Kerajaan
Mataram pada abad ke –18 mengalami kemerosotan. Belanda berhasil memecah belah
wilayah kerajaan Mataram menjadi Surakarta, Ngayogyakarta, Mangkunegara dan
Pakualaman. Sebagian besar daerah-daerah kekuasaan Mataram diambil alih menjadi
Belanda dengan dalih sebagai imbalan atas bantuan pada pihak tertentu dari
empat kerajaan kecil tersebut.
Tindakan
sewenang-wenang yang dilakukan Belanda ini menimbulkan kebencian dari kalangan
rakyat banyak. Kebencian terakumulasi melahirkan perlawanan rakyat menentang
pendudukan Belanda. Tindakan Belanda yang memancing perlawanan adalah :
- Kekuasaan raja Mataram semakin lemah, wilayahnya dipecah-pecah.
- Kewibawaan kerajaan merosot akibat Belanda ikut campur tangan dalam urusan pemerintahan dan pengangkatan raja pengganti.
- Kaum bangsawan sangat dirugikan karena sebagian besar sumber penghasilannya diambil alih oleh Belanda. Mereka dilarang menyewakan tanah bahkan diambil alih haknya.
- Adat istiadat keraton menjadi rusak dan kehidupan beragama menjadi merosot.
- Penderitaan rakyat yang berkepanjangan sebagai akibat dari berbagai macam pajak seperti pajak hasil bumi, pajak jembatan, pajak jalan, pajak pasar, pajak ternak, pajak dagangan, pajak kepala dan pajak tanah.
Tindakan perlawanan yang
membuat kewalahan pihak Belanda datang dari Tegalrejo yang dengan cepat meluas
ke seantero Jawa. Perlawanan ini dipimpin oleh Pangeran Diponegoro didukung
oleh Kyai Mojo, Pangeran Mangkubumi, Sentot Ali Basyah Prawirodirjo dan
Pangeran Dipokusumo.
Hal yang menjadi sebab utama Pangeran Diponegoro
mengobarkan perlawanan terhadap Belanda adalah adanya rencana pembuatan jalan
yang melalui makam leluhur Pangeran Diponegoro di Tegalrejo. Patih Danurejo IV
yang merupakan kaki tangan Belanda berulangkali memasang patok –patok yang
telah di cabut di jalur itu. Akhirnya patok-patok itu oleh Pangeran Diponegoro
diganti dengan tombak sebagai tanda penyelesaian dengan perang. Belanda memakai
Pangeran Mangkubumi ( paman Pangeran Diponegoro ) untuk membujuk agar mau
berunding dengan residen Belanda di Loji.
Pangeran Diponegoro tetap bersikeras siap perang dan Pangeran Mangkubumi
akhirnya memberi dukungan.
Pangeran Diponegoro ( 1785 – 1855 ) adalah putra sulung Sultan Hamengku
Buwono III. Sewaktu kecil bernama R. M. Ontowiryo, hidup bersama neneknya yang
bernama Ratu Ageng di Tegalrejo. Ilmu agama Islam begitu mendalam dipelajari,
sehingga membentuk karakter yang tegas, keras dan jihad.
Pada tanggal 20 Juli 1825, Belanda
bersama Patih Danurejo IV mengadakan serangan ke Tegalrejo. Pangeran
Diponegoro bersama pengikutnya menyingkir ke Selarong, sebuah perbukitan di selatan
Yogyakarta. Selarong dijadikan markas untuk menyusun kekuatan dan strategi
penyerangan secara gerilya. Agar tidak mudah diketahui oleh pihak Belanda,
tempat markas berpindah-pindah, dari
Selarong ke Plered kemudian ke Dekso dan ke Pengasih.
Perang Diponegoro meluas dari Yogyakarta ke daerah lain,
seperti Pacitan, Purwodadi, Banyumas, Pekalongan, Madiun, Rembang , Semarang
dan Kertosono. Maka Perang Diponegoro sering dikenal juga sebagai Perang Jawa.
Pasukan Pangeran Diponegoro mendapat banyak kemenangan pada
pertempuran-pertempuran sekitar tahun 1825 – 1826. Peristiwa heroik yang cukup
gemilang adalah pertempuran di Lengkong. Pasukan Pangeran Diponegoro berhasil
memporak-porandakan pasukan Belanda yang lebih besar. Dengan siasat gerilya,
pasukan Pangeran Diponegoro berhasil menghantam pasukan Belanda di beberapa
tempat.
Berbagai upaya untuk mematahkan perlawanan Pangeran
Diponegoro telah dilakukan Belanda, namun masih gagal. Siasat Bentel Stelsel (
sistim Benteng ) yang banyak menguras biaya diterapkan juga. Namun sistim
benteng ini juga kurang efektif untuk mematahkan perlawanan Diponegoro.
Benteng Stelsel ( sitim Benteng ) adalah
siasat yang dilakukan dengan cara membangun sejumlah benteng di daerah-daerah
yang telah dikuasai Belanda. Antara benteng yang satu dengan yang lainnya
dihubungkan dengan jalan, tujuannya untuk mempermudah mobilisasi pasukan
Belnada ke daerah yang membutuhkan bantuan.
Tujuan Benteng Stelsel adalah :
1.
Agar pasukan
Pangeran Diponegoro terpecah belah.
2.
Agar pasukan
Pangeran Diponegoro ruang geraknya terbatas.
3.
Agar pasukan
pangeran Diponegoro kesulitan mendapat suplai logistik maupun senjata dan
pasukan.
Sentot Ali Basyah Prawirodirjo bersedia berunding dengan
syarat yang disetujui Belanda
Yaitu :
- Tetap beragama Islam
- Berpakaian sorban
- Memimpin pasukan 1000 orang
- Di beri senjata sebanyak 5000 buah senapan
Pada anggal 20
Oktober 1829, Sentot bahkan dianugerahi pangkat Letnan Kolonel yang langsung di
bawah pimpinan Jendral De Kock. Sentot dengan pasukannya sempat di kirim
ke Sumatera Barat untuk membantu memadamkan Perang Paderi. Kekhawatiran Belanda
terhadap Sentot setelah bertemu dengan Tuanku Imam yang seakidah ternyata
menjadi kenyataan. Sentot justru mendukung perjuangan Tuanku Imam di Bonjol.
Jenderal
De Kock akhirnya menggunakan siasat tipu muslihat melalui perundingan
yang menghormati menjamin keselamatan. Pada tanggal 28 Maret 1830, Pangeran
Diponegoro bersedia hadir untuk berunding di rumah Residen Kedu di Magelang.
Perundingan tanpa membuahkan hasil atau kesepakatan, kekebalan keselamatan
Pangeran Diponegoro ternyata diingkari. Pangeran Diponegoro di tangkap dan
ditawan di Semarang dan dipindah ke Batavia. Selanjutnya pada tanggal 3 Mei
1830 dipindah lagi ke Manado. Pada tahun 1834 pengasingannya dipindah lagi ke
Makasar sampai meninggal dunia pada usia 70 tahun tepatnya tanggal 8 Januari 1855.
Perang Diponegoro
ternyata membuat Belanda banyak mengalami kerugian baik harta maupun nyawa.
Biaya yang dikeluarkan untuk menghadapi perlawanan Pangeran Diponegoro sekitar
20 juta Golden nilai uang waktu itu.
Korban nyawa pihak Belanda mencapai 8000 pasukan Belanda dan 7000
pasukan Belanda dari golongan pribumi. Kerusakan-kerusakan lain seperti
fasilitas gedung, jalan, jembatan dan
sarana lain sangat besar nilai kerugiannya.
DAFTAR PUSTAKA
Badrika, Wayan . 2000. Sejarah Nasional Indonesia dan
Umum 2, Jakarta: Penerbit Erlangga
Depdiknas. 2005.
Materi Pelatihan Terintegrasi IPS Sejarah. Jakarta: Direktorat PLP.
Marwati Djoenet
P. & Nugroho Noto Susanto. 1993. Sejarah Nasional Indonesia VI. Jakarta: Balai Pustaka
Ricklefs, M.C., 2005. A History of Modern Indonesia
Since c. 1200. alih bahasa Satrio
Wahono dkk. Sejarah
Indonesia Modern 1200 – 2004,
Jakarta : PT Serambi Ilmu
Semesta.
Ada yang dikaburkan dari sejarah, ini tak lepas dari berkuasanya orde baru. Pertanyaan besar, mengapa Peran dari Pangeran Mangkubumi tidak tercatat?, padahal jaman Presiden Soekarno Pangeran Mangkubumi diangkat sebagai Pahlawan Nasional???..
BalasHapusAda apa dibalik ini??
Mungkin perlu dijadikan acuan utama adalah buku sejarah Nasional Indonesia karangan saya lupa timnya, tapi salah satunya adalah Prof Nugroho Notosusanto, disitu tercatat jelas runtutan Perang Diponegoro dan tokoh2 yang ikut berjuang. Adalah aneh Seorang Pangeran Mangkubumi diangkat sebagai Pahlawan Nasional, tapi tidak tercatat dalam sejarah saat ini.
thx
Mari kita tegakkan sejarah dengan sebenar benarnya, bukan krn kebencian membuat seorang Pahlawan Nasional dihilangkan dalam sejarah saat ini.Gelar Pahlawan Nasional bukan gelar Main main, tapi sudah mendapat kajian secara mendalam. Sungguh aneh negeri ini ,yang berkuasa bisa menghapus jejak sejarah dan memanupulasi.
BalasHapusCatatan akhir, Pangeran Mangkubumi adalah tokoh hebat dibalik Perlawanan Diponegoro, tertangkapnya Pangeran Mangkubumi membuat Diponegoro kehilangan satu Tangannnya
Tambahan sedikit, dulu diseputaran Meyestic Jakarta ada Jalan Pangeran Mangkubumi, dengan arogan penguasa Orde baru merubah menjadi jalan Bumi.
BalasHapus