Total Tayangan Halaman

Rabu, 08 Oktober 2014

GALAU SEORANG GURU



Akankah aku cuma termangu dalam ragu, menunggu waktu berlalu?
Akankah aku membiarkan hari ini menjadi kusut, hanya karena masih terus meraba-raba tentang kebenaran apa yang kulakukan, terjebak dalam standar masa lalu?
Kapan aku bisa berubah? Esok hari, minggu depan, bulan depan, atau menunggu saja perubahan serempak yang mungkin dilakukan orang-orang? 

Petruk berulang kali mencermati tulisan tangannya di selembar kertas lusuh yang digenggam, sambil selonjor di sudut pendopo rumah Romo Semar. Hari itu ia tak langsung pulang ke rumah seusai mengajar. Biasanya, itu dilakukan jika sedang ada sesuatu yang berat tengah membebani pikirannya.
“Kenapa Kang, sepertinya bingung? Bertengkar lagi sama Mbakyu Limbuk?” sapa Bagong mendekat sambil membawakan secangkir kopi panas dan jagung rebus. “Ngopi dulu Kang, biar kepyar!”
Yang di sapa tak menyahut. Diletakkannya lembaran kertas itu di atas meja bundar di hadapannya, menyeruput kopi panas setengah, lalu melahap setongkol jagung rebus manis yang disajikan adiknya.  Bagong paham, kakaknya sedang serius tak ingin diganggu. Dipungutnya kertas itu, lalu dibaca sambil sesekali mengernyitkan kening, memiringkan kepala ke kanan dan ke kiri, seolah benar-benar kesulitan memahami isinya.

O..alah..kamu galau to, Kang?” goda Bagong.
Petruk melotot. Merengut tanda tak suka digoda, tetapi tetap tak bicara.
Bagong tersenyum. “Kalaupun galau, aku yakin ini bukan karena masalah perempuan, Kang. Pasti kamu sedang mempertanyakan kredibilitasmu sendiri sebagai guru, kan? Aku tahu, karena bagimu tugasmu itu adalah harga dirimu. Tapi bagaimana bisa guru teladan sepertimu, mempertanyakan kredibilitas dan kemampuanmu sendiri terhadap tugas yang telah kamu laksanakan selama puluhan tahun?”
Petruk menarik nafas panjang. “Justru itu, Gong. Sekarang ini, aku merasa mulai dari nol lagi. Pekan depan aku akan mengikuti diklat tentang kurikulum baru. sekitar 10 hari,” katanya hampir tanpa tekanan.
“Itu bagus to, Kang! Kenapa kamu kelihatan ndak bersemangat? Bukankah sudah lama kamu ingin tahu seperti apa sebenarnya wujud kurikulum baru yang menghebohkan itu?”
Petruk menatap adik bungsu yang dikenal sangat bersahaja itu. “Aku hanya tak seberani dulu saat harus menghadapi perombakan total seperti ini, Gong. Nyaliku tak sanggup lagi berpacu dengan target-target perubahan sebagai teladan bagi guru lainnya. Lalu, selama aku masih meraba-raba wujud kurikulum ini, bagaimana dengan muridku? Mereka dijadikan sebagai kelinci percobaan? Mau jadi apa mereka yang ada dalam masa transisi ini? Haruskah aku mempertaruhkan mereka, Gong?”
Bagong tersenyum. “Kang, tidak selamanya kita bisa menjadi super hero, selalu menolong orang. Kadang, ada yang tidak tertolong dan harus jadi korban. Tetapi bukan berarti kita berhenti berusah, kan? Aku sering mendengar Romo Semar berkata bahwa kita ini tidak boleh berlebihan dalam segala hal, termasuk melakukan kebaikan. Bahkan melaksanakan ibadah kepada Gusti Pangeran pun, hanya sesuai dengan kesanggupan kita. Lha wong Gusti Alloh swt saja tidak akan membebani seseorang, kecuali sesuai kesanggupannya [QS.Al-Baqarah:286].”
“Sebenarnya aku juga sudah tahu, Gong. Tetapi…”
“Tidak ada kata tetapi, Kang!” sela Bagong. “Kamu guru teladan. Selalu menjadi panutan guru lain. Tetapi jangan membebani dirimu sendiri dengan mengharuskan diri selalu sempurna. Apalagi dengan bayangan buruk yang belum tentu terjadi.  Yakinlah, perubahan itu memang selalu tidak mudah, tetapi arahnya lebih baik!”
“Terima kasih, Gong. Kau memang murid Romo Semar!” Petruk tersenyum menatap adiknya.

                                                                                                                                                                          September, Miladiyah Susanti

Tidak ada komentar:

Posting Komentar