Total Tayangan Halaman

Jumat, 27 Januari 2012

HAKEKAT KEBUDAYAAN BANYUMAS


Image Detail                      1.      Pengertian Kebudayaan

                  Budaya secara sederhana dapat dipahami sebagai suatu bentuk pranata kehidupan masyarakat  dalam segala aspeknya. Baik berupa karya seni, adat-istiadat, kepercayaan, situs-situs sejarah, struktur sosiologi, ekologi, topografi, maupun geologinya. Pada hakikatnya budaya tersebut telah mendarah daging, hingga semestinya tak terpisahkan dari kehidupan seluruh masyarakat di lingkungannya.
                  David Kaplan dan Robert A. Manners (2002:103-104) berpendapat, ekologi budaya mendapat inspirasi dari wawasan jangka panjang tentang manusia, yang melihat manusia sebagai hasil unik suatu evolusi biologis. Keunikannya, manusia mampu menyelaraskan diri atau menundukkan lingkungannya dengan cara-cara sangat berbeda dari cara-cara makhluk lain yang lebih rendah (infrahuman). Pada tingkat infrahuman spesies melakukan adaptasi terhadap lingkungan antara lain dengan proses belajar yang bersifat intraspesifik dan nonkumulatif. Akan tetapi dalam jangka panjang adaptasi mereka dalam lingkungan itu sangat bergantung pada proses pergantian unsur-unsur genetis dan mekanisme seleksi alamiah. Semua bentuk infrahuman beradaptasi dengan lingkungannya sebagai wujud adanya. Manusia makin memodifikasi dan mengadaptasi lingkungannya terhadap diri manusia sendiri. Hal ini dapat dilakukan manusia karena  adanya unsur sarana yang disebut budaya atau kultur.
                  Budaya mencakup pengertian yang luas, karena menyangkut keseluruhan hasil unsuritas manusia yang kompleks. Di dalamnya berisi struktur-struktur yang saling berhubungan sehingga membentuk suatu sistem. Artinya, kebudayaan merupakan suatu kesatuan organis dari rangkaian gejala, wujud, dan unsur-unsur yang berkaitan satu dengan yang lain (Tri Widiarto, 2007:10).
                  Dua ahli antropologi A.L. Kroeber dan C. Kluckhohn telah mengumpulkan kurang lebih 160 definisi tentang kebudayaan yang dibuat oleh ahli-ahli antropologi, sosiologi, sejarah dan ilmu sosial yang lain termasuk dari para ahli filsafat. Dari sekian banyak definisi, terlihat kecenderungan anggapan bahwa gagasan-gagasan, simbol-simbol dan nilai-nilai sebagai inti kebudayaan (Budiono Herusatoto, 1991: 8-9).
                  Djoko Widagdo (2008:19) mengutip pendapat beberapa ahli tentang pengertian kebudayaan. Di antaranya pernyataan R. Linton dalam buku ”The Cultural background of personality”, bahwa kebudayaan adalah konfigurasi dari tingkah laku dan hasil laku, yang unsur-unsur pembentukannya didukung serta diteruskan oleh anggota masyarakat tertentu. Pakar lain, C. Klukhohn dan W.H. Kelly merumuskan kebudayaan sebagasi hasil tanya jawab dengan para ahli antropologi, sejarah, hukum, psychologi yang implisit, explisit, rasional, irasional terdapat pada setiap waktu sebagai pedoman yang potensial bagi tingkah laku manusia. Sedangkan menurut Melville J. Herskovits, antropolog Amerika, kebudayaan adalah ”Man made part of the environment”, kebudayaan bagian dari lingkungan buatan manusia. Disebutkan pula pendapat, Dawson dalam buku ”Age of the Gods”, bahwa kebudayaan adalah cara hidup bersama (culture is common way of life). Demikian pula dengan sosok J.P.H Dryvendak yang mengatakan bahwa kebudayaan adalah suatu kumpulan dari cetusan jiwa manusia sebagai yang beraneka ragam berlaku dalam suatu masyarakat tertentu.            
                  Secara etimologi, istilah budaya berasal dari bahasa Sanskerta buddhayah, bentuk jamaknya buddhi, artinya akal. Pada diri manusia terdapat unsur-unsur potensi budaya yaitu cipta, rasa, dan karsa. Cipta adalah kemampuan akal pikiran yang menimbulkan ilmu pengetahuan dan teknologi. Manusia selalu memiliki keinginan untuk mengetahui rahasia-rahasia alam dan kehidupan. Dengan akal, pikiran dan nalar, manusia selalu mencari, menyelidiki dan menemukan sesuatu yang baru serta mampu menciptakan karya-karya besar. Rasa, artinya dengan panca inderanya manusia mengembangkan rasa keindahan atau estetika,  dan melahirkan karya-karya kesenian. Sedangkan karsa, atau kehendak berarti manusia selalu menghendaki untuk menyempurnakan hidupnya, merindukan kemuliaan hidup, mencapai kesusilaan, budi pekerti luhur dan selalu mencari perlindungan dari Sang Pencipta (Koentjaraningrat, 2002:9).
                  Kebudayaan adalah keseluruhan sistem gagasan, tindakan dan hasil karya manusia untuk memenuhi kehidupannya dengan cara belajar, yang semuanya tersusun dalam kehidupan masyarakat (Djoko Widagdho, 2008:21). Secara teperinci dapat diuraikan sebagai berikut :
a.   Kebudayaan adalah segala sesuatu yang dilakukan dan dihasilkan manusia, meliputi   :
1)      Kebudayaan material (bersifat jasmaniah), yang meliputi benda-benda ciptaan manusia, misalnya alat-alat perlengkapan hidup.
2)      Kebudayaan nonmaterial (bersifat rohaniah), yaitu semua hal yang tidak dapat dilihat dan diraba, misalnya religi, bahasa dan ilmu pengetahuan.
b.      Kebudayaan tidak diwariskan secara generatif  (biologis), melainkan hanya mungkin diperoleh dengan cara belajar.
c.       Kebudayaan itu diperoleh manusia sebagai anggota masyarakat. Tanpa masyarakat akan sukar bagi manusia untuk membentuk kebudayaan. Sebaliknya tanpa kebudayaan tidak mungkin manusia baik secara individual maupun masyarakat, dapat mempertahankan kehidupannya.
d.      Kebudayaan adalah kebudayaan manusia, hampir semua tindakan manusia adalah kebudayaan.
                  Adapun fungsi kebudayaan secara sederhana dibedakan menjadi tiga (Tri Widiarto, 2007: 36), yaitu:
a.       Melindungi diri terhadap alam. Dari fungsi ini kemudian tampak hasilnya dari karya-karya berupa alat-alat dan teknologi guna memenuhi kebutuhan manusia.
b.      Mengatur hubungan antarmanusia. Wujudnya berupa hukum adat, norma-norma atau kaidah yang meski tidak tertulis menjadi pedoman tingkah laku setiap anggota masyarakat dalam berinteraksi dengan kelompoknya. Fungsi ini pula yang akhirnya melahirkan pola-pola perikelakuan (pattern of behavior) para anggota kelompok.
c.       Sebagai wadah segenap perasaan manusia. Fungsi inilah yang kemudian memunculkan produk budaya berupa hasil-hasil seni; seni musik, seni suara, seni tari, seni lukis, seni pahat, seni ukir, dan lain-lain. 
                  Sedangkan wujud kebudayaan ada tiga (Koentjaraningrat, 2000:186).
  1. Wujud kebudayaan sebagai suatu kompleks ide-ide, gagasan, nilai-nilai, norma-norma, peraturan dan sebagainya. Wujud ini berada pada alam pikiran dari warga masyarakat atau dapat pula berupa tulisan-tulisan, karangan-karangan warga masyarakat yang bersangkutan.
  2. Wujud kebudayaan sebagai suatu kompleks aktivitas serta tindakan berpola dari manusia dalam masyarakat, wujud ini berupa sistim sosial dalam masyarakat yang bersangkutan.
  3. Wujud kebudayaan sebagai benda-benda hasil karya manusia. Ini berupa kebudayaan fisik yang berbentuk nyata, merupakan hasil karya masyarakat yang bersangkutan.
                  Berdasar klasifikasi tersebut jelas bahwa wujud pertama dan wujud kedua merupakan buah akal dan budi manusia. Sedangkan wujud yang ketiga adalah buah karya manusia.
                  Kuntowijoyo (2006:42) menyoroti adanya dualisme budaya. Yaitu budaya desa dengan budaya kota, dan disparitas budaya antara yang mampu dengan yang tidak mampu. Sejalan dengan itu, Mudji Sutrisno (tanpa tahun:109) menyatakan bahwa rasionalitas, subjektivitas  dan libertas (kebebasan) merupakan penemuan kesadaran manusia untuk merajut kebudayaan menjadi peradaban. Selanjutnya David Kaplan (2002:82) menyatakan, suatu institusi atau kegiatan budaya dikatakan fungsional manakala memberikan andil bagi adaptasi atau penyesuaian sistem tertentu dan disfungsional apabila melemahkan adaptasi.  
                  Definisi-definisi dan pemahaman tentang kebudayaan tersebut sepintas terlihat berbeda. Namun jika dicermati, semuanya mengakui adanya ciptaan manusia, meliputi perilaku dan hasil kelakuan manusia, diatur oleh tata kelakuan melaui proses belajar, dan semuanya tersusun dalam masyarakat.
Secara umum masyarakat mengartikan kebudayaan sebagai the general body of the arts. Bagian-bagiannya  meliputi seni sastra, seni musik, seni pahat, seni rupa, pengetahuan filsafat atau bagian-bagian yang indah dari kehidupan. Dapat disimpulkan, kebudayaan adalah hasil buah budi manusia untuk mencapai kesempurnaan hidup, baik yang konkret maupun abstrak.
Ada tiga karakteristik penting dari kebudayaan menurut Dr. Alo Liliweri, M.S., (2007: 57) dan ini sejalan dengan tafsir kebudayaan yang diuraikan Geertz (1992: 21), yaitu :
      a.   Kebudayaan itu dapat dipelajari.
            Kebudayaan itu dapat dipelajari karena interaksi antarmanusia ditentukan oleh penggunaan simbol, bahasa verbal maupun nonverbal. Tradisi budaya, nilai-nilai, kepercayaan dan standar perilaku semuanya diciptakan oleh kreasi manusia dan bukan sekedar diwarisi secara instink, melainkan melalui proses pendidikan dengan cara-cara tertentu menurut kebudayaan.
      b.   Kebudayaan dipertukarkan.
            Istilah pertukaran, merujuk pada kebiasaan individu atau kelompok untuk menunjukkan kualitas kelompok budayanya. Dalam interaksi dan pergaulan antarmanusia setiap orang mewakili kelompoknya lalu menunjukkan kelebihan-kelebihan budayanya dan membiarkan orang lain untuk mempelajarinya. Proses pertukaran budaya, terutama budaya material, dilakukan melalui mekanisme ‘belajar budaya’.
c.   Kebudayaan Tumbuh dan Berkembang.
Setiap kebudayaan terus ditumbuhkembangkan oleh para pemilik kebudayaannya. Oleh karena itu ada yang mengatakan bahwa kebudayaan itu terus mengalami perubahan.
                  Implikasi karakteristik kebudayaan sebagai hal yang dapat dipelajari, dapat ditukar dan dapat berubah itu terjadi hanya jika ada jaringan interaksi antarmanusia  dalam bentuk komunikasi antar pribadi maupun antar kelompok budaya yang terus meluas (Alo Liliweri, 2007:59).
Image Detail 
2.   Kebudayaan Daerah
   Berbicara tentang kebudayaan daerah di Indonesia bukan hal mudah. Terdapat ribuan wujud kebudayaan di negeri yang terdiri atas deretan pulau besar dan kecil yang membentang dari Sabang sampai P. Rote. Jumlah kebudayaan daerah di seluruh bangsa ini paling tidak sebanding dengan jumlah suku bangsa dengan latar belakang sejarah masing-masing. Keberagaman kebudayaan di daerah  merupakan akibat dari suatu pengalaman historis yang berbeda-beda.  
Sedikit mengungkap tentang latar belakang keragaman kebudayaan di wilayah Indonesia, Koentjaraningrat (1988:1) menguraikannya dengan mengaitkan  sejarah terbentuknya kepulauan nusantara. Konon, manusia Indonesia tertua sudah ada sejak lebih dari satu juta tahun lalu, saat dataran Sunda masih merupakan daratan dan Asia Tenggara bagian benua dan bagian kepulauan masih menyatu. Fosil manusia tertua itu kemudian dikenal dengan Pithecanthropus Erectus, yang diyakini berevolusi  menjadi Homo Soloensis. Fosilnya antara lain ditemukan di Lembah Bengawan Solo. Puluhan ribu tahun kemudian, baru berevolusi lagi menjadi manusia dengan ciri-ciri seperti manusia sekarang. Fosilnya ditemukan di Distrik Wajak dan dikenal dengan Homo Wajakensis, yang ciri-cirinya memiliki banyak persamaan dengan fosil nenek moyang penduduk asli Australia sebelum dikuasai oleh orang-orang Eropa.
Sedangkan wilayah Indonesia pada awalnya merupakan dua dataran yang amat luas di antara Benua Asia dan Australia, dengan deretan gunung berapi yang membentang dari Pegunungan Himalaya ke tenggara lalu ke timur, ke utara di dalam laut di antara kedua dataran tersebut. Kedua dataran itu disebut dengan Dataran Sunda yang merupakan ekstensi Benua Asia, dan Dataran Sahul yang dianggap sebagai ekstensi Benua Australia ke utara.
Saat zaman es akhir (Kala Gracial Wurn) lapisan es di kutub utara dan selatan meleleh sehingga permukaan laut lebih tinggi. Kedua dataran tersebut tenggelam. Yang tinggal hanya deretan pegunungan di atasnya yang kemudian membentuk kepulauan yang sekarang disebut gugusan kepulauan Indonesia dan Filipina.
Sebagai daerah kepulauan yang diapit Benua Asia dan Australia, iklimnya sangat ditentukan oleh angin musim. Hal ini mempengaruhi banyak sedikitnya curah hujan dan kesuburan tanah di masing-masing wilayah.  Pengaruh sedimentasi vulkanik muda dari gunung-gunung berapi juga sangat berpengaruh terhadap kesuburan tanah. Semakin subur suatu wilayah, semakin padat penduduknya, hingga berpotensi menjadi tempat berkembangnya suatu kebudayaan.
Hal lain yang mempengaruhi terbentuknya suatu kebudayaan di berbagai wilayah, masih menurut Koentjaraningrat, adalah berbagai peristiwa pada zaman prehistori, yaitu:
a.       Persebaran manusia dengan ciri-ciri Austro Melanesoid yang membawa  kebiasaan hidup di muara sungai, hidup dari usaha menangkap ikan, berburu, dan meramu tumbuh-tumbuhan dan akar. Seperti masyarakat di Irian.
b.      Pengaruh ciri-ciri Mongoloid yang mengembangkan kebudayaan berburu dengan busur panah bercorak Toala. Seperti di Sulawesi.
c.       Persebaran bangsa-bangsa pembawa kebudayaan Neolitik. Mereka ini telah mengenal cocok tanam tanpa irigasi. Mereka juga membawa bahasa Proto Austronesia yang menyebar dari Cina Selatan ke selatan hingga Semenanjung Melayu, Sumatra, Jawa dan lain-lain kepulauan Indonesia bagian barat, Kalimantan Barat, NTT, Flores, Sulawesi, hingga Filipina. Kebudayaan ini tidak pernah sampai ke bagian timur Indonesia.
d.      Persebaran pengaruh kepandaian membuat benda-benda perunggu, yang konon berawal dari Vietnam Utara.
            Senada dengan pendapat Koentjaraningrat, Edi Sedyawati dalam bukunya Budaya Indonesia; Kajian Arkeologi, Seni dan Sejarah (2006:328) menyatakan, di dalam masing-masing kesatuan masyarakat yang membentuk bangsa, baik berskala kecil ataupun besar, terjadi proses pembentukan dan perkembangan budaya yang berfungsi sebagai penanda jati diri bangsa tersebut. Di Indonesia, proses demikian itu telah terjadi sejak zaman prasejarah, di berbagai kawasan dalam wilayah Indonesia.
          Lebih lanjut dikatakan bahwa kehidupan pada masa prasejarah dalam satuan-satuan kemasyarakatan yang relatif terpisah satu sama lain telah memberikan peluang besar untuk tumbuhnya kebudayaan dengan ciri-ciri khasnya masing-masing. Keunikan budaya masing-masing tersebut mendapat momentum untuk pemantapan ketika masyarakat yang bersangkutan telah menginjak pada kehidupan menetap. Dengan perkembangan ini, jati diri budaya masing-masing ditandai kekhasan yang lebih rumit pula, menyangkut berbagai komponen kebudayaannya.  
Selama abad-abad  histori, kebudayan di Indonesia masih mendapatkan pengaruh besar, yaitu;
a.       Pengaruh Kebudayaan Hindu yang memperkenalkan konsep tentang susunan negara yang hierarkis, yang menganggap raja adalah keturunan dewa sehingga harus diagungkan. Konsep ini terutama berkembang di negara-negara (kerajaan waktu itu) pedalaman yang ekonominya berdasarkan sistem pertanian dengan irigasi sawah. Sedangkan negara (kerajaan) yang berdasarkan pada perdagangan maritim tidak mengikuti konsep ini, seperti Kutai dan Sriwijaya. Pengaruh Hindu juga masuk ke wilayah Jawa, dengan negara terbesarnya Majapahit.
b.      Pengaruh  Kebudayaan Islam. Pengaruh ini berasal dari Parsi dan Gujarat di India Selatan, yang banyak mengandung unsur-unsur mistik. Masuk melalui Sumatra, menyebar ke Jawa dan Pantai Kalimantan.
c.       Pengaruh Kebudayaan Eropa yang bermula dari aktivitas perdagangan orang Portugis pada paruh pertama abad ke-16, setelah Portugal tahun 1511 menaklukkan pelabuhan Malaka sebagai pintu gerbang masuk wilayah nusantara. Wujud konkretnya terutama adalah agama Katholik dan Kristen Protestan.
Secara lebih sederhana, faktor-faktor yang mempengaruhi perbedaan kebudayaan suatu kelompok adalah latar belakang kelompok tersebut, yang meliputi; sejarah, ras, suku bangsa, letak geografis, tingkat pendidikan, dan tingkat ekonomi (Tri Widiarto, 2007:33). Alan R. Beals, George and Louise Spindler (1973: 290) menyatakan bahwa sistem budaya pada suatu daerah kebudayaan  mengalami perubahan secara efektif ketika  terjadi proses difusi, inovasi dan akulturasi.
            Masih menurut Koentjaraningrat (1988:33), kebudayaan daerah dapat diklasifikasikan menurut beberapa ciri atau tipe masyarakatnya, yaitu;
  1. Tipe masyarakat dengan mata pencaharian berkebun yang masih sederhana.
  2. Tipe masyarakat pedesaan dengan pekerjaan bercocok tanam tanpa irigasi.
  3. Tipe masyarakat pedesaan yang bercocok tanam di sawah dengan irigasi.
  4. Tipe masyarakat perkotaan yang menjadi pusat pemerintahan, dan
  5. Tipe masyarakat daerah metropolitan.
                  Dengan demikian, kebudayaan daerah di sini dapat diartikan sebagai kebudayaan yang didukung oleh masyarakat di daerah di mana kebudayaan itu ada. Hal ini senada dengan pendapat Soekmono (1988:11) yang menyatakan bahwa tidak akan ada kebudayaan, jika tidak ada pendukungnya, yakni manusia di daerah itu sendiri.
 
3.   Culture Area
Suatu daerah kebudayaan (culture area) merupakan suatu penggabungan / penggolongan dari suku-suku bangsa dalam masing-masing kebudayaan yang beraneka warna, tetapi memiliki beberapa unsur dan ciri-ciri mencolok yang serupa (Koentjaraningrat, 1979:271). Suatu culture area menggolongkan ke dalam satu golongan beberapa puluh kebudayaan yang satu dengan lainnya berbeda, berdasarkan atas persamaan dari sejumlah ciri-ciri mencolok kebudayaan-kebudayaan yang bersangkutan. Baik ciri-ciri berupa unsur kebudayaan fisik (seperti alat-alat bertani, transportasi, senjata, bentuk ornamen, dan lain-lain) maupun unsur kebudayaan yang abstrak (adat-istiadat, cara berpikir, upacara keagamaan, dan lain-lain).
Culture area Jawa menurut Kodiran dari Universitas Gajah Mada, meliputi seluruh bagian tengah dan timur Pulau Jawa. Termasuk di antaranya Banyumas, Kedu, Madiun, Malang, dan Kediri, dengan pusatnya di daerah bekas kerajaan Mataram sebelum terpecah (1755) yaitu Yogyakarta dan Surakarta (Koentjaraningrat, 1988:329). Oleh karena itu, meski di lingkungan tersebut terdapat berbagai variasi dan perbedaan  yang bersifat lokal akibat perubahan sistem budaya, namun dalam beberapa unsur kebudayaan, jika dicermati tetap menunjukkan satu pola atau satu sistem kebudayaan yang sama.
Kebudayaan Jawa, Sunda, dan Bali pada dasarnya merupakan tipe kebudayaan pada masyarakat pedesaan dengan pekerjaan bercocok tanam di sawah dengan padi  sebagai diferensiasi dan stratifikasi sosial yang agak kompleks. Masyarakat kota yang menjadi arah orientasinya mewujudkan suatu peradaban bekas kerajaan pertanian bercampur dangan kepegawaian yang dibawa oleh sistem pemerintah kolonial, beserta semua pengaruh kebudayaan asing yang dialami. Pandangan hidup orang Jawa disebut kejawen, dalam bahasa Inggris disebut Javaneseness, Javanism. Sebagai suatu sistem, pemikiran javanism adalah lengkap pada dirinya, berisikan kosmologi, mitologi, dan seperangkat konsepsi. Yaitu suatu sistem gagasan mengenai sifat dasar manusia dan masyarakat, yang pada gilirannya menerangkan etika, tradisi, dan gaya hidup Jawa (Rini Fidiyani, 2008:44).
Banyumas, baik secara geografis, kultural maupun etnis, termasuk dalam wilayah kebudayaan Jawa. Menurut Lombard, di tanah Jawa dapat dibedakan menjadi lima wilayah pokok, dan Banyumas dikatakan sebagai daerah lembah sungai Serayu, merupakan salah satu tempat berkembangnya kegiatan kecil yang sibuk bersamaan dengan daerah Purbalingga, Cilacap dan Purwokerto. Pada abad ke-16 dan ke-17 daerah itu berfungsi sebagai persinggahan Islam di antara Demak dan bagian timur Tanah Pasundan. Bagi mereka yang datang dari barat, daerah itu merupakan serambi dunia Jawa (Lombard, 2005 : 33).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar