A. PENDAHULUAN
Masyarakat In donesia sebagian besar melihat periode kolonial
Belanda hanya dari satu sisi saja, yaitu sisi gelapnya. Periode kolonial hanya
semata-mata dianggap sebagai periode ekploitasi yang menguras habis kekayaan
dan merendahkan martabat bangsa Indonesia .
Pandangan semacam ini tidak salah karena pada kenyataannya sejak
diberlakukannya sistem tanam paksa (cultuurstelsel) tahun 1830
eksploitasi terhadap sumber daya ekonomi bangsa Indonesia terus dilakukan.
Eksploitasi besar-besaran terhadap sumber daya ekonomi tersebut telah
menciptakan trauma yang amat mendalam bagi sebagian besar rakyat Indonesia .
Para petani diperas habis-habisan baik tenaga
kerja maupun tanah yang mereka miliki.
Terlepas dari
pandangan sebagian besar masyarakat yang hanya tertuju pada sisi gelapnya saja,
periode kolonial Belanda di Indonesia juga memiliki sisi terangnya. Bisa jadi
sisi terang ini hanya dinikmati atau diketahui oleh segelintir orang, namun
bisa jadi sisi tersebut sebenarnya menjadi petunjuk jalan bagi bangsa Indonesia untuk menapaki jalan-jalan menuju Indonesia
yang terang secara keseluruhan. Makalah ini tidak bermaksud untuk menjadi
pembenar bagi sistem kolonial yang oleh sebagian besar masyarakat sangat
menekan dan melahirkan traumatik yang mendalam, tetapi hanya ingin menunjukkan
bahwa apapun bentuknya sebuah sistem budaya yang baru pasti membawa
bagian-bagian yang mencerahkan bagi peradaban manusia. Pesan yang terpenting
adalah bahwa kita juga harus adil dalam memandang sejarah masa lalu bangsa
kita. Banyumas akan menjadi contoh dari kasus ini.
B. KEKUASAAN BELANDA DI
BANYUMAS
Kekuasaan
Belanda di Banyumas merupakan imbas dari Perang Diponegoro. Ketika Perang
Diponegoro berakhir pada tahun 1830, pihak Belanda ternyata minta kompensasi
kepada dua kerajaan di Jawa yaitu Yogyakarta dan Surakarta . Perlawanan Pangeran Diponegoro
dalam pandangan pemerintah kolonial bukan semata-mata sebuah perlawanan
terhadap kekuasaan kolonial di Jawa, tetapi juga merupakan pemberontakan terhadap
raja yang sedang berkuasa di dua kerajaan tersebut. Dengan demikian maka
apabila merunut pendapat tersebut usaha pemerintah kolonial menumpas perlawanan
Pangeran Diponegoro bukan semata-mata untuk melindungi kepentingan mereka,
tetapi juga sebuah usaha untuk membantu raja Yogyakarta dan Surakarta
mempertahankan kekuasaannya dari rongrongan pemberontak yang digerakan oleh
kerabat kerajaan.
Sebagai
langkah awal untuk pengambilalihan daerah mancanegara, pemerintah kolonial
Belanda kemudian membentuk komisi urusan tanah-tanah kerajaan (Commisie ter
Regeling der Zaken) di Surakarta .
Sebagian wilayah Kerajaan Surakarta
akan ikut diambil alih oleh pihak Belanda, walaupun sebenarnya Pangeran
Diponegoro berasal dari Kerajaan Yogyakarta. Alasan pihak Belanda adalah bahwa
selama berlangsungnya perang Diponegoro terpaksa mereka terus-menerus
melindungi kerajaan Surakata.
Di Banyumas
sendiri persiapan pengambilalihan pemerintahan berlangsung terus tanpa seijin
Susuhunan di Surakarta. Pada tanggal 15 Juni 1830, Hallewijn minta kepada
seluruh bupati di wilayah Banyumas untuk menyerahkan piagam pengangkatanya
sebagai bupati dari Kerajaan Surakarta dan Yogyakarta .
Baru pada tanggal 22 Juni 1830, pemerintah kolonial Belanda mengadakan
perjanjian dengan raja di Surakarta .
Dengan perjanjian ini maka secara resmi wilayah mancanegara barat
diserahkan kepada pemerintah kolonial Belanda. Pemerintah kolonial Belanda
nampaknya masih cukup baik hati kepada Kerajaan Surakarta
dan Yogyakarta , karena mereka ternyata memberi
kompensasi atas diambilnya daerah mancanegara. Pengambilalihan
wilayah Banyumas ditukar dengan kompensasi sebesar 90.000 Gulden. Uang tersebut
diberikan kepada pihak Kerajaan Surakarta
sebesar 80.000 Gulden dan kepada pihak Kerajaan Yogyakarta
sebesar 10.000 Gulden. Gara-gara
Pangeran Diponegoro kalah melawan Belanda maka wilayah Banyumas harus rela
menjadi barang tebusan, atau istilahnya menjadi barang gadaian. Sejak saat ini
maka wilayah Banyumas diperintah oleh kekuasaan kolonial Belanda.
Jendral De
Kock mengunjungi Banyumas pada bulan November 1831 dan dengan Keputusan
Gubernur Jendral van Den Bosch, tertanggal 18 Desember 1831 dibentuklah
karesidenan Banyumas yang terdiri atas 5 kabupaten, yaitu : Banyumas,
Ajibarang, Purbolinggo, Banjarnegara dan Majenang. Kabupaten Banyumas masa itu
terdiri atas 3 distrik, yaitu : Banyumas, Adirejo dan Purworejo Klampok
(Adisarwono, Bambang S. Purwoko. 1992 : 31)
C. LAYANAN KESEHATAN
TRADISIONAL
Sebelum orang-orang Belanda datang di Banyumas masyarakat
daerah ini belum mengenal sistem pengobatan modern. Fasilitas kesehatan
modern berupa rumah sakit juga belum ada. Jika ada orang sakit maka
pengobatannya dengan cara tradisional dengan memanfaatkan tabib atau dukun.
Mungkin untuk penyakit-penyakit ringan hanya menanfaatkan obat-obatan
tradisional berupa ramuan jamu-jamuan dari tumbuh-tumbuhan yang ada di sekitar
mereka. Dalam alam pikiran tradisional penyakit yang tidak kelihatan semisal
sakit panas yang berkepanjangan biasanya selalu dikaitkan dengan roh-roh halus,
seperti kesambet, kena sawan, kesurupan, ketempelan
jin dan lain-lain. Cara pengobatannya bermacam-macam, untuk yang kesambet,
kesurupan, dan ketempelan jin biasanya disuwuk, untuk yang kena sawan
maling biasanya dibrobos-kan ke dalam pagar rumah yang dilubangi (dibedah).
Anak-anak yang sumeng biasanya cukup diobati dengan diloloh
tibar (campuran jeruk nipis dan kencur) sambil dimantra-mantrai, dan
pengobatan-pengobatan lain yang amat banyak ragamnya.
Di
daerah Banyumas ada beberapa tempat yang dikeramatkan oleh sekelompok orang.
Air, gunung, pohon, gua, petilasan dan makam leluhur adalah contoh
tempat-tempat yang dikermatkan. Konon, tempat ini juga sebagai media
pengobatan, yang meeka sangat percaya bahwa segala penyakit dikarenakan
gangguan roh jahat. Makam, terutama makam tokoh leluhur seperti Gunung Srandil,
Makam Daun Lumbung, Makam Dawuhan, Makam Ki Mranggi dan Makam Selomanik (
Koderi. 1991 : 160 ).
Sistem
pengobatan modern baru dikenalkan kepada masyarakat Banyumas sekitar akhir abad
ke-19. Semula pengobatan modern hanya ditujukan untuk orang-orang Belanda yang
ada di daerah ini, namun seiring dengan perjalanan waktu pengobatan modern juga
dikenalkan kepada masyarakat umum di Banyumas. Pada waktu itu yang pertama kali
memperkenalkan pengobatan modern kepada masyarakat luas bukan pemerintah tetapi
misi Zending Gereja-gereja Reformasi Rotterdam
(penyebar agama Kristen). Rumah sakit pertama yang dibangun oleh misi Zending
terdapat di Purbalingga yaitu di desa Trenggiling sekitar awal abad ke-20.
Rumah sakit tersebut bernama Rumah Sakit Zending (Zendingsziekenhuis te
Purbalingga).Masyarakat setempat menyebutnya “Sendeng” atau
Rumah Sakit Trenggiling. Ketika rumah sakit tersebut dibangun, bupati yang
memerintah Purbalingga adalah Raden Adipati Ario Dipakoesoema VI. Pada awalnya
gedung yang digunakan untuk rumah sakit adalah bekas pabrik indigo (pewarna
kain dari tumbuhan indigo) dan pengepakan gula. Sampai tahun 1980-an masyarakat
sekitar yang mau berobat ke rumah sakit tersebut biasanya mengatakan mau ke Sendeng.
D. SISTIM PENGOBATAN MODERN
Menurut
makalah Purnawan Basundoro yang berjudul Sisi
Terang Kolonialisme Belanda di Banyumas (2009), pada tahun 1885 para
pengusaha pabrik gula di Banyumas sebenarnya telah mendirikan balai pengobatan
modern, tetapi masih berujud klinik yang ditujukan untuk para pembesar pabrik
gula. Dan tidak untuk kepentingan masyarakat umum. Klinik tersebut diberi nama Vereeniging
Kliniek Poerwoekerto (Perkumpulan Klinik Purwokerto). Setelah perusahaan
kereta api SDS beroperasi di Banyumas, klinik tersebut juga mendapat sumbangan
dana dari SDS. Pada tahun 1914 Vereeniging Kliniek Poerwoekerto
membangun rumah sakit umum di kota
Purwokerto. Rumah sakit ini melayani masyarakat luas dengan kapasitas 90 tempat
tidur. Pembangunan rumah sakit ini selesai tanggal 15 Agustus 1914.
Direktur rumah sakit ini adalah Dr. P.R. D’Arnaud Gerkens. Ia dibantu oleh
Dokter Jawa lulusan STOVIA bernama Dr. M. Samingoen. Rumah sakit
ini merupakan cikal bakal Rumah Sakit Umum Daerah Margono Soekarjo. Pasien di
rumah sakit ini datang dari berbagai tempat seperti dari Cilacap, Kedu-Barat,
dan dari karesidenan Pekalongan.
Pada tahun
1925, menurut Soekidjo Notoatmodjo (2003), Hydrich, seorang petugas kesehatan
pemerintah Belanda melakukan pengamatan terhadap masalah tingginya angka
kematian dan kesakitan di Banyumas-Purwokerto pada waktu itu. Dari hasil
pengamatan dan analisisnya tersebut ini menyimpulkan bahwa penyebab tingginya
angka kematian dan kesakitan ini adalah karena jeleknya kondisi sanitasi
lingkungan. Masyarakat pada waktu itu membuang kotorannya di sembarang tempat,
di kebun, selokan, kali bahkan di pinggir jalan padahal mereka mengambil air
minum juga dari kali. Selanjutnya ia berkesimpulan bahwa kondisi sanitasi
lingkungan ini disebabkan karena perilaku penduduk. Oleh sebab itu, untuk
memulai upaya kesehatan masyarakat, Hydrich mengembangkan daerah percontohan
dengan melakukan propaganda (pendidikan) penyuluhan kesehatan. Sampai sekarang
usaha Hydrich ini dianggap sebagai awal kesehatan masyarakat di Indonesia.
Tahun 1929
sampai tahun 1933 terjadi resesi ekonomi global atau yang dikenal dengan
istilah malaisse. Ekspor-impor macet di sana-sini, perekonomian dunia
macet total. Berbagai komoditi ekspor dari Jawa tidak laku, dan banyak menumpuk
di gudang-gudang di pelabuhan. Kondisi ini berdampak pada rumah sakit di
Purwokerto yang selam ini mendapat suntikan dana dari pabrik gula dan dari
perusahaan kereta api SDS. Pabrik-pabrik gula di seluruh Banyumas ditutup
akibat macetnya kran ekspor. Penutupan pabrik gula tersebut tentu saja
berdampak pada pendapatan perusahaan kereta api SDS yang selama ini banyak
mengangkut gula dan segala peralatan pabriuk gula. Akibatnya dana untuk rumah
sakit juga terhenti. Akibat kesulitan pendanaan, akhirnya rumah sakit mereka
diserahkan kepada misi Zending di Purbalingga. Akibat pemindahtanganan
pengelolaan akhirnya nama rumah sakit diganti menjadi Zendingsziekenhuis te
Poerwokerto (Rumah Sakit Zending Purwokerto). Ketika rumah sakit tersebut
dikelola oleh Zending malah berkembang pesat. Kapasitas tempat tidur
bertambah pesat menjadi 200 tempat tidur pada tahun 1937 dan menjadi 375 pada
tahun 1941.
Tahun 1925 di
kota Banyumas
juga didirikan rumah sakit yang diberi nama Rumah Sakit Juliana. Rumah sakit
tersebut diresmikan tepat bersamaan dengan ulang tahun Putri Mahkota Belanda
Sri Ratu Juliana pada tanggal 30 April 1925. Rumah sakit ini dibuat dan
dibiayai oleh pemerintah daerah (gewest). Tahun 1935 Zendingsziekenhuis
te Poerwokerto (Rumah Sakit Zending Purwokerto) membuka cabangnya di
Sidareja, Cilacap dalam bentuk klinik. Klinik ini banyak dikunjungi pasien
kurang gizi karena daerah Sidareja dan sekitarnya sering dilanda kelaparan.
Pasien lainnya adalah penderita malaria dan frambusia. Dokter dari
Purwokerto berkunjung sekali dalam seminggu ke klinik tersebut. Tahun 1942 di
Banjarnegara juga didirikan rumah sakit, yang merupakan embrio rumah sakit
daerah saat ini.
Pembangunan
fasilitas kesehatan modern berupa rumah sakit di beberapa tempat di Banyumas
sangat membantu masyarakat setempat memperkenalkan berbagai perawatan medis
modern juga membantu dalam mengatasi berbagai macam penyakit tropis yang sering
diderita masyarakat setempat. Kondisi kurang makan yang banyak dialami oleh
masyarakat Banyumas di pedesaan, terutama pada masa malaisse, menyebabkan tubuh
mereka amat lemah dan menjadi sarang penyakit seperti penyakit gudig, koreng,
kaki bengkak, patek, dan borok. Penyakit influenza dan malaria juga banyak
menelan korban. Salah satu misteri kematian yang sering melanda masyarakat
Banyumas juga berhasil dikuak, yaitu kematian akibat keracunan tempe bongkrek (wuru/mendem
bongkrek). Tempe
bongkrek adalah makanan khas Banyumas yang amat populer pada jaman dulu.
Makanan ini biasanya dikonsumsi oleh masyarakat kelas bawah sebagai lauk nasi.
Terbuat dari ampas kelapa, bungkil, nangka muda, dan campuran-campuran lain.
Rakyat yang tidak mampu membeli makanan yang sehat sering kali terpaksa mengisi
perutnya dengan tempe
bongkrek. Namun sering kali tempe bongkrek
menimbulkan kematian, orang Banyumas menyebut tempe
bongkrek yang menyebabkan kematian tersebut dengan istilah tempe
gemblung (tempe
gila). Jaman dulu orang lebih percaya bahwa tempe gemblung disebabkan
oleh hal-hal yang berbau magis, atau dalam proses pembuatannya tidak sempurna. Ada yang percaya tempe
gemblung disebabkan karena tempat yang digunakan untuk mengolah terbuat
dari tembaga. Karat tembaga yang berwarna hijau dianggap sebagai penyebab
keracunan yang berujung kematian. Tetapi berbagai dugaan itu ternyata tidak
benar.
Dr. R.M.
Wirasmo Partaningrat merupakan salah seorang dokter di Banyumas yang telah
berjasa mengungkap kematian akibat wuru bongkrek. Ia mencurahkan
tenaganya untuk meneliti penyebab kematian akibat tempe bongkrek selama dua tahun, yaitu pada
tahun 1933 sampai tahun 1934. Ia mengumpulkan berbagai bahan yang diduga
menjadi penyebab wuru bongkrek dan mengirimnya ke Geneeskundig
Laboratorium di Jakarta. Dari
penelitian tersebut ditemukan bahwa ternyata berbagai ramuan bahan baku tempe
bongkrek, terutama bungkilnya, sering kali menjadi media yang amat efektif
untuk berkembang biak bakteri pseudomonas coccovenenans ketika dalam
proses peragian. Bakteri itu menghasilkan racun kuat yang bisa menyebabkan
orang meninggal dunia.
Pendirian
berbagai fasilitas kesehatan modern di karesidenan Banyumas oleh pemerintah
kolonial Belanda telah banyak menolong masyarakat daerah ini ketika mereka
sakit. Berbagai budaya hidup sehat juga ditularkan oleh para dokter dan juru
rawat kepada penduduk setempat. Fasilitas kesehatan modern ini kemudian
diwariskan kepada masyarakat Banyumas ketika kekuasaan kolonial harus hengkang
dari daerah ini. Rumah Sakit Juliana di kota
Banyumas berubah menjadi RSUD Banyumas ketika Indonesia merdeka. Zendingsziekenhuis
te Poerbalingga atau Rumah Sakit Trenggiling menjadi RSUD Purbalingga dan
pada tahun 1990-an dipindah ke Wirasana karena sudah tidaka memenuhi syarat. Vereeniging
Kliniek Poerwoekerto merupakan cikal bakal Rumah Sakit Margono Sukaryo
Purwokerto.
Sejarah bukanlah pengadilan untuk mengadili masa lalu. Banyak
pelajaran yang bisa dipetik dari masa lalu bila kita melihatnya dengan hati
terang tanpa prasangka. Menilik sisi terang masa colonial, bukanlah pembelaan
atas penjajahan di Indonesia
khususnya di Banyumas. Dengan melihat berbagai sumber sejarah serta dengan
melihat realitas masa kini, maka kita bisa mengambil manfaat dari kepahitan di
masa lalu.
Tidak bisa
kita pungkiri bahwa kolonialisme Belanda di Banyumas ternyata juga banyak
meninggalkan hal-hal yang positif selain hal-hal yang bersifat negatif berupa
kesengsaraan. Fakta dilapangan adalah penanganan masalah kesehatan masyarakat
yang cukup serius. Kita harus melihat masa lalu dengan adil, bahwa tidak ada
satupun jaman yang hanya menghasilkan kesengsaraan. Ibarat obat, rasanya pahit
tapi di balik rasa pahit itu ada obat.
DAFTAR PUSTAKA
Adisarwono, S. 1992. Sejarah Banyumas. Purwokerto : Satria Utama
Koderi, M. 1991. Banyumas Wisata dan Budaya.
Purwokerto : CV. Metro Jaya
Purnawan
Basundoro.2009. Sisi Terang Kolonialisme Belanda di Banyumas.
belanda-di-banyumas/
Soekidjo Notoatmodjo. Prinsip-Prinsip Dasar Ilmu
Kesehatan Masyarakat. Cet. ke-2, Mei. Jakarta : Rineka Cipta. 2003. http://www.geocities.com/klinikikm/pendahuluan/perkembangan-indonesia.htm
Tidak ada komentar:
Posting Komentar