Dieng, pegunungan Kendheng) diserahkan kepada Ngabehi Wirayuda, yang kemudian dibangun menjadi Kabupaten Banjarnegara.
(4)   Sedangkan Adipati Wargautama II mendapatkan wilayah Kejawar (selatan pegunungan Perahu, Ajibarang, Wangon, Sampang, Tambak, Kali Bodo) yang kemudian dibangun menjadi Kabupaten Banyumas. Adipati wargautama II kemudian membangun ibu kota kabupaten di sebelah barat Kejawar. 
2)  Sejarah Banyumas  Masa Kolonial
                  a)  Banyumas Zaman VOC
         Pada masa Sultan Agung Hanyakrakusuma (1613-1645) kabupaten-kabupaten di wilayah barat dijadikan sebagai lumbung (gudang logistik). Daerah-daerah penghasil padi itu terbentang dari Nusawungu sampai Kawunganten  yang cukup banyak menghasilkan padi guna memenuhi kebutuhan pangan prajurit Mataram yang melakukan penyerbuan ke pusat kekuasaan Kompeni Belanda (VOC) di Batavia (Budiono Herusatoto, 2008:65).
Disebutkan pula bahwa  Kabupaten Banyumas dipimpin oleh Bupati Banyumas IV, Mertayuda (putera Mertasura/Janah II)  ikut serta dalam perjuangan Sultan Agung melawan VOC, yaitu ketika melakukan penyerbuan ke Benteng Belanda pada tahun 1628 dan 1629. Atas peranan pentingnya itu, Mertayuda diberi gelar Tumenggung. Sejak itulah sejarah Banyumas muncul dalam kerangka sejarah Jawa.

b)  Banyumas Zaman Kolonial Belanda
Kekuasaan Belanda di Banyumas merupakan imbas dari Perang Diponegoro. Ketika berkecamuk perang tersebut  antara tahun 1825 sampai 1830, seorang lurah prajurit bernama Singadipa, Wedana Ajibarang, menjadi andalan Pangeran Diponegoro. Perjuangan heroiknya adalah saat berhasil menghancurkan benteng Margalayu milik Belanda di daerah Karangbolong, dengan mengerahkan kekuatan 600 prajurit (Tim DHC BPP-JSN 45 Banyumas, 2004:2-3).
 Perang Diponegoro berakhir pada tahun 1830. Menurut Purnawan Basundoro (2009:4), ketika perlawanan Pangeran Diponegoro bisa dipadamkan (dengan tipu muslihat Belanda), Belanda menderita kerugian yang amat besar. Dari segi finansial mereka telah menanggung beban untuk biaya perang sebesar 30.000.000 Gulden, belum termasuk biaya khusus untuk keperluan militer mereka yang berjumlah tidak kurang dari 2.000.000 Gulden. Jumlah korban jiwa selama peperangan tersebut juga luar biasa banyak. Tidak kurang dari 8.000 serdadu berkebangsaan Eropa serta tidak kurang dari 7.000 serdadu pribumi tewas. Kurang lebih 200.000 rakyat Jawa juga tewas, yang menyebabkan penduduk Yogyakarta menyusut separuh seusai peperangan tersebut.
Dengan pertimbangan itu, Belanda beranggapan bahwa segala biaya dan kerugian yang dikeluarkan oleh Belanda juga menjadi tanggung jawab kedua kerajaan yang dibelanya. Belanda tidak mau begitu saja melepaskan Surakarta dari persoalan ini, walaupun sebenarnya urusan pemberontakan Pangeran Diponegoro adalah persoalan antara Kerajaan Yogyakarta dengan Belanda.
Kerugian sangat besar yang diderita oleh Belanda hampir seluruhnya dibebankan kepada pihak kerajaan. Sedangkan kerajaan sendiri tidak memiliki uang untuk menebus kerugian Belanda tersebut. Sebagai gantinya, Belanda minta sebagian wilayah yang menjadi kekuasaan kerajaan. Yaitu wilayah mancanegara barat terdiri atas Banyumas, Bagelen, dan wilayah mancanegara timur yang mencakup Kediri, Madiun.
Sebagai langkah awal dalam rangka pengambilalihan wilayah mancanegara, pemerintah kolonial Belanda membentuk komisi urusan tanah-tanah kerajaan (Commisie ter Regeling der Zaken) di Surakarta.  Sebagian wilayah Kerajaan Surakarta akan ikut diambil alih oleh Belanda, walaupun sebenarnya Pangeran Diponegoro berasal dari Kerajaan Yogyakarta. Alasannya, selama berlangsung perang Diponegoro terpaksa mereka juga harus melindungi Kerajaan Surakarta.
Pada tangal 24 Mei 1830, sebelum diperoleh kesepakatan mengenai pengambilalihan tanah-tanah mancanegara tersebut, salah seorang anggota komisi, J.J. Sevenhoven, secara sepihak menunjuk Residen Pekalongan M.H. Hallewijn mempersiapkan penyelenggaraan pemerintahan sipil di Banyumas dan distrik-distrik di sekitarnya. Ketika Hallewijn tiba di Banyumas pada tanggal 13 Juni 1830, kepala perwakilan sementara pemerintahan Belanda di Banyumas, Borger, yang merupakan anak buah Residen Tegal van Poel, tidak mau mengadakan serah terima jabatan dengan alasan tidak mendapat perintah dari atasannya. Walaupun demikian ia tetap mau menjalankan setiap perintah dari penguasa yang baru.
Di Banyumas, persiapan pengambilalihan pemerintahan berlangsung terus tanpa seijin Susuhunan di Surakarta. Pada tanggal 15 Juni 1830, Hallewijn minta kepada seluruh bupati di wilayah Banyumas untuk menyerahkan piagam pengangkatannya sebagai bupati dari Kerajaan Surakarta dan Yogyakarta. Baru pada tanggal 22 Juni 1830, pemerintah kolonial Belanda mengadakan perjanjian dengan raja di Surakarta. Dengan perjanjian ini maka secara resmi wilayah mancanegara barat diserahkan kepada pemerintah kolonial Belanda.
Pemerintah kolonial Belanda tampaknya masih cukup baik hati kepada Kerajaan Surakarta dan Yogyakarta, dengan memberikan kompensasi atas diambilnya daerah mancanegara. Kompensasi bagi pengambilalihan  wilayah Banyumas sebesar 90.000 Gulden. Uang tersebut diberikan kepada  Kerajaan Surakarta sebesar 80.000 Gulden dan kepada Kerajaan Yogyakarta sebesar 10.000 Gulden. Sejak saat itu, wilayah Banyumas berada di bawah kekuasaan kolonial Belanda (http://basundoro.blog.unair.ac.id/2009/01/31/sisi-terang-kolonialisme-belanda-di-banyumas/).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar