A. Pendahuluan
Pada Buku Akira Nagazumi di atas;
Bab I , Jawa Tahun 1900 dan Bab II, Politik Etis dan Priyayi, disarikan
pada bagian pendahuluan ini. Untuk Bab III, Asal mula Budi Utomo sampai Bab IX,
Budi Utomo Selama tahun-tahun Pertama, dirangkum pada bagian B tentang Budi
Utomo.
Pada awal abad ke- 19, pemerintah Belanda mengalami krisis ekonomi serta
keuangan negara yang memprihatinkan akibat peperangan di Eropa. Peperangan
antara Inggris dan Perancis berdampak pada Belanda karena negeri kincir angin tersebut dikuasai
Perancis sehingga Raja Belanda melarikan diri ke Inggris. Setelah Inggris dapat
mengalahkan pasukan Perancis, Belanda memperoleh kembali kemerdekaan dan
kedaulatannya. Namun selanjutnya, Belgia memberontak dan memisahkan diri
terhadap kekuasaan Belanda. Sementara itu, kekuasaan Belanda di Indonesia juga
mengalami masa-masa sulit karena munculnya berbagai perlawanan rakyat sepertri
Perang Diponegoro (1825-1830) di Jawa
dan Padri (1821-1837) di Sumatra Barat.
Krisis ekonomi tersebut mengancam kedudukan negeri Belanda. Untuk mengatasi
masalah keuangan tersebut, Belanda mengangkat
Gubernur Jenderal di Indonesia (1830-1833) yaitu Johannes van den Bosch dengan
menciptakan ”Cultuurstelsel” atau
Sistem Tanam Paksa. Cultuurstelsel
ini memberi keuntungan sangat besar kepada pemerintah Belanda, sehingga dalam
waktu relatif singkat, kesulitan kas negara Belanda dapat teratasi. Sebaliknya,
sistem tersebut menjadikan puncak dari kesengsaraan rakyat Indonesia akibat
imperalisme. Beribu-ribu orang mati kelaparan seperti daerah Cirebon (Jawa
Barat) ,Demak (Jawa Tengah), Grobogan (Jawa Tengah) dan tempat-tempat lain.
Selanjutnya, kolonialisme-imperalisme di Nusantara mengalami perubahan
seiring perkembangan sosio-politik di negeri Belanda. Pada permulaan abad XX,
kebijakan pemerintah penjajah Belanda mengalami perubahan arah. Eksploitasi
terhadap Indonesia mulai berkurang sebagai pembenaran kekuasaan Belanda, dan
diganti dengan pernyatan-pernyataan keprihatinan atas kesejahteran bangsa
Indonesia. Pada tahun 1899, C. Th. Van Deventer, seorang ahli hukum yang pernah
tinggal di Indonesia, menerbitkan artikel
dalam majalah De Gids yang
berjudul ”Een eereschuld” (Suatu
Hutang Kehormatan). Dalam tulisannya tersebut dijelaskan bahwa kekosongan kas
Belanda akibat Perang Diponegoro dan
Perang Kemerdekaan Belgia telah diisi oleh penduduk Indonesia melalui program
Tanam paksa (Cultuur Stelsel )
sehingga orang Indonesia berjasa terhadap
bangsa Belanda dalam pemulihan
perekonomian negeri Belanda. Untuk semua itu, sudah sewajarnya jika kebaikan budi dibayarkan kembali. Menurut van Deventer,
hutang budi tersebut dibayar dengan peningkatan kesejahteraan rakyat Indonesia
melalui Trias yang dikenal sebagai Trias van Deventer, meliputi : (1)irigasi
atau pengairan (2) edukasi atau pendidikan, (3) emigrasi atau pemindahan penduduk untuk pemerataan kepadatan penduduk.
Program tersebut didukung kaum industrialis dan kapitalis karena mereka
berkepentingan dengan hal itu dalam rangka memasarkan produk industrinya ke
Indonesia serta mengadakan perbaikan kesejahteraan kepada rakyat yang telah
berjasa bagi pemerintah belanda. Kritikan van Deventer juga direspon oleh Ratu
Belanda, Wilhelmina berpidato pada tahun
1901 menyatakan jaman baru dalam politik kolonial setelah mengetahui dari hasil
penyelidikan tentang kesejahteraan di Jawa.
Selanjutnya pemerintah Belanda membuat program untuk kesejahteraan rakyat
pribumi Indonesia yang disebut politik ethis. Meskipun pidato Ratu Wilhelmina
menekankan kesejahteraan pribumi dalam ide politik ethis, namun tetap dalam
kerangka modernisasi yang dipersepsikan dengan pem-Barat-an atau bahkan
pem-Belanda-an. Tujuan politik ethis bersifat rangkap yaitu: (1) meningkatkan
kesejahteraan penduduk pribumi (2). Berangsur-angsur menumbuhkan otonomi dan
desentralisasi politik di Hindia Belanda. Aplikasi dari Trias van Deventer
tidak sesuai dengan rencana program. Pemerintah Belanda memperluas jaringan
irigasi, demi memajukan pertanian yang berhubungan langsung dengan kepentingan
Hindia Belanda. Pemindahan penduduk atau emigrasi dilaksanakan dalam rangka
memenuhi tenaga kerja untuk daerah-daerah perkebunan milik pengusaha asing sedangkan
edukasi atau pengembangan pendidikan sebagai sarana untuk mengisi tenaga-tenaga
administrasi pemerintah Hindia Belanda.
Meskipun demikian, adanya politik ethis khususnya dalam bidang edukasi
bermunculan kaum intelektual pribumi. Para kaum intelektual ini mulai
diserap dalam berbagai bidang kegiatan pemerintahan. Kebutuhan aparatur dan
tenaga administrasi Hindia Belanda yang meningkat cukup signifikan menjadikan
kaum intelektual pribumi berperan lebih besar dalam urusan berbagai hal.
Golongan intelektual ini sebagai golongan elite baru yang kedudukannya
dibedakan dalam tatanan masyarakat kolonial. Golongan inilah yang menjadikan
adanya pembaharuan dalam mewujudkan cita-cita kebangsaan yang direalisasikan
melalui bentuk pergerakan yang modern yang disebut sebagai Pergerakan Nasional.
Soetomo |
B. Budi Utomo
Dalam penerapan politik ethis terkadung didalamnya usaha memajukan
pengajaran dan pendidikan bagi generasi muda di Indonesia. Salah satu kendala
dalam memajukan bidang pendidikan, masih terbatasnya anggaran dana untuk bidang
tersebut. Hal ini menimbulkan keprihatinan bagi dr. Wahidin Sudirohusudo
sehingga melakukan kegiatan menghimpun dana dengan melakukan propaganda
berkeliling di Jawa tahun 1906. Dr.
Wahidin Sudirohusodo (1857-1917) merupakan pembangkit semangat organisasi Budi
Utomo.
Dr. Wahidin
Sudirohusodo lulusan sekolah dokter Jawa di Weltvreden (sesudah tahun 1900
dinamakan STOVIA), merupakan salah satu
tokoh intelektual yang berusaha memperjuangkan nasib bangsanya. Pada tahun 1901
ia menjadi direktur majalah Retnodhoemilah (Ratna yang berkilauan)
diterbitkan dalam bahasa Jawa dan Melayu, yang dikhususkan untuk kalangan kaum
feodal atau priyayi. Hal ini mencerminkan perhatian seorang priyayi terhadap
masalah-masalah dan status golongan priyayi itu sendiri. Ia juga berusaha
memperbaiki masyarakat Jawa melalui pendidikan Barat. Wahidin menghimpun
beasiswa agar dapat memberikan pendidikan modern atau Barat kepada golongan
priyayi Jawa dengan mendirikan Studie
Fonds atau Yayasan Beasiswa.
Ide dr. Wahidin selanjutnya menarik seorang mahasiswa School tot Opleiding voor Inlandsche
Arsten (STOVIA), yaitu Sutomo. Hal tersebut sebagai awal perkembangan
menuju keharmonisan bagi masyarakat Jawa dan madura di Pulau Jawa. Akhirnya
Sutomo mendirikan sebuah organisasi yang bernama BU (Budi Utomo). Budi Utomo merupakan organisasi modern
pertama kali di Indonesia yang didirikan pada tanggal 20 Mei 1908. Corak baru
yang diperkenalkan BU adalah kesadaran lokal yang diformulasikan dalam wadah
organisasi modern dalam arti bahwa organisasi ini mempunyai pemimpin, ideologi
yang jelas, dan anggota. Yang menarik pada BU, berdirinya organisasi ini
diikuti berdirinya organisasi lain sehingga dari sinilah terjadi
perubahan-perubahan sosio-politik .
Gubernur Jenderal Hindia Belanda, van Heutsz menyambut baik kelahiran Budi
Utomo karena hal tersebut sebagai salah satu tanda keberhasilan politik ethis
yang dijalankan selama ini. BU juga sebagai organisasi yang karakteristiknya
dianggap sesuai dengan keinginan pemerintah Hindia Belanda, yaitu organisasi
pribumi progresif-moderat yang dikendalikan oleh para pejabat berpikiran maju.
Hal tersebut menjadikan BU ditetapkan oleh pemerintah Hindia Belanda sebagai
organisasi yang sah pada tahun 1909. Namun
demikian, adanya sambutan yang
baik dari pemerintah Hindia Belanda kepada keberadaan BU, menjadikan organisasi
ini pada awalnya dicurigai oleh pribumi sebagai organisasi buatan pemerintah.
Budi Utomo mempunyai program utama yaitu mengusahakan perbaikan pendidikan
dan pengajaran. Programnya lebih bersifat sosial disebabkan saat itu belum
dimungkinkan didirikannya organisasi politik karena adanya aturan yang ketat dari pihak pemerintah Hindia
Belanda. Disamping itu, pemerintah Hindia Belanda sedang melaksanakan program
edukasi dari politik ethis sehingga terdapat kesesuaian kedua program).
berdiri organisasi Boedi Oetomo |
Namun tidak semua golongan priyayi mendukung berdirinya Budi Utomo dengan
alasan yang hampir sama yaitu kaum priyayi birokrasi dari golongan ningrat atau
aristikrat mengkhawatirkan eksistensinya karena jika gerakan tersebut mengancam
kedudukan kaum aristokrasi yang menginginkan situasi status quo, yaitu keadaan
yang dapat menjamin kepentingan mereka. Di
kalangan priyayi elite/ gedhe yang
mempunyai status mapan kurang senang keberadaan BU sehingga para bupati membentuk
perkumpulan Regenten Bond Setia Mulia
pada tahun 1908 di Semarang untuk mencegah cita-cita BU yang dianggap menganggu
stabilitas mereka. Sebaliknya, beberapa bupati progresif seperti Tirtokusumo
(Karanganyar) sangat mendukung BU. Resistensi dikalangan golongan elite priyayi karena terhadap BU sebagai hal yang
wajar gerakan kaum terpelajar tersebut akan membawa perubahan struktur sosial
sehingga kaum intelektual akan mengurangi ruang lingkup kekuasaan elite
birokrasi. Meskipun kaum intelektual pada masa awal pergerakan nasional
didominasi kaum priyayi namun Budi Utomo dapat membahayakan kedudukan kaum
feodal konservatif terkait masalah status sosialnya.
Budi Utomo merupakan organisasi pelajar dengan para pelajar STOVIA sebagai
inti penggeraknya meskipun gerakan awal
hanya terbatas jangkauan wilayah Jawa dan Madura. Budi Utomo pada
dasarnya tetap merupakan suatu
organisasi priyayi Jawa. Jangkauan
wilayah yang terbatas ini, menjadikan Budi Utomo dianggap sebagai organisasi
yang bersifat kedaerahan, karena salah satu programnya berbunyi “ de harmonische ontwikkeling van land en volk
van Jawa en Madura” (kemajuan yang
harmonis bagi nusa Jawa dan Madura). Dengan demikian, mencerminkan kesatuan
administrasi kedua pulau tersebut yang mencakup juga masyarakat Sunda yang
kebudayaannya mempunyai kaitan dengan Jawa meski yang dipakai sebagai bahasa
resmi organisasi adalah bahasa Melayu. BU tidak langsung terjun dalam lapangan
politik praktis karena dalam rangka startegi dan menyesuaikan dengan situasi
dan kondisi pada waktu itu sehingga BU lebih berorientasi kultural.
Budi Utomo pada tanggal 5 Oktober 1908 mengadakan konggresnya yang pertama
di Yogyakarta. Dalam konggres ini berhasil menetapkan tujuan organisasi yaitu ;
Kemajuan yang harmonis antara bangsa dan negara, terutama dalam memajukan
pengajaran, pertanian, peternakan dan dagang, tehnik , industri serta
kebudayaan. Sebagai ketua Pengurus Besar yang pertama terpilih R.T
Tirtokusumo,bupati Karanganyar sedangkan anggota-anggota Pengurus Besar pada
umumnya pegawai pemerintahan atau mantan pegawai pemerintahan dengan pusat
organisasi berada di Yogyakarta. Pengurus hasil konggres ini merupakan dewan
pimpinan yang didominasi oleh para pejabat generasi tua yang mendukung
pendidikan yang semakin luas dikalangan priyayi dan mendorong pengusaha Jawa.
Setelah cita-cita Budi Utomo mendapat dukungan semakin luas dikalangan
cendekiawan Jawa maka para pelajar tersebut memberi kesempatan kepada golongan
tua untuk memegang peranan yang lebih besar bagi gerakan ini. Ini dibuktikan
dengan terpilihnya golongan tua sebagai pengurus dalam konggres Budi Utomo I di
Yogyakarta. Ketua terpilih R.T Tirtokusumo, sebagai seorang bupati lebih
memperhatikan reaksi dari pemerintah kolonial Belanda dibanding reaksi dari
warga pribumi. Sebelumnya terjadi persaingan dalam konggres itu, disebabkan
terdapat kelompok minoritas yang dipimpin Dr. Cipto Mangunkusumo yang berusaha
memperjuangkan Budi Utomo berubah menjadi partai politik yang berjuang untuk
mengangkat rakyat pada umumnya, tidak terbatas hanya golongan priyayi dan
kegiatannya meliputi seluruh Indonesia, tidak hanya Jawa dan Madura saja. Namun
pandangan Dr. Cipto Mangunkusumo gagal mendapat dukungan bahkan pada tahun 1909
Dr. Cipto mengundurkan diri dari Budi Utomo kemudian bergabung dengan Indische
Partij yang lebih radikal .
Perang pemikiran kedua kelompok di Budi Utomo bukan sebatas antagonisme
antara konservativ dan progresiv ataupun kaum radikal dalam mencapai tujuan
gerakan, tetapi penggunaan bahasa terjadi perbedaan yang sangat tajam antara
penggunaan bahasa Jawa dan Melayu. Kaum priyayi konservatif menghendaki
penggunaan bahasa Jawa serta dalam melangkah menghendaki secara bertahap dalam
mencapai kemajuan dengan mengikuti jenjang yang ditetapkan pemerintah Hindia
Belanda. Namun kaum radikal menginginkan penggunaan bahasa Melayu sebagai
bahasa resmi organisasi, meningkatkan taraf pendidikan kaum pribumi serta
pencapaian tujuan dengan mencita-citakan suatu pendobrakan masyarakat kolonial
dan tradisional dengan gerakan yang bersifat radikal. Selain itu, dalam perkembangannya terdapat dua prinsip perjuangan
yang berbeda dalam BU. Kelompok pertama adalah kaum muda yang cenderung
menempuh jalan perjuangan politik dalam menghadapi pemerintah Hindia Belanda,
sedangkan kelompok kedua diwakili kaum tua berpandangan yang tetap berusaha
dengan cara lama yaitu perjuangan sosio-kultural. Bagi golongan
muda, perjuangan mereka sangat tepat sebagai cara mengimbangi kekuatan politik
pemerintah. Orientasi politik kaum muda ini semakin menonjol sehingga pada
akhirnya mereka mencari organisasi yang sesuai dengan mendirikan Sarikat Islam
dan Indische Party sebagai wadahnya. Adanya perbedaan pendapat yang sulit
dicarikan titik temu dalam Pengurus Besar Budi Utomo menjadikan Dr. Cipto
Mangunkusumo memilih berhenti dari keanggotaan sehingga pengurus dapat menjadi
seragam dalam pemikiran.
Setelah mendapat persetujuan dari pemerintah Kolonial Belanda, Budi Utomo
pada tahun 1909 diberi status sebagai organisasi yang berbadan hukum sehingga
diharapkan organisasi pertama di Indonesia ini dapat melakukan aktivitasnya
secara leluasa. Gubernur Jenderal van Heutsz menyambut Budi Utomo sebagai
bagian keberhasilan dari pelaksanakan politik ethis. Setelah Dr. Cipto
Mangunkusumo meninggalkan BU, tidak ada kontroversi dalam organisasi itu namun
BU kehilangan kekuatan yang progresif sehingga perkembangan selanjutnya
didominasi golongan ningrat atau aristokrat. Dengan demikian, BU tumbuh menjadi
organisasi yang moderat, kooperatif terhadap pemerintah Hindia Belanda dan evolusioner.
Selanjutnya, BU mengalami stagnasi dan
aktivitasnya hanya terbatas pada penerbitan majalah Goeroe Desa dan beberapa petisi yang ditujukan kepada pemerintah
Hindia Belanda dalam rangka meningkatkan mutu pendidikan. Kelambanan aktivitas
BU disebabkan para pengurus atau pemimpin mereka berstatus sebagai pegawai atau
bekas pegawai pemerintah. Status tersebut menjadikan mereka takut bertindak dan
lemah dalam gerakan kebangsaan. Disamping itu, BU mengalami kemandegan sejak
awal permulaannya karena kekurangan dana dan kurangnya pemimpin yang dinamis.
Pada akhirnya BU diangap sebagai organisasi yang lemah dan juga terlalu sempit
karena keanggotannya terbatas pada daerah yang berbudayaan Jawa sehingga
ditinggal masyarakat.
Pengaruh BU terhadap penduduk pribumi terasa tidak begitu besar. Pada tahun
1912 R.T Tirtokusumo berhenti sebagai ketua digantikan oleh Pangeran Noto
Diridjo, anak dari Pakualam V yang berusaha mengejar ketertinggalan organisasi
itu dalam aktivitasnya. Dengan ketua baru tersebut kemajuan BU tetap tidak
signifikan. Hasil-hasil yang dicapai antara lain perbaikan pengajaran di daerah
Kasultanan Yogyakarta dan Kasunanan Surakarta, serta mendirikan organisasi dana
belajar Darmoworo. Tinjauan terhadap kegiatan BU antara tahun 1912-1914 semakin
memperlihatkan bahwa organisasi ini kurang berpengaruh meskipun semangat
kegiatan sejak terpilihnya ketua yang baru yaitu Pangeran Noto Diridjo menjadi
cukup aktif dalam berbagai kegiatan, namun perannya semakin menurun seiring
lahirnya organisasi lain. Peran BU semakin memudar seiring berdirinya organsasi
yang lebih aktif dan penting bagi pribumi. Beberapa diantaranya bersifat
keagamaan, kebudayaan dan pendidikan dan organisasi yang bersifat politik. Organisasi baru yang tersebut antara
lain:
1)
Sarekat Islam, yang didirikan pada tahun 1912, berasaskan
dasar hubungan spiritual agama dan
kepentingan perdagangan yang sama.
2)
Indishe
Partij, bergerak dalam bidang politik yang mempropagandakan “Nasionalisme Hindia”.
3)
Muhammadiyah,
sebagai organisasi sosial keagamaan yang berdiri pada tahun 1918 dengan
semangat pembaharuan keagamaan.
Dengan munculnya organisasi-organisasi baru tersebut menyebabkan BU
mengalami kemunduran. BU tidak bergerak dalam bidang keagaman dan politik
sehingga anggota-anggotanya yang merasa tidak puas dan akhirnya keluar dari organisasi itu kemudian masuk ke
organisasi baru yang dianggap lebih menjanjikan. BU yang berhaluan berdasarkan
kebangsawanan Jawa liberal pada akhirnya kehilangan kedudukan-monopolinya dengan
timbulnya organisasi yang beraliran nasionalisme-radikal, beraliran
nasionalisme-demokrasi dengan dasar agama dan aliran yang berkeinginan
mengadakan pengajaran modern berdasarkan agama dan kebangsaan di luar bidang
politik.
Keadaan yang demikian
menjadikan BU berubah halauan kearah politik. Hal ini dapat dibuktikan dengan
peristiwa sebagai berikut :
1)
Dalam rapat umum BU di Bandung tanggal 5 dan 6 Agustus
1915 menetapkan mosi, agar dibentuk milisi bagi bangsa Indonesia namun melalui
persetujuan parlemen. Pembentukan milisi berhubungan dengan meletusnya Perang
Dunia I tahun 1914. Meskipun Belanda dan Hindia Belanda tidak terlibat dalam
Perang Dunia I, ancaman peperangan berpengaruh terhadap penduduk Belanda di
Hindia Belanda. Kekhawatiran bukan berasal dari tentara Jerman namun
intervensi pasukan Jepang.
2)
BU menjadi bagian dalam Komite “ Indie Weerbaar” yaitu
misi ke Negeri Belanda dalam rangka untuk pertahanan Hindia Belanda.
Djidjosewoyo sebagai wakil BU dalam misi tersebut berhasil mengadakan
pendekatan-pendekatan dengan pejabat Belanda. Meski Undang-undang wajib militer
atau pembentukan suatu milisi gagal dipenuhi pemerintah Belanda, ternyata
parlemen Belanda menyetujui pembentukan Volksraad (Dewan Rakyat) bagai Hindia
Belanda. BU segera membentuk sebuah Komite Nasional untuk menghadapi pemilihan
anggota Volksraad meskipun demikian Komite Nasional ini tidak dapat berjalan
sesuai harapan.
Volksraad dibuka secara resmi oleh GubernurJenderal Van Limburg Stirum pada
tanggal 18 Mei 1918. Pada tahun 1921 dalam salah satu konggresnya, BU menuntut
agar keanggotaan Volksraad dari pribumi diperbanyak. Meskipun demikian di dalam
sidang Volksraad, wakil-wakil BU tetap berhati-hati dalam melancarkan kritik
kepada pemerintah Hindia Belanda. Berakhirnya Perang Dunia I dengan kekalahan
Jerman, mengakibatkan kaum sosialis Jerman menggulingkan kekuasan raja dan
mendirikan negara republik. Peristiwa ini berpengaruh di Belanda, karena Partai
Buruh Sosial Demokrasi di Belanda mengikuti kejadian di Jerman dengan berusaha
mengulingkan sistem monarchi di Belanda yang di kenal sebagai krisis bulan
November 1918.
Dengan memanfaatkan kesempatan krisis tersebut, para anggota Volksraad yang
radikal menuntut perubahan bagi
Volksraad dan kebijakan politik Hindia Belanda. Unsur-unsur radikal dalam BU menjadi lebih berperan sejak
krisis November tersebut. Ketika di Volksraad berdiri badan Radicale Concentratie, BU berperan aktif
dalam aktivitas tersebut. Namun Gubernur Jenderal yang baru yaitu Mr. D. Fock
mengambil kebijakan lebih tegas menanggapi peristiwa di atas. Anggaran
pendidikan BU dikurangi secara drastis oleh pemerintah. Sebagai akibatnya
terjadi perpecahan antara golongan radikal dan golongan moderat di BU.
Dr. Sutomo yang tidak puas dengan BU pada tahun 1924 mendirikan Indonesische Studieclub di Surabaya.
Penyebabnya adalah asas “Kebangsaan Jawa” dari BU sudah tidak relevan dengan
perkembangan rasa kebangsaan yang menuju pada sifat nasional. Indonesische Studieclub ini pada
perkembangannya menjadi Persatuan Bangsa Indonesia. Pada konggres BU tahun 1923
diusulkan adanya asas non kooperatif sebagai asas perjuangan namun ditolak oleh
sebagaian peserta konggres. Penolakan ini disebabkan para anggota dan pengurus
BU mayoritas pegawai-pegawai pemerintah sehingga akan menyulitkan posisi mereka
(Kansil, 1986:23).
Pada tahun 1927 BU masuk dalam PPPKI (Permufakatan Perhimpunan-Perhimpunan
Politik Kebangsaan Indonesia yang dipelopori Ir. Sukarno. Meskipun demikian, BU
tetap eksis dengan asas kooperatifnya. Pada tahun 1928 BU menambah asas
perjuangannya yaitu: medewerking tot de verwezenlijking
van de Indonesische eenheidsgedachte ( ikut berusaha untuk melaksanakan
cita-cita persatuan Indonesia). Hal ini sebagai isyarat bahwa BU menuju
kehidupan yang lebih luas tidak hanya Jawa dan Madura namun meliputi seluruh
Indonesia. Usaha ini diteruskan dengan mengadakan fusi dengan PBI (Persatuan
Bangsa Indonesia) suatu partai pimpinan Dr. Sutomo. Fusi initerjadi pada tahun
1935, hasil fusi melahirkan Parindra (Partai Indonesia Raya), sehingga
berakhirlah riwayat BU sebagai organisasi pergerakan pertama di Indonesia.
C. Kesimpulan
Bermula dari dampak politik Etis, Budi Utomo sebagai organisasi awal pada
masa pergerakan Indonesia didirikan oleh siswa-siswa STOVIA. Perjuangan yang
dipilih yaitu pada bidang pendidikan dan kebudayaan, namun pada perkembangan
selanjutnya mengarah pada bidang politik. Selain dikenal
sebagai salah satu organisasi nasional yang pertama di Indonesia, BU juga
sebagai organisasi yang dapat bertahan lama.
Arti penting Budi Utomo tidak terbatas sebagai organisasi yang hanya
bermanfaat bagi pemerintah colonial. Budi Utomo secara relatif bebas dari
prasangka keagamaan dan kemandekan tradisi, selanjutnya hasratnya untuk
memajukan kecerdasan, mencerminkan aspek terbaik etos Jawa dan juga modernisme
Belanda. Kemampuannya yang istimewa berfungsi sebagai jembatan antara para
pejabat colonial yang maju dengan kaum terpelajar Jawa, merupakan sumbangan
yang tidak ternilai bagi masa depan Indonesia. Untuk peranannya inilah Budi
Utomo pantas diberi tempat dalam kenangan bangsa Indonesia, sebagai organisasi
nasional pertama yang tampil di Indonesia, begitu ujar Akira Nagazumi mengakhiri
kesimpulan dalam bukunya ini.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar