Total Tayangan Halaman

Jumat, 20 Januari 2012

BANGKITNYA NASIONALISME INDONESIA Budi Utomo 1908-1918 Buku karya Akira Nagazumi





A.   Pendahuluan
Pada Buku Akira Nagazumi di atas;  Bab I , Jawa Tahun 1900 dan Bab II, Politik Etis dan Priyayi, disarikan pada bagian pendahuluan ini. Untuk Bab III, Asal mula Budi Utomo sampai Bab IX, Budi Utomo Selama tahun-tahun Pertama, dirangkum pada bagian B tentang Budi Utomo.
Pada awal abad ke- 19, pemerintah Belanda mengalami krisis ekonomi serta keuangan negara yang memprihatinkan akibat peperangan di Eropa. Peperangan antara Inggris dan Perancis berdampak pada Belanda karena  negeri kincir angin tersebut dikuasai Perancis sehingga Raja Belanda melarikan diri ke Inggris. Setelah Inggris dapat mengalahkan pasukan Perancis, Belanda memperoleh kembali kemerdekaan dan kedaulatannya. Namun selanjutnya, Belgia memberontak dan memisahkan diri terhadap kekuasaan Belanda. Sementara itu, kekuasaan Belanda di Indonesia juga mengalami masa-masa sulit karena munculnya berbagai perlawanan rakyat sepertri Perang Diponegoro  (1825-1830) di Jawa dan Padri (1821-1837) di Sumatra Barat.
Krisis ekonomi tersebut mengancam kedudukan negeri Belanda. Untuk mengatasi masalah keuangan tersebut, Belanda mengangkat Gubernur Jenderal di Indonesia (1830-1833) yaitu Johannes van den Bosch dengan menciptakan ”Cultuurstelsel” atau Sistem Tanam Paksa. Cultuurstelsel ini memberi keuntungan sangat besar kepada pemerintah Belanda, sehingga dalam waktu relatif singkat, kesulitan kas negara Belanda dapat teratasi. Sebaliknya, sistem tersebut menjadikan puncak dari kesengsaraan rakyat Indonesia akibat imperalisme. Beribu-ribu orang mati kelaparan seperti daerah Cirebon (Jawa Barat) ,Demak (Jawa Tengah), Grobogan (Jawa Tengah) dan tempat-tempat lain.
Selanjutnya, kolonialisme-imperalisme di Nusantara mengalami perubahan seiring perkembangan sosio-politik di negeri Belanda. Pada permulaan abad XX, kebijakan pemerintah penjajah Belanda mengalami perubahan arah. Eksploitasi terhadap Indonesia mulai berkurang sebagai pembenaran kekuasaan Belanda, dan diganti dengan pernyatan-pernyataan keprihatinan atas kesejahteran bangsa Indonesia. Pada tahun 1899, C. Th. Van Deventer, seorang ahli hukum yang pernah tinggal di Indonesia, menerbitkan artikel  dalam majalah De Gids yang berjudul ”Een eereschuld” (Suatu Hutang Kehormatan). Dalam tulisannya tersebut dijelaskan bahwa kekosongan kas Belanda akibat  Perang Diponegoro dan Perang Kemerdekaan Belgia telah diisi oleh penduduk Indonesia melalui program Tanam paksa (Cultuur Stelsel ) sehingga orang Indonesia berjasa terhadap bangsa Belanda dalam pemulihan perekonomian negeri Belanda. Untuk semua itu, sudah sewajarnya  jika kebaikan budi  dibayarkan kembali. Menurut van Deventer, hutang budi tersebut dibayar dengan peningkatan kesejahteraan rakyat Indonesia melalui Trias yang dikenal sebagai Trias van Deventer, meliputi : (1)irigasi atau pengairan (2) edukasi atau pendidikan, (3) emigrasi atau pemindahan  penduduk untuk pemerataan kepadatan penduduk.
Program tersebut didukung kaum industrialis dan kapitalis karena mereka berkepentingan dengan hal itu dalam rangka memasarkan produk industrinya ke Indonesia serta mengadakan perbaikan kesejahteraan kepada rakyat yang telah berjasa bagi pemerintah belanda. Kritikan van Deventer juga direspon oleh Ratu Belanda,  Wilhelmina berpidato pada tahun 1901 menyatakan jaman baru dalam politik kolonial setelah mengetahui dari hasil penyelidikan tentang kesejahteraan di Jawa.
Selanjutnya pemerintah Belanda membuat program untuk kesejahteraan rakyat pribumi Indonesia yang disebut politik ethis. Meskipun pidato Ratu Wilhelmina menekankan kesejahteraan pribumi dalam ide politik ethis, namun tetap dalam kerangka modernisasi yang dipersepsikan dengan pem-Barat-an atau bahkan pem-Belanda-an. Tujuan politik ethis bersifat rangkap yaitu: (1) meningkatkan kesejahteraan penduduk pribumi (2). Berangsur-angsur menumbuhkan otonomi dan desentralisasi politik di Hindia Belanda. Aplikasi dari Trias van Deventer tidak sesuai dengan rencana program. Pemerintah Belanda memperluas jaringan irigasi, demi memajukan pertanian yang berhubungan langsung dengan kepentingan Hindia Belanda. Pemindahan penduduk atau emigrasi dilaksanakan dalam rangka memenuhi tenaga kerja untuk daerah-daerah perkebunan milik pengusaha asing sedangkan edukasi atau pengembangan pendidikan sebagai sarana untuk mengisi tenaga-tenaga administrasi pemerintah Hindia Belanda.
Meskipun demikian, adanya politik ethis khususnya dalam bidang edukasi bermunculan kaum intelektual pribumi. Para kaum intelektual ini mulai diserap dalam berbagai bidang kegiatan pemerintahan. Kebutuhan aparatur dan tenaga administrasi Hindia Belanda yang meningkat cukup signifikan menjadikan kaum intelektual pribumi berperan lebih besar dalam urusan berbagai hal. Golongan intelektual ini sebagai golongan elite baru yang kedudukannya dibedakan dalam tatanan masyarakat kolonial. Golongan inilah yang menjadikan adanya pembaharuan dalam mewujudkan cita-cita kebangsaan yang direalisasikan melalui bentuk pergerakan yang modern yang disebut sebagai Pergerakan Nasional.
Soetomo

B. Budi Utomo
Dalam penerapan politik ethis terkadung didalamnya usaha memajukan pengajaran dan pendidikan bagi generasi muda di Indonesia. Salah satu kendala dalam memajukan bidang pendidikan, masih terbatasnya anggaran dana untuk bidang tersebut. Hal ini menimbulkan keprihatinan bagi dr. Wahidin Sudirohusudo sehingga melakukan kegiatan menghimpun dana dengan melakukan propaganda berkeliling di Jawa tahun 1906. Dr. Wahidin Sudirohusodo (1857-1917) merupakan pembangkit semangat organisasi Budi Utomo.

 Dr. Wahidin Sudirohusodo lulusan sekolah dokter Jawa di Weltvreden (sesudah tahun 1900 dinamakan STOVIA),  merupakan salah satu tokoh intelektual yang berusaha memperjuangkan nasib bangsanya. Pada tahun 1901 ia  menjadi direktur majalah Retnodhoemilah (Ratna yang berkilauan) diterbitkan dalam bahasa Jawa dan Melayu, yang dikhususkan untuk kalangan kaum feodal atau priyayi. Hal ini mencerminkan perhatian seorang priyayi terhadap masalah-masalah dan status golongan priyayi itu sendiri. Ia juga berusaha memperbaiki masyarakat Jawa melalui pendidikan Barat. Wahidin menghimpun beasiswa agar dapat memberikan pendidikan modern atau Barat kepada golongan priyayi Jawa dengan mendirikan Studie Fonds atau Yayasan Beasiswa.
Ide dr. Wahidin selanjutnya menarik seorang mahasiswa School tot Opleiding voor Inlandsche Arsten (STOVIA), yaitu Sutomo. Hal tersebut sebagai awal perkembangan menuju keharmonisan bagi masyarakat Jawa dan madura di Pulau Jawa. Akhirnya Sutomo mendirikan sebuah organisasi yang bernama BU (Budi Utomo). Budi Utomo merupakan organisasi modern pertama kali di Indonesia yang didirikan pada tanggal 20 Mei 1908. Corak baru yang diperkenalkan BU adalah kesadaran lokal yang diformulasikan dalam wadah organisasi modern dalam arti bahwa organisasi ini mempunyai pemimpin, ideologi yang jelas, dan anggota. Yang menarik pada BU, berdirinya organisasi ini diikuti berdirinya organisasi lain sehingga dari sinilah terjadi perubahan-perubahan sosio-politik .
Gubernur Jenderal Hindia Belanda, van Heutsz menyambut baik kelahiran Budi Utomo karena hal tersebut sebagai salah satu tanda keberhasilan politik ethis yang dijalankan selama ini. BU juga sebagai organisasi yang karakteristiknya dianggap sesuai dengan keinginan pemerintah Hindia Belanda, yaitu organisasi pribumi progresif-moderat yang dikendalikan oleh para pejabat berpikiran maju. Hal tersebut menjadikan BU ditetapkan oleh pemerintah Hindia Belanda sebagai organisasi yang sah pada tahun 1909. Namun demikian, adanya sambutan yang baik dari pemerintah Hindia Belanda kepada keberadaan BU, menjadikan organisasi ini pada awalnya dicurigai oleh pribumi sebagai organisasi buatan pemerintah.
Budi Utomo mempunyai program utama yaitu mengusahakan perbaikan pendidikan dan pengajaran. Programnya lebih bersifat sosial disebabkan saat itu belum dimungkinkan didirikannya organisasi politik karena adanya aturan  yang ketat dari pihak pemerintah Hindia Belanda. Disamping itu, pemerintah Hindia Belanda sedang melaksanakan program edukasi dari politik ethis sehingga terdapat kesesuaian kedua program). 
berdiri organisasi Boedi Oetomo
Namun tidak semua golongan priyayi mendukung berdirinya Budi Utomo dengan alasan yang hampir sama yaitu kaum priyayi birokrasi dari golongan ningrat atau aristikrat mengkhawatirkan eksistensinya karena jika gerakan tersebut mengancam kedudukan kaum aristokrasi yang menginginkan situasi status quo, yaitu keadaan yang dapat menjamin kepentingan mereka. Di kalangan priyayi elite/ gedhe yang mempunyai status mapan kurang senang keberadaan BU sehingga para bupati membentuk perkumpulan Regenten Bond Setia Mulia pada tahun 1908 di Semarang untuk mencegah cita-cita BU yang dianggap menganggu stabilitas mereka. Sebaliknya, beberapa bupati progresif seperti Tirtokusumo (Karanganyar) sangat mendukung BU. Resistensi dikalangan golongan elite priyayi karena terhadap BU sebagai hal yang wajar gerakan kaum terpelajar tersebut akan membawa perubahan struktur sosial sehingga kaum intelektual akan mengurangi ruang lingkup kekuasaan elite birokrasi. Meskipun kaum intelektual pada masa awal pergerakan nasional didominasi kaum priyayi namun Budi Utomo dapat membahayakan kedudukan kaum feodal konservatif terkait masalah status sosialnya.

Budi Utomo merupakan organisasi pelajar dengan para pelajar STOVIA sebagai inti  penggeraknya meskipun gerakan awal hanya terbatas jangkauan wilayah Jawa dan Madura. Budi Utomo pada dasarnya tetap merupakan  suatu organisasi priyayi Jawa. Jangkauan wilayah yang terbatas ini, menjadikan Budi Utomo dianggap sebagai organisasi yang bersifat kedaerahan, karena salah satu programnya berbunyi “ de harmonische ontwikkeling van land en volk van Jawa en Madura”  (kemajuan yang harmonis bagi nusa Jawa dan Madura). Dengan demikian, mencerminkan kesatuan administrasi kedua pulau tersebut yang mencakup juga masyarakat Sunda yang kebudayaannya mempunyai kaitan dengan Jawa meski yang dipakai sebagai bahasa resmi organisasi adalah bahasa Melayu. BU tidak langsung terjun dalam lapangan politik praktis karena dalam rangka startegi dan menyesuaikan dengan situasi dan kondisi pada waktu itu sehingga BU lebih berorientasi kultural.
Budi Utomo pada tanggal 5 Oktober 1908 mengadakan konggresnya yang pertama di Yogyakarta. Dalam konggres ini berhasil menetapkan tujuan organisasi yaitu ; Kemajuan yang harmonis antara bangsa dan negara, terutama dalam memajukan pengajaran, pertanian, peternakan dan dagang, tehnik , industri serta kebudayaan. Sebagai ketua Pengurus Besar yang pertama terpilih R.T Tirtokusumo,bupati Karanganyar sedangkan anggota-anggota Pengurus Besar pada umumnya pegawai pemerintahan atau mantan pegawai pemerintahan dengan pusat organisasi berada di Yogyakarta. Pengurus hasil konggres ini merupakan dewan pimpinan yang didominasi oleh para pejabat generasi tua yang mendukung pendidikan yang semakin luas dikalangan priyayi dan mendorong pengusaha Jawa.
Setelah cita-cita Budi Utomo mendapat dukungan semakin luas dikalangan cendekiawan Jawa maka para pelajar tersebut memberi kesempatan kepada golongan tua untuk memegang peranan yang lebih besar bagi gerakan ini. Ini dibuktikan dengan terpilihnya golongan tua sebagai pengurus dalam konggres Budi Utomo I di Yogyakarta. Ketua terpilih R.T Tirtokusumo, sebagai seorang bupati lebih memperhatikan reaksi dari pemerintah kolonial Belanda dibanding reaksi dari warga pribumi. Sebelumnya terjadi persaingan dalam konggres itu, disebabkan terdapat kelompok minoritas yang dipimpin Dr. Cipto Mangunkusumo yang berusaha memperjuangkan Budi Utomo berubah menjadi partai politik yang berjuang untuk mengangkat rakyat pada umumnya, tidak terbatas hanya golongan priyayi dan kegiatannya meliputi seluruh Indonesia, tidak hanya Jawa dan Madura saja. Namun pandangan Dr. Cipto Mangunkusumo gagal mendapat dukungan bahkan pada tahun 1909 Dr. Cipto mengundurkan diri dari Budi Utomo kemudian bergabung dengan Indische Partij yang lebih radikal .
Perang pemikiran  kedua kelompok  di Budi Utomo bukan sebatas antagonisme antara konservativ dan progresiv ataupun kaum radikal dalam mencapai tujuan gerakan, tetapi penggunaan bahasa terjadi perbedaan yang sangat tajam antara penggunaan bahasa Jawa dan Melayu. Kaum priyayi konservatif menghendaki penggunaan bahasa Jawa serta dalam melangkah menghendaki secara bertahap dalam mencapai kemajuan dengan mengikuti jenjang yang ditetapkan pemerintah Hindia Belanda. Namun kaum radikal menginginkan penggunaan bahasa Melayu sebagai bahasa resmi organisasi, meningkatkan taraf pendidikan kaum pribumi serta pencapaian tujuan dengan mencita-citakan suatu pendobrakan masyarakat kolonial dan tradisional dengan gerakan yang bersifat radikal. Selain itu, dalam perkembangannya terdapat dua prinsip perjuangan yang berbeda dalam BU. Kelompok pertama adalah kaum muda yang cenderung menempuh jalan perjuangan politik dalam menghadapi pemerintah Hindia Belanda, sedangkan kelompok kedua diwakili kaum tua berpandangan yang tetap berusaha dengan cara lama yaitu perjuangan sosio-kultural. Bagi golongan muda, perjuangan mereka sangat tepat sebagai cara mengimbangi kekuatan politik pemerintah. Orientasi politik kaum muda ini semakin menonjol sehingga pada akhirnya mereka mencari organisasi yang sesuai dengan mendirikan Sarikat Islam dan Indische Party sebagai wadahnya. Adanya perbedaan pendapat yang sulit dicarikan titik temu dalam Pengurus Besar Budi Utomo menjadikan Dr. Cipto Mangunkusumo memilih berhenti dari keanggotaan sehingga pengurus dapat menjadi seragam dalam pemikiran.

Setelah mendapat persetujuan dari pemerintah Kolonial Belanda, Budi Utomo pada tahun 1909 diberi status sebagai organisasi yang berbadan hukum sehingga diharapkan organisasi pertama di Indonesia ini dapat melakukan aktivitasnya secara leluasa. Gubernur Jenderal van Heutsz menyambut Budi Utomo sebagai bagian keberhasilan dari pelaksanakan politik ethis. Setelah Dr. Cipto Mangunkusumo meninggalkan BU, tidak ada kontroversi dalam organisasi itu namun BU kehilangan kekuatan yang progresif sehingga perkembangan selanjutnya didominasi golongan ningrat atau aristokrat. Dengan demikian, BU tumbuh menjadi organisasi yang moderat, kooperatif terhadap pemerintah Hindia Belanda dan evolusioner. Selanjutnya,  BU mengalami stagnasi dan aktivitasnya hanya terbatas pada penerbitan majalah Goeroe Desa dan beberapa petisi yang ditujukan kepada pemerintah Hindia Belanda dalam rangka meningkatkan mutu pendidikan. Kelambanan aktivitas BU disebabkan para pengurus atau pemimpin mereka berstatus sebagai pegawai atau bekas pegawai pemerintah. Status tersebut menjadikan mereka takut bertindak dan lemah dalam gerakan kebangsaan. Disamping itu, BU mengalami kemandegan sejak awal permulaannya karena kekurangan dana dan kurangnya pemimpin yang dinamis. Pada akhirnya BU diangap sebagai organisasi yang lemah dan juga terlalu sempit karena keanggotannya terbatas pada daerah yang berbudayaan Jawa sehingga ditinggal masyarakat.
Pengaruh BU terhadap penduduk pribumi terasa tidak begitu besar. Pada tahun 1912 R.T Tirtokusumo berhenti sebagai ketua digantikan oleh Pangeran Noto Diridjo, anak dari Pakualam V yang berusaha mengejar ketertinggalan organisasi itu dalam aktivitasnya. Dengan ketua baru tersebut kemajuan BU tetap tidak signifikan. Hasil-hasil yang dicapai antara lain perbaikan pengajaran di daerah Kasultanan Yogyakarta dan Kasunanan Surakarta, serta mendirikan organisasi dana belajar Darmoworo. Tinjauan terhadap kegiatan BU antara tahun 1912-1914 semakin memperlihatkan bahwa organisasi ini kurang berpengaruh meskipun semangat kegiatan sejak terpilihnya ketua yang baru yaitu Pangeran Noto Diridjo menjadi cukup aktif dalam berbagai kegiatan, namun perannya semakin menurun seiring lahirnya organisasi lain. Peran BU semakin memudar seiring berdirinya organsasi yang lebih aktif dan penting bagi pribumi. Beberapa diantaranya bersifat keagamaan, kebudayaan dan pendidikan dan organisasi yang bersifat politik. Organisasi baru yang tersebut antara lain:
1)    Sarekat Islam, yang didirikan pada tahun 1912, berasaskan dasar  hubungan spiritual agama dan kepentingan perdagangan yang sama.
2)    Indishe Partij, bergerak dalam bidang politik yang mempropagandakan   “Nasionalisme Hindia”.
3)    Muhammadiyah, sebagai organisasi sosial keagamaan yang berdiri pada tahun 1918 dengan semangat pembaharuan keagamaan.

Dengan munculnya organisasi-organisasi baru tersebut menyebabkan BU mengalami kemunduran. BU tidak bergerak dalam bidang keagaman dan politik sehingga anggota-anggotanya yang merasa tidak puas dan akhirnya  keluar dari organisasi itu kemudian masuk ke organisasi baru yang dianggap lebih menjanjikan. BU yang berhaluan berdasarkan kebangsawanan Jawa liberal pada akhirnya kehilangan kedudukan-monopolinya dengan timbulnya organisasi yang beraliran nasionalisme-radikal, beraliran nasionalisme-demokrasi dengan dasar agama dan aliran yang berkeinginan mengadakan pengajaran modern berdasarkan agama dan kebangsaan di luar bidang politik.
Keadaan yang demikian menjadikan BU berubah halauan kearah politik. Hal ini dapat dibuktikan dengan peristiwa sebagai berikut :
1)    Dalam rapat umum BU di Bandung tanggal 5 dan 6 Agustus 1915 menetapkan mosi, agar dibentuk milisi bagi bangsa Indonesia namun melalui persetujuan parlemen. Pembentukan milisi berhubungan dengan meletusnya Perang Dunia I tahun 1914. Meskipun Belanda dan Hindia Belanda tidak terlibat dalam Perang Dunia I, ancaman peperangan berpengaruh terhadap penduduk Belanda di Hindia Belanda. Kekhawatiran bukan berasal dari tentara Jerman namun intervensi pasukan Jepang.
2)    BU menjadi bagian dalam Komite “ Indie Weerbaar” yaitu misi ke Negeri Belanda dalam rangka untuk pertahanan Hindia Belanda. Djidjosewoyo sebagai wakil BU dalam misi tersebut berhasil mengadakan pendekatan-pendekatan dengan pejabat Belanda. Meski Undang-undang wajib militer atau pembentukan suatu milisi gagal dipenuhi pemerintah Belanda, ternyata parlemen Belanda menyetujui pembentukan Volksraad (Dewan Rakyat) bagai Hindia Belanda. BU segera membentuk sebuah Komite Nasional untuk menghadapi pemilihan anggota Volksraad meskipun demikian Komite Nasional ini tidak dapat berjalan sesuai harapan.
Volksraad dibuka secara resmi oleh GubernurJenderal Van Limburg Stirum pada tanggal 18 Mei 1918. Pada tahun 1921 dalam salah satu konggresnya, BU menuntut agar keanggotaan Volksraad dari pribumi diperbanyak. Meskipun demikian di dalam sidang Volksraad, wakil-wakil BU tetap berhati-hati dalam melancarkan kritik kepada pemerintah Hindia Belanda. Berakhirnya Perang Dunia I dengan kekalahan Jerman, mengakibatkan kaum sosialis Jerman menggulingkan kekuasan raja dan mendirikan negara republik. Peristiwa ini berpengaruh di Belanda, karena Partai Buruh Sosial Demokrasi di Belanda mengikuti kejadian di Jerman dengan berusaha mengulingkan sistem monarchi di Belanda yang di kenal sebagai krisis bulan November 1918.
Dengan memanfaatkan kesempatan krisis tersebut, para anggota Volksraad yang radikal menuntut  perubahan bagi Volksraad dan kebijakan politik Hindia Belanda. Unsur-unsur radikal dalam BU menjadi lebih berperan sejak krisis November tersebut. Ketika di Volksraad berdiri badan Radicale Concentratie, BU berperan aktif dalam aktivitas tersebut. Namun Gubernur Jenderal yang baru yaitu Mr. D. Fock mengambil kebijakan lebih tegas menanggapi peristiwa di atas. Anggaran pendidikan BU dikurangi secara drastis oleh pemerintah. Sebagai akibatnya terjadi perpecahan antara golongan radikal dan golongan moderat di BU.
Dr. Sutomo yang tidak puas dengan BU pada tahun 1924 mendirikan Indonesische Studieclub di Surabaya. Penyebabnya adalah asas “Kebangsaan Jawa” dari BU sudah tidak relevan dengan perkembangan rasa kebangsaan yang menuju pada sifat nasional. Indonesische Studieclub ini pada perkembangannya menjadi Persatuan Bangsa Indonesia. Pada konggres BU tahun 1923 diusulkan adanya asas non kooperatif sebagai asas perjuangan namun ditolak oleh sebagaian peserta konggres. Penolakan ini disebabkan para anggota dan pengurus BU mayoritas pegawai-pegawai pemerintah sehingga akan menyulitkan posisi mereka (Kansil, 1986:23).
Pada tahun 1927 BU masuk dalam PPPKI (Permufakatan Perhimpunan-Perhimpunan Politik Kebangsaan Indonesia yang dipelopori Ir. Sukarno. Meskipun demikian, BU tetap eksis dengan asas kooperatifnya. Pada tahun 1928 BU menambah asas perjuangannya yaitu: medewerking tot de verwezenlijking van de Indonesische eenheidsgedachte ( ikut berusaha untuk melaksanakan cita-cita persatuan Indonesia). Hal ini sebagai isyarat bahwa BU menuju kehidupan yang lebih luas tidak hanya Jawa dan Madura namun meliputi seluruh Indonesia. Usaha ini diteruskan dengan mengadakan fusi dengan PBI (Persatuan Bangsa Indonesia) suatu partai pimpinan Dr. Sutomo. Fusi initerjadi pada tahun 1935, hasil fusi melahirkan Parindra (Partai Indonesia Raya), sehingga berakhirlah riwayat BU sebagai organisasi pergerakan pertama di Indonesia.

C. Kesimpulan
Bermula dari dampak politik Etis, Budi Utomo sebagai organisasi awal pada masa pergerakan Indonesia didirikan oleh siswa-siswa STOVIA. Perjuangan yang dipilih yaitu pada bidang pendidikan dan kebudayaan, namun pada perkembangan selanjutnya mengarah pada bidang politik. Selain dikenal sebagai salah satu organisasi nasional yang pertama di Indonesia, BU juga sebagai organisasi yang dapat bertahan lama.
Arti penting Budi Utomo tidak terbatas sebagai organisasi yang hanya bermanfaat bagi pemerintah colonial. Budi Utomo secara relatif bebas dari prasangka keagamaan dan kemandekan tradisi, selanjutnya hasratnya untuk memajukan kecerdasan, mencerminkan aspek terbaik etos Jawa dan juga modernisme Belanda. Kemampuannya yang istimewa berfungsi sebagai jembatan antara para pejabat colonial yang maju dengan kaum terpelajar Jawa, merupakan sumbangan yang tidak ternilai bagi masa depan Indonesia. Untuk peranannya inilah Budi Utomo pantas diberi tempat dalam kenangan bangsa Indonesia, sebagai organisasi nasional pertama yang tampil di Indonesia, begitu ujar Akira Nagazumi mengakhiri kesimpulan dalam bukunya ini.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar