Total Tayangan Halaman

Jumat, 20 Januari 2012

KRISIS MORAL : Fenomena Sosial Menjelang Era Globalisasi



Gerak sejarah di tanah air menjelang era globalisasi dewasa ini merajut cerita yang memprihatinkan. Jatuhnya rezim Orde Baru yang ditandai oleh lengsernya kepemimpinan Soeharto tahun 1998 yang lalu ternyata belum menuju kearah perbaikan diberbagai sektor. Krisis multi demensi seakan telah berurat berakar. Mulai krisis ekonomi tahun 1998 yang salah satunya menyebabkan nilai rupiah menukik tajam terhadap US $. Bahklan saat ini kita diperparah dengan munculnya krisis energi sehingga kelangkaan BBM tak terelakkan lagi.
Krisis pangan membuat banyak manusia Indonesia cenderung memikirkan diri sendiri dan melupakan lingkungan sekitarnya. Sampai-sampai karena urusan perut tidak peduli melakukan hal-hal yang membawa petaka pada orang banyak. Penebangan hutan secara liar, pencurian batang besi rel kereta api, pencurian kabel PLN dan lainnya walau membawa resiko pada diri sendiri lagi-lagi karena lapar dan nafsu semua rambu-rambu norma dan nilai di abaikan. Apakah ini merupakan indikasi demoralisasi masyarakat kita ?



A.   KRISIS MORAL, SEBAB DAN DAMPAKNYA

Kata moral sering diidentikkan dengan budi pekerti, adab, etika, tata krama, etiket, dan sebagainya. Dalam kosakata bahasa Arab, istilah itu sering disebut al-akhlaq atau al-adab. Al-akhlaq adalah bentuk jamak dari al-khuluq, artinya budi pekerti atau moralitas. Kata itu semula diproyeksikan sebagai sandingan kata al-khalq, berarti ciptaan.
Meskipun berasal dari akar kata sama (kha-la-qa), kedua istilah itu memiliki arti yang bersifat immateri dan permanen, sedangkan al-khalq sebagai partner keberadaan manusia yang bersifat materi, bisa dilihat, kasat mata, dan sementara. Keduanya tidak dapat dipisahkan. Meniadakan salah satu berarti memudarkan jati diri manusia. Karena itu, manusia sejati (insan kamil) adalah pengungkapan ahsan taqwim, ciptaan Tuhan yang terbaik, yang baru terwujud jika antara al-khuluq memiliki irama dan ritme yang selaras dengan al-khalq (Said Aqiel Siradj,2008).
            Beberapa penulis klasik Eropa seperti Nicolo Machiavelli ( 1469-1527), Sigmun Freud, Thomas Lickona dan Brook & Goble memiliki pendapat beragam tentang  penyebab penyimpangan tingkah laku sebagai cermin krisis moral. Nicolo Machiavelli  berpendapat penyimpangan tingkah laku tersebut ialah kerana manusia itu pada dasarnya adalah penipu, rakus, tidak pernah puas dan kejam. Begitu juga, pemikir Thomas Hobes (1588-1679) yang berpendapat bahwa manusia itu
mempunyai sifat dasar yang mementingkan egonya sendiri dan merupakan musuh bagi manusia lainnya (homo homini lupus).
Menurut Prof. Dr. Koentjaraningrat, dalam bukunya Manusia dan Kebudayaan di Indonesia ( 1988 : 384 ), menyatakan bahwa suatu sifat dari bangsa Indonesia yang sering kita banggakan adalah faktor aneka warna bangsa, namun sifat ini mempunyai aspek-aspek yang membuat pembangunan sangat sukar. Masyarakat majemuk memiliki potensi ketegangan antar suku bangsa dan golongan.  Memang tidak bisa dipungkiri, bila pembangunan terhambat karena munculnya multi krisis, khususon krisis moral.
Sisi lain pendapat sarjana Jepang yang bernama Akira Nagazumi (1986 : 19) mengatakan bahwa tekanan jumlah penduduk yang makin banyak dan sumber-sumber daya yang terbatas, masyarakat pedesaan Jawa tidak lagi terbagi menjadi 2 golongan yaitu golongan tuan tanah besar dan golongan setengah budak yang tertindas, tetapi sebaliknya masyarakat ini mempertahankan suatu tingkat homogenitas (keserbasamaan) sosial dan ekonomi yang cukup tinggi dengan membagi kue ekonomi dalam potongan yang makin lama makin kecil. Masyarakat bukannya terbagi menjadi golongan kaya dan golongan miskin, yang ada dalam bahasa kaum tani yang sedikit diperhalus hanyalah golongan cukup dan golongan kekurangan.
Dari pendapat beberapa penulis klasik Eropa, Koentjaraningrat, dan Akira Nagazumi, dapat disimpulkan bahwa sebagai penyebab krisis moral masyarakat Indonesia ada 2 faktor, yaitu faktor intern dan faktor ekstern. Faktor intern adalah muncul dari dalam diri seseorang sebagaimana pendapat para penulis klasik Eropa, sedang faktor ekstern adalah sebab dari luar diri seseorang. Faktor dari luar di samping karena faktor jumlah penduduk yang tinggi, keanekawarna bangsa, tentunya masih banyak dimensi lain yang sangat mempengaruhi.
Berbicara tentang  krisis tanggung-jawab, tidak bisa dipisahkan dengan krisis moral. Orang yang tidak bertanggung jawab terhadap sesuatu yang semestinya, merupakan salah satu dari bentuk penyimpangan tingkah laku dan dapat dikategorikan sebagai bagian dari krisis moral. Dampak penyimpangan ini bisa menyebar ke berbagai sektor    :
1.      Sektor ekonomi, menyebabkan krisis ekonomi dan pangan.
2.      Sektor social, menyebabkan krisis social, anarkhis dan tidak berperikemanusiaan.
3.      Sektor budaya, menyebabkan krisis etis estetika.
4.      Sektor politik, menyebabkan krisis kepercayaan.

B.   ALTERNATIF PENGENDALIAN KRISIS

Sebenarnya ada beberapa indikator untuk melihat adanya kejahatan dan krisis demoralisasi masyarakat kita yang kemudian dijadikan ukuran bagi perkembangan kualitas kehidupan suatu bangsa.  Menurut Thomas Lickona dalam Educating for Character, How Our Schools Can Teach Respect and Responsibility (1992), terdapat sepuluh tanda dari perilaku manusia yang menunjukkan arah kehancuran suatu bangsa. Tanda-tanda kehancuran sebuah bangsa antara lain ialah meningkatnya keganasan dan pergaulan bebas  di kalangan remaja, berkembangnya budaya tidak jujur, semakin meningkat rasa tidak hormat kepada orang tua, guru dan pemimpin. Ia juga ditandai dengan meningkatnya kumpulan-kumpulan liar, selain tumbuhnya kecurigaan dan kebencian antara kaum, penggunaan bahasa yang buruk dan kemerosotan moral.
Keprihatinan yang mendalam atas krisis-krisis berkepanjangan yang menimpa bangsa tercinta ini, diawali dari semakin meredupnya kepekaan dan kepedulian masyarakat terhadap kemerosotan moral bangsa, terbukti dengan semakin maraknya tindakan yang dapat meruntuhkan nilai moral. Karena kurangnya wadah yang menjadi media aspirasi dari keresahan masyarakat terhadap krisis yang terjadi, maka dibutuhkan upaya bersama untuk membantu memperbaiki keadaan bangsa ini. Upaya ini memerlukan komitmen yang tulus dan kepekaan yang tinggi dari setiap individu masyarakat.

1.   Perspektif agama

Sebagai alternatif pengendalian krisis, perspektif agama sebenarnya lebih tepat. Peningkatan gejala sosial dan penyimpangan sosial disebabkan segelintir masyarakat terlalu lemah dalam pengendalian emosi dan nafsunya karena tidak lagi memiliki ikatan kuat dengan kekuasaan mutlak Tuhan.
Dalam konteks moral, agama memberi petunjuk praktis dalam menyempurnakan moralitas manusia. Dalam diri manusia tersimpul dorongan baik dan buruk (al-ba’its al-din wa al-ba’its al- syaithan). Agama tidak menyangkal, manusia dengan akalnya mampu membedakan antara baik (al-haq) dan buruk (al-bathil). Namun, agama mewartakan, hanya dengan akal manusia tidak akan mampu menangkap hakikat moralitas. Sebab, akal mudah terbelokkan oleh unsur lain dalam diri manusia, terutama apa yang disebut nafsu (syahwathiyah). Masalah moral boleh dikatakan amat lembut, sering meremangkan pandangan manusia. Agama mengajarkan untuk selalu bersikap ramah kepada sesama, bersedekah, saling membantu (ta’awun) sehingga terbentuk kohesi dan solidaritas sosial (hablum min al-nas). Ini adalah ajaran moral standar yang secara ’aqliyah maupun naqliyah diterima. Islam menjunjung perenungan rasional (ta’aqqul, tadabbur, I’tibar), karena dengan itu manusia bisa merengkuh pemahaman secara baik.

2.   Usaha Bersama

Perlu adanya usaha bersama membangun akhlak moralitas dan karakter bangsa demi kemajuan dan kemartabatan bangsa dengan cara-cara yang baik dan berbudi. Demi membangun kejernihan akhlak bangsa itu harus dimulai dari membangun hati nurani. "Kemajuan dan martabat bangsa bukan hanya ditentukan oleh prestasi material, tetapi juga oleh kekuatan akhlak, moralitas dan karakter bangsa. Pembangunan kekuatan akhlak, moralitas dan karakter bangsa tersebut harus dilakukan secara serius, konsisten dan bersama-sama seluruh potensi dan elemen bangsa," ujar sejarawan dan peneliti LIPI, Dr Haryo Nugroho.
Katanya, kelemahan bangsa kita adalah belum bersungguh-sungguh menghidupkan dan membangkitkan kekuatan hati nurani. Padahal nurani itulah yang akan menentukan akal pikiran, sikap, dan tingkah laku menjadi penuh nilai kemuliaan dan kehormatan yang hakiki. Hati nurani tidak pernah berdusta dan tidak bisa dibohongi. Hati nurani, inti martabat dan kemuliaan manusia. Yang dapat membantu bangsa Indonesia keluar dari krisis adalah bangsa Indonesia itu sendiri, dengan menjadi pejuang yang tulus yang berbuat untuk kebaikan bersama dalam menata bangsa menuju kehidupan yang lebih baik. Untuk itu diperlukan wadah agar dapat saling membantu memperbaiki diri, membangun ketahanan moral keluarga, khususnya generasi muda serta berkiprah dalam membangun lingkungan dan bangsa, sehingga bangsa dapat keluar dari krisis moral.
Karena itu tegasnya, gerakan moral dimaksud bukan gerakan politik, namun merupakan gerakan sukarela yang tidak memiliki ikatan apapun selain ikatan hati nurani yang bertekad untuk memiliki kepekaan, kepedulian, dan berbuat serta berjuang bersama-sama dengan cara yang santun. Salah satu yang masih perlu dilakukan adalah gerakan membangun nurani bangsa dan masih dibutuhkan sejumlah gerakan moral sejenis agar lebih efektif dan membumi. "Bangkitnya negeri ini dari krisis akan terjadi, bila masyarakat menjadi para pejuang yang tulus berbuat untuk kemaslahatan bersama. Untuk itu, diperlukan wadah yang dapat menampung keluh kesah, aspirasi masyarakat dalam meningkatkan moral bangsa ini. Wadah tersebut tidak tergabung dalam partai politik atau elemen negara sehingga masyarakat mempunyai wadah langsung dalam menyuarakan hati nuraninya. Sejumlah organisasi gerakan moral memang sudah ada namun masih perlu diperbanyak," paparnya.
Beberapa tahun terakhir korupsi diperlakukan sebagai kejahatan luar biasa dan sejumlah koruptor dijerat hukum. Sebelumnya, korupsi sulit diberantas. Sistem hukum lama tak mampu menjerat pejabat publik yang ditengarai terlibat skandal keuangan. Negara sulit menghukum pejabat, tetapi mudah menghukum rakyat. Padahal, yang dikorupsi adalah uang rakyat. Tiada efek jera bagi pejabat yang melihat uang negara sebagai obyek untuk dijarah. Pengeluaran negara dibuat jauh lebih besar daripada seharusnya. Penerimaan negara dibuat jauh lebih kecil daripada seharusnya. Politik anggaran penuh rekayasa.

3.  Pembenahan Kehormatan Institusi

Dalam rezim otoriter, hukum didesain lebih untuk rakyat daripada untuk penguasa. Hukum ditujukan kepada kasus pelanggaran warga dan tidak disiapkan untuk menghadapi kejahatan terstruktur yang melibatkan pejabat. Saat ada terobosan dalam peradilan dan pejabat menjadi tersangka korupsi, penegak hukum gamang. Kehormatan institusi bisa tercoreng. Maka, tersangka akhirnya bebas dengan dalih bukti tidak cukup. Uang negara gagal diselamatkan.
Kendati suatu kebijakan publik terbukti keliru, pejabat terkait tidak dikriminalkan. Kebijakan keliru dianggap produk kelembagaan, bukan produk individu. Pejabat bertindak sebagai otoritas publik dan lolos dari jerat hukum meski keuangan negara amat dirugikan. Daripada mengabdi untuk kehormatan institusi, pejabat korup berlindung di balik kehormatan itu dan melakukan kolusi lintas institusional.  Kendati selalu ada kemauan politik untuk menghukum pejabat yang salah, dalam praktiknya pemerintah cenderung defensif. Pejabat kerap berkelit jika dikatakan korupsi mewabah nyaris di semua institusi negara. Yang disalahkan selalu oknum. Tiap penyimpangan dikembalikan kepada kesalahan pribadi, kelemahan nurani yang bersangkutan. Padahal, yang terjadi adalah penyimpangan korps. Semangat koruptif korps. Nurani korps bermasalah.
Di kantor-kantor layanan administrasi publik, warga yang taat aturan terpaksa menunggu lama untuk dilayani dibandingkan mereka yang menggunakan jasa calo. Sudah biasa calo bebas masuk-keluar ruang petugas. Mustahil prosedur seperti itu hanya inisiatif satu dua petugas di loket tanpa dukungan korps. Itu sebabnya Rancangan Undang-Undang Layanan Publik mendesak untuk disahkan.  Perang melawan korupsi tidak cukup hanya dicanangkan, tetapi harus menular di level pejabat struktural. Administrasi layanan publik sarat pungutan liar. Inspeksi mendadak selalu diperlukan untuk menimbulkan efek jera, terutama bagi kepala kantor yang dengan sengaja membiarkan praktik koruptif merajalela. Indonesia belum belajar dari negeri tetangga yang dipercaya para investor dan menjadi kaya karena tertib administrasinya.  Kehormatan institusi harus dikembalikan untuk dilaksanakan secara adil dan konsekuen.
Negeri kaya sumber daya alam macam Indonesia tak kunjung kaya. Negara dirugikan oleh kleptokrasi. Oknum birokrasi dengan mudah melakukan pungutan ilegal. Yang tidak tunduk dipersulit. Rakyat kecil harus membayar segala macam layanan publik yang mestinya gratis atau murah. Tertib bernegara ditentukan oleh kekuatan uang, bukan oleh tata kelola pemerintahan. Hal semacam ini takkan terulang seandainya institusi benar-benar dijaga kehormatannya.

4.   Pemberlakuan Darurat Moralitas

Pemberlakuan darurat moralitas perlu dilakukan  sebagai “bencana Nasional” untuk segera diatasi. Kasus korupsi yang melibatkan pejabat di lingkungan eksekutif-
legislatif-yudikatif menunjukkan lemahnya disiplin anggaran dan tata kelola pemerintahan. Pejabat lebih merasa berutang kepada (oligarki) partai, bukan kepada rakyat. Kepentingan asing pun bermain dalam proses legislasi yang akhirnya mengorbankan kesejahteraan rakyat. Pejabat terjebak hiruk-pikuk demokrasi yang tak berkorelasi dengan kesejahteraan rakyat.
Pelayan publik mengabdi demi uang, bukan untuk kepentingan publik. Pengabdian mendua itu menghasilkan perilaku koruptif. Darurat moralitas publik. Solusinya bukan menjadikan negara sebagai polisi moral bagi warga, tetapi rakyat terus menekan birokrasi agar mentalitas koruptif terkikis. Jika perang melawan korupsi dilakukan dengan semangat jihad, niscaya Indonesia melesat maju meninggalkan banyak negeri lain sekawasan.
Banyak yang tidak beres dengan penyelenggaraan negara, tetapi terlalu sedikit pejabat yang mengaku salah atau dikenai sanksi berat. Ketidakberesan ditutupi kebohongan publik. Ketidakberesan terus berlangsung karena ketidaktegasan atasan dan lemahnya kontrol dari atas. Reformasi birokrasi jalan di tempat. Krisis ekonomi berlanjut dan kini menggerogoti pranata sosial. Figur publik membanjir di tengah kelangkaan moralitas publik.

C.   PENUTUP
            Krisis tanggungjawab yang merupakan bagian dari krisis moral masyarakat Indonesia statusnya sudah kronis. Hal ini merembak keberbagai sektor sejak tahun 1998, yang ditengarai tumbangnya rezim Orde Baru. Orde Reformasi hingga detik ini masih tertatih-tatih untuk membenahi, bahkan telah dihadang dengan munculnya krisis energi dan dampak krisis dunia yang merontokkan perbankan di Amerika Serikat.
Pergumulan terhadap dunia modern dengan segala kembangnya ini bukan lagi menjadi penghalang (mawani’), tetapi justru menjadi kesadaran baru untuk lebih menggiatkan kerja mulia demi membangun mentalitas, intelektualitas, dan spiritualitas bangsa sehingga mampu memberi warna ideal bagi pembangunan bangsa.
Perspektif agama merupakan alternative jitu untuk membenahi krisis dari nol menuju perilaku masyarakat Indonesia yang santun dan beriman. Tanpa diawali dengan perombakan perilaku yang korup, tidak jujur, krisis di ibu pertiwi ini tak akan lenyap. Masalah pangan bisa sebagai biang krisis moral ataupun krisis tanggung-jawab.


DAFTAR PUSTAKA

Akira Nagazumi.  1986. Indonesia Dalam Kajian Sarjana Jepang, Jakarta: Yayasan
Obor Indonesia

Albert Hasibuan, SH.,Dr.  1996. Titik Pandang Untuk Orde Baru. Jakarta: Suara
Pembaharuan Pustaka Sinar harapan.

Koentjaraningrat, Prof. Dr., 1988.  Manusia dan Kebudayaan di Indonesia. Jakarta :
Penerbit Djambatan.

Internet   :
http://www.yahoo.co.id / moral, diakses tanggal 15 Desember 2008
-   ANTARA News, Copyright C 2008
-   Said Aqiel Siradj, Idul Fitri, Moralitas dan Spiritualitas, Kompas, 30 September
             2008
-   Kompas,  Kita Masih Terjajah
-   Yonky Karman, Pengajar di Sekolah Tinggi Teologi Jakarta

Tidak ada komentar:

Posting Komentar