Total Tayangan Halaman

Jumat, 27 Januari 2012

DUGDERAN



FENOMENA MASYARAKAT SEMARANG
 MENYAMBUT BULAN RAMADHAN

 
Pendahuluan
Bulan Ramadhan adalah bulan yang penuh berkah. Karena penuh keberkahan itulah, Al Quran menggambarkan nilai kemuliaan bulan suci Ramadhan tersebut sebanding dengan seribu bulan. Tidak salah kalau umat Islam selalu disergap rasa rindu menyambut kedatangan bulan suci ini dengan kegembiraan dalam pelbagai bentuk tradisi perayaan, apalagi mengingat bulan puasa ini hanya datang setahun sekali.

Sejarah Dugderan
Dugderan pertama kali digelar pada tahun 1881 oleh Bupati Semarang, Raden Mas Tumenggung Aryo Purboningrat. Beliau dikenal sebagai seorang bupati yang kreatif dan memiliki jiwa seni tinggi. Muncullah gagasan suatu acara semacam pertanda awal waktu puasa di bulan Ramadhan. Hal ini mengingat pada waktu itu belum memiliki keseragaman untuk mengawali berpuasa. Sang Bupati memilih suatu acara pesta dalam bentuk tradisi guna menengahi terjadinya perbedaan dalam memulai jatuhnya awal puasa.
            Sebagai tanda dimulainya bulan Ramadhan itu, diadakan upacara membunyikan bedug “ dug…dug…dug…” sebagai puncak awal bulan puasa sebanyak 17 kali dan diikuti suara dentuman meriam “der…der…der…” sebanyak 7 kali. Dari perpaduan antara bunyi “dug” dan “der” itulah yang kemudian menjadi nama tradisi dugderan.

 
Proses Ritual Dugderan
Tradisi ini adalah tradisi umat Isalm di Semarang yang biasanya digelar kira-kira 1-2 Minggu sebelum puasa dimulai. Karena sudah berlangsung lama, tradisi dugderan ini pun sudah menjadi semacam pesta rakyat tetapi proses ritual sebagai pengumuman awal puasa tetap menjadi puncak tradisi dugderan.
Proses ritual dugderan diawali karnaval yang diberangkatkan dari Balai Kota dan berakhir di masjid Kauman (masjid Agung) dekat pasar Johar. Tapi dalam 4 tahun terakhir ini rute karnaval diperpanjang dari Balai Kota menuju masjid Agung Jawa Tengah yang terletak di Gayamsari. Dalam pesta rakyat ini ada mascot dugderan yang dikenal dengan istilah “Warak Ngendog”. Warak ngendog ini adalah mainan jenis binatang rekaan bertubuh kambing dan berkepala naga dengan kulit seperti bersisik terbuat dari kertas berwarna-warni. Binatang mainan ini terbuat dari kayu dan dilengkapi beberapa telur rebus sebagai lambang bahwa binatang itu sedang ngendog ( bertelur). Mengingat waktu pertama kali diselenggarakan, Semarang sedang krisis pangan dan telur merupakan makanan mewah. Pesta rakyat ini disi pelbagai acara selain karnaval, banyak perlombaan, tarian dan kesenian rakyat Semarang lainnya.
Puncak ritual dugderan berlangsung sehari sebelum puasa, tepatnya setelah shalat Ashar dengan diadakan musyawarah yang bertujuan menentukan awal Ramadhan yang dihadiri para ulama. Setelah itu digelar holaqoh yang bertujuan mengumumkan ketentuan dimulainya puasa dengan ditandai pemukulan bedug sebagai tanda awal puasa. Ketetapan hasil holaqoh diserahkan ke kanjeng Gubernur Jawa Tengah, Kanjeng Bupati Semarang ( walikota Semarang) dan selanjutnya Gubernur untuk kemudian memukul bedug, diikuti bunyi meriam. Selepas itu ritualpun diakhiri dengan pembacaan doa.  

Pesan di Balik Dugderan
Dugderan bukan semata-mata sekedar sebagai tradisi (kesenian rakyat), tapi juga sebagai salah satu budaya Islam Semarang yang punya pesan, yaitu  :
  1. Pengumuman dimulainya bulan suci Ramadhan dengan ditabuhnya bedug sebagai “tetenger” dan konsesus yang meneguhkan atau memberikan justifikasi ketetapan jatuhnya tanggal 1 Ramadhan pada esok hari.
2.      Tradisi dugderan punya unsur mendidik bagi anak untuk melaksanakan ibadah puasa. Bentuk pendidikan itu dilambangkan dengan adanya warak ngendog yang dapat diartikan suatu lambang yang sarat dengan makna. Karena arti keseluruhan warak ngendog itu adalah seseorang harus suci, bersih dan memantapkan ketaqwaan kepada Allah SWT dalam menjalani puasa.





Tidak ada komentar:

Posting Komentar