a) Ebeg
Ebeg adalah salah satu bentuk tarian rakyat yang berkembang di daerah Banyumas.
Di tempat lain, kesenian ini dikenal dengan nama Jaran Kepang, Kuda Lumping, atau
Jathilan. Walaupun namanya tidak
sama, namun dilihat dari gerak tari, adanya segmen intrance (kerasukan) pada para pemain maupun penonton, dan peralatannya, pada dasarnya sama.
Sejarah
pertunjukan ebeg menurut M. Koderi
(1991:70), lahir di tengah-tengah rakyat
pedesaan, di luar tembok istana. Masyarakat Banyumas berpendapat
bahwa ebeg dahulunya merupakan tarian
sakral yang biasa diikutsertakan dalam upacara keagamaan. Umurnya sudah sangat
tua. Tidak ada literatur atau catatan pasti mengenai lahirnya ebeg. Perkembangannya sejak sekitar abad
ke -19 sampai sesudah kemerdekaan mulai dibumbui dengan unsur-unsur magis.
Pemain dibuat kerasukan (kesurupan) oleh
pemimpin atau komandannya yang sekaligus bertindak sebagai pawang.
Setiap regu
ebeg senantiasa terdiri dari dua
kelompok dengan dua orang komandan. Komandan yang satu menaiki kuda kepang berwarna
putih, dan yang lainnya menaiki kuda kepang hitam. Yang putih menunjukkan
pemimpin menuju kebenaran sejati, sedangkan yang hitam menunjukkan pemimpin
kejahatan. Pada trik-trik
tertentu dalam permainan kedua pemimpin itu bertemu dan tampak saling
menggelengkan kepala. Hal ini merupakan simbolisasi bahwa antara kebenaran dan
kejahatan tak dapat bertemu. Kemudian mundur beberapa langkah, maju lagi sesaat
ketemu menggelengkan kepala begitulah seterusnya dengan gerak-gerak yang lain.
Ebeg dipentaskan di tempat yang luas seperti; pelataran, lapangan, atau halaman
rumah, karena melibatkan cukup banyak pemain. Bahkan tak jarang penontonnya pun
terbawa memasuki alam permainan, hingga tanpa sadar ikut menari dan mengalami
kerasukan. Waktu permainan biasanya pada
siang hari, dengan durasi antara satu hingga empat jam. Jumlah penari inti biasanya
delapan orang, dua orang berperan sebagai Penthul
– Tembem, satu orang sebagai pemimpin, dan tujuh orang sebagai
penabuh gamelan. Jadi satu grup bisa beranggotakan 16 orang atau lebih.
Ciri-ciri ebeg antara lain :
(1) Pemainnya memakai mekutho (semacam mahkota yang terbuat dari kain).
(2) Pakaian para pemainnya relatif lebih
tertutup.
(3) Irama yang mengiringi permainan merupakan
lagu-lagu Banyumasan. Seperti;
ricik-ricik, gudril, eling-eling, lung
gadhung dan blendong.
Kuda ebeg terbuat dari anyaman bambu yang
dibentuk menyerupai kuda, diberi warna hitam atau putih dan diberi lonceng. Karena
itulah, di daerah lain kesenian ini dikenal dengan nama Jaran Kepang yang artinya kuda dari kepang (anyaman bambu).
b) Lengger atau Ronggeng
Secara
umum, seni lengger atau ronggeng merupakan tarian yang diiringi
dengan tembang (nyanyian) dan instrumen gamelan. Yang khas, tariannya tidak
diiringi dengan gamelan, tetapi dengan calung, yaitu alat musik yang seluruhnya
terbuat dari bambu wulung, baik gambang, saron, gong maupun suling. Baik untuk
irama ‘laras pelog’ paupun ‘laras slendro’-nya. (Koderi, 1991:61). Satu-satunya
alat yang bukan bambu adalah kendhang
(gendang) yang tetap dibuat dari kayu dan kulit sapi.
Lengger
sering diasumsikan sebagai tarian rakyat kecil yang terlalu vulgar, cenderung
porno. Hal ini disebabkan banyaknya gerakan bodor
(pelucu/pelawak) yang memancing birahi, sehingga sering mengundang amor (cinta rahasia/perselingkuhan). Kesan
yang menimbulkan image yang salah ini
sudah terlanjur melekat di hati masyarakat. Tetapi sebenarnya dulu lengger justru merupakan seni tari
tingkat atas. Pernyataan Koentjaraningrat yang dikutip Budiono
Herusatoto (2008:218), menyebutkan bahwa kesenian tayub bukan hanya sebagai kesenian rakyat, melainkan juga seni
pertunjukkan di kalangan priayi dan bahkan di kalangan kraton Jawa.
Buku History of Java, karya
Thomas Stamford Raffles menyebutkan bahwa hampir semua daerah di pulau Jawa
memiliki jenis tarian ini. Hal ini dibuktikan dengan nama-nama dari
masing-masing daerah yang menamakan jenis tarian ini dengan istilah gandrung, ronggeng, tledhek/ledhek, tandhak,
tayub, lengger dan ronggeng, (Budiono Herusatoto, 2008:217).
Dalam
Serat Sastramiruda dan Serat Centini disebutkan pula bahwa tayub sudah ada pada zaman Majapahit sampai Demak. Bahkan pada
zaman Mataram, Panembahan Senopati mengutus putrinya, Rara Pambayun menjadi
penari tayub guna memikat dan
mengalahkan Ki Ageng Mangir yang membangkang dan tidak mengakui kekuasaan
Mataram, (Budiono Herusatoto, 2008:217).
c) Begalan
Istilah begalan, berasal dari kata begal, artinya perampok. Istilah begalan dalam tradisi Banyumas menurut Supriyadi (1993:6) bukan berarti merampas barang orang lain, melainkan menjaga keselamatan apabila nanti ada roh-roh jahat datang mengganggu. Begalan diartikan dengan ucapan kebegalan sambekalanipun, maksudnya dijauhkan dari segala mara bahaya. Tradisi ini dilaksanakan sebagai syarat atau krenah/ pengruwat guna menghindari segala kekuatan-kekuatan gaib yang mengancam keselamatan kedua mempelai.
Tradisi begalan dilaksanakan apabila seseorang
mempunyai hajat mengawinkan anak sulung dengan anak sulung, anak bungsu dengan
anak sulung, atau anak bungsu dengan anak bungsu. Perkawinan semacam itu dalam
tradisi Banyumas merupakan suatu pantangan. Oleh karenanya jika perkawinan tetap
akan dilangsungkan, perlu diadakan begalan
guna menyingkirkan segala bentuk gangguan yang mungkin terjadi. Begalan biasanya dilakukan pada siang
atau sore hari (Koderi, 1991:55).
Sebenarnya
seni begalan pada zaman dahulu
diadakan oleh para demang, yang kekuasaannya kala itu adalah mutlak selayaknya raja.
Setiap perintahnya harus segera dilaksanakan. Karena itu, rakyat beranggapan
bahwa seni begalan merupakan warisan
dari para leluhur Banyumas yang tidak boleh ditinggalkan. Bahkan karena sangat
taatnya, seseorang yang sebenarnya tidak mampu, memaksakan diri dengan berbagai
cara untuk bisa melaksanakannya. Fungsinya pun bergeser dari sekedar upacara
dalam rangka memohon keselamatan (ruwatan)
menjadi sarana untuk memperolah kebanggaan dan dan pujian.
Pertunjukkan
begalan tidak memerlukan tempat yang
khusus atau mewah. Tidak perlu mendirikan panggung, cukup di halaman rumah,
tanpa dekor. Tata pakaian dan tata rias sangat sederhana. Pakaian cukup baju
koko hitam, celana komprang hitam, stagen dan sabuk, kain atau sarung, sampur dan iket wulung (hitam). Sedang perlengkapan yang dipergunakan yaitu wlira dan brenong kepang. Wlira yaitu alat yang berwujud pedang
kayu dan dipergunakan sebagai pemukul. Panjang wlira satu meter, tebal dua centimeter dan lebar empat centimeter.
Bahan yang dipergunakan dari ruyung
atau pohon pinang. Pembawa wlira
adalah si begal dari pihak mempelai
wanita dengan nama Suradenta. Pengantar mempelai laki-laki yang membawa
peralatan-peralatan brenong kepang bernama
Surantani atau Jurutani (Supriyadi,1993:10-12)
Brenong kepang berupa sepikul alat-alat dapur. Masing-masing
alat-alat dapur itu memiliki makna kias tersendiri. Adapun macam-macam alat
dapur tersebut yaitu wangkring atau
pikulan, ian dan ilir, cething, kukusan, kalo, tampah, sorok, centong,
irus, siwur, kendil, pala pendem, pala gumantung, dan seikat padi. Kebiasaan orang Banyumas, sebelum
pertunjukkan dimulai didahului dengan mengadakan (menyajikan) sesajen dengan
membakar kemenyan disertai pembacaan mantra-mantra. Maksud sesajen itu supaya
selama hajat dilaksanakan dan waktu mempelai disandingkan terhindar dari
berbagai gangguan. Macam-macam sesajian ini biasanya diletakkan di tempat yang
tidak terjangkau oleh pengunjung atau tamu. Sering ditempatkan di bagian dapur
atau dekat mempelai disandingkan.
Jalannya
pertunjukkan, kedua penari Suradenta dan Surantani dengan membawa peralatannya
masuk sambil menari ke tempat pentas diiringi gendhing ricik-ricik. Setelah gending
suwuk (berhenti), salah satu penari, biasanya Suradenta, memperkenalkan
diri, menceritakan maksud dan tujuannya mengadakan begalan. Penari berdialog
menanyakan nama dan maksudnya, lalu minta gendhing
Gunungsari. Di sinilah Surantani menjelaskan panjang lebar sanepa (makna kias) dari semua isi brenong kepang. Intinya berisi nasehat untuk mempelai berdua dalam
membangun rumah tangganya agar nantinya langgeng
terhindar dari berbagai cobaan hingga kakek-kakek nenek-nenek.
Saat
terjadi pertengkaran mulut, diiringi gendhing
Pisang Balik. Pada waktu gendhing suwuk,
pertengkaran berbuntut perkelahian diiringi gendhing
Renggong Kulon. Perkelahian diakhiri
dengan pemecahan kendil yang berisi
beras kuning, pertanda rejeki bagi mempelai kelak akan senantiasa melimpah,
kemudian isi brenong kepang
diperebutkan oleh penonton. Mereka meyakini, bila mendapat barang dari brenong kepang akan mendapat sawab (berkah). Alunan gendhing Eling-eling Banyumasan
mengakhiri opera begalan ini (Wawancara
tanggal 21 Nopember 2009 dengan Dibyo Suwignyo, pelaku Suradenta pada tradisi
begalan di Notog, Banyumas).
Tampak
jelas seni begalan di Banyumas
memiliki kekhasan tersendiri. Bahkan upacara seperti ini tidak dijumpai di
daerah lain yang biasanya melakukan ruwatan
dengan pertunjukkan wayang.
Gatotkaca |
d) Wayang Kulit ’gagrag’
Banyumas
Wayang purwa (kulit) seperti bentuknya yang
sekarang adalah hasil rekonstruksi/ciptaan
Walisanga yang telah melalui proses penyempurnaan dari bentuk aslinya. Wayang purwo kuno sudah ada sejak zaman Mataram
kuno, seperti yang tertera pada relief-relief candi di Jawa Tengah dan
candi-candi Jawa Timur zaman Majapahit.
Secara etimologi, kata
’wayang’ berasal dari kata ’ayang-ayang’
(bayang-bayang) atau ’wewayangan’
(bayangan) yang berwujud dan berwarna hitam/gelap. Wujud tersebut terbentuk
dari bayangan benda yang terkena sinar/cahaya lampu blencong. Wayang hanyalah sebagai lambang atau simbol dari hidup
dan kehidupan manusia. Wayang dibuat oleh manusia yang difungsikan sebagai alat
untuk menggambarkan watak dan sifat manusia dalam kehidupan. Wayang dapat pula menjadi
alat untuk retrospeksi dan introspeksi diri.
Ki Sugino Siswocarito |
Ciri utama gambaran watak wayang purwa terlihat pada warna cat muka/wajah
tokoh-tokoh wayang yang bersangkutan, (Soekatno, tanpa tahun:29). Adapun
warna-warna wajah tokoh-tokoh wayang tersebut meliputi:
(1) Warna merah menggambarkan watak angkara
murka atau dalam bahasa Jawa dur angkara.
’Dur’ berasal dari kata ’drusila’/ ’dursila’ (jahat, buruk, bodoh) dan ’angkara’ (loba, tamak,
pemarah).
(2) Warna hitam menggambarkan watak ksatria.
’Ksatria’ artinya bersifat jujur, berani karena benar, bertekat besar untuk
menegakkan kebenaran, dan pemaaf.
(3) Warna kuning emas menggambarkan watak
mulia, budi pekerti halus, penyayang kepada sesama makhluk Tuhan.
(4) Warna putih menggambarkan kesuciah hati, pikiran
jernih, dan bijaksana, yang dimiliki tokoh tersebut.
(5) Warna kelabu/abu-abu menggambarkan watak slewuh (dari kata mengsle lan owah). ’Mengsle’
(menyimpang) dan ’owah’ (gampang
berubah-ubah) berarti ’setengah-setengah’. Setengah putih dan setengah hitam
berarti abu-abu diartikan sok pintar, berlagak suci, suka mencela, penakut dan
tidak percaya diri.
Ciri lainnya
dari wayang purwa terlihat pada bleger (bentuk tubuh) wayang. Menurut Budiono Herusatoto (2008:189) ada
lima ciri utama pada bleger, yaitu:
(1) Golongan raksasa, umumnya menggambarkan watak yang dur angkara atau drusila/
dursila.
(2) Golongan ksatria, umumnya menggambarkan
watak jujur dan ikhlas atau legawa.
(3) Golongan pandhita (pendeta), umumnya menggambarkan watak suci dan bijaksana.
(4) Golongan dewa, umumnya menggambarkan watak
mulya (mulia).
(5) Golongan punakawan (para abdi), umumnya menggambarkan watak yang ngemong (mengasuh), tut wuri handayani (menjaga dan mendorong semangat), memberi nasihat
dan petunjuk dan hidup sederhana.
Seni
Pewayangan di daerah Banyumas diperkirakan telah ada sejak zaman Majapahit. Hal
ini didasarkan atas asal-usul pemerintahan di daerah Banyumas yang bermula
ketika Raden Baribin, putra Prabu Brawijaya IV di Majapahit, singgah di
Banyumas saat menuju Pajajaran. Dalam kesempatan itu, Raden Baribin juga
menyebarkan kebudayaan, termasuk seni wayang, (Koderi, 1991:66). Disebutkan
pula bahwa pakem pedalangan gagrag
Banyumasan diawali tahun 1920 dengan dimotori oleh dalang dari Desa Menganti,
Gombong bernama Ki Cerma yang kemudian dikenal dengan sebutan Ki Dhalang
Menganti.
Ciri
pewayangan gagrag Banyumasan menurut
Ki Sugino Siswocarito, dalang kondang asal Banyumas, dalam wawancara di
Ajibarang, Minggu, 8 Nopember 2009, antara lain:
(1) Saat pementasan akan dimulai, buka kelir, pegunungan dicabut, tokoh yang
muncul sebagai pembuka walau sekedar muncul sekilas adalah sosok wayang keputren yang diiringi emban (limbuk).
(2) Tokoh punakawan
terdiri atas Semar, Gareng, Petruk dan Bawor. Versi Surakarta dan Yogyakarta
tokoh Bawor tidak ada, adanya Bagong.
(3) Dialog punakawan
menggunakan bahasa cablaka Banyumasan
(ngapak-ngapak).
Fungsi
wayang purwa di samping sebagai
ekspresi kebudayaan juga merupakan media pendidikan, informasi dan hiburan. Sebagai
media pendidikan karena isinya banyak memberikan ajaran kepada manusia, baik
sebagai individu maupun anggota masyarakat. Wayang banyak mengandung unsur pendidikan
terutama dalam hal penanaman budi pekerti, mental, dan watak.
Penayagan Wayang Kulit |
Wayang
menjadi media informasi karena sifatnya yang sangat komunikatif. Dengan
demikian sangat tepat digunakan untuk mengadakan pendekatan kepada masyarakat,
memberikan informasi tentang masalah-masalah kehidupan dan seluk-beluknya. Sedangkan
fungsi wayang sebagai media hiburan, karena pertunjukannya dapat disajikan dalam
berbagai macam keperluan sebagai tontonan yang menghibur (Soekatno, tanpa
tahun:1).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar