- Kebudayaan
Banyumas
Jenis
Budaya Banyumas yang dapat diungkap dan disajikan secara ringkas meliputi babad
atau sejarah, tradisi, seni dan cagar budaya. Pembabakan atau periodesasi cerita
rakyat yang diyakini memiliki fakta disusun secara kronologis adalah sebagai
berikut.
1) Sejarah Banyumas Prakolonial
Budiono
Herusatoto (2008:31-49) mendeskripsikan sejarah Banyumas prakolonial dalam
kronologi dan pembabakan sebagai berikut :
a) Babad Pasir Luhur Zaman Hindu
Babad Pasir
Luhur merupakan awal dari percaturan sejarah lokal dan menjadi sumber legalitas
dari para elit penguasa di wilayah barat daya Jawa bagian tengah, yang kini
bernama Banyumas. Babad Pasir Luhur menuturkan kisah dari zaman Kerajaan Pakuan
Parahiyangan (Pajajaran) di Jawa Barat bagian timur sejak pemerintahan Sri
Prabu Langgawesi Dewa Niskala (1466-1474), yang kemudian dilanjutkan oleh
puteranya Sri Prabu Linggawastu Ratu Purana Jaya Dewata (1474-1513).
Sri Prabu Linggawastu
memiliki empat putera, yaitu :
(1) Raden Harya Banyak Catra.
(2) Raden Harya Banyak Blabur.
(3) Raden Harya Banyak Ngampar.
(4) Dewi Rena Pamekas.
Cerita Kamandaka (Lutung Kasarung
atau Banyak Catra) merupakan identitas penting sebagai alat penelusur silsilah
Pasir (yang merupakan salah satu wilayah di bagian barat Purwokerto) dengan
Pajajaran. Menurut silsilah Babad
Pasir, yang menjadi Adipati Pasir Luhur hanya sampai pada keturunan keenam,
yang dimulai dari Adipati Banyak Catra (Kamandaka), Adipati Banyak Wirata,
Adipati Banyak Rama, Adipati Banyak Kesumba, Adipati Banyak Belanak dan Banyak
Thole. Setelah masa penyebaran Islam, pada generasi kelima (Banyak Belanak),
Pasir Luhur berada di bawah pengaruh Demak. Dengan demikian babakan zaman Hindu
dan kekuasaan Kerajaan Majapahit berakhir dan memasuki zaman pra-Islam.
Pasir Luhur yang notabene Islam saat
itu, membantu dalam penyebaran Islam dan pembangunan Masjid Demak. Karena
jasanya yang dianggap cukup besar, Banyak Belanak diberi gelar Pangeran
Senapati Mangkubumi I oleh Sultan Demak.
b)
Babad Wirasaba I Zaman Hindu
Babad
Wirasaba menceritakan asal-usul Jaka Katuhu dan Raden Paguwon (Adipati
Wirahudaya) yang saat itu menjadi Adipati I di Kadipaten Wirasaba I (abad
ke-15). Wilayah Kadipaten Wirasaba I saat itu merupakan bagian wilayah Kerajaan
Majapahit II (1429-1522), tepatnya pada masa pemerintahan Prabu
Kertabumi-Brawijaya V (1468-1478). Sampai saat wafatnya Adipati Wirahudaya,
Kadipaten Wirasaba I merupakan kadipaten yang tentram dan makmur.
Ketika Adipati
Anom Wirautama menjabat Adipati II, Kadipaten Wirasaba I itu, wilayahnya hingga
batas Gunung Sindoro-Sumbing. Kadipaten Ageng Wirasaba selalu ambal-tinambal (berganti-ganti),
dipimpin oleh putera, wayah, buyut, canggah, wareng (lima
keturunan trah Wirautama I), yaitu Adipati Wirasaba III, Raden Jaka Hurang,
bergelar Adipati Wirautama II, Adipati Wirasaba IV, Raden Jaka Surawin bergelar
Adipati Wirautama III, Adipati Wirasaba V, Raden Jaka Tambangan bergelar Kiai
Raden Adipati Surautama, dan Adipati Wirasaba VI, Raden Jaka Suwarga, bergelar
Kiai Adipati Wargautama I.
c) Babad Pasirbatang Zaman Islam
Setelah
zaman Hindu berakhir (keturunan kedelapan trah Kamandaka, Adipati Banyak
Belanak), Pasir Luhur berada di bawah kekuasaan Demak. Didampingi Pangeran
Makedum Wali dari Demak, Banyak Belanak berhasil mengembangkan agama Islam
sampai ke Tanah Pasundan (Parahiyangan). Rakyat di daerah Kelundhung Bentar,
Endralaya, Batulaya, Timbanganten, Ukur, dan Cibalunggung berhasil di Islamkan.
Setelah
zaman Adipati Banyak Belanak, trah Kamandaka lenyap akibat ulah putranya
sendiri, Raden Arya Banyak Thole yang membangkang dan murtad kembali memeluk
Hindu. Ia membunuh ayahnya sendiri dengan cara dikubur hidup-hidup saat tengah sakit.
Karena alasan itu, Kadipaten Pasirbatang diserbu pasukan Demak, dan ia melarikan
diri.
Patih dari
Adipati Banyak Belanak dan sempat juga menjadi Patih dari Adipati Banyak Thole,
yang bernama Banyak Geleh alias Patih Wirakencana, diberi kekuasaan penuh untuk
mewakili Sultan Demak, menggantikan jabatan sebagai Adipati Pasir. Sejak itulah
dalem Kadipaten Pasirluhur pindah dan nama wilayahnya disebut Kadipaten
Pasirbatang. Praktis garis
keturunan/silsilah keluarga kerajaan pun berganti, dan dimulai dari Adipati
Wirakencana tersebut.
d) Babad Wirasaba II Zaman Islam
Pada zaman Kraton Pajang abad ke-16
(1546-1586), tepat setelah masuknya era Islam, yang menjadi Adipati Wirasaba
adalah Kiai Adipati Wargautama. Ia memiliki lima putera; Raden Ayu Kartimah,
Ngabehi Wargawijaya, Ngabehi Wirakusuma, Ngabehi Wirayuda, dan Raden Rara
Sukartiyah. Disebutkan, Raden Ayu
Kartimah dikawinkan dengan Raden Jaka Kaiman yang berasal dari trah keturunan
Kadipaten Pasirbatang, dari silsilah Pangeran Senapati Mangkubumi II (Adipati
Arya Wirakencana) yang diangkat anak dan juga sebagai murid dari Ki Tolih.
Sejak tahun 1582, Jaka Kaiman (Adipati Wargautama II) menggantikan Kiai
Adipati Wargautama. Ia membagi Kadipaten
Wirasaba II menjadi empat wilayah. Selanjutnya keempat wilayah
tersebut diberikan kepada saudara-saudara iparnya (putera Adipati Wargautama
I), sedangkan ia sendiri ditetapkan oleh Sultan Hadiwijaya sebagai Wedana
Bupati yang menkoordinir keempat wilayah itu. Karena tindakannya membagi wilayah
kadipaten menjadi empat wilayah itu pula, ia kemudian diberi gelar sebagai
Adipati Mrapat, oleh rakyat. Artinya,
orang yang membagi menjadi empat.
Empat wilayah pembagian dari kadipaten
Wirasaba II adalah :
(1) Daerah Wirasaba, utara sungai
Serayu-Pegunungan Perahu (Sokaraja Lor, Wirasaba, Kali Merawu) diserahkan
kepada Ngabehi Wargawijaya, yang kemudian dibangun menjadi Kabupaten
Purbalingga.
(2) Daerah Merden, asal kata wedhen, mredhen; pesisir laut (Kali Citanduy, Pegunungan Kendeng, pesisir
Laut Kidul) diserahkan kepada Ngabehi Wirakusuma, yang kemudian dibangun
menjadi Kabupaten Cilacap.
(3) Wilayah Banjar Pertambakan (kali Merawu,
dataran tinggi Dieng, pegunungan Kendheng) diserahkan kepada Ngabehi Wirayuda,
yang kemudian dibangun menjadi Kabupaten Banjarnegara.
(4) Sedangkan Adipati Wargautama II mendapatkan
wilayah Kejawar (selatan pegunungan Perahu, Ajibarang, Wangon, Sampang, Tambak,
Kali Bodo) yang kemudian dibangun menjadi Kabupaten Banyumas. Adipati
wargautama II kemudian membangun ibu kota kabupaten di sebelah barat
Kejawar.
2) Sejarah Banyumas Masa Kolonial
a) Banyumas
Zaman VOC
Pada masa Sultan Agung Hanyakrakusuma (1613-1645)
kabupaten-kabupaten di wilayah barat dijadikan sebagai lumbung (gudang
logistik). Daerah-daerah penghasil padi itu terbentang dari Nusawungu sampai
Kawunganten yang cukup banyak
menghasilkan padi guna memenuhi kebutuhan pangan prajurit Mataram yang
melakukan penyerbuan ke pusat kekuasaan Kompeni Belanda (VOC) di Batavia (Budiono
Herusatoto, 2008:65).
Disebutkan
pula bahwa Kabupaten Banyumas dipimpin
oleh Bupati Banyumas IV, Mertayuda (putera Mertasura/Janah II) ikut serta dalam perjuangan Sultan Agung
melawan VOC, yaitu ketika melakukan penyerbuan ke Benteng Belanda pada tahun
1628 dan 1629. Atas peranan
pentingnya itu, Mertayuda diberi gelar Tumenggung. Sejak itulah sejarah
Banyumas muncul dalam kerangka sejarah Jawa.
b) Banyumas Zaman Kolonial Belanda
Kekuasaan Belanda di Banyumas merupakan
imbas dari Perang Diponegoro. Ketika berkecamuk perang tersebut antara tahun 1825 sampai 1830, seorang lurah prajurit
bernama Singadipa, Wedana Ajibarang, menjadi andalan Pangeran Diponegoro.
Perjuangan heroiknya adalah saat berhasil menghancurkan benteng Margalayu milik
Belanda di daerah Karangbolong, dengan mengerahkan kekuatan 600 prajurit (Tim
DHC BPP-JSN 45 Banyumas, 2004:2-3).
Perang Diponegoro berakhir pada tahun
1830. Menurut Purnawan Basundoro (2009:4), ketika perlawanan Pangeran
Diponegoro bisa dipadamkan (dengan tipu muslihat Belanda), Belanda menderita
kerugian yang amat besar. Dari
segi finansial mereka telah menanggung beban untuk biaya perang sebesar
30.000.000 Gulden, belum termasuk biaya khusus untuk keperluan militer mereka
yang berjumlah tidak kurang dari 2.000.000 Gulden. Jumlah korban jiwa selama
peperangan tersebut juga luar biasa banyak. Tidak kurang dari 8.000 serdadu
berkebangsaan Eropa serta tidak kurang dari 7.000 serdadu pribumi tewas. Kurang
lebih 200.000 rakyat Jawa juga tewas, yang menyebabkan penduduk Yogyakarta
menyusut separuh seusai peperangan tersebut.
Dengan pertimbangan itu, Belanda beranggapan
bahwa segala biaya dan kerugian yang dikeluarkan oleh Belanda juga menjadi
tanggung jawab kedua kerajaan yang dibelanya. Belanda tidak mau begitu saja
melepaskan Surakarta dari persoalan ini, walaupun sebenarnya urusan
pemberontakan Pangeran Diponegoro adalah persoalan antara Kerajaan Yogyakarta
dengan Belanda.
Kerugian sangat besar yang diderita oleh
Belanda hampir seluruhnya dibebankan kepada pihak kerajaan. Sedangkan kerajaan
sendiri tidak memiliki uang untuk menebus kerugian Belanda tersebut. Sebagai
gantinya, Belanda minta sebagian wilayah yang menjadi kekuasaan kerajaan. Yaitu
wilayah mancanegara barat terdiri atas Banyumas, Bagelen, dan wilayah mancanegara
timur yang mencakup Kediri, Madiun.
Sebagai langkah awal dalam rangka
pengambilalihan wilayah mancanegara, pemerintah kolonial Belanda membentuk
komisi urusan tanah-tanah kerajaan (Commisie ter Regeling der Zaken)
di Surakarta. Sebagian wilayah Kerajaan Surakarta akan ikut diambil alih
oleh Belanda, walaupun sebenarnya Pangeran Diponegoro berasal dari Kerajaan
Yogyakarta. Alasannya, selama berlangsung perang Diponegoro terpaksa mereka juga
harus melindungi Kerajaan Surakarta.
Pada tangal 24 Mei 1830, sebelum diperoleh
kesepakatan mengenai pengambilalihan tanah-tanah mancanegara tersebut,
salah seorang anggota komisi, J.J. Sevenhoven, secara sepihak menunjuk Residen
Pekalongan M.H. Hallewijn mempersiapkan penyelenggaraan pemerintahan sipil di
Banyumas dan distrik-distrik di sekitarnya. Ketika Hallewijn tiba di Banyumas
pada tanggal 13 Juni 1830, kepala perwakilan sementara pemerintahan Belanda di
Banyumas, Borger, yang merupakan anak buah Residen Tegal van Poel, tidak mau
mengadakan serah terima jabatan dengan alasan tidak mendapat perintah dari
atasannya. Walaupun demikian ia tetap mau menjalankan setiap perintah dari
penguasa yang baru.
Di Banyumas, persiapan pengambilalihan
pemerintahan berlangsung terus tanpa seijin Susuhunan di Surakarta. Pada
tanggal 15 Juni 1830, Hallewijn minta kepada seluruh bupati di wilayah Banyumas
untuk menyerahkan piagam pengangkatannya sebagai bupati dari Kerajaan Surakarta
dan Yogyakarta. Baru pada tanggal 22 Juni 1830, pemerintah kolonial Belanda
mengadakan perjanjian dengan raja di Surakarta. Dengan perjanjian ini maka
secara resmi wilayah mancanegara barat diserahkan kepada pemerintah
kolonial Belanda.
Pemerintah kolonial Belanda tampaknya
masih cukup baik hati kepada Kerajaan Surakarta dan Yogyakarta, dengan memberikan
kompensasi atas diambilnya daerah mancanegara. Kompensasi bagi
pengambilalihan wilayah Banyumas sebesar 90.000 Gulden. Uang tersebut
diberikan kepada Kerajaan Surakarta sebesar 80.000 Gulden dan kepada
Kerajaan Yogyakarta sebesar 10.000 Gulden. Sejak saat itu, wilayah Banyumas berada
di bawah kekuasaan kolonial Belanda (http://basundoro.blog.unair.ac.id/2009/01/31/sisi-terang-kolonialisme-belanda-di-banyumas/).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar