Total Tayangan Halaman

Jumat, 20 Januari 2012

SEKILAS TENTANG PEMILU DI INDONESIA







A.   PENDAHULUAN
Pemilihan umum merupakan salah satu sarana utama untuk menegakkan tatanan politik yang demokratis. Fungsinya adalah sebagai alat menyehatkan dan menyempurnakan demokrasi, bukan sebagai tujuan demokrasi. Menurut M. Rusli Karim (1991: 2), esensi pemilihan umum adalah sebagai sarana demokrasi untuk membentuk suatu system kekuasaan negara yang pada dasarnya lahir dari bawah menurut kehendak rakyat sehingga terbentuk kekuasaan negara yang benar-benar memancarkan ke bawah sebagai suatu kewibawaan sesuai dengan keinginan rakyat, oleh rakyat, menurut system permusyawaratan perwakilan.
            Menilik sejarah ketatanegaraan Indonesia, telah sembilan kali melaksanakan pemilu; tahun 1955, 1971, 1977, 1982, 1987, 1992, 1997, 1999, 2004. Dengan belajar dari kelebihan dan kekurangan dari pelaksanaan pemilu tersebut, tentunya pelaksanaan pemilu mendatang tahun 2009,  akan lebih matang dan berkualitas.
            Tulisan ini bukan merupakan sejarah pemilu, tetapi lebih merupakan sebuah pemahaman tentang arti penting pemilu dan fragmen-fragmen global tentang pemilu di Indonesia. Ada formulasi yang mengatakan bahwa pemilihan umum pada hakekatnya merupakan sarana pelaksanaan asas kedaulatan rakyat berdasarkan Pancasila (Demikrasi Pancasila) dalam Negara Republik Indonesia. Tujuannya untuk memilih wakil-wakil rakyat yang akan duduk dalam badan perwakilan rakyat, yang membawakan isi hati nurani rakyat.   
 
B.   PEMILIHAN UMUM DI INDONESIA DAN 
       SISTEMNYA
      a.   Pengertian dan Fungsinya
               Pada hakekatnya menurut Ali Murtopo, pemilihan umum adalah sarana yang tersedia bagi rakyat untuk menjalankan kedaulatannya dan merupakan lembaga demokrasi. Sedangkan menurut Manuel Kaisiepo merupakan tradisi penting yang hampir-hampir disakralkan dalam berbagai system politik di dunia. Lebih lanjut dikatakan bahwa pemilihan umum penting karena berfungsi memberi legitimasi atas kekuasaan yang ada dan bagi rezim baru, dukungan dan legitimasi inilah yang dicari (Bintan R. Saragih. 1988 : 167).
                  Menurut Soeharto, presiden RI masa Orde Baru mengatakan bahwa pemilihan umum adalah ukuran, barometer kemampuan bangsa yang menjunjung tinggi asas demokrasi dalam menyalurkan aspirasi rakyat secara demokratis dan realistis. Menjadi ukuran sampai dimana pelkasanaan sas demokrasi itu sendiri. Pemilu merupakan suatu alat, bukan tujuan. Manfaat dan tujuannya ialah untuk menciptakan stabilitas politik dan melaksanakan salah satu wujud demokrasi yang sehat ( M. Rusli Karim. 1991 : 21 )
                        Pemilihan umum selalu menjadi tawaran pertama dari rezim-rezim militer yang baru memegang kekuasaan melalui kudeta untuk mempopulerkan rezimnya pada rakyat. Padahal pemilihan umum belum jaminan demokrasi, belum merupakan ukuran bahwa kedaulatan dan kehendak rakyat sudah dipenuhi. Setidaknya dengan adanya pemilu pertanda dari kehendak rakyat dalam suatu demokrasi. Tanpa ada pemilihan umum suatu negara yang menyebutkan negaranya sebagai negara demokrasi dapat dipastikan bukan sebagai negara demokrasi dalam arti yang sebenarnya.
                        Menurut Dahl ( M. Rusli Karim. 1991 : 10 ) menyebut adanya delapan unsur demokrasi, yaitu  :
            1.   Kebebasan membentuk dan kerjasama organisasi
            2.   kebebasan berekspresi
            3.   Hak memilih
            4.   Diperkenankan adanya jabatan public
5.   Hak pemimpin politik untuk turut serta adanya dukungan dan pemungutan suara
            6.   Sumber-sumber alternative informasi
            7.   Pilihan bebas dan adil
8. Lembaga-lembaga pembuat keputusan pemerintah bertanggung-jawab pemilih dan ekspresi pilihan.
            Melalui pemilu, terbentuk organ pelaksana demokrasi. Namun belum tentu semua pemilu dapat menjalankan fungsi tersebut. Apalagi pemilu memiliki asas  yang menurut pernyataan sejagad hak-hak asasi manusia meliputi asas berkala atau teratur, jujur, kebersamaan, rahasia dan bebas. Di lapangan, sudah dilaksanakan sesuai dengan asas tersebut ?
 
      b.   Sistem Pemilihan Umum
            Umumnya anggota partai politik duduk di lembaga perwakilan melalui pemilihan umum, tetapi karena ada kelompok fungsional dalam masyarakat yang dibutuhkan duduk di Lembaga Perwakilan, maka  dikenal cara pengangkatan atau penunjukkan dikenal dengan system organis. Sedangkan yang duduk dalam Lembaga Perwakilan  melalui pemilihan umum  disebut pemilihan mekanis. Pelaksanaan kedua system ini tidak sama di semua negara, karena biasanya disesuaikan dengan kepentingan negara tersebut.
            Sistem pemilihan organis ini rakyat dipandang sebagai individu-individu yang hidup bersama-sama dalam beraneka warna persekutuan hidup dengan latar geneologi, territorial, fungsional special, lapisan social, dan lembaga social. Persekutuan-persekutuan hidup inilah memiliki hak pilih, hak untuk mengutus perwakilan di Lembaga Perwakilan sesuai dengan jumlah yang dibutuhkan atau disepakatio dalam undang-undang negara tersebut. Partai/organisasi politik tidak perlu dikembangkan dalam system ini, karena bersifat Badan Perwakilan kepentingan-kepentingan khusus persekutuan hidup yang biasa disebut Dewan Korporatif.
            Sistem pemilihan mekanis ini rakyat dipandang sebagai massa individu-individu yang sama. Individu-individu inilah sebagai pengendali hak pilih aktif dalam masing-masing memiliki satu suara dalam tiap pemilihan. Sistem ini biasanya dilaksanakan dengan dua cara; system pemilihan distrik dan system pemilihan proporsional.
            Sistem pemilihan distrik dikatakan juga system pemilihan mayoritas atau single-member constituency. Sistem pemilihan distrik adalah suatu system pemilihan umum dimana wilayah suatu negara dibagi atas distrik-distrik pemilihan yang jumlahnya sama dengan kursi yang tersedia di Parlemen. Tiap distrik memilih hanya satu wakil untuk duduk di parlemen dari sekian calon untuk distrik tersebut. Calon yang memperoleh suara terbanyak itulah yang menjadi wakil distrik.
            Sistem pemilihan proporsional disebut juga system pemilihan multi-member constituency atau system perwakilan berimbang.   Pengertiannya adalah system pemilihan umum dimana kursi yang tersedia di Parlemen Pusat diperebutkan dalam suatu pemilihan umum, dibagikan ke partai-partai / golongan-golongan politik yang turut dalam pemilhan tersebut sesuai dengan imbangan suara yang diperolehnya dalam pemilihan yang bersangkutan.
 
      c.   Pemilu di Indonesia
            Keinginan untuk menyelenggarakan pemilu di negara Indonesia telah ada sejak jaman penjajahan. Hal ini terlihat dengan adanya gerakan besar-besaran menuntut “Indonesia berparlemen”.  Setelah bangsa Indonesia merdeka, yang mengatur tentang pemilu tersirat  pada UUD 1945, pasal 1 (2) yang menyatakan Kedaulatan ada di tangan rakyat dan dilakukan sepenuhnya oleh MPR. Syarat dari kedaulatan rakyat disini adalah melalui pemilu. Juga pasal 7 UUD 1945, yang menyatakan bahwa presiden dan wakil presiden memegang jabatannya selama 5 tahun.
            Pada tanggal 5 Oktober 1945 pemerintah mengeluarkan pengumuman yang menyatakan bahwa untuk memenuhi UUD 1945 tentang kedaulatan rakyat, pemerintah mengadakan persiapan untuk melakukan pemilihan umum. Kemudian pengumuman BPKNIP No. 16 pada bulan Desember 1945 menjelaskan bahwa pemilu akan diadakan pada tahun 1946 ( M. Rusli Karim. 1991:14 ). KNIP merupakan cikal bakal DPR di Indonesia yang dibentuk pada tanggal 18 Agustus 1945, dengan jumlah anggota 27 orang, yakni seluruh anggota PPKI di tambah 6 orang. Pengisian anggotanya berdasar usul dan penunjukkan. Keanggotaan tersebut dilantik pada tanggal 29 Agustus 1945 yang kemudian ditetapkan sebagai hari lahirnya DPRRI.
            Pemilu selama awal kemerdekaan saat berlakunya UUD 1945 belum dapat dilaksanakan mengingat ketatanegaraan yang belum memungkinkan. Baru setelah terbentuknya NKRI tahun 1950, dalam konstitusi UUDS 1950, mengatur penyelenggaraan pemilihan yang dalam pasal 35 menyatakan “ kemauan rakyat adalah dasar kekuasaan penguasa, kemauan itu dinyatakan dalam pemilihan berkala yang jujur dan yang dilakukan menurut hak pilih yang bersifat umum, dan kebersamaan serta dengan pemungutan suara yang rahasia ataupun menurut cara yang juga menjamin kebebasan mengeluarkan suara” ( Bintan R. Saragih. 1988: 182).
            Atas dasar pasal ini pemerintah dan DPR membentuk Undang-undang No. 7 tahun 1953 tentang Pemilihan Anggota Konstistuante dan Anggota DPR. Akhirnya pemilihan umum di Indonesia yang pertama diselenggarakan pada tanggal 29 September 1955 untuk memilih anggota DPR, satu setengah bulan setelah terbentuknya Kabinet Burhanuddin Harahap. Sebagai ketua Lembaga Pemilihan Umum adalah menteri dalam negeri waktu itu yaitu MR. Sunaryo, dengan berasaskan langsung, umum, bebasdan rahasia disingkat luber.  
            Hal yang menarik dari Pemilihan Umum saat itu, semua kontestan ikut duduk dalam panitia Pemilu, mulai tingkat pusat sampai ke PPD, PPS bahkan sampai ke KPPS. Bisa dikatakan yang menjadi panitia pemilu waktu itu adalah pemerintah bersama parpol. Sehingga karena parpol yang menjadi kontestan pemilu, duduk juga dalam kepanitiaan, maka keadilan dan keberhasilannya jalannya pemilu lebih terjamin sesuai dengan asas luber (Bibit Suprapto. 1985: 168).
            Pemilu 1955 menganut system pemilihan proporsional (suara berimbang). Tiap 300.000 penduduk mempunyai 1 wakil di DPR. Menurut Undang-undang No. 15/ 1969 sistem pemilihan proporsional sdikit bervariasi dengan system distrik. Jumlah wakil dalam tiap daerah pemilihan umum sekurang-kurangnya sama dengan jumlah daerah tingkat II yang ada dalam daerah pemilihan bersangkutan. Tiap daerah tingkat II sekurang-kurangnya mempunyai seorang wakil. Dalam penyelenggaraan system proporsional di Indonesia, daerah pemilihan ditentukan  Daerah Tingkat I. Bila Daerah Tingkat II paling sedikit mempunyai satu wakil di DPR Pusat, maka ketentuan ini mirip dengan system pemilihan distrik. Karena itu disebut system ini bervariasi dengan system distrik. Apalagi pasal 6 UU No. 15 1969 lebih lanjut menyatakan bahwa jumlah anggota DPR yang dipilih dalam pemilihan umum di Jawa ditentukan seimbang dengan jumlah anggota yang dipilih diluar Jawa. Hal ini menjadikan system proporsional makin tidak murni dianut di Indonesia.
            Pada pemilihan umum 1971, 1977 dan 1982 dimana jumlah anggota DPR 460 orang dan yang dipilih melalui pemilu 360 orang, maka cara membagi 360 kuris ini ke daerah-daerah pemilihan yang 27 banyaknya adalah melalui 2 tahap   :
1.      Dibagikan dulu kursi DPR yang diperebutkan yaitu 360 kepada 285 daerah tangkat II yang ada ( DKI  ditetapkan dulu 8 kursi) sisanya  75 kursi.
2.      Jumlah kursi yang ada di daerah pemilihan tersebut yang sama dengan daerah tingkat II  -nya dikalikan 400.000. Kalau masih ada sisa yang dihitung kemudian dengan perimbangan sisa di daerah lain cukup untuk satu wakil maka daerah itu ditambah wakilnya demikian seterusnya sampai habis sisanya.
            Pada pemilu 1987 dan 1992 telah terjadi perubahan jumlah anggota DPR yaitu 500 orang dengan memperebutkan 400 kursi melalui pemilu, dan 100 kursi untuk melalui pengangkatan.
                  Setelah kursi tersebut dibagikan kepada daerah-daerah pemilihan, baru dibagikan kepada peserta pemilu; PPP, Golkar dan PDI. Pembagian ini sesuai dengan imbangan suara yang diperoleh organisasi peserta pemilu tersebut dalam pemilihan umum bersangkutan dimasing-masing daerah pemilihan. Cara penetapan pembagian kursi tersebut adalah sebagai berikut   :
1.         Dihitung dulu seluruh jumlah yang diperoleh para peserta pemilu dalam daerah pemilihan tersebut.
2.         Jumlah tersebut dibagi dengan kursi yang tersedia di daerah pemilihan, hasilnya itu adalah Bilangan Pembagi Pemilih (BPP). Organisasi peserta pemilu yang mendapat suara terbanyak BPP, maka mendapat satu kursi, demikian seterusnya.
3.         Kalau ada sisa kursi, maka kursi tersebut diberikan kepada organisasi peserta pemilu yang mempunyai sisa suara lebih banyak, walaupun hanya lebih satu atau dua saja.
                  Dalam pemilu tahun 1955, ratusan organisasi politik masing-masing dengan tanda gambarnya turut dalam pemilu. Menurut penelitian DR. Alfian (Bintan R. Saragih. 1988: 216), lebih kurang 172 macam-macam tanda gambar yang sebagian bersifat nasional dan sebagian lagi hanya turut dalam satu atau beberapa daerah pemilihan saja. Dalam pemilu 1971 organisasi peserta pemilu hanya 10 saja dan pemilu 1977, 1982, 1987, 1992 dan 1997 tinggal 3 organisasi saja. Pada pemilu 1999 saat bergaung reformasi di Indonesia, pesta rakyat seakan menemukan bentuknya. Undang-undang Ri Nomor 3 tahun 1999 tentang pemilu mengatur semua itu, dan cukup spektakuler, organisasi partai yang mendaftar 141. Pada tahap verifikasi tinggal 106 partai, yang dinyatakan memenuhi syarat verifikasi hanya 60 partai. Dari 60 partai akhirnya 48 partai berhak ikut pemilu 1999.
      Ada paradigma baru pada pemilu tahun 2004, perbandingannya dengan pemilu 1999 adalah sebagai berikut   :
Pemilu 1999
Pemilu 2004
Anggota KPU terdiri dari unsure pemerintah dan yang mewakili, unsure parpol peserta pemilu yang kemudian membentuk Panitia Pemilihan Indonesia (PPI)
KPU terdiri dari unsure non pemerintah dan non partisan
Presiden sebagai penanggung jawab Pemilu
KPU sebagai penanggung jawab pemilu
Sistem pemilu proporsional dengan daftar tertutup
System pemilu proporsional dengan daftar terbuka
Tidak ada dorongan hukum untuk calon wakil rakyat dari perempuan
Memberi kesempatan kepada calon wakil rakyat dari perempuan sekurang-kurangnya 30 %.
Presiden dan wakil presiden dipilih, diangkat dan diberhentikan oleh MPR.
Presiden dan wakil presiden dipilih langsung oleh rakyat dan dilantik oleh MPR.
Tidak ada peserta pemilu perseorangan tapi ada utusan daerah yang ditunjuk mewakili propinsi
Ada peserta pemilu perseorangan untuk pemilihan anggota Dewan Perwakilan daerah (DPD) disetiap propinsi sebanyak 4 orang
Menuju ke system multi partai yang semakin banyak
Menuju ke system multi partai yang sederhana dengan satu pemilih satu suara dengan daerah pemilihan relative kecil

          Itulah pemilu di Indonesia, sampai pemilu 2004 pelaksanaan pemilu cukup cantik dan mendapat pujian dunia internasional. Menilik Ketetapan MPR No. IV/MPR/1999 tentang garis-Garis Besar Haluan Negara 1999 – 2004 menyebutkan bahwa “ Menyelenggarakan pemilihan umum secara berkualitas dengan partisipasi rakyat seluas-luasnya atas dasar prinsip demokratis, langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, adil, dan beradab yang dilaksanakan oleh badan penyelenggara independent dan non partisan selambat-lambatnya pada tahun 2004”.  Ternyata apa yang dimanatkan oleh GBHN ini mampu terwujud di tahun 2004. 


C.   PENUTUP
            Pemilihan umum merupakan salah satu alat dalam rangka suatu negara menerapkan demokrasi yang sebenarnya. Ada dua alas an penting bisa disimpulkan, mengapa pemilu dilaksanakan, pertama untuk melaksanakan prinsip demokrasi, yang kedua untuk mencapai stabilitas politik.  Pemilu akan mengakhiri krisis cabinet, kelambatan serta kegagalan pemerintah , dan akan menciptakan parlemen yang representative.
            Perjalanan sejarah Pemilu di Indonesia telah berlangsung sembilan kali, banyak yang menilai bahwa pemilu pertama tersebut paling demokratis karena peran antara pemerintah dengan kekuatan politik dalam pelkasanaan pemilu relative sama. Kualitas pemilu biasanya dihubungkan dengan seberapa besar keterlibatan kekuatan politik dalam pemilu. Kecuali itu, pemilu dikatakan berhasil jika wakil rakyat yang dihasilkan juga berkualitas. Bagaimana dengan pemilu 2009 mendatang ?

                        

DAFTAR PUSTAKA

Bibit Suprapto. 1985. Perkembangan Kabinet dan Pemerintahan di Indonesia.
Jakarta : Ghalia Indonesia

Bintan R. Saragih, S.H., 1988. Lembaga Perwakilan dan Pemilihan Umum di
Indonesia. Jakarta : Gaya Media Pratama

Karim, M. Rusli. 1991. Pemilu Demokratif Kompetetif, Yogyakarta : PT Tiara
Wacana

Ricklefs, M.C., 2005. Sejarah Indonesia Modern. Jakarta : PT Serambi Ilmu
Semesta

KPU. 2003. Undang-undang RI No. 12 Th 2003, tentang Pemilu, Anggota Dewan
Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan
Rakyat Daerah.

Undang-undang Bidang Politik. 1999. Jakarta : PT Pabelan Jayakarta.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar