Total Tayangan Halaman

Selasa, 28 Mei 2013

GALAU SEORANG IBU




Alhamdulillah Anakku…
usai sudah galau gara-gara ujian nasionalmu yang kacau
tapi langkah belum usai, tuk terus menapaki lorong panjang keilmuan
menuju kearifan, menyongsong janji Sang Maha Pandai
Alloh akan meninggikan orang-orang yang beriman di antara kamu dan orang-orang yang diberi ilmu pengetahuan beberapa derajat” (Q.S. Al-Mujadalah:11)
Kadang Ibu miris menyaksikan ironi di sekitarmu. Di jalan, di pasar, di gedung-gedung pemerintahan, bahkan di gedung DPR sekalipun, kau bisa menggelar acara tawuran. Tak satu tempat pun steril dari kekerasan, merefleksikan adanya kearifan. Cermati satu satu!
Jalanan menjadi akses bagi setiap orang. Tempat yang paling umum dan bebas bagi setiap orang. Lelaki-perempuan, tua-muda, berpendidikan-buta ilmu, kaya-kere, pejabat-penjahat, bahkan orang gila pun berhak di jalan. So,wajar jika jalanan menjadi panggung paling kacau.
Pasar, itu layaknya kebun binatang. Monyet, ulat, harimau, babi, ular, bahkan buaya mencari penghidupan. Mereka hanya dianugerahi naluri untuk bertahan hidup, sekedar asal perut  kenyang dan bisa meneruskan keturunan. Logis jika di pasar berlaku hukum rimba, bahkan jauh lebih kejam daripada yang terjadi di belantara pedalaman Kalimantan, karena binatang-binatangnya berbekal akal dan pengetahuan. 

Belakangan, gedung-gedung pemerintahan dan wakil rakyat juga menjadi ajang pentas banyak lakon tak terpuji. Tawuran ala parlemen, pat gulipat pejabat, bahkan transaksi ‘sexi’ seakan menjadi tema sampingan di tengah sidang dewan. Padahal, tempat itu semestinya diperuntukkan bagi orang dengan  kriteria tertentu. Setidaknya mereka harus berpredikat ‘terpelajar’, ilmuwan,  bahkan sebagian bertitel akademik lebih panjang dari nama pemberian orang tua. Seharusnya tempat-tempat itu menjadi kiblat bagi banyak tindakan arif bijaksana, yang mencerminkan ketinggian derajat para pemilik ilmu pengetahuan. Kenyataannya, justru di situlah predator-predator paling rakus bersarang. Ternyata titel kesarjanaan dan hebatnya akal tak serta-merta membuat manusia menjadi lebih bijaksana dibandingkan primata-primata penghuni rimba.(Mila)

OEMAR BAKRIE



 
Masih ingat Oemar Bakrie? Sosok berpeluh usai mengayuh sepeda kumbang yang terseok-seok di jalan berlubang? Bagaimana ekspresinya ketika di jalan berpapasan dengan anak murid yang menyapanya, “Selamat pagi, Pak!” sambil tersenyum dari balik kaca mobil yang lalu mendahuluinya?
Oemar Bakrie tinggal menjadi legenda. Cuma dongeng pengantar tidur tentang dedikasi seorang guru yang hampir selalu harus menelan getir ludah sendiri, karena tergencet harga dirinya. Kisah nyata yang mengharu biru dan  membuncahkan empati luar biasa itu, sudah berlalu. Sepeda kumbangnya ikut menjadi rumpon. Sebutan pahlawan tanpa tanda jasa yang melekat dengan sosoknya pun, hilang terkubur bersama matinya sang Guru Oemar Bakrie.
Umar Bakri Jr (junior) yang menggantikan, tampil lebih elegan, jauh dari peluh, tak lagi  kepanasan. Ia kini selalu bermobil (meski second), menyematkan beberapa gelar di sekitar namanya, dan menjinjing gadget canggih ala seorang professional.
Umar Bakri Jr tidak lagi pusing memikirkan susu anak, karena seluruh keringatnya telah terbayar tunai dengan banyak tunjangan, juga kemudahan. Ia tampilkan dirinya sebagai professional sejati, dengan kerap datang ke seminar, workshop, diklat, atau kegiatan-kegiatan ilmiah lain. Tetapi alih-alih memenuhi persyaratan profesional, ia justru ‘membeli’ , mencantumkan namanya tebal dan besar di sampul depan, lalu dengan bangga mengupload ‘karya besarnya’ di media.
Ongkos sebuah profesionalisme bagi si Umar Bakri Jr, terlalu tinggi. Gaji plus-plus yang jumlahnya bahkan tak sanggup singgah dalam mimpi Bapak Oemar Bakrie itu, tidak juga mencukupi. Ia kembali mencari peluang tambahan pendapatan. Di  kelas ia berganti seragam menjadi pedagang, menjual berbagai penunjang pengajaran kepada murid-murid. Untuk menarik konsumen, suatu saat sebelum mengajar ia berkata lantang, “Kalau tidak memakai buku ini (dagangannya -red), nilai kalian jelek.” Seketika dagangannya laris manis, kantongnya pun kian tebal. Ia tak peduli di luar sana si murid harus memangkas uang bekal, atau para orang tua yang kembali nyengir getir karena merasakan biaya sekolah terlalu mahal, sementara si Umar Bakri Jr bertingkah seolah lupa pada sejarah orang tuanya, Bapak Oemar Bakrie.  
Sudahlah! Yuk kita renungkan!  Orang-orang semacam inikah di antara kita yang diberi anugerah oleh Alloh kepada mereka?” (Alloh berfirman) “Tidakkah Alloh lebih mengetahui tentang orang-orang yang bersyukur (kepadaNYA)?” (QS. al-An’am: 53). Wallohu’alam   (Mila)