Total Tayangan Halaman

Jumat, 20 Januari 2012

LAYANAN KESEHATAN DI BANYUMAS MASA KOLONIALISME






A.   PENDAHULUAN

Masyarakat Indonesia  sebagian besar melihat periode kolonial Belanda hanya dari satu sisi saja, yaitu sisi gelapnya. Periode kolonial hanya semata-mata dianggap sebagai periode ekploitasi yang menguras habis kekayaan dan merendahkan martabat bangsa Indonesia. Pandangan semacam ini tidak salah karena pada kenyataannya sejak diberlakukannya sistem tanam paksa (cultuurstelsel) tahun 1830 eksploitasi terhadap sumber daya ekonomi bangsa Indonesia terus dilakukan. Eksploitasi besar-besaran terhadap sumber daya ekonomi tersebut telah menciptakan trauma yang amat mendalam bagi sebagian besar rakyat Indonesia. Para petani diperas habis-habisan baik tenaga kerja maupun tanah yang mereka miliki.
Terlepas dari pandangan sebagian besar masyarakat yang hanya tertuju pada sisi gelapnya saja, periode kolonial Belanda di Indonesia juga memiliki sisi terangnya. Bisa jadi sisi terang ini hanya dinikmati atau diketahui oleh segelintir orang, namun bisa jadi sisi tersebut sebenarnya menjadi petunjuk jalan bagi bangsa Indonesia untuk menapaki jalan-jalan menuju Indonesia yang terang secara keseluruhan. Makalah ini tidak bermaksud untuk menjadi pembenar bagi sistem kolonial yang oleh sebagian besar masyarakat sangat menekan dan melahirkan traumatik yang mendalam, tetapi hanya ingin menunjukkan bahwa apapun bentuknya sebuah sistem budaya yang baru pasti membawa bagian-bagian yang mencerahkan bagi peradaban manusia. Pesan yang terpenting adalah bahwa kita juga harus adil dalam memandang sejarah masa lalu bangsa kita. Banyumas akan menjadi contoh dari kasus ini.

B.   KEKUASAAN BELANDA DI BANYUMAS
Kekuasaan Belanda di Banyumas merupakan imbas dari Perang Diponegoro. Ketika Perang Diponegoro berakhir pada tahun 1830, pihak Belanda ternyata minta kompensasi kepada dua kerajaan di Jawa yaitu Yogyakarta dan Surakarta. Perlawanan Pangeran Diponegoro dalam pandangan pemerintah kolonial bukan semata-mata sebuah perlawanan terhadap kekuasaan kolonial di Jawa, tetapi juga merupakan pemberontakan terhadap raja yang sedang berkuasa di dua kerajaan tersebut. Dengan demikian maka apabila merunut pendapat tersebut usaha pemerintah kolonial menumpas perlawanan Pangeran Diponegoro bukan semata-mata untuk melindungi kepentingan mereka, tetapi juga sebuah usaha untuk membantu raja Yogyakarta dan Surakarta mempertahankan kekuasaannya dari rongrongan pemberontak yang digerakan oleh kerabat kerajaan.

Sebagai langkah awal untuk pengambilalihan daerah mancanegara, pemerintah kolonial Belanda kemudian membentuk komisi urusan tanah-tanah kerajaan (Commisie ter Regeling der Zaken) di Surakarta.  Sebagian wilayah Kerajaan Surakarta akan ikut diambil alih oleh pihak Belanda, walaupun sebenarnya Pangeran Diponegoro berasal dari Kerajaan Yogyakarta. Alasan pihak Belanda adalah bahwa selama berlangsungnya perang Diponegoro terpaksa mereka terus-menerus melindungi kerajaan Surakata.
Di Banyumas sendiri persiapan pengambilalihan pemerintahan berlangsung terus tanpa seijin Susuhunan di Surakarta. Pada tanggal 15 Juni 1830, Hallewijn minta kepada seluruh bupati di wilayah Banyumas untuk menyerahkan piagam pengangkatanya sebagai bupati dari Kerajaan Surakarta dan Yogyakarta. Baru pada tanggal 22 Juni 1830, pemerintah kolonial Belanda mengadakan perjanjian dengan raja di Surakarta. Dengan perjanjian ini maka secara resmi wilayah mancanegara barat diserahkan kepada pemerintah kolonial Belanda. Pemerintah kolonial Belanda nampaknya masih cukup baik hati kepada Kerajaan Surakarta dan Yogyakarta, karena mereka ternyata memberi kompensasi atas diambilnya daerah mancanegara. Pengambilalihan  wilayah Banyumas ditukar dengan kompensasi sebesar 90.000 Gulden. Uang tersebut diberikan kepada  pihak Kerajaan Surakarta sebesar 80.000 Gulden dan kepada pihak Kerajaan Yogyakarta sebesar 10.000 Gulden. Gara-gara Pangeran Diponegoro kalah melawan Belanda maka wilayah Banyumas harus rela menjadi barang tebusan, atau istilahnya menjadi barang gadaian. Sejak saat ini maka wilayah Banyumas diperintah oleh kekuasaan kolonial Belanda.
Jendral De Kock mengunjungi Banyumas pada bulan November 1831 dan dengan Keputusan Gubernur Jendral van Den Bosch, tertanggal 18 Desember 1831 dibentuklah karesidenan Banyumas yang terdiri atas 5 kabupaten, yaitu : Banyumas, Ajibarang, Purbolinggo, Banjarnegara dan Majenang. Kabupaten Banyumas masa itu terdiri atas 3 distrik, yaitu : Banyumas, Adirejo dan Purworejo Klampok (Adisarwono, Bambang S. Purwoko. 1992 : 31)

C.   LAYANAN KESEHATAN TRADISIONAL

            Sebelum orang-orang Belanda datang di Banyumas masyarakat daerah ini belum mengenal  sistem pengobatan modern. Fasilitas kesehatan modern berupa rumah sakit juga belum ada. Jika ada orang sakit maka pengobatannya dengan cara tradisional dengan memanfaatkan tabib atau dukun. Mungkin untuk penyakit-penyakit ringan hanya menanfaatkan obat-obatan tradisional berupa ramuan jamu-jamuan dari tumbuh-tumbuhan yang ada di sekitar mereka. Dalam alam pikiran tradisional penyakit yang tidak kelihatan semisal sakit panas yang berkepanjangan biasanya selalu dikaitkan dengan roh-roh halus, seperti kesambet, kena sawan, kesurupan, ketempelan jin dan lain-lain. Cara pengobatannya bermacam-macam, untuk yang kesambet, kesurupan, dan ketempelan jin biasanya disuwuk, untuk yang kena sawan maling biasanya dibrobos-kan ke dalam pagar rumah yang dilubangi (dibedah). Anak-anak yang sumeng biasanya cukup diobati dengan diloloh tibar (campuran jeruk nipis dan kencur) sambil dimantra-mantrai, dan pengobatan-pengobatan lain yang amat banyak ragamnya.
            Di daerah Banyumas ada beberapa tempat yang dikeramatkan oleh sekelompok orang. Air, gunung, pohon, gua, petilasan dan makam leluhur adalah contoh tempat-tempat yang dikermatkan. Konon, tempat ini juga sebagai media pengobatan, yang meeka sangat percaya bahwa segala penyakit dikarenakan gangguan roh jahat. Makam, terutama makam tokoh leluhur seperti Gunung Srandil, Makam Daun Lumbung, Makam Dawuhan, Makam Ki Mranggi dan Makam Selomanik ( Koderi. 1991 : 160 ).
Sistem pengobatan modern baru dikenalkan kepada masyarakat Banyumas sekitar akhir abad ke-19. Semula pengobatan modern hanya ditujukan untuk orang-orang Belanda yang ada di daerah ini, namun seiring dengan perjalanan waktu pengobatan modern juga dikenalkan kepada masyarakat umum di Banyumas. Pada waktu itu yang pertama kali memperkenalkan pengobatan modern kepada masyarakat luas bukan pemerintah tetapi misi Zending Gereja-gereja Reformasi Rotterdam (penyebar agama Kristen). Rumah sakit pertama yang dibangun oleh misi Zending terdapat di Purbalingga yaitu di desa Trenggiling sekitar awal abad ke-20. Rumah sakit tersebut bernama Rumah Sakit Zending (Zendingsziekenhuis te Purbalingga).Masyarakat setempat menyebutnya  “Sendeng” atau Rumah Sakit Trenggiling. Ketika rumah sakit tersebut dibangun, bupati yang memerintah Purbalingga adalah Raden Adipati Ario Dipakoesoema VI. Pada awalnya gedung yang digunakan untuk rumah sakit adalah bekas pabrik indigo (pewarna kain dari tumbuhan indigo) dan pengepakan gula. Sampai tahun 1980-an masyarakat sekitar yang mau berobat ke rumah sakit tersebut biasanya mengatakan mau ke Sendeng.

D.   SISTIM PENGOBATAN MODERN

Menurut makalah Purnawan Basundoro yang berjudul Sisi Terang Kolonialisme Belanda di Banyumas (2009), pada tahun 1885 para pengusaha pabrik gula di Banyumas sebenarnya telah mendirikan balai pengobatan modern, tetapi masih berujud klinik yang ditujukan untuk para pembesar pabrik gula. Dan tidak untuk kepentingan masyarakat umum. Klinik tersebut diberi nama Vereeniging Kliniek Poerwoekerto (Perkumpulan Klinik Purwokerto). Setelah perusahaan kereta api SDS beroperasi di Banyumas, klinik tersebut juga mendapat sumbangan dana dari SDS. Pada tahun 1914 Vereeniging Kliniek Poerwoekerto membangun rumah sakit umum di kota Purwokerto. Rumah sakit ini melayani masyarakat luas dengan kapasitas 90 tempat tidur.  Pembangunan rumah sakit ini selesai tanggal 15 Agustus 1914. Direktur rumah sakit ini adalah Dr. P.R. D’Arnaud Gerkens. Ia dibantu oleh Dokter Jawa lulusan STOVIA bernama Dr. M. Samingoen. Rumah sakit ini merupakan cikal bakal Rumah Sakit Umum Daerah Margono Soekarjo. Pasien di rumah sakit ini datang dari berbagai tempat seperti dari Cilacap, Kedu-Barat, dan dari karesidenan Pekalongan.
Pada tahun 1925, menurut Soekidjo Notoatmodjo (2003), Hydrich, seorang petugas kesehatan pemerintah Belanda melakukan pengamatan terhadap masalah tingginya angka kematian dan kesakitan di Banyumas-Purwokerto pada waktu itu. Dari hasil pengamatan dan analisisnya tersebut ini menyimpulkan bahwa penyebab tingginya angka kematian dan kesakitan ini adalah karena jeleknya kondisi sanitasi lingkungan. Masyarakat pada waktu itu membuang kotorannya di sembarang tempat, di kebun, selokan, kali bahkan di pinggir jalan padahal mereka mengambil air minum juga dari kali. Selanjutnya ia berkesimpulan bahwa kondisi sanitasi lingkungan ini disebabkan karena perilaku penduduk. Oleh sebab itu, untuk memulai upaya kesehatan masyarakat, Hydrich mengembangkan daerah percontohan dengan melakukan propaganda (pendidikan) penyuluhan kesehatan. Sampai sekarang usaha Hydrich ini dianggap sebagai awal kesehatan masyarakat di Indonesia.
Tahun 1929 sampai tahun 1933 terjadi resesi ekonomi global atau yang dikenal dengan istilah malaisse. Ekspor-impor macet di sana-sini, perekonomian dunia macet total. Berbagai komoditi ekspor dari Jawa tidak laku, dan banyak menumpuk di gudang-gudang di pelabuhan. Kondisi ini berdampak pada rumah sakit di Purwokerto yang selam ini mendapat suntikan dana dari pabrik gula dan dari perusahaan kereta api SDS. Pabrik-pabrik gula di seluruh Banyumas ditutup akibat macetnya kran ekspor. Penutupan pabrik gula tersebut tentu saja berdampak pada pendapatan perusahaan kereta api SDS yang selama ini banyak mengangkut gula dan segala peralatan pabriuk gula. Akibatnya dana untuk rumah sakit juga terhenti. Akibat kesulitan pendanaan, akhirnya rumah sakit mereka diserahkan kepada misi Zending di Purbalingga. Akibat pemindahtanganan pengelolaan akhirnya nama rumah sakit diganti menjadi Zendingsziekenhuis te Poerwokerto (Rumah Sakit Zending Purwokerto). Ketika rumah sakit tersebut dikelola oleh Zending malah berkembang  pesat. Kapasitas tempat tidur bertambah pesat menjadi 200 tempat tidur pada tahun 1937 dan menjadi 375 pada tahun 1941.
Image DetailTahun 1925 di kota Banyumas juga didirikan rumah sakit yang diberi nama Rumah Sakit Juliana. Rumah sakit tersebut diresmikan tepat bersamaan dengan ulang tahun Putri Mahkota Belanda Sri Ratu Juliana pada tanggal 30 April 1925. Rumah sakit ini dibuat dan dibiayai oleh pemerintah daerah (gewest). Tahun 1935 Zendingsziekenhuis te Poerwokerto (Rumah Sakit Zending Purwokerto) membuka cabangnya di Sidareja, Cilacap dalam bentuk klinik. Klinik ini banyak dikunjungi pasien kurang gizi karena daerah Sidareja dan sekitarnya sering dilanda kelaparan. Pasien lainnya adalah penderita malaria dan frambusia. Dokter dari Purwokerto berkunjung sekali dalam seminggu ke klinik tersebut. Tahun 1942 di Banjarnegara juga didirikan rumah sakit, yang merupakan embrio rumah sakit daerah saat ini.

Pembangunan fasilitas kesehatan modern berupa rumah sakit di beberapa tempat di Banyumas sangat membantu masyarakat setempat memperkenalkan berbagai perawatan medis modern juga membantu dalam mengatasi berbagai macam penyakit tropis yang sering diderita masyarakat setempat. Kondisi kurang makan yang banyak dialami oleh masyarakat Banyumas di pedesaan, terutama pada masa malaisse, menyebabkan tubuh mereka amat lemah dan menjadi sarang penyakit seperti penyakit gudig, koreng, kaki bengkak, patek, dan borok. Penyakit influenza dan malaria juga banyak menelan korban. Salah satu misteri kematian yang sering melanda masyarakat Banyumas juga berhasil dikuak, yaitu kematian akibat keracunan tempe bongkrek (wuru/mendem bongkrek). Tempe bongkrek adalah makanan khas Banyumas yang amat populer pada jaman dulu. Makanan ini biasanya dikonsumsi oleh masyarakat kelas bawah sebagai lauk nasi. Terbuat dari ampas kelapa, bungkil, nangka muda, dan campuran-campuran lain. Rakyat yang tidak mampu membeli makanan yang sehat sering kali terpaksa mengisi perutnya dengan tempe bongkrek. Namun sering kali tempe bongkrek menimbulkan kematian, orang Banyumas menyebut tempe bongkrek yang menyebabkan kematian tersebut dengan istilah tempe gemblung (tempe gila). Jaman dulu orang lebih percaya bahwa tempe gemblung disebabkan oleh hal-hal yang berbau magis, atau dalam proses pembuatannya tidak sempurna. Ada yang percaya tempe gemblung disebabkan karena tempat yang digunakan untuk mengolah terbuat dari tembaga. Karat tembaga yang berwarna hijau dianggap sebagai penyebab keracunan yang berujung kematian. Tetapi berbagai dugaan itu ternyata tidak benar.
Dr. R.M. Wirasmo Partaningrat merupakan salah seorang dokter di Banyumas yang telah berjasa mengungkap kematian akibat wuru bongkrek. Ia mencurahkan tenaganya untuk meneliti penyebab kematian akibat tempe bongkrek selama dua tahun, yaitu pada tahun 1933 sampai tahun 1934. Ia mengumpulkan berbagai bahan yang diduga menjadi penyebab wuru bongkrek dan mengirimnya ke Geneeskundig Laboratorium di Jakarta. Dari penelitian tersebut ditemukan bahwa ternyata berbagai ramuan bahan baku  tempe bongkrek, terutama bungkilnya, sering kali menjadi media yang amat efektif untuk berkembang biak bakteri pseudomonas coccovenenans ketika dalam proses peragian. Bakteri itu menghasilkan racun kuat yang bisa menyebabkan orang meninggal dunia.
Pendirian berbagai fasilitas kesehatan modern di karesidenan Banyumas oleh pemerintah kolonial Belanda telah banyak menolong masyarakat daerah ini ketika mereka sakit. Berbagai budaya hidup sehat juga ditularkan oleh para dokter dan juru rawat kepada penduduk setempat. Fasilitas kesehatan modern ini kemudian diwariskan kepada masyarakat Banyumas ketika kekuasaan kolonial harus hengkang dari daerah ini. Rumah Sakit Juliana di kota Banyumas berubah menjadi RSUD Banyumas ketika Indonesia merdeka. Zendingsziekenhuis te Poerbalingga atau Rumah Sakit Trenggiling menjadi RSUD Purbalingga dan pada tahun 1990-an dipindah ke Wirasana karena sudah tidaka memenuhi syarat. Vereeniging Kliniek Poerwoekerto merupakan cikal bakal Rumah Sakit Margono Sukaryo Purwokerto.

E.   PENUTUP

            Sejarah bukanlah pengadilan untuk mengadili masa lalu. Banyak pelajaran yang bisa dipetik dari masa lalu bila kita melihatnya dengan hati terang tanpa prasangka. Menilik sisi terang masa colonial, bukanlah pembelaan atas penjajahan di Indonesia khususnya di Banyumas. Dengan melihat berbagai sumber sejarah serta dengan melihat realitas masa kini, maka kita bisa mengambil manfaat dari kepahitan di masa lalu.
Tidak bisa kita pungkiri bahwa kolonialisme Belanda di Banyumas ternyata juga banyak meninggalkan hal-hal yang positif selain hal-hal yang bersifat negatif berupa kesengsaraan. Fakta dilapangan adalah penanganan masalah kesehatan masyarakat yang cukup serius. Kita harus melihat masa lalu dengan adil, bahwa tidak ada satupun jaman yang hanya menghasilkan kesengsaraan. Ibarat obat, rasanya pahit tapi di balik rasa pahit itu ada obat.


DAFTAR PUSTAKA

Adisarwono, S. 1992. Sejarah Banyumas. Purwokerto : Satria Utama

Koderi, M. 1991. Banyumas Wisata dan Budaya. Purwokerto : CV. Metro Jaya

Purnawan Basundoro.2009. Sisi Terang Kolonialisme Belanda di Banyumas.
belanda-di-banyumas/

Soekidjo Notoatmodjo. Prinsip-Prinsip Dasar Ilmu Kesehatan Masyarakat. Cet. ke-2, Mei. Jakarta : Rineka Cipta. 2003. http://www.geocities.com/klinikikm/pendahuluan/perkembangan-indonesia.htm

Tidak ada komentar:

Posting Komentar