Romo Semar tak beranjak dari
duduknya sejak pagi buta. Guru Besar itu tercenung, memandang jauh menembus
rimbunnya pepohonan dari sudut dalam pendopo. Secangkir kopi hitam tak lagi
mengepul, tapi tampaknya belum dicecap sama sekali. Sepiring ubi ungu rebus pun
utuh di atas meja.
Bagong menghampirinya lalu
bertanya, “Romo sedang mikir apa, to? Bagong illfeel, Mo kalau melihat wajah Romo seperti ini. pasti ada yang ndak beres, ya Mo?”.
Yang disapa hanya melirik
sesaat, terlihat malas menyeruput kopi yang sudah diseduh beberapa jam
sebelumnya, lalu makan sepotong ubi di hadapannya.
“Nah! pasti kedatangan
Sangkuni tempo hari membawa masalah. Tapi, apa yang sudah dilakukan si biang
licik itu kemarin, sampai Romo menjadi seperti ini?” gumam Bagong sambil
memandangi wajah keruh Semar.
“Bagong, tolong kamu panggil
Petruk sama Gareng! Juga Togog dan Limbuk! Trus minta Petruk untuk menjemput
Guru Drona, bahkan Wiyasa!” perintah Semar sembari masih mengunyah ubi.
Bagong melompong. “Lho! Lho! Lho! Apakah keadaannya benar-benar
genting, to Mo?”
“Aku ingin mengumpulkan
semua guru yang selama ini mendedikasikan dirinya di padepokan kita. Romo harus
untuk merefresh mereka tentang visi
misi padepokan, sebelum kita go
internasional. Gelontoran dana dan dukungan penuh yang diberikan Maha Guru,
semestinya tidak membangkitkan keserakahan dalam diri para pengasuh, yang
membuatnya lupa pada hakikat tugasnya sebagai guru,” jawab Semar.
“Oh! Sekarang aku yakin, ini
bener-bener karena ulah Sangkuni kemarin? Kemarin dia datang, mendesak Romo menjadikannya
sebagai bendahara yang mengelola dana bantuan pendidikan, kan Mo? Bahkan dia
bilang, “Saya bersedia menjadi bendahara untuk proyek ini, demi meningkatkan
kesejahteraan para guru.” Apa dia bermaksud menggunting dana kemajuan
pendidikan itu, lalu membagikannya kepada para guru? Kalau begitu, si Sangkuni
juga dipanggil, lalu disidang di oleh komite etik, Mo?”
“Tidak perlu! Sangkuni, biarlah
tetap menjadi kaca benggala yang menunjukkan keburukan di dalam jiwa para
pengasuh padepokan. Setidaknya, kita berusaha menjaga keteguhan para guru lain,
yang selama ini berdedikasi tinggi.”
“Kalau tidak diberi sangsi,
ulah si Sangkuni bisa nular, Mo? Apalagi sebelumnya dia juga sudah memprofokasi
para guru, untuk menuntut pelesiran
gratis? Padahal dana yang semula dialokasikan untuk itu, dia minta dibagikan
dalam bentuk uang tunai. Eh, hari lebaran dia masih menuntut untuk diberi
bingkisan. Itu sudah sangat keterlaluan!”
“Cobalah berempati, Gong!
Sebelum kurikulum berganti, si Sangkuni memiliki lahan basah yang menghasilkan
banyak uang. Seperti membuat buku latihan yang harus dimiliki semua cantrik. Ada
laba dari menjual buku dan royalty dari penerbit. Sekarang, itu sulit dilakukan
karena buku sumber belajar sudah disiapkan sendiri oleh Maha Guru. Lalu sebelum
KPK ada, dia laluasa mengelola dana seperti ini di padepokan lain. Kamu pasti
juga sudah tahu bagaimana pat gulipat penggunaan dana seperti ini, di luar
sana. Masalahnya, padepokan kita ini dikenal sangat bersahaja. Jujur, lurus dan
hanya memiliki kualitas pendidikan terbaik. Kebetulan sang Maha Guru memberi
apresiasi, sehingga menggelontorkan dana tak terbatas, yang tidak pernah
terbayangkan sebelumnya. Tak heran tangan Sangkuni gatal luar biasa, ingin
melakukan apa yang biasa dia lakukan. Makanya, yang penting kokohkan skuat utama padepokan kita, agar banjir
dana ini tidak justru menjadi bencana!”
“Siap, Mo! Laksanakan
perintah!”
“Wahai orang-orang yang beriman, makanlah dari rezeki yang baik yang
Kami berikan kepada kamu, dan bersyukurlah kepada Alloh….” [Q.S.
Al-Baqarah: 172]
Oktober 2014, Miladiyah Susanti
Tidak ada komentar:
Posting Komentar