A. PENDAHULUAN
Tiga figur priayi Nasionalis Jawa
yang di soroti Savitri Pastiti Scherer, ditaruh sebagai sosok sentral dalam
bukunya yang berjudul Keselarasan dan Kejanggalan, Pemikiran-pemikiran Priayi
Nasionalis Jawa Awal Abad XX. Baik Soewardi, Tjipto maupun Soetomo memiliki
keunikkan riwayat dan karakter tersendiri. Walaupun dalam kasat mata mereka bertiga memiliki persamaan nasib dan
cita-cita, namun karakter dan isi ‘batok
kepala” mereka tidak sama. Mencoba mencari-cari keselarasan mereka bertiga,
merupakan analisa yang dipaksakan, sedang kejanggalan yang ditemukan ternyata
ada “embrio” yang sama.
Peran
Soewardi sekilas tampak hanya sebagai pemelihara tradisional, sementara Tjipto
dicap sebagai pembangkang, meskipun jauh dari sikap seorang pemberontak yang
merusak. Soetomo cukup lihay bersikap, bahwa jika seseorang ingin menjadi
panuntun yang tepat guna bagi masyarakatnya, ia harus menjadi seorang pamurba
dari seorang pemangku masyarakat, tidak pernah sendirian, tidak pernah terlalu
jauh di depan, atau jauh di depan rakyat lainnya. Memang benar setiap
masa dalam sejarah bersifat transisi. Akan tetapi orang-orang nya sendiri tidak
berarti orang-orang peralihan, dengan pengertian bahwa mreka semata-mata hanya
nama-nama dan pembawa panji-panji politik tanpa prdebatan pikiran, motivasi dan
intrik. Mereka tidak mungkin hanya bersifat transisional, karena melalui
pandangan-pandangan dan konsep-konsep pemikiran merekalah mengenai bagaimana
bentuk Indonesia
modern seharusnya.
B.
PEMBAHASAN
Savitri berusaha keras mengupas
pemikiran-pemikiran mereka walaupun telah disandingkan buku karya D.H. Burger, Structural Changes in Javanse Society,
Heather Sutherland dalam tesisnya Pangreh
Pradja, dan B.J.O. Schrike dengan bukunya Penguasa-penguasa Pribumi, Savitri belum puas. Savitri beranggapan
bahwa baik Burger, Sutherland maupun Schrike tidak berusaha memastikan apakah
persepsi Jawa tradisional mengenai masyarakat mereka telah diubah oleh gangguan
kekuasaan asing itu. Perlu pendekatan lain, yaitu untuk mempelajari
akibat-akibat saling mempengaruhi dari dua nilai konsep yang berbeda itu adalah
melihat kepada problem itu, bukan dengan melihat pada orang-orangnya sendiri
yang memprakarsai perubahan structural dalam system itu.
Tesis Savitri ini mencoba
memperlihatkan bahwa golongan priyayi professional itulah lulusan-lusan pertama
dari sekolah kedokteran (STOVIA), yang melalui pendidikan profesionalnya
mencapai kebebasan ekonomi dan mobilitas di jaman colonial sampai suatu tingkat
yang tak pernah diperoleh golongan priayi birokratis manapun yang ningrat
ataupun yang bukan.
a.
Inti dan Sari Tesis
Tekanan penelitian Savitri dalam
buku ini mengenai sejauh mana mereka (Tjipto, Soetomo dan Soewardi)
menggambarkan arena nasional dari Indonesia modern dengan latar
belakang priyayi mereka. Tesis ini
juga mencoba menerangkan dengan cara-cara apa pemikir-pemikir nasionalis ini
menjadi penganjur, pembantah dan pendamai nilai-nilai priyayi. Tesis ini juga
bermaksud memperlihatkan bahwa meskipun ada persamaan latar belakang
pendidikan, kebudayaan dan social dan tingkat-tingkat keterlibatan mereka yang
sama untuk memimpin masyarakat, masing-masing menawarkan pandangannya sendiri
tentang bagaimana Indonesia merdeka yang modern ini dapat diwujudkan. Ternyata
masing-masing pandangan ini berbeda dalam keserasiannya atau ketidaksesuaiannya
dengan masyarakat dari zamannya.
Sistematika penulisan tesis
ini, Savitri membagi dalam 4 bab, Safitri membuat kerangka berpikir dengan
maksud pembaca supaya memahami dan ada semacam studi komparatif. Bab
pertama, memberi tema sentral, Orkes gamelan yang Penuh Pertentangan: Sifat
Dasar Komposisi Golongan Penguasa Jawa Menjelang Peralihan Abad Ini. Penerapan
makna kias atau simbolistik pada gamelan yang mestinya memiliki warna suara
yang harmoni, kenyataanyya ada yang selaras ada yang Fals atau janggal. Cakupan isinya mengupas golongan penguasa
Jawa setelah konsolidasi yang disambung pembahasan tentang pemerintahan
Kolonial Belanda sesudah tahun 1830. Bagaimana kedudukan priyayi sebagai
anggota golongan penguasa Jawa, dan
pengaruh pendidikan colonial Belanda pada priyayi, uraiannya begitu naratif. Hal
yang cukup mensuras konsentrasi saat menuju pembahasan Priyayi Profesional,
Priyayi Birokratis dan Boedi Oetomo.
Ditambah kajian korelasi tiga pemikir nasionalis yaitu Soewardi, Tjipto dan
Soetomo dengan Boedi Oetomo.
Bab
kedua mengangkat tema; Soewardi Soeryaningrat, Seorang tradisionalis. Untuk
mempertajam penyataannya, bab ini diawali dengan uraian latar belakang
keluarga Soewardi Soeryaningrat. Baru kemudian menjabarkan karya-karya,
prestasi dan tulisan –tulisan Soewardi. Tetapi yang paling penting dsini,
sebagai anggota paling terkemuka dalam golongan elite Jawa, Soewardi mempunyai
hak yang memang diinginkannya untuk menyebarkan dan meningkatkan nilai-nilai
kebudayaan masyarakat keraton, suatu peranan yang tidak dapat dipegang oleh
pemimpin-pemimpin seperti Tjipto dan Soetomo.
Bab
ketiga, tercatat sebagai judul ; Pembangkang, Tjipto Mangoenkoesoemo. Ini cukup
menantang, ada apa Tjipto dibalik pembangkangannya. Untuk menelusuri hal ini
Savitri juga menarik kebelakang melihat riwayat latar belakang keluarganya. Di
samping itu, sebagai factor ekstern yang mungkin mempengaruhi di kaji juga
tentang latar belakang social. Baru kemudian mencermati tulisan-tulisan Tjipto
yang memiliki gaya dan misi sendiri. Kiprah dan sepak terjang Tjipto dan Dewan
Rakyat mendapat porsi sendiri untuk diulas.
Pada
bab keempat, judul cukup menggelitik; Juru Damai, Soetomo. Figur Soetomo
dikupas dari latar belakang keluarga, latar belakang social sampailah ke
karya-karya tulisannya. Makna kias gamelan
dan konsep panuntun dimunculkan lagi sebagai stressing penguatan makna dan
pembenaran para figur priayi saat itu.
b. Analisis Fakta Sejarah
Bila
merujuk pada bukunya Akira Nagazumi yang berjudul Indonesia Dalam Kajian Sejarah Jepang dan bukunya Sartono
KartoDirdjo, Sejak Indische sampai
Indonesia, ada pergeseran dalam makna. Savitri menempatkan sosok Soewardi
sebagai yang dicitrakan tradicional, sebaliknya Kenji Tsuchiya sebagaimana
disunting Akira nagazumi menempatkan
figur Soewardi sebagai sosok yang mampu mengatasi kemelut dunia Barat modern. (
lihat Akira. 1986:208 ). Gagasan-gagasan yang dikemukakan oleh Taman Siswa
dibidang pendidikan maupun organisasi sungguh melebihi gagasan Barat. Taman
siswa menghidupkan kembali kebudayaan yang mereka miliki yang sekaligus berarti
melebihi dan mengatasi kemelut model manusia dari dunia Barat modern, yang
makin lama makin nyata uga pengaruhnya di kalangan masyarakat colonial.
Pada
statu rapat taman Siswa di Malang, 2 Februari 1930, Ki Hadjar Dewantara pernah
menyatakan bahwa sendi pendidikan Barat berdasarkan atas asas regeering, tucht dan orde sedangkan sendi pendidikan Taman
Siswa dapat disebut Panggoelawentah,
Momong, Among atau Ngemong dalam
bahasa Jawa yang berdasarkan asas tata tentrem. ( Akira. 1986 ). Hal yang angat
menggemparkan adalah aksi menentang Ordonansi Sekolah Liar. Ki Hajar siapakah
sebenarnya yang lebih liar sikapnya dalam kehidupan seharí-hari? Apakah kami
(orang-orang Taman Siswa) ataukah orang-orang kulit putih yang berperilaku
semaunya saja didepan mata masyarakat umum dengan mengadakan tempat perjudian
di tengah-tengah pemukiman rakyat ? Apakah
hal seperti ini mencerminkan sifat tradicional ?
Mengkritisi
tulisan Savitri tentang Boedi Oetomo yang tidak lepas dari figur Soetomo, bahwa
Sartono Kartodirdjo tidak terlalu menganggungkan Soetomo. Seperti Soewardi,
Soetomo juga percata nilai-nilai dan bentuk masyarakat istana dengan priyayi
Jawa dan hanya meragukan kekuatan-kekuatan tradicional dan asing yang akan
menghambat pembangunan, kesinambungan dan keseimbangan dari kerangka Jawa
Tradicional. Menurut Savitri, Soetomo
sebagai juru damai, modernis sebagai salah satu sosok lulusan STOVIA, bagi
Sartono lebih melihat pada Perhimpoenan Indonesia dengan Manifesto Politiknya.
Soetomo hanyalah sebatas tokoh etno nasionalisme. Belum tampil sifat politiknya
dan aspirasi kolektifnya terbatas pada kemajuan dan serta keterbelakangan yang
hendak di berantas. Kepribumian mengandung stigma karena kepribumian itu
sendiri dan di sampng itu ditandai oleh keterbelakangannya.
Tjipto
Mangoenkoesoemo yang modernis dan di beri lebel pembangkang oleh Savitri
tidaklah berlebihan. Ia membantah bukan memberontak terhadap sistem
pemerintahan colonial Belanda, karena perjuangannya untuk statu masyarakat adil
dan makmur melibatkan pembaharuan sistem itu, bukan menyingkirkannya. Sartono
sependapat tentang yang satu ini. Permasalahan sekitar modernisasi atau
westernisasi menjadi fokus diskusi yang alot antara tokoh pembicara Dokter
Wedyadiningrat dan Tjipto Mangoenkoesoemo dengan pendapat yang bertolak
belakang. Yang pertama berpandangan Javanisme, konservatisme sedang yang kedua
modernisme (Sartono Kartodirdjo. 2005:4).
C. PENUTUP
Soewardi Soeryaningrat menurut
Savitri cenderung sebagai tokoh tradisioal, sedangkan Tjipto Mangoenkoesumo
sebagai tokoh modernis bahkan bagi pemerintahan kolonialis Belanda dikenal
sebagai pembangkang. Soetomo sebagai juru damai memposisikan diri diantara
mereka ( Tjipto dan Soewardi ) . Inilah keselarasan dan kejanggalan sebagai statu
dinamika, bukan ala harmoninya seperangkat gamelan yang stagnan .
Tiga perspektif nasionalis ini
yang dinyatakan oleh Soewardi, Soetomo dan Tjipto mencirikan dan juga
mempengaruhi pemimpin-pemimpin
nasionalis dari Jawa yang datang kemudian. Pandangan-pandangan mereka
lebih bersifat Jawa dan lebih priayi daripada bersifat Indonesia. Apakah hal
ini tercermin dalam figur Soekarno
presiden RI pertama Cita-cita masyarakat adil dan makmur dan konsep
gotongroyongnya cukup consisten dengan pandangan yang disebarkan Soewardi ?
Tidak ada komentar:
Posting Komentar