Akankah aku cuma
termangu dalam ragu, menunggu waktu berlalu?
Akankah aku
membiarkan hari ini menjadi kusut, hanya karena masih terus meraba-raba tentang
kebenaran apa yang kulakukan, terjebak dalam standar masa lalu?
Kapan aku bisa
berubah? Esok hari, minggu depan, bulan depan, atau menunggu saja perubahan
serempak yang mungkin dilakukan orang-orang?
Petruk berulang kali mencermati tulisan tangannya di
selembar kertas lusuh yang digenggam, sambil selonjor di sudut pendopo rumah
Romo Semar. Hari itu ia tak langsung pulang ke rumah seusai mengajar. Biasanya,
itu dilakukan jika sedang ada sesuatu yang berat tengah membebani pikirannya.
“Kenapa Kang, sepertinya bingung? Bertengkar lagi sama
Mbakyu Limbuk?” sapa Bagong mendekat sambil membawakan secangkir kopi panas dan
jagung rebus. “Ngopi dulu Kang, biar kepyar!”
Yang di sapa tak menyahut. Diletakkannya lembaran
kertas itu di atas meja bundar di hadapannya, menyeruput kopi panas setengah,
lalu melahap setongkol jagung rebus manis yang disajikan adiknya. Bagong paham, kakaknya sedang serius tak ingin
diganggu. Dipungutnya kertas itu, lalu dibaca sambil sesekali mengernyitkan
kening, memiringkan kepala ke kanan dan ke kiri, seolah benar-benar kesulitan memahami
isinya.
“O..alah..kamu
galau to, Kang?” goda Bagong.
Petruk melotot. Merengut tanda tak suka digoda, tetapi
tetap tak bicara.
Bagong tersenyum. “Kalaupun galau, aku yakin ini bukan
karena masalah perempuan, Kang. Pasti kamu sedang mempertanyakan kredibilitasmu
sendiri sebagai guru, kan? Aku tahu, karena bagimu tugasmu itu adalah harga
dirimu. Tapi bagaimana bisa guru teladan sepertimu, mempertanyakan kredibilitas
dan kemampuanmu sendiri terhadap tugas yang telah kamu laksanakan selama
puluhan tahun?”
Petruk menarik nafas panjang. “Justru itu, Gong. Sekarang
ini, aku merasa mulai dari nol lagi. Pekan depan aku akan mengikuti diklat
tentang kurikulum baru. sekitar 10 hari,” katanya hampir tanpa tekanan.
“Itu bagus to,
Kang! Kenapa kamu kelihatan ndak bersemangat?
Bukankah sudah lama kamu ingin tahu seperti apa sebenarnya wujud kurikulum baru
yang menghebohkan itu?”
Petruk menatap adik bungsu yang dikenal sangat
bersahaja itu. “Aku hanya tak seberani dulu saat harus menghadapi perombakan
total seperti ini, Gong. Nyaliku tak sanggup lagi berpacu dengan target-target
perubahan sebagai teladan bagi guru lainnya. Lalu, selama aku masih meraba-raba
wujud kurikulum ini, bagaimana dengan muridku? Mereka dijadikan sebagai kelinci
percobaan? Mau jadi apa mereka yang ada dalam masa transisi ini? Haruskah aku
mempertaruhkan mereka, Gong?”
Bagong tersenyum. “Kang, tidak selamanya kita bisa
menjadi super hero, selalu menolong orang. Kadang, ada yang tidak tertolong dan
harus jadi korban. Tetapi bukan berarti kita berhenti berusah, kan? Aku sering
mendengar Romo Semar berkata bahwa kita ini tidak boleh berlebihan dalam segala
hal, termasuk melakukan kebaikan. Bahkan melaksanakan ibadah kepada Gusti Pangeran
pun, hanya sesuai dengan kesanggupan kita. Lha
wong Gusti Alloh swt saja tidak akan membebani seseorang, kecuali sesuai
kesanggupannya [QS.Al-Baqarah:286].”
“Sebenarnya aku juga sudah tahu, Gong. Tetapi…”
“Tidak ada kata tetapi, Kang!” sela Bagong. “Kamu guru
teladan. Selalu menjadi panutan guru lain. Tetapi jangan membebani dirimu sendiri
dengan mengharuskan diri selalu sempurna. Apalagi dengan bayangan buruk yang
belum tentu terjadi. Yakinlah, perubahan
itu memang selalu tidak mudah, tetapi arahnya lebih baik!”
“Terima kasih, Gong. Kau memang murid Romo Semar!”
Petruk tersenyum menatap adiknya.
September, Miladiyah Susanti
Tidak ada komentar:
Posting Komentar