Total Tayangan Halaman

Senin, 30 Januari 2012

KESENIAN BANYUMAS




a)   Ebeg
Ebeg adalah salah satu bentuk tarian rakyat yang berkembang di daerah Banyumas. Di tempat lain, kesenian ini dikenal dengan nama Jaran Kepang, Kuda Lumping, atau Jathilan. Walaupun namanya tidak sama, namun dilihat dari gerak tari, adanya segmen intrance (kerasukan) pada para pemain maupun penonton,  dan peralatannya, pada dasarnya sama.
Sejarah pertunjukan ebeg menurut M. Koderi (1991:70),  lahir di tengah-tengah rakyat pedesaan, di luar tembok istana. Masyarakat Banyumas  berpendapat bahwa ebeg dahulunya merupakan tarian sakral yang biasa diikutsertakan dalam upacara keagamaan. Umurnya sudah sangat tua. Tidak ada literatur atau catatan pasti mengenai lahirnya ebeg. Perkembangannya sejak sekitar abad ke -19 sampai sesudah kemerdekaan mulai dibumbui dengan unsur-unsur magis. Pemain dibuat kerasukan (kesurupan) oleh pemimpin atau komandannya yang sekaligus bertindak sebagai pawang.
Setiap regu ebeg senantiasa terdiri dari dua kelompok dengan dua orang komandan. Komandan yang satu menaiki kuda kepang berwarna putih, dan yang lainnya menaiki kuda kepang hitam. Yang putih menunjukkan pemimpin menuju kebenaran sejati, sedangkan yang hitam menunjukkan pemimpin kejahatan. Pada trik-trik tertentu dalam permainan kedua pemimpin itu bertemu dan tampak saling menggelengkan kepala. Hal ini merupakan simbolisasi bahwa antara kebenaran dan kejahatan tak dapat bertemu. Kemudian mundur beberapa langkah, maju lagi sesaat ketemu menggelengkan kepala begitulah seterusnya dengan gerak-gerak yang lain.
Ebeg dipentaskan di tempat yang luas seperti; pelataran, lapangan, atau halaman rumah, karena melibatkan cukup banyak pemain. Bahkan tak jarang penontonnya pun terbawa memasuki alam permainan, hingga tanpa sadar ikut menari dan mengalami kerasukan. Waktu permainan biasanya  pada siang hari, dengan durasi antara satu hingga empat jam. Jumlah penari inti biasanya delapan orang, dua orang berperan sebagai Penthul – Tembem,    satu orang sebagai pemimpin, dan tujuh orang sebagai penabuh gamelan. Jadi satu grup bisa beranggotakan 16 orang atau lebih.
Ciri-ciri ebeg antara lain  :
(1)   Pemainnya memakai mekutho (semacam mahkota yang terbuat dari kain).
(2)   Pakaian para pemainnya relatif lebih tertutup.
(3)   Irama yang mengiringi permainan merupakan lagu-lagu Banyumasan. Seperti; ricik-ricik, gudril, eling-eling, lung gadhung dan   blendong.
Kuda ebeg terbuat dari anyaman bambu yang dibentuk menyerupai kuda, diberi warna hitam atau putih dan diberi lonceng. Karena itulah, di daerah lain kesenian ini dikenal dengan nama Jaran Kepang yang artinya kuda dari kepang (anyaman bambu).


Penarinya memakai celana yang dilapisi kain batik, tetapi sebatas lutut. Mekutha (mahkota) di kepala, dan sumping di telinga. Kedua tangan dan kaki memakai gelang yang diberi kerincingan. Biasanya pemain mengenakan kacamata hitam. Ada dua orang yang memakai topeng, yang biasa disebut Penthul dan Tembem. Fungsi keduanya adalah sebagai pelawak.  Peralatan instrumen yang digunakan yaitu: gendang, gong bumbung, saron, kenong dan trompet.


b)  Lengger atau Ronggeng
                                          Secara umum, seni lengger atau ronggeng merupakan tarian yang diiringi dengan tembang (nyanyian) dan instrumen gamelan. Yang khas, tariannya tidak diiringi dengan gamelan, tetapi dengan calung, yaitu alat musik yang seluruhnya terbuat dari bambu wulung, baik gambang, saron, gong maupun suling. Baik untuk irama ‘laras pelog’ paupun ‘laras slendro’-nya. (Koderi, 1991:61). Satu-satunya alat yang bukan bambu adalah kendhang (gendang) yang tetap dibuat dari kayu dan kulit sapi.
                                          Lengger sering diasumsikan sebagai tarian rakyat kecil yang terlalu vulgar, cenderung porno. Hal ini disebabkan banyaknya gerakan bodor (pelucu/pelawak) yang memancing birahi, sehingga sering mengundang amor (cinta rahasia/perselingkuhan). Kesan yang menimbulkan image yang salah ini sudah terlanjur melekat di hati masyarakat. Tetapi sebenarnya dulu lengger justru merupakan seni tari tingkat atas. Pernyataan  Koentjaraningrat yang dikutip Budiono Herusatoto (2008:218), menyebutkan bahwa kesenian tayub bukan hanya sebagai kesenian rakyat, melainkan juga seni pertunjukkan di kalangan priayi dan bahkan di kalangan kraton Jawa.
                                          Buku History of Java, karya Thomas Stamford Raffles menyebutkan bahwa hampir semua daerah di pulau Jawa memiliki jenis tarian ini. Hal ini dibuktikan dengan nama-nama dari masing-masing daerah yang menamakan jenis tarian ini dengan istilah gandrung, ronggeng, tledhek/ledhek, tandhak, tayub, lengger dan ronggeng, (Budiono Herusatoto, 2008:217).
                                          Dalam Serat Sastramiruda dan Serat Centini disebutkan pula bahwa tayub sudah ada pada zaman Majapahit sampai Demak. Bahkan pada zaman Mataram, Panembahan Senopati mengutus putrinya, Rara Pambayun menjadi penari tayub guna memikat dan mengalahkan Ki Ageng Mangir yang membangkang dan tidak mengakui kekuasaan Mataram, (Budiono Herusatoto, 2008:217).
c)   Begalan

Istilah begalan, berasal dari kata begal, artinya perampok. Istilah begalan dalam tradisi Banyumas menurut Supriyadi (1993:6) bukan berarti merampas barang orang lain, melainkan menjaga keselamatan apabila nanti ada roh-roh jahat datang mengganggu. Begalan diartikan dengan ucapan kebegalan sambekalanipun, maksudnya dijauhkan dari segala mara bahaya. Tradisi ini dilaksanakan sebagai syarat atau krenah/ pengruwat guna menghindari segala kekuatan-kekuatan gaib yang mengancam keselamatan kedua mempelai.
Tradisi begalan dilaksanakan apabila seseorang mempunyai hajat mengawinkan anak sulung dengan anak sulung, anak bungsu dengan anak sulung, atau anak bungsu dengan anak bungsu. Perkawinan semacam itu dalam tradisi Banyumas merupakan suatu pantangan. Oleh karenanya jika perkawinan tetap akan dilangsungkan, perlu diadakan begalan guna menyingkirkan segala bentuk gangguan yang mungkin terjadi. Begalan biasanya dilakukan pada siang atau sore hari (Koderi, 1991:55).
Sebenarnya seni begalan pada zaman dahulu diadakan oleh para demang, yang kekuasaannya kala itu adalah mutlak selayaknya raja. Setiap perintahnya harus segera dilaksanakan. Karena itu, rakyat beranggapan bahwa seni begalan merupakan warisan dari para leluhur Banyumas yang tidak boleh ditinggalkan. Bahkan karena sangat taatnya, seseorang yang sebenarnya tidak mampu, memaksakan diri dengan berbagai cara untuk bisa melaksanakannya. Fungsinya pun bergeser dari sekedar upacara dalam rangka memohon keselamatan (ruwatan) menjadi sarana untuk memperolah kebanggaan dan dan pujian. 
Pertunjukkan begalan tidak memerlukan tempat yang khusus atau mewah. Tidak perlu mendirikan panggung, cukup di halaman rumah, tanpa dekor. Tata pakaian dan tata rias sangat sederhana. Pakaian cukup baju koko hitam, celana komprang hitam, stagen dan sabuk, kain atau sarung, sampur dan iket wulung (hitam). Sedang perlengkapan yang dipergunakan yaitu wlira dan brenong kepangWlira yaitu alat yang berwujud pedang kayu dan dipergunakan sebagai pemukul. Panjang wlira satu meter, tebal dua centimeter dan lebar empat centimeter. Bahan yang dipergunakan dari ruyung atau pohon pinang. Pembawa wlira adalah si begal dari pihak mempelai wanita dengan nama Suradenta. Pengantar mempelai laki-laki yang membawa peralatan-peralatan brenong kepang bernama Surantani atau Jurutani (Supriyadi,1993:10-12)
Brenong kepang berupa sepikul alat-alat dapur. Masing-masing alat-alat dapur itu memiliki makna kias tersendiri. Adapun macam-macam alat dapur tersebut yaitu wangkring atau pikulan, ian dan ilir, cething, kukusan, kalo, tampah, sorok, centong, irus, siwur, kendil, pala pendem, pala gumantung, dan seikat padi. Kebiasaan orang Banyumas, sebelum pertunjukkan dimulai didahului dengan mengadakan (menyajikan) sesajen dengan membakar kemenyan disertai pembacaan mantra-mantra. Maksud sesajen itu supaya selama hajat dilaksanakan dan waktu mempelai disandingkan terhindar dari berbagai gangguan. Macam-macam sesajian ini biasanya diletakkan di tempat yang tidak terjangkau oleh pengunjung atau tamu. Sering ditempatkan di bagian dapur atau dekat mempelai disandingkan.
Jalannya pertunjukkan, kedua penari Suradenta dan Surantani dengan membawa peralatannya masuk sambil menari ke tempat pentas diiringi gendhing ricik-ricik. Setelah gending suwuk (berhenti), salah satu penari, biasanya Suradenta, memperkenalkan diri, menceritakan maksud dan tujuannya mengadakan begalan. Penari berdialog menanyakan nama dan maksudnya, lalu minta gendhing Gunungsari. Di sinilah Surantani menjelaskan panjang lebar sanepa (makna kias) dari semua isi brenong kepang. Intinya berisi nasehat untuk mempelai berdua dalam membangun rumah tangganya agar nantinya langgeng terhindar dari berbagai cobaan hingga kakek-kakek nenek-nenek.
Saat terjadi pertengkaran mulut, diiringi gendhing Pisang Balik. Pada waktu gendhing suwuk, pertengkaran berbuntut perkelahian diiringi gendhing Renggong Kulon. Perkelahian diakhiri dengan pemecahan kendil yang berisi beras kuning, pertanda rejeki bagi mempelai kelak akan senantiasa melimpah, kemudian isi brenong kepang diperebutkan oleh penonton. Mereka meyakini, bila mendapat barang dari brenong kepang akan mendapat sawab (berkah). Alunan gendhing Eling-eling Banyumasan mengakhiri opera begalan ini (Wawancara tanggal 21 Nopember 2009 dengan Dibyo Suwignyo, pelaku Suradenta pada tradisi begalan di Notog, Banyumas).
Tampak jelas seni begalan di Banyumas memiliki kekhasan tersendiri. Bahkan upacara seperti ini tidak dijumpai di daerah lain yang biasanya melakukan ruwatan dengan pertunjukkan wayang.
Gatotkaca
d)  Wayang Kulit  ’gagrag’ Banyumas
Wayang purwa (kulit) seperti bentuknya yang sekarang  adalah hasil rekonstruksi/ciptaan Walisanga yang telah melalui proses penyempurnaan dari bentuk aslinya. Wayang purwo kuno sudah ada sejak zaman Mataram kuno, seperti yang tertera pada relief-relief candi di Jawa Tengah dan candi-candi Jawa Timur zaman Majapahit.
                             Secara etimologi, kata ’wayang’ berasal dari kata ’ayang-ayang’ (bayang-bayang) atau ’wewayangan’ (bayangan) yang berwujud dan berwarna hitam/gelap. Wujud tersebut terbentuk dari bayangan benda yang terkena sinar/cahaya lampu blencong. Wayang hanyalah sebagai lambang atau simbol dari hidup dan kehidupan manusia. Wayang dibuat oleh manusia yang difungsikan sebagai alat untuk menggambarkan watak dan sifat manusia dalam kehidupan. Wayang dapat pula menjadi alat untuk retrospeksi dan introspeksi diri.  
Ki Sugino Siswocarito
                              Ciri utama gambaran watak wayang purwa terlihat pada warna cat muka/wajah tokoh-tokoh wayang yang bersangkutan, (Soekatno, tanpa tahun:29). Adapun warna-warna wajah tokoh-tokoh wayang tersebut meliputi:
(1)   Warna merah menggambarkan watak angkara murka atau dalam bahasa Jawa dur angkara. ’Dur’ berasal dari kata ’drusila’/ ’dursila’ (jahat, buruk, bodoh) dan ’angkara’ (loba, tamak, pemarah).
(2)   Warna hitam menggambarkan watak ksatria. ’Ksatria’ artinya bersifat jujur, berani karena benar, bertekat besar untuk menegakkan kebenaran, dan pemaaf.
(3)   Warna kuning emas menggambarkan watak mulia, budi pekerti halus, penyayang kepada sesama makhluk Tuhan.
(4)   Warna putih menggambarkan kesuciah hati, pikiran jernih, dan bijaksana, yang dimiliki tokoh tersebut.
(5)   Warna kelabu/abu-abu menggambarkan watak slewuh (dari kata mengsle lan owah). ’Mengsle’ (menyimpang) dan ’owah’ (gampang berubah-ubah) berarti ’setengah-setengah’. Setengah putih dan setengah hitam berarti abu-abu diartikan sok pintar, berlagak suci, suka mencela, penakut dan tidak percaya diri.

Ciri lainnya dari wayang purwa terlihat pada bleger (bentuk tubuh) wayang. Menurut Budiono Herusatoto (2008:189) ada lima ciri utama pada bleger, yaitu:
(1)   Golongan raksasa, umumnya menggambarkan watak yang dur angkara atau drusila/ dursila.
(2)   Golongan ksatria, umumnya menggambarkan watak jujur dan ikhlas  atau legawa.
(3)   Golongan pandhita (pendeta), umumnya menggambarkan watak suci dan bijaksana.
(4)   Golongan dewa, umumnya menggambarkan watak mulya (mulia).
(5)   Golongan punakawan (para abdi), umumnya menggambarkan watak yang ngemong (mengasuh), tut wuri handayani (menjaga dan mendorong semangat), memberi nasihat dan petunjuk dan hidup sederhana.
Seni Pewayangan di daerah Banyumas diperkirakan telah ada sejak zaman Majapahit. Hal ini didasarkan atas asal-usul pemerintahan di daerah Banyumas yang bermula ketika Raden Baribin, putra Prabu Brawijaya IV di Majapahit, singgah di Banyumas saat menuju Pajajaran. Dalam kesempatan itu, Raden Baribin juga menyebarkan kebudayaan, termasuk seni wayang, (Koderi, 1991:66). Disebutkan pula bahwa pakem pedalangan gagrag Banyumasan diawali tahun 1920 dengan dimotori oleh dalang dari Desa Menganti, Gombong bernama Ki Cerma yang kemudian dikenal dengan sebutan Ki Dhalang Menganti.


Ciri pewayangan gagrag Banyumasan menurut Ki Sugino Siswocarito, dalang kondang asal Banyumas, dalam wawancara di Ajibarang, Minggu, 8 Nopember 2009, antara lain:
(1)   Saat pementasan akan dimulai, buka kelir, pegunungan dicabut, tokoh yang muncul sebagai pembuka walau sekedar muncul sekilas adalah sosok wayang keputren yang diiringi emban (limbuk).
(2)   Tokoh punakawan terdiri atas Semar, Gareng, Petruk dan Bawor. Versi Surakarta dan Yogyakarta tokoh Bawor tidak ada, adanya Bagong.
(3)   Dialog punakawan menggunakan bahasa cablaka Banyumasan (ngapak-ngapak).
Fungsi wayang purwa di samping sebagai ekspresi kebudayaan juga merupakan media pendidikan, informasi dan hiburan. Sebagai media pendidikan karena isinya banyak memberikan ajaran kepada manusia, baik sebagai individu maupun anggota masyarakat. Wayang banyak mengandung unsur pendidikan terutama dalam hal penanaman budi pekerti, mental, dan watak.
Penayagan Wayang Kulit
Wayang menjadi media informasi karena sifatnya yang sangat komunikatif. Dengan demikian sangat tepat digunakan untuk mengadakan pendekatan kepada masyarakat, memberikan informasi tentang masalah-masalah kehidupan dan seluk-beluknya. Sedangkan fungsi wayang sebagai media hiburan, karena pertunjukannya dapat disajikan dalam berbagai macam keperluan sebagai tontonan yang menghibur (Soekatno, tanpa tahun:1).   

Tidak ada komentar:

Posting Komentar