1.
Pengertian Kebudayaan
Budaya secara sederhana dapat
dipahami sebagai suatu bentuk pranata kehidupan masyarakat dalam segala aspeknya. Baik berupa karya
seni, adat-istiadat, kepercayaan, situs-situs sejarah, struktur sosiologi, ekologi,
topografi, maupun geologinya. Pada hakikatnya budaya tersebut telah mendarah
daging, hingga semestinya tak terpisahkan dari kehidupan seluruh masyarakat di
lingkungannya.
David Kaplan dan Robert A. Manners
(2002:103-104) berpendapat, ekologi budaya mendapat inspirasi dari wawasan
jangka panjang tentang manusia, yang melihat manusia sebagai hasil unik suatu evolusi
biologis. Keunikannya, manusia mampu menyelaraskan diri atau menundukkan
lingkungannya dengan cara-cara sangat berbeda dari cara-cara makhluk lain yang
lebih rendah (infrahuman). Pada tingkat infrahuman spesies melakukan adaptasi terhadap lingkungan antara
lain dengan proses belajar yang bersifat intraspesifik
dan nonkumulatif. Akan tetapi dalam
jangka panjang adaptasi mereka dalam lingkungan itu sangat bergantung pada
proses pergantian unsur-unsur genetis dan mekanisme seleksi alamiah. Semua
bentuk infrahuman beradaptasi dengan
lingkungannya sebagai wujud adanya. Manusia makin memodifikasi dan mengadaptasi lingkungannya terhadap diri
manusia sendiri. Hal ini dapat dilakukan manusia karena adanya unsur sarana yang disebut budaya atau
kultur.
Budaya mencakup pengertian yang luas,
karena menyangkut keseluruhan hasil unsuritas manusia yang kompleks. Di dalamnya berisi struktur-struktur yang
saling berhubungan sehingga membentuk suatu sistem. Artinya, kebudayaan
merupakan suatu kesatuan organis dari rangkaian gejala, wujud, dan unsur-unsur
yang berkaitan satu dengan yang lain (Tri Widiarto, 2007:10).
Dua ahli antropologi A.L. Kroeber
dan C. Kluckhohn telah mengumpulkan kurang lebih 160 definisi tentang
kebudayaan yang dibuat oleh ahli-ahli antropologi, sosiologi, sejarah dan ilmu
sosial yang lain termasuk dari para ahli filsafat. Dari sekian banyak definisi,
terlihat kecenderungan anggapan bahwa gagasan-gagasan, simbol-simbol dan nilai-nilai
sebagai inti kebudayaan (Budiono Herusatoto, 1991: 8-9).
Djoko Widagdo (2008:19) mengutip
pendapat beberapa ahli tentang pengertian kebudayaan. Di antaranya pernyataan R.
Linton dalam buku ”The Cultural
background of personality”, bahwa kebudayaan adalah konfigurasi dari
tingkah laku dan hasil laku, yang unsur-unsur pembentukannya didukung serta
diteruskan oleh anggota masyarakat tertentu. Pakar lain, C. Klukhohn dan W.H.
Kelly merumuskan kebudayaan sebagasi hasil tanya jawab dengan para ahli antropologi,
sejarah, hukum, psychologi yang implisit, explisit, rasional, irasional
terdapat pada setiap waktu sebagai pedoman yang potensial bagi tingkah laku
manusia. Sedangkan menurut Melville J. Herskovits, antropolog Amerika,
kebudayaan adalah ”Man made part of the
environment”, kebudayaan bagian dari lingkungan buatan manusia. Disebutkan
pula pendapat, Dawson
dalam buku ”Age of the Gods”, bahwa
kebudayaan adalah cara hidup bersama (culture
is common way of life). Demikian pula dengan sosok J.P.H Dryvendak yang mengatakan
bahwa kebudayaan adalah suatu kumpulan dari cetusan jiwa manusia sebagai yang
beraneka ragam berlaku dalam suatu masyarakat tertentu.
Secara
etimologi, istilah budaya berasal dari bahasa Sanskerta buddhayah, bentuk jamaknya buddhi,
artinya akal. Pada diri manusia terdapat unsur-unsur potensi budaya yaitu
cipta, rasa, dan karsa. Cipta adalah
kemampuan akal pikiran yang menimbulkan ilmu pengetahuan dan teknologi. Manusia selalu memiliki keinginan untuk
mengetahui rahasia-rahasia alam dan kehidupan. Dengan akal, pikiran dan nalar,
manusia selalu mencari, menyelidiki dan menemukan sesuatu yang baru serta mampu
menciptakan karya-karya besar. Rasa, artinya dengan panca inderanya manusia
mengembangkan rasa keindahan atau estetika,
dan melahirkan karya-karya kesenian. Sedangkan karsa, atau kehendak
berarti manusia selalu menghendaki untuk menyempurnakan hidupnya, merindukan
kemuliaan hidup, mencapai kesusilaan, budi pekerti luhur dan selalu mencari perlindungan
dari Sang Pencipta (Koentjaraningrat, 2002:9).
Kebudayaan adalah keseluruhan sistem
gagasan, tindakan dan hasil karya manusia untuk memenuhi kehidupannya dengan
cara belajar, yang semuanya tersusun dalam kehidupan masyarakat (Djoko
Widagdho, 2008:21). Secara teperinci dapat diuraikan sebagai berikut :
a. Kebudayaan adalah segala sesuatu
yang dilakukan dan dihasilkan manusia, meliputi :
1) Kebudayaan material (bersifat jasmaniah),
yang meliputi benda-benda ciptaan manusia, misalnya alat-alat perlengkapan
hidup.
2) Kebudayaan nonmaterial (bersifat
rohaniah), yaitu semua hal yang tidak dapat dilihat dan diraba, misalnya
religi, bahasa dan ilmu pengetahuan.
b. Kebudayaan tidak diwariskan secara
generatif (biologis), melainkan hanya
mungkin diperoleh dengan cara belajar.
c. Kebudayaan itu diperoleh manusia sebagai
anggota masyarakat. Tanpa masyarakat akan sukar bagi manusia untuk membentuk
kebudayaan. Sebaliknya tanpa kebudayaan tidak mungkin manusia baik secara
individual maupun masyarakat, dapat mempertahankan kehidupannya.
d. Kebudayaan adalah kebudayaan manusia,
hampir semua tindakan manusia adalah kebudayaan.
Adapun fungsi
kebudayaan secara sederhana dibedakan menjadi tiga (Tri Widiarto, 2007: 36), yaitu:
a. Melindungi diri terhadap alam. Dari fungsi
ini kemudian tampak hasilnya dari karya-karya berupa alat-alat dan teknologi
guna memenuhi kebutuhan manusia.
b. Mengatur hubungan antarmanusia. Wujudnya
berupa hukum adat, norma-norma atau kaidah yang meski tidak tertulis menjadi
pedoman tingkah laku setiap anggota masyarakat dalam berinteraksi dengan
kelompoknya. Fungsi ini pula yang akhirnya melahirkan pola-pola perikelakuan (pattern of behavior) para anggota
kelompok.
c. Sebagai wadah segenap perasaan manusia.
Fungsi inilah yang kemudian memunculkan produk budaya berupa hasil-hasil seni;
seni musik, seni suara, seni tari, seni lukis, seni pahat, seni ukir, dan
lain-lain.
Sedangkan wujud kebudayaan ada tiga (Koentjaraningrat,
2000:186).
- Wujud kebudayaan sebagai suatu kompleks
ide-ide, gagasan, nilai-nilai, norma-norma, peraturan dan sebagainya. Wujud ini berada pada alam pikiran
dari warga masyarakat atau dapat pula berupa tulisan-tulisan,
karangan-karangan warga masyarakat yang bersangkutan.
- Wujud kebudayaan sebagai suatu kompleks
aktivitas serta tindakan berpola dari manusia dalam masyarakat, wujud ini
berupa sistim sosial dalam masyarakat yang bersangkutan.
- Wujud kebudayaan sebagai benda-benda hasil
karya manusia. Ini berupa kebudayaan fisik yang berbentuk nyata, merupakan
hasil karya masyarakat yang bersangkutan.
Berdasar klasifikasi tersebut jelas
bahwa wujud pertama dan wujud kedua merupakan buah akal dan budi manusia. Sedangkan
wujud yang ketiga adalah buah karya manusia.
Kuntowijoyo
(2006:42) menyoroti adanya dualisme budaya. Yaitu budaya desa dengan budaya
kota, dan disparitas budaya antara yang mampu dengan yang tidak mampu. Sejalan
dengan itu, Mudji Sutrisno (tanpa tahun:109) menyatakan bahwa rasionalitas,
subjektivitas dan libertas (kebebasan)
merupakan penemuan kesadaran manusia untuk merajut kebudayaan menjadi
peradaban. Selanjutnya David Kaplan (2002:82) menyatakan, suatu institusi atau
kegiatan budaya dikatakan fungsional manakala memberikan andil bagi adaptasi
atau penyesuaian sistem tertentu dan disfungsional apabila melemahkan adaptasi.
Definisi-definisi dan pemahaman tentang
kebudayaan tersebut sepintas terlihat berbeda. Namun jika dicermati, semuanya mengakui
adanya ciptaan manusia, meliputi perilaku dan hasil kelakuan manusia, diatur
oleh tata kelakuan melaui proses belajar, dan semuanya tersusun dalam
masyarakat.
Secara umum masyarakat mengartikan
kebudayaan sebagai the general body of
the arts. Bagian-bagiannya meliputi
seni sastra, seni musik, seni pahat, seni rupa, pengetahuan filsafat atau
bagian-bagian yang indah dari kehidupan. Dapat disimpulkan, kebudayaan adalah
hasil buah budi manusia untuk mencapai kesempurnaan hidup, baik yang konkret
maupun abstrak.
a.
Kebudayaan itu dapat dipelajari.
Kebudayaan
itu dapat dipelajari karena interaksi antarmanusia ditentukan oleh penggunaan simbol,
bahasa verbal maupun nonverbal. Tradisi budaya, nilai-nilai, kepercayaan dan
standar perilaku semuanya diciptakan oleh kreasi manusia dan bukan sekedar
diwarisi secara instink, melainkan melalui proses pendidikan dengan cara-cara
tertentu menurut kebudayaan.
b.
Kebudayaan dipertukarkan.
Istilah
pertukaran, merujuk pada kebiasaan individu atau kelompok untuk menunjukkan
kualitas kelompok budayanya. Dalam interaksi dan pergaulan antarmanusia setiap
orang mewakili kelompoknya lalu menunjukkan kelebihan-kelebihan budayanya dan
membiarkan orang lain untuk mempelajarinya. Proses pertukaran budaya, terutama budaya
material, dilakukan melalui mekanisme ‘belajar budaya’.
c. Kebudayaan Tumbuh dan Berkembang.
Setiap kebudayaan terus ditumbuhkembangkan oleh para
pemilik kebudayaannya. Oleh karena itu ada yang mengatakan bahwa kebudayaan itu
terus mengalami perubahan.
Implikasi
karakteristik kebudayaan sebagai hal yang dapat dipelajari, dapat ditukar dan
dapat berubah itu terjadi hanya jika ada jaringan interaksi antarmanusia dalam bentuk komunikasi antar pribadi maupun
antar kelompok budaya yang terus meluas (Alo Liliweri, 2007:59).
2. Kebudayaan
Daerah
Berbicara tentang kebudayaan daerah di Indonesia bukan hal mudah. Terdapat
ribuan wujud kebudayaan di negeri yang terdiri atas deretan pulau besar dan
kecil yang membentang dari Sabang sampai P. Rote. Jumlah kebudayaan daerah di
seluruh bangsa ini paling tidak sebanding dengan jumlah suku bangsa dengan
latar belakang sejarah masing-masing. Keberagaman kebudayaan di daerah merupakan akibat dari suatu pengalaman
historis yang berbeda-beda.
Sedikit mengungkap tentang latar
belakang keragaman kebudayaan di wilayah Indonesia , Koentjaraningrat (1988:1)
menguraikannya dengan mengaitkan sejarah
terbentuknya kepulauan nusantara. Konon, manusia Indonesia tertua sudah ada
sejak lebih dari satu juta tahun lalu, saat dataran Sunda masih merupakan
daratan dan Asia Tenggara bagian benua dan bagian kepulauan masih menyatu. Fosil
manusia tertua itu kemudian dikenal dengan Pithecanthropus
Erectus, yang diyakini berevolusi
menjadi Homo Soloensis.
Fosilnya antara lain ditemukan di Lembah Bengawan Solo. Puluhan ribu tahun
kemudian, baru berevolusi lagi menjadi manusia dengan ciri-ciri seperti manusia
sekarang. Fosilnya ditemukan di Distrik Wajak dan dikenal dengan Homo Wajakensis, yang ciri-cirinya
memiliki banyak persamaan dengan fosil nenek moyang penduduk asli Australia
sebelum dikuasai oleh orang-orang Eropa.
Sedangkan wilayah Indonesia pada
awalnya merupakan dua dataran yang amat luas di antara Benua Asia dan
Australia, dengan deretan gunung berapi yang membentang dari Pegunungan
Himalaya ke tenggara lalu ke timur, ke utara di dalam laut di antara kedua
dataran tersebut. Kedua dataran itu disebut dengan Dataran Sunda yang merupakan
ekstensi Benua Asia, dan Dataran Sahul yang dianggap sebagai ekstensi Benua
Australia ke utara.
Saat zaman es akhir (Kala Gracial Wurn) lapisan es di kutub
utara dan selatan meleleh sehingga permukaan laut lebih tinggi. Kedua dataran
tersebut tenggelam. Yang tinggal hanya deretan pegunungan di atasnya yang
kemudian membentuk kepulauan yang sekarang disebut gugusan kepulauan Indonesia
dan Filipina.
Sebagai daerah kepulauan yang diapit
Benua Asia dan Australia ,
iklimnya sangat ditentukan oleh angin musim. Hal ini mempengaruhi banyak
sedikitnya curah hujan dan kesuburan tanah di masing-masing wilayah. Pengaruh sedimentasi vulkanik muda dari
gunung-gunung berapi juga sangat berpengaruh terhadap kesuburan tanah. Semakin
subur suatu wilayah, semakin padat penduduknya, hingga berpotensi menjadi
tempat berkembangnya suatu kebudayaan.
Hal lain yang mempengaruhi
terbentuknya suatu kebudayaan di berbagai wilayah, masih menurut
Koentjaraningrat, adalah berbagai peristiwa pada zaman prehistori, yaitu:
a.
Persebaran manusia dengan ciri-ciri Austro Melanesoid yang membawa kebiasaan hidup di muara sungai, hidup dari
usaha menangkap ikan, berburu, dan meramu tumbuh-tumbuhan dan akar. Seperti
masyarakat di Irian.
b.
Pengaruh ciri-ciri Mongoloid yang mengembangkan
kebudayaan berburu dengan busur panah bercorak Toala. Seperti di Sulawesi.
c.
Persebaran bangsa-bangsa pembawa kebudayaan Neolitik.
Mereka ini telah mengenal cocok tanam tanpa irigasi. Mereka juga membawa bahasa
Proto Austronesia yang menyebar dari Cina Selatan ke selatan hingga Semenanjung
Melayu, Sumatra, Jawa dan lain-lain kepulauan Indonesia bagian barat, Kalimantan
Barat, NTT, Flores, Sulawesi, hingga Filipina. Kebudayaan ini tidak pernah
sampai ke bagian timur Indonesia .
d.
Persebaran pengaruh kepandaian membuat benda-benda
perunggu, yang konon berawal dari Vietnam Utara.
Senada dengan pendapat Koentjaraningrat,
Edi Sedyawati dalam bukunya Budaya Indonesia; Kajian Arkeologi, Seni dan
Sejarah (2006:328) menyatakan, di dalam masing-masing kesatuan masyarakat yang
membentuk bangsa, baik berskala kecil ataupun besar, terjadi proses pembentukan
dan perkembangan budaya yang berfungsi sebagai penanda jati diri bangsa
tersebut. Di Indonesia, proses demikian itu telah terjadi sejak zaman
prasejarah, di berbagai kawasan dalam wilayah Indonesia .
Lebih
lanjut dikatakan bahwa kehidupan pada masa prasejarah dalam satuan-satuan
kemasyarakatan yang relatif terpisah satu sama lain telah memberikan peluang
besar untuk tumbuhnya kebudayaan dengan ciri-ciri khasnya masing-masing.
Keunikan budaya masing-masing tersebut mendapat momentum untuk pemantapan
ketika masyarakat yang bersangkutan telah menginjak pada kehidupan menetap.
Dengan perkembangan ini, jati diri budaya masing-masing ditandai kekhasan yang
lebih rumit pula, menyangkut berbagai komponen kebudayaannya.
Selama abad-abad histori, kebudayan di Indonesia masih mendapatkan
pengaruh besar, yaitu;
a.
Pengaruh Kebudayaan Hindu yang memperkenalkan konsep
tentang susunan negara yang hierarkis, yang menganggap raja adalah keturunan
dewa sehingga harus diagungkan. Konsep ini terutama berkembang di negara-negara
(kerajaan waktu itu) pedalaman yang ekonominya berdasarkan sistem pertanian
dengan irigasi sawah. Sedangkan negara (kerajaan) yang berdasarkan pada
perdagangan maritim tidak mengikuti konsep ini, seperti Kutai dan Sriwijaya. Pengaruh
Hindu juga masuk ke wilayah Jawa, dengan negara terbesarnya Majapahit.
b.
Pengaruh
Kebudayaan Islam. Pengaruh ini berasal dari Parsi dan Gujarat di India
Selatan, yang banyak mengandung unsur-unsur mistik. Masuk melalui Sumatra , menyebar ke Jawa dan Pantai Kalimantan.
c.
Pengaruh Kebudayaan Eropa yang bermula dari aktivitas
perdagangan orang Portugis pada paruh pertama abad ke-16, setelah Portugal
tahun 1511 menaklukkan pelabuhan Malaka sebagai pintu gerbang masuk wilayah
nusantara. Wujud konkretnya terutama adalah agama Katholik dan Kristen
Protestan.
Secara lebih sederhana, faktor-faktor
yang mempengaruhi perbedaan kebudayaan suatu kelompok adalah latar belakang
kelompok tersebut, yang meliputi; sejarah, ras, suku bangsa, letak geografis,
tingkat pendidikan, dan tingkat ekonomi (Tri Widiarto, 2007:33). Alan R. Beals, George and Louise Spindler (1973:
290) menyatakan bahwa sistem budaya pada suatu daerah kebudayaan mengalami perubahan secara efektif
ketika terjadi proses difusi, inovasi
dan akulturasi.
Masih
menurut Koentjaraningrat (1988:33), kebudayaan daerah dapat diklasifikasikan
menurut beberapa ciri atau tipe masyarakatnya, yaitu;
- Tipe masyarakat dengan mata pencaharian berkebun yang masih sederhana.
- Tipe
masyarakat pedesaan dengan pekerjaan bercocok tanam tanpa irigasi.
- Tipe
masyarakat pedesaan yang bercocok tanam di sawah dengan irigasi.
- Tipe
masyarakat perkotaan yang menjadi pusat pemerintahan, dan
- Tipe
masyarakat daerah metropolitan.
Dengan
demikian, kebudayaan daerah di sini dapat diartikan sebagai kebudayaan yang
didukung oleh masyarakat di daerah di mana kebudayaan itu ada. Hal ini senada
dengan pendapat Soekmono (1988:11) yang menyatakan bahwa tidak akan ada
kebudayaan, jika tidak ada pendukungnya, yakni manusia di daerah itu sendiri.
3. Culture Area
Suatu
daerah kebudayaan (culture area)
merupakan suatu penggabungan / penggolongan dari suku-suku bangsa dalam
masing-masing kebudayaan yang beraneka warna, tetapi memiliki beberapa unsur
dan ciri-ciri mencolok yang serupa (Koentjaraningrat, 1979:271). Suatu culture area menggolongkan ke dalam satu
golongan beberapa puluh kebudayaan yang satu dengan lainnya berbeda,
berdasarkan atas persamaan dari sejumlah ciri-ciri mencolok
kebudayaan-kebudayaan yang bersangkutan. Baik ciri-ciri berupa unsur kebudayaan
fisik (seperti alat-alat bertani, transportasi, senjata, bentuk ornamen, dan
lain-lain) maupun unsur kebudayaan yang abstrak (adat-istiadat, cara berpikir,
upacara keagamaan, dan lain-lain).
Culture area Jawa menurut Kodiran dari Universitas Gajah Mada,
meliputi seluruh bagian tengah dan timur Pulau Jawa. Termasuk di antaranya
Banyumas, Kedu, Madiun, Malang, dan Kediri, dengan pusatnya di daerah bekas
kerajaan Mataram sebelum terpecah (1755) yaitu Yogyakarta dan Surakarta
(Koentjaraningrat, 1988:329). Oleh karena itu, meski di lingkungan tersebut
terdapat berbagai variasi dan perbedaan
yang bersifat lokal akibat perubahan sistem budaya, namun dalam beberapa
unsur kebudayaan, jika dicermati tetap menunjukkan satu pola atau satu sistem
kebudayaan yang sama.
Kebudayaan
Jawa, Sunda, dan Bali pada dasarnya merupakan tipe kebudayaan pada masyarakat
pedesaan dengan pekerjaan bercocok tanam di sawah dengan padi sebagai diferensiasi dan stratifikasi sosial
yang agak kompleks. Masyarakat kota yang menjadi arah orientasinya mewujudkan
suatu peradaban bekas kerajaan pertanian bercampur dangan kepegawaian yang
dibawa oleh sistem pemerintah kolonial, beserta semua pengaruh kebudayaan asing
yang dialami. Pandangan hidup orang Jawa disebut kejawen, dalam bahasa Inggris disebut Javaneseness, Javanism. Sebagai suatu sistem, pemikiran javanism adalah lengkap pada dirinya,
berisikan kosmologi, mitologi, dan seperangkat konsepsi. Yaitu suatu sistem
gagasan mengenai sifat dasar manusia dan masyarakat, yang pada gilirannya
menerangkan etika, tradisi, dan gaya hidup Jawa (Rini Fidiyani, 2008:44).
Banyumas,
baik secara geografis, kultural maupun etnis, termasuk dalam wilayah kebudayaan
Jawa. Menurut Lombard, di tanah Jawa dapat dibedakan menjadi lima wilayah pokok,
dan Banyumas dikatakan sebagai daerah lembah sungai Serayu, merupakan salah
satu tempat berkembangnya kegiatan kecil yang sibuk bersamaan dengan daerah
Purbalingga, Cilacap dan Purwokerto. Pada abad ke-16 dan ke-17 daerah itu
berfungsi sebagai persinggahan Islam di antara Demak dan bagian timur Tanah
Pasundan. Bagi mereka yang datang dari barat, daerah itu merupakan serambi
dunia Jawa (Lombard, 2005 : 33).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar