Pesarehan Dawuhan |
a) Pasarehan Dawuhan
Pesarehan Dawuhan adalah makam para pepunden (pendiri dan petinggi)
Banyumas. Ada 12 orang yang pernah menjadi Bupati Banyumas dimakamkan di pesarehan ini. Bupati Banyumas pertama,
Jaka Kaiman, yang dikenal sebagai Adipati Mrapat juga dimakamkan di tempat ini.
Selain itu juga terdapat makam tiga orang Bupati Purwokerto dan dua orang
Bupati Purbalingga (Koderi, 1991:36).
Dalam buku
itu disebutkan pula bahwa pesarehan
seluas lima hektare tersebut berada di lereng Pegunungan Serayu, kurang lebih
sejauh lima kilometer sebelah barat kota Banyumas. Pada bulan Ruwah
(sya’ban) pesarehan ini sering
dikunjungi peziarah, baik yang sekedar ingin berdoa maupun mereka yang menginginkan hajat
tertentu.
Menurut riwayat, sebagaimana disampaikan oleh
Bambang S Purwoko, Desa Dawuhan dulunya merupakan desa perdikan yang dikepalai seorang demang. Namun sejak proklamasi
kemerdekaan RI, status tersebut dihapus, sesuai dengan Undang-undang No. 13
tahun 1946, tentang penghapusan kedudukan desa-desa perdikan. Dalam Babad Banyumas yang disusun oleh dan atas perintah
Pangeran Juru Pensiun Pepatih Dalem Kasultanan Yogyakarta, Pasarehan Dawuhan dinamakan Astana Redi Bendungan (wawancara
tanggal 28 Oktober 2009).
Upaya
pemeliharaan dan pelestarian makam bersejarah bagi masyarakat Banyumas ini telah
dilakukan. Mulanya hanya dibentuk sebuah panitia perbaikan yang disebut Panitia
Perbaikan Makam Dawuhan Banyumas. Lalu pada tanggal 12 Januari 1977 dibentuk
”Yayasan Pasarehan Dawuhan Banyumas” yang bertanggung jawab dalam pemeliharaan
dan pelestarian situs budaya ini.
Di dalam kompleks
makam ini berdiri sebuah masjid yang sudah cukup tua bernama ”Masjid Nurul
Huda”. Masjid ini didirikan oleh Tumenggung Cakrawerdana I, Bupati Banyumas
XIII, sekitar tahun 1830.
b) Pendapa si Panji
Ketika
Kanjeng Raden Adipati Cakranegara I menjabat sebagai Bupati Banyumas, dan
residennya adalah S. Van Deventer, banjir besar atau yang lebih dikenal dengan
’Blabur Banyumas’ merendam ibukota
kabupaten dengan ketinggian mencapai tiga meter. Peristiwa ini berlangsung
selama tiga hari, dari hari Kamis wage sampai
dengan Sabtu legi yang bertepatan
dengan tanggal 21-23 Pebruari 1861 M (Bambang S. Purwoko, tanpa tahun:2).
Sebelum
terjadi banjir ada sesepuh Banyumas yang mengatakan ” Bakale ana betik mangan manggar” artinya suatu ketika akan terjadi
ikan betik memakan manggar (bunga
kelapa). Orang baru mengerti maksud perkataan itu setelah terjadi banjir. Rupanya
tinggi air mencapai tinggi pohon kelapa yang baru keluar bunganya, yaitu
setinggi tiga sampai empat meter, (M.
Koderi, 1991:108).
Konon, ketika
air yang masuk menggenangi halaman pendapa semakin tinggi, saka guru (tiang utama) pendapa itu terangkat seolah-olah terapung.
Setelah air surut, saka guru itu masih
berdiri pada tempat semula, tidak bergeser sedikitpun dan masih kokoh. Walaupun
terkesan fiktif, cerita tersebut dipercaya benar-benar terjadi dan menimbulkan
kekagumam warga Banyumas. Sejak saat itu, saka
guru dianggap benda keramat dan memiliki kekuatan gaib, sehingga setiap malam
Jum’at kliwon dan Selasa kliwon selalu diberi sesaji berupa bunga,
kelapa muda hijau dan kemenyan, (wawancara dengan Bambang S Purwoko).
Pada
tanggal 5 Maret 1937, ibu kota Kabupaten Banyumas pindah ke Purwokerto. Pendapa
dan saka gurunya ikut dipindahkan. Prosesi
pemindahannya pun melalui upacara dengan berpantang melewati Kali Serayu. Pendapa
tersebut kini dinamakan Pendapa si Panji. Nama si Panji mungkin diambil dari
nama salah seorang Bupati Banyumas yang membangunnya, yaitu Raden Adipati Panji
Gandakusuma yang sebelumnya bernama R. Mertawijaya, putra dari Yudanegara I
(Warwin R. Sudarmo dan Bambang S. Purwoko, 2009:187).
Masjid Cikakak sewbelum di pugar |
c)
Masjid Saka Tunggal Cikakak
Masjid Saka
Tunggal Cikakak merupakan salah satu peninggalan sejarah dan purbakala yang
dilindungi dan terdaftar dengan nomor Inventaris : 25.02.89 (Daftar Inventaris
Peninggalan Sejarah dan Purbakala Se-Jawa Tengah Tahun 1980/1981:89). Masjid ini
didirikan oleh Mbah Toleh Mustholih
di Desa Cikakak dekat Wangon. Masjid itu dianggap istimewa karena hanya
memiliki satu saka (tiang) yang menyangga atap tepat di tengah bangunan,
sehingga dinamai Masjid Saka Tunggal.
Sekarang masjid ini dinamakan ”Masjid Baitussalam”.
Bangunan Masjid
Saka Tunggal, seperti layaknya bangunan
masjid di Jawa Tengah, berbentuk tajug.
Menurut keterangan Sopani, juru kunci, masjid ini didirikan tahun 1288 sebagaimana
keterangan yang tertulis dengan angka Arab pada Saka Tunggal. Pada mulanya masjid ini beratap ijuk, kemudian
diganti dengan sirap pada masa Bupati
Banyumas Poedjadi Djaring Bandayoeda pada tahun 1977. Ketika Djoko Soedantoko menjabat
sebagai bupati, pada tahun 1994 masjid ini kembali dipugar sesuai ukuran
aslinya 12 m x 18 m dan beratap ijuk (wawancara dengan Sopani, tanggal 23 Nopember
2009). Puncak atap (mustaka)
berbentuk piramida dan pada ujung atasnya berakhir dengan bentuk bulatan. Pada
bagian bulatan ini diberi sembir-sembir,
sehingga berkesan seolah-olah putik dan daun bunga. Tiap ujung tepian atap
diberi bungkak, yaitu hiasan
melengkung yang lazim digunakan pada bangunan tradisional di daerah Jawa Tengah
bagian selatan.
Bagian
dalam masjid dihiasi relief dan kaligrafi dengan media cat. Hiasan-hiasan tersebut
antara lain terdapat pada tiang utama, langit-langit,
dinding samping bangunan, emprit ganthil,
mihrab, dan mimbar. Hiasan pada tiang mulai dari bawah (umpak) sampai ke batas penyangga sayap (kapitil) pertama. Keempat sisi tiang dihiasi relief bermotif sulur
gelung mengarah ke atas dengan warna selang-seling merah, kuning tua, hijau tua
dan selingan daun dan bunga berwarna putih.
Langit-langit
yang terbagi empat bidang, juga penuh dengan hiasan. Pada keempat bidang tersebut
terbentuk garis diagonal yang berbentuk anak panah, tertuju ke sebuah lingkaran
di tengah bidang. Hiasan pada lingkaran ini seolah-olah melambangkan matahari.
Sedangkan pada bagian segi tiga di antara diagonal terdapat tanda ’ + ’ yang
melambangkan bintang.
Di antara
pintu mihrab terdapat relief besar bermotif sulur daun bunga yang bergelung. Di
atas relief tertulis ayat-ayat suci Al-Qur’an pada papan berwarna hijau tua.
Tempat pertemuan antara tiang yang berdiri di kanan kiri mihrab dengan balok blandar dan pengeret terdapat relief berbentuk sayap. Sedangkan mimbar yang
seluruhnya terbuat dari kayu jati juga penuh dengan hiasan relief bermotif
bunga dengan daun bunga melebar dan menggelung ke kanan dan ke kiri (hasil
obsevasi, tanggal 23 Nopember 2009).
Sopani juga
menegaskan bahwa bangunan dan benda yang masih asli meliputi saka guru, bedug,
kenthong, mimbar, tongkat, ornamen depan pengimaman, lampu lentera, dan bak
air. Sampai sekarang bangunan tersebut ditetapkan sebagai cagar budaya, dan
ramai dikunjungi masyarakat, terutama saat liburan,
Satu hal
yang paling khas di kawasan Masjid Saka Tunggal adalah hadirnya kera liar yang
jumlahnya cukup banyak di sekitar bangunan.
Pada dasarnya kera-kera tersebut tidak dipiara secara khusus, tetapi dilindungi
dan habitatnya berada di dalam hutan dekat masjid. Binatang itu menjadi
terkesan jinak jika diberi makanan
berupa kacang oleh pengunjung.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar