- Sejarah Budaya Banyumas
Dalam
perkembangannya, kebudayaan mengalami perubahan, tergantung pendukungnya.
Menurut Soekmono (1988:11-12), perubahan kebudayaan itu diakibatkan dua hal,
yang berasal dari dalam masyarakat pendukungnya sendiri, dan dari luar lingkungan.
Kebudayaan Banyumas merupakan
salah satu kebudayaan daerah yang berkembang di wilayah Banyumas, yang menjadi
lambang identitas daerah. Dapat pula diartikan
sebagai segala bentuk warisan lokal yang dimiliki masyarakat Banyumas, baik
yang berwujud (konkret) maupun tak berwujud (abstrak).
Berbicara tentang sejarah budaya Banyumas berarti membahas perkembangan warisan
budaya, berupa kebudayaan tradisional yang didukung oleh masyarakat Banyumas. Masyarakat
dengan penuh kreatifitas menata unsur-unsur budaya itu menjadi sesuatu yang
harmonis dan khas. Pola kebudayaan yang telah berurat berakar pada pendukungnya
ini diwariskan dari generasi ke generasi.
Unsur-unsur Budaya Banyumas yang
menonjol adalah; sistem sosial, religi, bahasa, seni, sejarah, dan adat
istiadat. Warisan lokal ini perlu dilestarikan karena memiliki nilai-nilai
moral, ideologi, sosial dan politik yang tinggi bagi pemiliknya. Selain itu
jika dikembangkan bisa menjadi aset pendapatan daerah yang cukup potensial.
Penelitian terhadap Budaya Banyumas
menunjukkan bahwa para Bupati Banyumas merupakan client dari patron
raja-raja Jawa (Sugeng Priyadi dan Suwarno, 2004:7). Karena itu, pola relasi
sosial masyarakat Banyumas pun menunjukkan aspek paternalistik dan egaliter
yang menonjol. Budaya paternalistik menunjukkan bahwa hubungan antara patron (bapak dari anak-anaknya) dengan masyarakat
tidak ada jarak yang terlalu lebar. Contohnya hubungan bapak dan anak
seringkali diperlihatkan dalam pergaulan yang dekat. Anak atau anak muda
menyebut ayahnya atau orang yang lebih tua dengan sebutan ma, rama, atau ramane. Menurut Koderi (1991:150-152) orang
Banyumas memiliki ungkapan anak polah
bapa kepradhah, sebagai bentuk tanggung jawab yang besar seorang patron
terhadap perilaku anak-anaknya. Ungkapan dikempit
diindhit, dikukup diraup, menunjukkan bahwa seorang patron harus dekat dengan rakyatnya dan tidak pilih kasih (emban cindhe emban siladan).
Cablaka
atau blakasuta (kebiasaan berbicara
dan berbuat spontan apa adanya) yang
berkedudukan sebagai sistem nilai budaya dalam kerangka kebudayaan Banyumas,
memberikan contoh suatu masyarakat yang demokratis, egaliter, terus-terang, dan
terbuka dalam berhubungan dengan masyarakat lain. Keterbukaan itu dapat dilihat
dari kemauan dan kemampuan untuk menerima kebudayaan lain. Dalam hal ini
kebudayaan Sunda. Banyumas sebagai daerah periphery
mempunyai dua ciri kebudayaan, yaitu Jawa dan Sunda. Kebudayaan Jawa yang
mendapat pengaruh Majapahit, tecermin pada dialek bahasa Banyumasan, yang lebih
dekat dengan bahasa Jawa Kuna. Dengan demikian dialek bahasa Banyumasan itu
lebih tua daripada bahasa Jawa baku ,
yaitu Sala dan Jogja. Bahasa kuna tidak mengenal strata bahasa yang meliputi ngoko, krama dan krama inggil.
Bahasa Jawa dialek Banyumasan lekat dengan kecablakaan
atau sangat terbuka dan apa adanya, karena bahasa tersebut mencerminkan
keegaliteran manusia Banyumas (Sugeng Priyadi, 2009:4).
Wilayah Banyumas dahulu merupakan
daerah mancanegara dari
kerajaan-kerajaan Jawa; sejak Majapahit, Demak, Pajang, Mataram, Kartasura
hingga Kasunanan Surakarta. Setelah peristiwa perang Jawa atau Perang
Diponegoro (1825-1830), Banyumas yang saat itu merupakan kadipaten, dilepas
dari kekuasaan Kasunanan Surakarta dan menjadi wilayah kekuasaan Pemerintah
Kolonial Hindia Belanda sejak tahun 1830 (Warwin R. Sudarmo dan Bambang S.
Purwoko, 2009:149-157).
Pemerintah
kolonial kemudian memecah bekas Kadipaten Banyumas menjadi dua kabupaten; yaitu
Banyumas dan Ajibarang. Keduanya dipersiapkan untuk menjadi wilayah
karesidenan, bersama dengan tiga kabupaten lainnya yaitu; Purbalingga,
Banjarnegara, dan Cilacap. Berdasar Memori Residen Banyumas (M Zandweld)
tanggal 4 Juli 1922 segera dibangun sarana irigasi dan transportasi baik jalan, jembatan dan rel
kereta api penghubung antarkabupaten dalam karesidenan Banyumas (Badan
Penelitian dan Pengembangan Telematika dan Arsip Daerah, 2005:2-3).
Bupati II
Ajibarang yang bernama Mertadiredja II, memindahkan ibukota kabupaten dari
Ajibarang ke Purwokerto, dan berganti nama menjadi Kabupaten Purwokerto.
Selanjutnya, ketika resmi menjadi karesidenan, wilayah Banyumas terdiri atas lima kabupaten yaitu; Purbalingga,
Banjarnegara, Banyumas, Cilacap, dan Purwokerto (M. Koderi, 1991:5).
Pada tahun 1935, Pemerintah Kolonial
Hindia Belanda menghapus Kabupaten Purwokerto, kemudian menggabungkannya dengan
Kabupaten Banyumas. Terhitung sejak tanggal 1 Januari 1936, karesidenan
Banyumas terdiri dari empat kabupaten, yaitu Banyumas, Cilacap, Purbalingga dan
Banjarnegara (Budiono Herusatoto, 2008:14).
Menurut
riwayat, nama Banyumas diberikan oleh Jaka Kaiman yang juga dikenal dengan
sebutan Adipati Mrapat dan kemudian bergelar Adipati Wargo Utomo II. Nama itu
diberikan saat sedang membangun pusat pemerintahan di daerah hutan Mangli
(Koderi, 1991:3). Konon ketika tengah sibuk bekerja, tiba-tiba ada sebatang
kayu besar bernama pohon Kayu Mas, hanyut di sungai Serayu, dan berhenti dekat
lokasi pembangunan. Adipati Mrapat yang memimpin pembangunan tertarik untuk
mengambil batang kayu tersebut dan dijadikan salah satu saka guru atau tiang utama bangunan. Karena kayu itu namanya Kayu
Mas, dan hanyut terbawa banyu (air),
maka pusat pemerintahan yang baru dibangun itu kemudian diberi nama Banyumas
(Adisarwono dan Bambang S. Purwoko, 1992:52). Namun secara resmi Kabupaten
Banyumas didirikan oleh Adipati Wargo Utomo II pada hari Jumat Kliwon, tanggal
6 April 1582 M (Warsito dkk, 2004:3).
Mayoritas penduduk Kabupaten Banyumas
beragama Islam yaitu sebesar 97,93 %. Sebagian besar penduduknya bermata
pencaharian sebagai petani. Dalam perjalanan sejarah perjuangan bangsa, sederet
nama tokoh-tokoh putra Banyumas tercatat sebagai pejuang yang jasanya
mengharumkan ibu pertiwi, Indonesia .
Mereka itu antara lain Panglima Besar Jendral Soedirman, Jendral Gatot Subroto,
Dr. R. Angka Prodjosoedirdjo (salah seorang pendiri dan pengurus Boedi
Oetomo1908), Prof. Dr. HR. Boenyamin
(Bapak Kusta Indonesia ), Prof.
Dr. R. Margono Soekaryo (ahli bedah Indonesia pertama), RA.
Wiriaatmadja (pendiri BRI) dan masih banyak lagi tokoh lainnya. Jejak sejarah
pun menyebar di kawasan Banyumas, yang memiliki cerita heroik tersendiri (M.
Koderi, 1991:8-9).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar