Total Tayangan Halaman

Senin, 30 Januari 2012

CAGAR BUDAYA BANYUMAS


Pesarehan Dawuhan


a)   Pasarehan Dawuhan
                                           Pesarehan Dawuhan adalah makam para pepunden (pendiri dan petinggi) Banyumas. Ada 12 orang yang pernah menjadi Bupati Banyumas dimakamkan di pesarehan ini. Bupati Banyumas pertama, Jaka Kaiman, yang dikenal sebagai Adipati Mrapat juga dimakamkan di tempat ini. Selain itu juga terdapat makam tiga orang Bupati Purwokerto dan dua orang Bupati Purbalingga (Koderi, 1991:36).
Dalam buku itu disebutkan pula bahwa pesarehan seluas lima hektare tersebut berada di lereng Pegunungan Serayu, kurang lebih sejauh lima kilometer sebelah barat kota Banyumas.  Pada bulan Ruwah (sya’ban) pesarehan ini sering dikunjungi peziarah, baik yang sekedar ingin berdoa  maupun mereka yang menginginkan hajat tertentu.
 Menurut riwayat, sebagaimana disampaikan oleh Bambang S Purwoko, Desa Dawuhan dulunya merupakan desa perdikan yang dikepalai seorang demang. Namun sejak proklamasi kemerdekaan RI, status tersebut dihapus, sesuai dengan Undang-undang No. 13 tahun 1946, tentang penghapusan kedudukan desa-desa perdikan. Dalam Babad Banyumas yang disusun oleh dan atas perintah Pangeran Juru Pensiun Pepatih Dalem Kasultanan Yogyakarta, Pasarehan Dawuhan dinamakan Astana Redi Bendungan (wawancara tanggal 28 Oktober 2009).
Upaya pemeliharaan dan pelestarian makam bersejarah bagi masyarakat Banyumas ini telah dilakukan. Mulanya hanya dibentuk sebuah panitia perbaikan yang disebut Panitia Perbaikan Makam Dawuhan Banyumas. Lalu pada tanggal 12 Januari 1977 dibentuk ”Yayasan Pasarehan Dawuhan Banyumas” yang bertanggung jawab dalam pemeliharaan dan pelestarian situs budaya ini.
Di dalam kompleks makam ini berdiri sebuah masjid yang sudah cukup tua bernama ”Masjid Nurul Huda”. Masjid ini didirikan oleh Tumenggung Cakrawerdana I, Bupati Banyumas XIII, sekitar tahun 1830.   

b)   Pendapa si Panji
Ketika Kanjeng Raden Adipati Cakranegara I menjabat sebagai Bupati Banyumas, dan residennya adalah S. Van Deventer, banjir besar atau yang lebih dikenal dengan ’Blabur Banyumas’ merendam ibukota kabupaten dengan ketinggian mencapai tiga meter. Peristiwa ini berlangsung selama tiga hari, dari hari Kamis wage sampai dengan Sabtu legi yang bertepatan dengan tanggal 21-23 Pebruari 1861 M (Bambang S. Purwoko, tanpa tahun:2).
Sebelum terjadi banjir ada sesepuh Banyumas yang mengatakan ” Bakale ana betik mangan manggar” artinya suatu ketika akan terjadi ikan betik memakan manggar (bunga kelapa). Orang baru mengerti maksud perkataan itu setelah terjadi banjir. Rupanya tinggi air mencapai tinggi pohon kelapa yang baru keluar bunganya, yaitu setinggi tiga sampai empat meter,  (M. Koderi, 1991:108).
Konon, ketika air yang masuk menggenangi halaman pendapa semakin tinggi, saka guru (tiang utama) pendapa itu terangkat seolah-olah terapung. Setelah air surut, saka guru itu masih berdiri pada tempat semula, tidak bergeser sedikitpun dan masih kokoh. Walaupun terkesan fiktif, cerita tersebut dipercaya benar-benar terjadi dan menimbulkan kekagumam warga Banyumas. Sejak saat itu, saka guru dianggap benda keramat dan memiliki kekuatan gaib, sehingga setiap malam Jum’at kliwon dan Selasa kliwon selalu diberi sesaji berupa bunga, kelapa muda hijau dan kemenyan, (wawancara dengan Bambang S Purwoko).
Pada tanggal 5 Maret 1937, ibu kota Kabupaten Banyumas pindah ke Purwokerto. Pendapa dan saka gurunya ikut dipindahkan. Prosesi pemindahannya pun melalui upacara dengan berpantang melewati Kali Serayu. Pendapa tersebut kini dinamakan Pendapa si Panji. Nama si Panji mungkin diambil dari nama salah seorang Bupati Banyumas yang membangunnya, yaitu Raden Adipati Panji Gandakusuma yang sebelumnya bernama R. Mertawijaya, putra dari Yudanegara I (Warwin R. Sudarmo dan Bambang S. Purwoko, 2009:187).
Masjid Cikakak sewbelum di pugar
                      c)   Masjid Saka Tunggal Cikakak
Masjid Saka Tunggal Cikakak merupakan salah satu peninggalan sejarah dan purbakala yang dilindungi dan terdaftar dengan nomor Inventaris : 25.02.89 (Daftar Inventaris Peninggalan Sejarah dan Purbakala Se-Jawa Tengah Tahun 1980/1981:89). Masjid ini didirikan oleh Mbah Toleh Mustholih di Desa Cikakak dekat Wangon. Masjid itu dianggap istimewa karena hanya memiliki satu saka (tiang)  yang menyangga atap tepat di tengah bangunan, sehingga dinamai Masjid Saka Tunggal. Sekarang masjid ini dinamakan ”Masjid Baitussalam”.
Bangunan Masjid Saka Tunggal, seperti layaknya bangunan masjid di Jawa Tengah, berbentuk tajug. Menurut keterangan Sopani, juru kunci, masjid ini didirikan tahun 1288 sebagaimana keterangan yang tertulis dengan angka Arab pada Saka Tunggal. Pada mulanya masjid ini beratap ijuk, kemudian diganti dengan sirap pada masa Bupati Banyumas Poedjadi Djaring Bandayoeda pada tahun 1977. Ketika Djoko Soedantoko menjabat sebagai bupati, pada tahun 1994 masjid ini kembali dipugar sesuai ukuran aslinya 12 m x 18 m dan beratap ijuk (wawancara dengan Sopani, tanggal 23 Nopember 2009). Puncak atap (mustaka) berbentuk piramida dan pada ujung atasnya berakhir dengan bentuk bulatan. Pada bagian bulatan ini diberi sembir-sembir, sehingga berkesan seolah-olah putik dan daun bunga. Tiap ujung tepian atap diberi bungkak, yaitu hiasan melengkung yang lazim digunakan pada bangunan tradisional di daerah Jawa Tengah bagian selatan.
Bagian dalam masjid dihiasi relief dan kaligrafi dengan media cat. Hiasan-hiasan tersebut antara lain terdapat pada tiang utama,  langit-langit, dinding samping bangunan, emprit ganthil, mihrab, dan mimbar. Hiasan pada tiang mulai dari bawah (umpak) sampai ke batas penyangga sayap (kapitil) pertama. Keempat sisi tiang dihiasi relief bermotif sulur gelung mengarah ke atas dengan warna selang-seling merah, kuning tua, hijau tua dan selingan daun dan bunga berwarna putih.
Langit-langit yang terbagi empat bidang, juga penuh dengan hiasan. Pada keempat bidang tersebut terbentuk garis diagonal yang berbentuk anak panah, tertuju ke sebuah lingkaran di tengah bidang. Hiasan pada lingkaran ini seolah-olah melambangkan matahari. Sedangkan pada bagian segi tiga di antara diagonal terdapat tanda ’ + ’ yang melambangkan bintang.
Di antara pintu mihrab terdapat relief besar bermotif sulur daun bunga yang bergelung. Di atas relief tertulis ayat-ayat suci Al-Qur’an pada papan berwarna hijau tua. Tempat pertemuan antara tiang yang berdiri di kanan kiri mihrab dengan balok blandar dan pengeret terdapat relief berbentuk sayap. Sedangkan mimbar yang seluruhnya terbuat dari kayu jati juga penuh dengan hiasan relief bermotif bunga dengan daun bunga melebar dan menggelung ke kanan dan ke kiri (hasil obsevasi, tanggal 23 Nopember 2009).
Sopani juga menegaskan bahwa bangunan dan benda yang masih asli meliputi saka guru, bedug, kenthong, mimbar, tongkat, ornamen depan pengimaman, lampu lentera, dan bak air. Sampai sekarang bangunan tersebut ditetapkan sebagai cagar budaya, dan ramai dikunjungi masyarakat, terutama saat liburan,
Satu hal yang paling khas di kawasan Masjid Saka Tunggal adalah hadirnya kera liar yang jumlahnya cukup banyak di sekitar bangunan. Pada dasarnya kera-kera tersebut tidak dipiara secara khusus, tetapi dilindungi dan habitatnya berada di dalam hutan dekat masjid. Binatang itu menjadi terkesan jinak jika diberi makanan  berupa kacang oleh pengunjung. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar