Total Tayangan Halaman

Kamis, 19 Januari 2012

KESELARASAN DAN KEJANGGALAN Pemikiran-pemikiran Priayi Nasionalis Jawa Awal Abad XX


 
A.   PENDAHULUAN
            Tiga figur priayi Nasionalis Jawa yang di soroti Savitri Pastiti Scherer, ditaruh sebagai sosok sentral dalam bukunya yang berjudul Keselarasan dan Kejanggalan, Pemikiran-pemikiran Priayi Nasionalis Jawa Awal Abad XX. Baik Soewardi, Tjipto maupun Soetomo memiliki keunikkan riwayat dan karakter tersendiri. Walaupun dalam kasat mata mereka bertiga memiliki persamaan nasib dan cita-cita,  namun karakter dan isi ‘batok kepala” mereka tidak sama. Mencoba mencari-cari keselarasan mereka bertiga, merupakan analisa yang dipaksakan, sedang kejanggalan yang ditemukan ternyata ada  “embrio” yang sama.
            Peran Soewardi sekilas tampak hanya sebagai pemelihara tradisional, sementara Tjipto dicap sebagai pembangkang, meskipun jauh dari sikap seorang pemberontak yang merusak. Soetomo cukup lihay bersikap, bahwa jika seseorang ingin menjadi panuntun yang tepat guna bagi masyarakatnya, ia harus menjadi seorang pamurba dari seorang pemangku masyarakat, tidak pernah sendirian, tidak pernah terlalu jauh di depan, atau jauh di depan rakyat lainnya. Memang benar setiap masa dalam sejarah bersifat transisi. Akan tetapi orang-orang nya sendiri tidak berarti orang-orang peralihan, dengan pengertian bahwa mreka semata-mata hanya nama-nama dan pembawa panji-panji politik tanpa prdebatan pikiran, motivasi dan intrik. Mereka tidak mungkin hanya bersifat transisional, karena melalui pandangan-pandangan dan konsep-konsep pemikiran merekalah mengenai bagaimana bentuk Indonesia modern seharusnya.
 
B.   PEMBAHASAN
            Savitri berusaha keras mengupas pemikiran-pemikiran mereka walaupun telah disandingkan buku karya D.H. Burger, Structural Changes in Javanse Society, Heather Sutherland dalam tesisnya Pangreh Pradja, dan B.J.O. Schrike dengan bukunya Penguasa-penguasa Pribumi, Savitri belum puas. Savitri beranggapan bahwa baik Burger, Sutherland maupun Schrike tidak berusaha memastikan apakah persepsi Jawa tradisional mengenai masyarakat mereka telah diubah oleh gangguan kekuasaan asing itu. Perlu pendekatan lain, yaitu untuk mempelajari akibat-akibat saling mempengaruhi dari dua nilai konsep yang berbeda itu adalah melihat kepada problem itu, bukan dengan melihat pada orang-orangnya sendiri yang memprakarsai perubahan structural dalam system itu. 
            Tesis Savitri ini mencoba memperlihatkan bahwa golongan priyayi professional itulah lulusan-lusan pertama dari sekolah kedokteran (STOVIA), yang melalui pendidikan profesionalnya mencapai kebebasan ekonomi dan mobilitas di jaman colonial sampai suatu tingkat yang tak pernah diperoleh golongan priayi birokratis manapun yang ningrat ataupun yang bukan.

a.   Inti dan Sari Tesis 
            Tekanan penelitian Savitri dalam buku ini mengenai sejauh mana mereka (Tjipto, Soetomo dan Soewardi) menggambarkan arena nasional dari Indonesia modern dengan latar belakang priyayi mereka. Tesis ini juga mencoba menerangkan dengan cara-cara apa pemikir-pemikir nasionalis ini menjadi penganjur, pembantah dan pendamai nilai-nilai priyayi. Tesis ini juga bermaksud memperlihatkan bahwa meskipun ada persamaan latar belakang pendidikan, kebudayaan dan social dan tingkat-tingkat keterlibatan mereka yang sama untuk memimpin masyarakat, masing-masing menawarkan pandangannya sendiri tentang bagaimana Indonesia merdeka yang modern ini dapat diwujudkan. Ternyata masing-masing pandangan ini berbeda dalam keserasiannya atau ketidaksesuaiannya dengan masyarakat dari zamannya.
Sistematika penulisan tesis ini, Savitri membagi dalam 4 bab, Safitri membuat kerangka berpikir dengan maksud pembaca supaya memahami dan ada semacam studi komparatif. Bab pertama, memberi tema sentral, Orkes gamelan yang Penuh Pertentangan: Sifat Dasar Komposisi Golongan Penguasa Jawa Menjelang Peralihan Abad Ini. Penerapan makna kias atau simbolistik pada gamelan yang mestinya memiliki warna suara yang harmoni, kenyataanyya ada yang selaras ada yang Fals atau janggal. Cakupan isinya mengupas golongan penguasa Jawa setelah konsolidasi yang disambung pembahasan tentang pemerintahan Kolonial Belanda sesudah tahun 1830. Bagaimana kedudukan priyayi sebagai anggota golongan penguasa Jawa,  dan pengaruh pendidikan colonial Belanda pada priyayi, uraiannya begitu naratif. Hal yang cukup mensuras konsentrasi saat menuju pembahasan Priyayi Profesional, Priyayi Birokratis  dan Boedi Oetomo. Ditambah kajian korelasi tiga pemikir nasionalis yaitu Soewardi, Tjipto dan Soetomo dengan Boedi Oetomo.
            Bab kedua mengangkat tema; Soewardi Soeryaningrat, Seorang tradisionalis. Untuk mempertajam penyataannya, bab ini diawali dengan uraian latar belakang keluarga  Soewardi Soeryaningrat.  Baru kemudian menjabarkan karya-karya, prestasi dan tulisan –tulisan Soewardi. Tetapi yang paling penting dsini, sebagai anggota paling terkemuka dalam golongan elite Jawa, Soewardi mempunyai hak yang memang diinginkannya untuk menyebarkan dan meningkatkan nilai-nilai kebudayaan masyarakat keraton, suatu peranan yang tidak dapat dipegang oleh pemimpin-pemimpin seperti Tjipto dan Soetomo.
            Bab ketiga, tercatat sebagai judul ; Pembangkang, Tjipto Mangoenkoesoemo. Ini cukup menantang, ada apa Tjipto dibalik pembangkangannya. Untuk menelusuri hal ini Savitri juga menarik kebelakang melihat riwayat latar belakang keluarganya. Di samping itu, sebagai factor ekstern yang mungkin mempengaruhi di kaji juga tentang latar belakang social. Baru kemudian mencermati tulisan-tulisan Tjipto yang memiliki gaya dan misi sendiri. Kiprah dan sepak terjang Tjipto dan Dewan Rakyat mendapat porsi sendiri untuk diulas.
            Pada bab keempat, judul cukup menggelitik; Juru Damai, Soetomo. Figur Soetomo dikupas dari latar belakang keluarga, latar belakang social sampailah ke karya-karya tulisannya.  Makna kias gamelan dan konsep panuntun dimunculkan lagi sebagai stressing penguatan makna dan pembenaran para figur priayi saat itu.
b.   Analisis Fakta Sejarah
            Bila merujuk pada bukunya Akira Nagazumi yang berjudul Indonesia Dalam Kajian Sejarah Jepang dan bukunya Sartono KartoDirdjo, Sejak Indische sampai Indonesia, ada pergeseran dalam makna. Savitri menempatkan sosok Soewardi sebagai yang dicitrakan tradicional, sebaliknya Kenji Tsuchiya sebagaimana disunting Akira nagazumi  menempatkan figur Soewardi sebagai sosok yang mampu mengatasi kemelut dunia Barat modern. ( lihat Akira. 1986:208 ). Gagasan-gagasan yang dikemukakan oleh Taman Siswa dibidang pendidikan maupun organisasi sungguh melebihi gagasan Barat. Taman siswa menghidupkan kembali kebudayaan yang mereka miliki yang sekaligus berarti melebihi dan mengatasi kemelut model manusia dari dunia Barat modern, yang makin lama makin nyata uga pengaruhnya di kalangan masyarakat colonial.
            Pada statu rapat taman Siswa di Malang, 2 Februari 1930, Ki Hadjar Dewantara pernah menyatakan bahwa sendi pendidikan Barat berdasarkan atas asas regeering, tucht dan orde sedangkan sendi pendidikan Taman Siswa dapat disebut Panggoelawentah, Momong, Among atau Ngemong dalam bahasa Jawa yang berdasarkan asas tata tentrem. ( Akira. 1986 ). Hal yang angat menggemparkan adalah aksi menentang Ordonansi Sekolah Liar. Ki Hajar siapakah sebenarnya yang lebih liar sikapnya dalam kehidupan seharí-hari? Apakah kami (orang-orang Taman Siswa) ataukah orang-orang kulit putih yang berperilaku semaunya saja didepan mata masyarakat umum dengan mengadakan tempat perjudian di tengah-tengah pemukiman rakyat ?  Apakah hal seperti ini mencerminkan sifat tradicional ?
            Mengkritisi tulisan Savitri tentang Boedi Oetomo yang tidak lepas dari figur Soetomo, bahwa Sartono Kartodirdjo tidak terlalu menganggungkan Soetomo. Seperti Soewardi, Soetomo juga percata nilai-nilai dan bentuk masyarakat istana dengan priyayi Jawa dan hanya meragukan kekuatan-kekuatan tradicional dan asing yang akan menghambat pembangunan, kesinambungan dan keseimbangan dari kerangka Jawa Tradicional.  Menurut Savitri, Soetomo sebagai juru damai, modernis sebagai salah satu sosok lulusan STOVIA, bagi Sartono lebih melihat pada Perhimpoenan Indonesia dengan Manifesto Politiknya. Soetomo hanyalah sebatas tokoh etno nasionalisme. Belum tampil sifat politiknya dan aspirasi kolektifnya terbatas pada kemajuan dan serta keterbelakangan yang hendak di berantas. Kepribumian mengandung stigma karena kepribumian itu sendiri dan di sampng itu ditandai oleh keterbelakangannya.
            Tjipto Mangoenkoesoemo yang modernis dan di beri lebel pembangkang oleh Savitri tidaklah berlebihan. Ia membantah bukan memberontak terhadap sistem pemerintahan colonial Belanda, karena perjuangannya untuk statu masyarakat adil dan makmur melibatkan pembaharuan sistem itu, bukan menyingkirkannya. Sartono sependapat tentang yang satu ini. Permasalahan sekitar modernisasi atau westernisasi menjadi fokus diskusi yang alot antara tokoh pembicara Dokter Wedyadiningrat dan Tjipto Mangoenkoesoemo dengan pendapat yang bertolak belakang. Yang pertama berpandangan Javanisme, konservatisme sedang yang kedua modernisme (Sartono Kartodirdjo. 2005:4).

                       
C.    PENUTUP

Soewardi Soeryaningrat menurut Savitri cenderung sebagai tokoh tradisioal, sedangkan Tjipto Mangoenkoesumo sebagai tokoh modernis bahkan bagi pemerintahan kolonialis Belanda dikenal sebagai pembangkang. Soetomo sebagai juru damai memposisikan diri diantara mereka ( Tjipto dan Soewardi ) . Inilah keselarasan dan kejanggalan sebagai statu dinamika, bukan ala harmoninya seperangkat gamelan yang stagnan .
Tiga perspektif nasionalis ini yang dinyatakan oleh Soewardi, Soetomo dan Tjipto mencirikan dan juga mempengaruhi pemimpin-pemimpin  nasionalis dari Jawa yang datang kemudian. Pandangan-pandangan mereka lebih bersifat Jawa dan lebih priayi daripada bersifat Indonesia. Apakah hal ini tercermin dalam figur Soekarno  presiden RI pertama Cita-cita masyarakat adil dan makmur dan konsep gotongroyongnya cukup consisten dengan pandangan yang disebarkan Soewardi ?


Tidak ada komentar:

Posting Komentar