Total Tayangan Halaman

Senin, 30 Januari 2012

SEJARAH BUDAYA BANYUMAS


  1. Sejarah Budaya Banyumas
            
Manusia dan kebudayaan merupakan suatu kesatuan. Tidak akan ada kebudayaan, jika tidak ada manusia sebagai pendukungnya. Kelangsungan dan kelestariannya pun ditentukan oleh pola interaksi masyarakat pemilik kebudayaan tersebut. Mereka mengajarkan kepada keturunannya sehingga kebudayaan tersebut terjaga kelestariannya. Sebaliknya, jika masyarakat sebagai pemilik kebudayaan tak mampu memperkenalkannya secara sistemik kepada keturunan atau generasi berikutnya, pelan tapi pasti ia akan ditinggalkan dan terlupakan. Hilang.
            Dalam perkembangannya, kebudayaan mengalami perubahan, tergantung pendukungnya. Menurut Soekmono (1988:11-12), perubahan kebudayaan itu diakibatkan dua hal, yang berasal dari dalam masyarakat pendukungnya sendiri, dan dari luar lingkungan.
Kebudayaan Banyumas merupakan salah satu kebudayaan daerah yang berkembang di wilayah Banyumas, yang menjadi lambang identitas daerah.  Dapat pula diartikan sebagai segala bentuk warisan lokal yang dimiliki masyarakat Banyumas, baik yang berwujud (konkret) maupun tak berwujud (abstrak).
Berbicara tentang sejarah budaya Banyumas berarti membahas perkembangan warisan budaya, berupa kebudayaan tradisional yang didukung oleh masyarakat Banyumas. Masyarakat dengan penuh kreatifitas menata unsur-unsur budaya itu menjadi sesuatu yang harmonis dan khas. Pola kebudayaan yang telah berurat berakar pada pendukungnya ini diwariskan dari generasi ke generasi.
Unsur-unsur Budaya Banyumas  yang menonjol adalah; sistem sosial, religi, bahasa, seni, sejarah, dan adat istiadat. Warisan lokal ini perlu dilestarikan karena memiliki nilai-nilai moral, ideologi, sosial dan politik yang tinggi bagi pemiliknya. Selain itu jika dikembangkan bisa menjadi aset pendapatan daerah yang cukup potensial.
 Penelitian terhadap Budaya Banyumas menunjukkan bahwa para Bupati Banyumas merupakan client dari patron raja-raja Jawa (Sugeng Priyadi dan Suwarno, 2004:7). Karena itu, pola relasi sosial masyarakat Banyumas pun menunjukkan aspek paternalistik dan egaliter yang menonjol. Budaya paternalistik menunjukkan bahwa hubungan antara patron  (bapak dari anak-anaknya) dengan masyarakat tidak ada jarak yang terlalu lebar. Contohnya hubungan bapak dan anak seringkali diperlihatkan dalam pergaulan yang dekat. Anak atau anak muda menyebut ayahnya atau orang yang lebih tua dengan sebutan ma, rama, atau ramane. Menurut Koderi (1991:150-152) orang Banyumas memiliki ungkapan anak polah bapa kepradhah, sebagai bentuk tanggung jawab yang besar seorang patron terhadap perilaku anak-anaknya. Ungkapan dikempit diindhit, dikukup diraup, menunjukkan bahwa seorang patron harus dekat dengan rakyatnya dan tidak pilih kasih (emban  cindhe emban  siladan).
Budaya egaliter menjelaskan adanya hubungan yang sepadan antara patron dengan rakyat, misalnya ungkapan ngisor galeng, nduwur galeng. Ungkapan tersebut merupakan sikap yang tidak membeda-bedakan antara dirinya sebagai seorang patron dengan rakyatnya. Bahkan ungkapan angger agi dudu, aja kaya dadi ; angger agi dadi, aja kaya dudu, menunjukkan kerendahan hati orang Banyumas (Sugeng Priyadi, 2009:3).
Cablaka atau blakasuta (kebiasaan berbicara dan berbuat spontan apa adanya)  yang berkedudukan sebagai sistem nilai budaya dalam kerangka kebudayaan Banyumas, memberikan contoh suatu masyarakat yang demokratis, egaliter, terus-terang, dan terbuka dalam berhubungan dengan masyarakat lain. Keterbukaan itu dapat dilihat dari kemauan dan kemampuan untuk menerima kebudayaan lain. Dalam hal ini kebudayaan Sunda. Banyumas sebagai daerah periphery mempunyai dua ciri kebudayaan, yaitu Jawa dan Sunda. Kebudayaan Jawa yang mendapat pengaruh Majapahit, tecermin pada dialek bahasa Banyumasan, yang lebih dekat dengan bahasa Jawa Kuna. Dengan demikian dialek bahasa Banyumasan itu lebih tua daripada bahasa Jawa baku, yaitu Sala dan Jogja. Bahasa kuna tidak mengenal strata bahasa yang meliputi ngoko, krama dan krama inggil. Bahasa Jawa dialek Banyumasan lekat dengan kecablakaan atau sangat terbuka dan apa adanya, karena bahasa tersebut mencerminkan keegaliteran manusia Banyumas (Sugeng Priyadi, 2009:4).
            Wilayah Banyumas dahulu merupakan daerah mancanegara dari kerajaan-kerajaan Jawa; sejak Majapahit, Demak, Pajang, Mataram, Kartasura hingga Kasunanan Surakarta. Setelah peristiwa perang Jawa atau Perang Diponegoro (1825-1830), Banyumas yang saat itu merupakan kadipaten, dilepas dari kekuasaan Kasunanan Surakarta dan menjadi wilayah kekuasaan Pemerintah Kolonial Hindia Belanda sejak tahun 1830 (Warwin R. Sudarmo dan Bambang S. Purwoko, 2009:149-157).
            Pemerintah kolonial kemudian memecah bekas Kadipaten Banyumas menjadi dua kabupaten; yaitu Banyumas dan Ajibarang. Keduanya dipersiapkan untuk menjadi wilayah karesidenan, bersama dengan tiga kabupaten lainnya yaitu; Purbalingga, Banjarnegara, dan Cilacap. Berdasar Memori Residen Banyumas (M Zandweld) tanggal 4 Juli 1922 segera dibangun sarana irigasi dan  transportasi baik jalan, jembatan dan rel kereta api penghubung antarkabupaten dalam karesidenan Banyumas (Badan Penelitian dan Pengembangan Telematika dan Arsip Daerah, 2005:2-3).
                        Bupati II Ajibarang yang bernama Mertadiredja II, memindahkan ibukota kabupaten dari Ajibarang ke Purwokerto, dan berganti nama menjadi Kabupaten Purwokerto. Selanjutnya, ketika resmi menjadi karesidenan, wilayah Banyumas terdiri atas lima kabupaten yaitu; Purbalingga, Banjarnegara, Banyumas, Cilacap, dan Purwokerto (M. Koderi, 1991:5).
Pada tahun 1935, Pemerintah Kolonial Hindia Belanda menghapus Kabupaten Purwokerto, kemudian menggabungkannya dengan Kabupaten Banyumas. Terhitung sejak tanggal 1 Januari 1936, karesidenan Banyumas terdiri dari empat kabupaten, yaitu Banyumas, Cilacap, Purbalingga dan Banjarnegara (Budiono Herusatoto, 2008:14).
            Status Banyumas sebagai wilayah karesidenan kemudian dihapus pada masa Pemerintahan Negara Kesatuan Republik Indonesia (Orde Baru). Sejak itu, keempat kabupaten tersebut secara administratif langsung berada di bawah kewenangan Gubernur Propinsi Jawa Tengah, dengan status sebagai daerah Pembantu Gubernur Jawa Tengah wilayah Banyumas. 
            Menurut riwayat, nama Banyumas diberikan oleh Jaka Kaiman yang juga dikenal dengan sebutan Adipati Mrapat dan kemudian bergelar Adipati Wargo Utomo II. Nama itu diberikan saat sedang membangun pusat pemerintahan di daerah hutan Mangli (Koderi, 1991:3). Konon ketika tengah sibuk bekerja, tiba-tiba ada sebatang kayu besar bernama pohon Kayu Mas, hanyut di sungai Serayu, dan berhenti dekat lokasi pembangunan. Adipati Mrapat yang memimpin pembangunan tertarik untuk mengambil batang kayu tersebut dan dijadikan salah satu saka guru atau tiang utama bangunan. Karena kayu itu namanya Kayu Mas, dan hanyut terbawa banyu (air), maka pusat pemerintahan yang baru dibangun itu kemudian diberi nama Banyumas (Adisarwono dan Bambang S. Purwoko, 1992:52). Namun secara resmi Kabupaten Banyumas didirikan oleh Adipati Wargo Utomo II pada hari Jumat Kliwon, tanggal 6 April 1582 M (Warsito dkk, 2004:3).
Mayoritas penduduk Kabupaten Banyumas beragama Islam yaitu sebesar 97,93 %. Sebagian besar penduduknya bermata pencaharian sebagai petani. Dalam perjalanan sejarah perjuangan bangsa, sederet nama tokoh-tokoh putra Banyumas tercatat sebagai pejuang yang jasanya mengharumkan ibu pertiwi, Indonesia. Mereka itu antara lain Panglima Besar Jendral Soedirman, Jendral Gatot Subroto, Dr. R. Angka Prodjosoedirdjo (salah seorang pendiri dan pengurus Boedi Oetomo1908), Prof. Dr. HR. Boenyamin (Bapak Kusta Indonesia), Prof. Dr. R. Margono Soekaryo (ahli bedah Indonesia pertama), RA. Wiriaatmadja (pendiri BRI) dan masih banyak lagi tokoh lainnya. Jejak sejarah pun menyebar di kawasan Banyumas, yang memiliki cerita heroik tersendiri (M. Koderi, 1991:8-9).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar