A. PENDAHULUAN
Pemilihan umum merupakan salah satu sarana utama untuk menegakkan tatanan
politik yang demokratis. Fungsinya adalah sebagai alat menyehatkan dan
menyempurnakan demokrasi, bukan sebagai tujuan demokrasi. Menurut M. Rusli Karim
(1991: 2), esensi pemilihan umum adalah sebagai sarana demokrasi untuk
membentuk suatu system kekuasaan negara yang pada dasarnya lahir dari bawah
menurut kehendak rakyat sehingga terbentuk kekuasaan negara yang benar-benar
memancarkan ke bawah sebagai suatu kewibawaan sesuai dengan keinginan rakyat,
oleh rakyat, menurut system permusyawaratan perwakilan.
Menilik sejarah ketatanegaraan Indonesia ,
telah sembilan kali melaksanakan pemilu; tahun 1955, 1971, 1977, 1982, 1987,
1992, 1997, 1999, 2004. Dengan belajar dari kelebihan dan kekurangan dari
pelaksanaan pemilu tersebut, tentunya pelaksanaan pemilu mendatang tahun
2009, akan lebih matang dan berkualitas.
Tulisan ini bukan merupakan sejarah
pemilu, tetapi lebih merupakan sebuah pemahaman tentang arti penting pemilu dan
fragmen-fragmen global tentang pemilu di Indonesia. Ada
formulasi yang mengatakan bahwa pemilihan umum pada hakekatnya merupakan sarana
pelaksanaan asas kedaulatan rakyat berdasarkan Pancasila (Demikrasi Pancasila)
dalam Negara Republik Indonesia .
Tujuannya untuk memilih wakil-wakil rakyat yang akan duduk dalam badan
perwakilan rakyat, yang membawakan isi hati nurani rakyat.
B. PEMILIHAN UMUM DI INDONESIA DAN
SISTEMNYA
a. Pengertian dan Fungsinya
Pada hakekatnya menurut Ali Murtopo, pemilihan umum
adalah sarana yang tersedia bagi rakyat untuk menjalankan kedaulatannya dan
merupakan lembaga demokrasi. Sedangkan menurut Manuel Kaisiepo merupakan
tradisi penting yang hampir-hampir disakralkan dalam berbagai system politik di
dunia. Lebih lanjut dikatakan bahwa pemilihan umum penting karena berfungsi
memberi legitimasi atas kekuasaan yang ada dan bagi rezim baru, dukungan dan
legitimasi inilah yang dicari (Bintan R. Saragih. 1988 : 167).
Menurut Soeharto, presiden RI masa Orde Baru
mengatakan bahwa pemilihan umum adalah ukuran, barometer kemampuan bangsa yang
menjunjung tinggi asas demokrasi dalam menyalurkan aspirasi rakyat secara
demokratis dan realistis. Menjadi ukuran sampai dimana pelkasanaan sas
demokrasi itu sendiri. Pemilu merupakan suatu alat, bukan tujuan. Manfaat dan
tujuannya ialah untuk menciptakan stabilitas politik dan melaksanakan salah satu
wujud demokrasi yang sehat ( M. Rusli Karim. 1991 : 21 )
Pemilihan
umum selalu menjadi tawaran pertama dari rezim-rezim militer yang baru memegang
kekuasaan melalui kudeta untuk mempopulerkan rezimnya pada rakyat. Padahal
pemilihan umum belum jaminan demokrasi, belum merupakan ukuran bahwa kedaulatan
dan kehendak rakyat sudah dipenuhi. Setidaknya dengan adanya pemilu pertanda
dari kehendak rakyat dalam suatu demokrasi. Tanpa ada pemilihan umum suatu
negara yang menyebutkan negaranya sebagai negara demokrasi dapat dipastikan
bukan sebagai negara demokrasi dalam arti yang sebenarnya.
Menurut
Dahl ( M. Rusli Karim. 1991 : 10 ) menyebut adanya delapan unsur demokrasi,
yaitu :
1. Kebebasan membentuk dan kerjasama organisasi
2. kebebasan berekspresi
3. Hak memilih
4. Diperkenankan adanya jabatan public
5. Hak pemimpin politik untuk turut serta
adanya dukungan dan pemungutan suara
6. Sumber-sumber alternative informasi
7. Pilihan bebas dan adil
8. Lembaga-lembaga pembuat keputusan
pemerintah bertanggung-jawab pemilih dan ekspresi pilihan.
Melalui
pemilu, terbentuk organ pelaksana demokrasi. Namun belum tentu semua pemilu
dapat menjalankan fungsi tersebut. Apalagi pemilu memiliki asas yang menurut pernyataan sejagad hak-hak asasi
manusia meliputi asas berkala atau teratur, jujur, kebersamaan, rahasia dan
bebas. Di lapangan, sudah dilaksanakan sesuai dengan asas tersebut ?
b. Sistem Pemilihan Umum
Umumnya
anggota partai politik duduk di lembaga perwakilan melalui pemilihan umum,
tetapi karena ada kelompok fungsional dalam masyarakat yang dibutuhkan duduk di
Lembaga Perwakilan, maka dikenal cara pengangkatan
atau penunjukkan dikenal dengan system organis.
Sedangkan yang duduk dalam Lembaga Perwakilan
melalui pemilihan umum disebut
pemilihan mekanis. Pelaksanaan kedua
system ini tidak sama di semua negara, karena biasanya disesuaikan dengan
kepentingan negara tersebut.
Sistem
pemilihan organis ini rakyat
dipandang sebagai individu-individu yang hidup bersama-sama dalam beraneka
warna persekutuan hidup dengan latar geneologi, territorial, fungsional
special, lapisan social, dan lembaga social. Persekutuan-persekutuan hidup
inilah memiliki hak pilih, hak untuk mengutus perwakilan di Lembaga Perwakilan
sesuai dengan jumlah yang dibutuhkan atau disepakatio dalam undang-undang
negara tersebut. Partai/organisasi politik tidak perlu dikembangkan dalam system
ini, karena bersifat Badan Perwakilan kepentingan-kepentingan khusus
persekutuan hidup yang biasa disebut Dewan Korporatif.
Sistem
pemilihan mekanis ini rakyat dipandang sebagai massa individu-individu yang sama.
Individu-individu inilah sebagai pengendali hak pilih aktif dalam masing-masing
memiliki satu suara dalam tiap pemilihan. Sistem ini biasanya dilaksanakan
dengan dua cara; system pemilihan distrik dan system pemilihan proporsional.
Sistem
pemilihan distrik dikatakan juga system pemilihan mayoritas atau single-member constituency. Sistem
pemilihan distrik adalah suatu system pemilihan umum dimana wilayah suatu
negara dibagi atas distrik-distrik pemilihan yang jumlahnya sama dengan kursi
yang tersedia di Parlemen. Tiap distrik memilih hanya satu wakil untuk duduk di
parlemen dari sekian calon untuk distrik tersebut. Calon yang memperoleh suara
terbanyak itulah yang menjadi wakil distrik.
Sistem
pemilihan proporsional disebut juga system pemilihan multi-member constituency atau system perwakilan berimbang. Pengertiannya adalah system pemilihan umum
dimana kursi yang tersedia di Parlemen Pusat diperebutkan dalam suatu pemilihan
umum, dibagikan ke partai-partai / golongan-golongan politik yang turut dalam
pemilhan tersebut sesuai dengan imbangan suara yang diperolehnya dalam
pemilihan yang bersangkutan.
c. Pemilu di Indonesia
Keinginan
untuk menyelenggarakan pemilu di negara Indonesia telah ada sejak jaman
penjajahan. Hal ini terlihat dengan adanya gerakan besar-besaran menuntut “Indonesia
berparlemen”. Setelah bangsa Indonesia
merdeka, yang mengatur tentang pemilu tersirat
pada UUD 1945, pasal 1 (2) yang menyatakan Kedaulatan ada di tangan
rakyat dan dilakukan sepenuhnya oleh MPR. Syarat dari kedaulatan rakyat disini
adalah melalui pemilu. Juga pasal 7 UUD 1945, yang menyatakan bahwa presiden
dan wakil presiden memegang jabatannya selama 5 tahun.
Pada
tanggal 5 Oktober 1945 pemerintah mengeluarkan pengumuman yang menyatakan bahwa
untuk memenuhi UUD 1945 tentang kedaulatan rakyat, pemerintah mengadakan
persiapan untuk melakukan pemilihan umum. Kemudian pengumuman BPKNIP No. 16
pada bulan Desember 1945 menjelaskan bahwa pemilu akan diadakan pada tahun 1946
( M. Rusli Karim. 1991:14 ). KNIP merupakan cikal bakal DPR di Indonesia yang
dibentuk pada tanggal 18 Agustus 1945, dengan jumlah anggota 27 orang, yakni
seluruh anggota PPKI di tambah 6 orang. Pengisian anggotanya berdasar usul dan
penunjukkan. Keanggotaan tersebut dilantik pada tanggal 29 Agustus 1945 yang
kemudian ditetapkan sebagai hari lahirnya DPRRI.
Pemilu
selama awal kemerdekaan saat berlakunya UUD 1945 belum dapat dilaksanakan
mengingat ketatanegaraan yang belum memungkinkan. Baru setelah terbentuknya
NKRI tahun 1950, dalam konstitusi UUDS 1950, mengatur penyelenggaraan pemilihan
yang dalam pasal 35 menyatakan “ kemauan rakyat adalah dasar kekuasaan
penguasa, kemauan itu dinyatakan dalam pemilihan berkala yang jujur dan yang
dilakukan menurut hak pilih yang bersifat umum, dan kebersamaan serta dengan
pemungutan suara yang rahasia ataupun menurut cara yang juga menjamin kebebasan
mengeluarkan suara” ( Bintan R. Saragih. 1988: 182).
Atas
dasar pasal ini pemerintah dan DPR membentuk Undang-undang No. 7 tahun 1953
tentang Pemilihan Anggota Konstistuante dan Anggota DPR. Akhirnya pemilihan
umum di Indonesia
yang pertama diselenggarakan pada tanggal 29 September 1955 untuk memilih
anggota DPR, satu setengah bulan setelah terbentuknya Kabinet Burhanuddin
Harahap. Sebagai ketua Lembaga Pemilihan Umum adalah menteri dalam negeri waktu
itu yaitu MR. Sunaryo, dengan berasaskan langsung, umum, bebasdan rahasia
disingkat luber.
Hal
yang menarik dari Pemilihan Umum saat itu, semua kontestan ikut duduk dalam
panitia Pemilu, mulai tingkat pusat sampai ke PPD, PPS bahkan sampai ke KPPS. Bisa
dikatakan yang menjadi panitia pemilu waktu itu adalah pemerintah bersama
parpol. Sehingga karena parpol yang menjadi kontestan pemilu, duduk juga dalam
kepanitiaan, maka keadilan dan keberhasilannya jalannya pemilu lebih terjamin
sesuai dengan asas luber (Bibit Suprapto. 1985: 168).
Pemilu
1955 menganut system pemilihan proporsional (suara berimbang). Tiap 300.000
penduduk mempunyai 1 wakil di DPR. Menurut Undang-undang No. 15/ 1969 sistem
pemilihan proporsional sdikit bervariasi dengan system distrik. Jumlah wakil
dalam tiap daerah pemilihan umum sekurang-kurangnya sama dengan jumlah daerah
tingkat II yang ada dalam daerah pemilihan bersangkutan. Tiap daerah tingkat II
sekurang-kurangnya mempunyai seorang wakil. Dalam penyelenggaraan system
proporsional di Indonesia ,
daerah pemilihan ditentukan Daerah
Tingkat I. Bila Daerah Tingkat II paling sedikit mempunyai satu wakil di DPR
Pusat, maka ketentuan ini mirip dengan system pemilihan distrik. Karena itu
disebut system ini bervariasi dengan system distrik. Apalagi pasal 6 UU No. 15
1969 lebih lanjut menyatakan bahwa jumlah anggota DPR yang dipilih dalam
pemilihan umum di Jawa ditentukan seimbang dengan jumlah anggota yang dipilih
diluar Jawa. Hal ini menjadikan system proporsional makin tidak murni dianut di
Indonesia .
Pada
pemilihan umum 1971, 1977 dan 1982 dimana jumlah anggota DPR 460 orang dan yang
dipilih melalui pemilu 360 orang, maka cara membagi 360 kuris ini ke
daerah-daerah pemilihan yang 27 banyaknya adalah melalui 2 tahap :
1.
Dibagikan dulu kursi DPR yang diperebutkan yaitu 360
kepada 285 daerah tangkat II yang ada ( DKI
ditetapkan dulu 8 kursi) sisanya
75 kursi.
2.
Jumlah kursi yang ada di daerah pemilihan tersebut yang
sama dengan daerah tingkat II -nya
dikalikan 400.000. Kalau masih ada sisa yang dihitung kemudian dengan
perimbangan sisa di daerah lain cukup untuk satu wakil maka daerah itu ditambah
wakilnya demikian seterusnya sampai habis sisanya.
Pada
pemilu 1987 dan 1992 telah terjadi perubahan jumlah anggota DPR yaitu 500 orang
dengan memperebutkan 400 kursi melalui pemilu, dan 100 kursi untuk melalui
pengangkatan.
Setelah kursi tersebut dibagikan kepada
daerah-daerah pemilihan, baru dibagikan kepada peserta pemilu; PPP, Golkar dan
PDI. Pembagian ini sesuai dengan imbangan suara yang diperoleh organisasi
peserta pemilu tersebut dalam pemilihan umum bersangkutan dimasing-masing
daerah pemilihan. Cara penetapan pembagian kursi tersebut adalah sebagai
berikut :
1.
Dihitung dulu seluruh jumlah yang diperoleh para
peserta pemilu dalam daerah pemilihan tersebut.
2.
Jumlah tersebut dibagi dengan kursi yang tersedia di
daerah pemilihan, hasilnya itu adalah Bilangan Pembagi Pemilih (BPP).
Organisasi peserta pemilu yang mendapat suara terbanyak BPP, maka mendapat satu
kursi, demikian seterusnya.
3.
Kalau ada sisa kursi, maka kursi tersebut diberikan
kepada organisasi peserta pemilu yang mempunyai sisa suara lebih banyak,
walaupun hanya lebih satu atau dua saja.
Dalam
pemilu tahun 1955, ratusan organisasi politik masing-masing dengan tanda
gambarnya turut dalam pemilu. Menurut penelitian DR. Alfian (Bintan R. Saragih.
1988: 216), lebih kurang 172 macam-macam tanda gambar yang sebagian bersifat
nasional dan sebagian lagi hanya turut dalam satu atau beberapa daerah
pemilihan saja. Dalam pemilu 1971 organisasi peserta pemilu hanya 10 saja dan
pemilu 1977, 1982, 1987, 1992 dan 1997 tinggal 3 organisasi saja. Pada pemilu
1999 saat bergaung reformasi di Indonesia ,
pesta rakyat seakan menemukan bentuknya. Undang-undang Ri Nomor 3 tahun 1999
tentang pemilu mengatur semua itu, dan cukup spektakuler, organisasi partai
yang mendaftar 141. Pada tahap verifikasi tinggal 106 partai, yang dinyatakan
memenuhi syarat verifikasi hanya 60 partai. Dari 60 partai akhirnya 48 partai
berhak ikut pemilu 1999.
Pemilu 1999
|
Pemilu 2004
|
Anggota
KPU terdiri dari unsure pemerintah dan yang mewakili, unsure parpol peserta
pemilu yang kemudian membentuk Panitia Pemilihan Indonesia (PPI)
|
KPU
terdiri dari unsure non pemerintah dan non partisan
|
Presiden
sebagai penanggung jawab Pemilu
|
KPU
sebagai penanggung jawab pemilu
|
Sistem
pemilu proporsional dengan daftar tertutup
|
System
pemilu proporsional dengan daftar terbuka
|
Tidak
ada dorongan hukum untuk calon wakil rakyat dari perempuan
|
Memberi
kesempatan kepada calon wakil rakyat dari perempuan sekurang-kurangnya 30 %.
|
Presiden
dan wakil presiden dipilih, diangkat dan diberhentikan oleh MPR.
|
Presiden
dan wakil presiden dipilih langsung oleh rakyat dan dilantik oleh MPR.
|
Tidak
ada peserta pemilu perseorangan tapi ada utusan daerah yang ditunjuk mewakili
propinsi
|
|
Menuju
ke system multi partai yang semakin banyak
|
Menuju
ke system multi partai yang sederhana dengan satu pemilih satu suara dengan
daerah pemilihan relative kecil
|
Itulah pemilu di Indonesia , sampai pemilu 2004
pelaksanaan pemilu cukup cantik dan mendapat pujian dunia internasional.
Menilik Ketetapan MPR No. IV/MPR/1999 tentang garis-Garis Besar Haluan Negara
1999 – 2004 menyebutkan bahwa “ Menyelenggarakan pemilihan umum secara
berkualitas dengan partisipasi rakyat seluas-luasnya atas dasar prinsip demokratis,
langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, adil, dan beradab yang dilaksanakan oleh
badan penyelenggara independent dan non partisan selambat-lambatnya pada tahun
2004”. Ternyata apa yang dimanatkan oleh
GBHN ini mampu terwujud di tahun 2004.
C. PENUTUP
Pemilihan umum merupakan salah satu
alat dalam rangka suatu negara menerapkan demokrasi yang sebenarnya. Ada dua alas an penting
bisa disimpulkan, mengapa pemilu dilaksanakan, pertama untuk melaksanakan
prinsip demokrasi, yang kedua untuk mencapai stabilitas politik. Pemilu akan mengakhiri krisis cabinet,
kelambatan serta kegagalan pemerintah , dan akan menciptakan parlemen yang
representative.
Perjalanan sejarah Pemilu di Indonesia
telah berlangsung sembilan kali, banyak yang menilai bahwa pemilu pertama
tersebut paling demokratis karena peran antara pemerintah dengan kekuatan
politik dalam pelkasanaan pemilu relative sama. Kualitas pemilu biasanya
dihubungkan dengan seberapa besar keterlibatan kekuatan politik dalam pemilu.
Kecuali itu, pemilu dikatakan berhasil jika wakil rakyat yang dihasilkan juga
berkualitas. Bagaimana dengan pemilu 2009 mendatang ?
DAFTAR PUSTAKA
Bibit Suprapto. 1985. Perkembangan
Kabinet dan Pemerintahan di Indonesia.
Bintan R. Saragih, S.H., 1988. Lembaga Perwakilan dan Pemilihan Umum di
Karim, M. Rusli. 1991. Pemilu
Demokratif Kompetetif, Yogyakarta : PT
Tiara
Wacana
Ricklefs, M.C., 2005. Sejarah
Indonesia
Modern. Jakarta
: PT Serambi Ilmu
Semesta
KPU. 2003. Undang-undang
RI No. 12 Th 2003, tentang Pemilu, Anggota Dewan
Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan
Rakyat Daerah.
Undang-undang Bidang
Politik. 1999. Jakarta
: PT Pabelan Jayakarta.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar