Total Tayangan Halaman

Selasa, 07 Oktober 2014

SENGKUNI DAN AMANAH BOS



Romo Semar tak beranjak dari duduknya sejak pagi buta. Guru Besar itu tercenung, memandang jauh menembus rimbunnya pepohonan dari sudut dalam pendopo. Secangkir kopi hitam tak lagi mengepul, tapi tampaknya belum dicecap sama sekali. Sepiring ubi ungu rebus pun utuh di atas meja.
Bagong menghampirinya lalu bertanya, “Romo sedang mikir apa, to? Bagong illfeel, Mo kalau melihat wajah Romo seperti ini. pasti ada yang ndak beres, ya Mo?”.
Yang disapa hanya melirik sesaat, terlihat malas menyeruput kopi yang sudah diseduh beberapa jam sebelumnya, lalu makan sepotong ubi di hadapannya.
“Nah! pasti kedatangan Sangkuni tempo hari membawa masalah. Tapi, apa yang sudah dilakukan si biang licik itu kemarin, sampai Romo menjadi seperti ini?” gumam Bagong sambil memandangi wajah keruh Semar.
“Bagong, tolong kamu panggil Petruk sama Gareng! Juga Togog dan Limbuk! Trus minta Petruk untuk menjemput Guru Drona, bahkan Wiyasa!” perintah Semar sembari masih mengunyah ubi.
Bagong melompong. “Lho! Lho! Lho! Apakah keadaannya benar-benar genting, to Mo?”
“Aku ingin mengumpulkan semua guru yang selama ini mendedikasikan dirinya di padepokan kita. Romo harus untuk merefresh mereka tentang visi misi padepokan, sebelum kita go internasional. Gelontoran dana dan dukungan penuh yang diberikan Maha Guru, semestinya tidak membangkitkan keserakahan dalam diri para pengasuh, yang membuatnya lupa pada hakikat tugasnya sebagai guru,” jawab Semar.
Oh! Sekarang  aku yakin, ini bener-bener karena ulah Sangkuni kemarin? Kemarin dia datang, mendesak Romo menjadikannya sebagai bendahara yang mengelola dana bantuan pendidikan, kan Mo? Bahkan dia bilang, “Saya bersedia menjadi bendahara untuk proyek ini, demi meningkatkan kesejahteraan para guru.” Apa dia bermaksud menggunting dana kemajuan pendidikan itu, lalu membagikannya kepada para guru? Kalau begitu, si Sangkuni juga dipanggil, lalu disidang di oleh komite etik, Mo?”
“Tidak perlu! Sangkuni, biarlah tetap menjadi kaca benggala yang menunjukkan keburukan di dalam jiwa para pengasuh padepokan. Setidaknya, kita berusaha menjaga keteguhan para guru lain, yang selama ini berdedikasi tinggi.”
“Kalau tidak diberi sangsi, ulah si Sangkuni bisa nular, Mo? Apalagi sebelumnya dia juga sudah memprofokasi para guru, untuk menuntut pelesiran gratis? Padahal dana yang semula dialokasikan untuk itu, dia minta dibagikan dalam bentuk uang tunai. Eh, hari lebaran dia masih menuntut untuk diberi bingkisan. Itu sudah sangat keterlaluan!”
“Cobalah berempati, Gong! Sebelum kurikulum berganti, si Sangkuni memiliki lahan basah yang menghasilkan banyak uang. Seperti membuat buku latihan yang harus dimiliki semua cantrik. Ada laba dari menjual buku dan royalty dari penerbit. Sekarang, itu sulit dilakukan karena buku sumber belajar sudah disiapkan sendiri oleh Maha Guru. Lalu sebelum KPK ada, dia laluasa mengelola dana seperti ini di padepokan lain. Kamu pasti juga sudah tahu bagaimana pat gulipat penggunaan dana seperti ini, di luar sana. Masalahnya, padepokan kita ini dikenal sangat bersahaja. Jujur, lurus dan hanya memiliki kualitas pendidikan terbaik. Kebetulan sang Maha Guru memberi apresiasi, sehingga menggelontorkan dana tak terbatas, yang tidak pernah terbayangkan sebelumnya. Tak heran tangan Sangkuni gatal luar biasa, ingin melakukan apa yang biasa dia lakukan. Makanya, yang penting kokohkan skuat utama padepokan kita, agar banjir dana ini tidak justru menjadi bencana!”
“Siap, Mo! Laksanakan perintah!”
Wahai orang-orang yang beriman, makanlah dari rezeki yang baik yang Kami berikan kepada kamu, dan bersyukurlah kepada Alloh….” [Q.S. Al-Baqarah: 172]
                                                                                                                                                       Oktober 2014,  Miladiyah Susanti

Tidak ada komentar:

Posting Komentar