Total Tayangan Halaman

Senin, 27 Oktober 2014

PENDIDIKAN INKLUSI

Yogyakarta Kurang Sekolah Inklusi
A. Latar Belakang
Setiap individu pada dasarnya memiliki keunikannya masing-masing. Berdasar pada prinsip tersebut maka kini dikembangkan sistem pendidikan inklusi. Di dalam sekolah inklusi terdapat peserta didik dengan berbagai macam latar belakang dari yang reguler (biasa) sampai anak berkebutuhan khusus. Pelayananan pendidikan yang diberikan secara bersamaan, sehingga akan terjadi interaksi antara keduanya, saling memahami, mengerti adanya perbedaan, dan meningkatkan empati bagi anak-anak reguler.

B. Landasan Hukum
Pada tanggal 18 Oktober 2011, Pemerintah telah meratifikasi Konvensi PBB tentang Hak Penyandang Disabilitas (United Nation Convention on Rights of Persons with Disabilities). Pada pasal 24 tentang Pendidikan disebutkan bahwa negara-negara pihak mengakui hak orang-orang penyandang cacat atas pendidikan. Dalam rangka mewujudkan hak tersebut tanpa diskriminasi dan atas dasar kesetaraan kesempatan, maka negara-negara pihak harus menjamin suatu sistem pendidikan yang inklusif di semua tingkatan dan pembelajaran jangka panjang yang ditujukan untuk:


  1. Pengembangan potensi manusia yang sepenuhnya dan perasaan martabat dan harga diri, serta penguatan penghormatan terhadap hak asasi manusia, kebebasan mendasar, dan keragaman manusia;
  2. Pengembangan personalitas, bakat, dan kreativitas, serta kemampuan mental dan fisik orang-orang penyandang cacat sejauh potensi mereka memungkinkan;
  3. Memampukan orang-orang penyandang cacat untuk berpartisipasi secara efektif di masyarakat yang bebas;
  4. Dalam mewujudkan hak ini, Negara-negara Pihak harus menjamin bahwa:
  5. Orang-orang penyandang cacat harus dimasukkan dalam sistem pendidikan umum atas dasar kecacatan, dan bahwa anak-anak penyandang cacat harus dapat mengikuti pendidikan dasar wajib secara gratis, atau pendidikan tingkat kedua atas dasar kecacatan;
  6. Anak-anak penyandang cacat dapat mengakses pendidikan dasar yang gratis dan pendidikan tingkat kedua yang berkualitas dan inklusif atas dasar kesetaraan dengan orang-orang lain dalam masyarakat di mana mereka tinggal;
  7. Akomodasi yang selayaknya yang dibutuhkan oleh individu-individu tersedia;
  8. Orang-orang penyandang cacat menerima dukungan yang dibutuhkan, dalam sistem pendidikan umum, untuk memfasilitasi pendidikan mereka secara efektif;
  9. Tersedia sarana-sarana pendukung individual yang efektif dalam lingkungan yang memaksimalkan pengembangan akademik dan sosial, yang konsisten dengan tujuan dan inklusi secara penuh.
     
Peraturan Menteri Pendidikan Nasional RI Nomor 70 Th 2009, Tentang Pendidikan Inklusif bagi Peserta Didik yang Memiliki Kelainan dan Memiliki Potensi Kecerdasan dan/ atau bakat Istimewa. Peraturan Menteri ini menyatakan bahwa sistem penyelenggaraan pendidikan yang memberikan kesempatan kepada semua peserta didik yang memiliki kelainan dan memiliki potensi kecerdasan dan/atau bakat istimewa untuk mengikuti pendidikan atau pembelajaran dalam satu lingkungan pendidikan secara bersama-sama
dengan peserta didik pada umumnya. Guna menunjang terwujudnya sistem pendidikan inklusi maka sarana fisik sekolah harus disesuaikan dengan kebutuhan fisik anak didik yang berkebutuhan khusus. Oleh karena itu pemerintah mengeluarkan beberapa peraturan menyangkut aksesibilitas yang berkaitan dengan fasilitas umum termasuk bangunan sekolah. Peraturan tersebut diantaranya;
  1. Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2002 tentang Bangunan Gedung; Undang-undang ini mensyaratkan agar dalam pembangunan gedung dipenuhi fasilitas dan aksesibilitas yang mudah, aman dan nyaman bagi penyandang cacat yang tercantum dalam Pasal 27.
  2. Keputusan Menteri Pekerjan Umum Nomor 68/K P T S/1998 tentang Persyaratan Teknis Aksesibilitas pada Bangunan Umum dan Lingkungan,
  3. Peraturan Menteri Pekerjaan Umum No.30/PRT/M/2006 tentang Pedoman Teknis fasilitas dan Aksesibilitas pada Bangunan Gedung dan Lingkungan.

C. Teknik Pelaksanaan
1. Input siswa
Kemampuan awal dan karakteristik siswa menjadi acuan utama dalam mengembangkan kurikulum dan bahan ajar serta penyelenggaraan proses belajarmengajar. Implikasinya antara lain perlu dipikirkan:
  • Siapa input siswanya, apakah semua peserta didik berkelainan dapat mengikuti kelas reguler bercampur anak lainnya “anak normal”?
  • Bagaimana identifikasinya?
  • Apa alat identifikasi yang digunakan?
  • Siapa yang terlibat dalam identifikasi?


2. Kurikulum
Kurikulum (bahan ajar) yang dikembangkan hendaknya mengacu kepada kemampuan awal dan karakteristik siswa. Implikasinya antara lain perlu dipikirkan:
  • Bagaimana model kurikulum (bahan ajarnya) untuk kemampuan anak yang beragam dalam kelas reguler yang sama?
  • Siapa yang mengembangkannya?
  • Bagaimana pengembangannya?

3. Tenaga kependidikan
Tenaga kependidikan (guru/instruktur/pelatih/therapist dsb.) yang mengajar hendaknya memiliki kualifikasi yang dipersyaratkan, yaitu memiliki pengetahuan, keterampilan, dan sikap tentang materi yang akan diajarkan/dilatihkan, dan memahami karakteristik siswa. Implikasinya antara lain perlu dipikirkan:
a. Siapa saja tenaga kependidikan yang terlibat?
b. Apa peranserta masing-masing?
c. Bagaimana kualifikasi gurunya?
d. Persyaratan apa yang harus dimiliki?

4. Sarana-prasarana
Sarana-prasarananya hendaknya disesuaikan dengan tuntutan kurikulum (bahan ajar) yang telah dikembangkan. Implikasinya antara lain perlu dipikirkan:
a. Prasarana apa yang diperlukan?
b. Sarana apa yang diperlukan?

5. Pembiayaan
Penyelenggaraan pendidikan inklusif di sekolah reguler memerlukan dukungan dana yang memadai. Untuk itu dapat ditanggung bersama antara pemerintah, masyarakat, dan orang tua siswa, serta sumbangan suka rela dari berbagai pihak. Implikasinya antara lain perlu dipikirkan:
a. Dari mana sumber dana untuk operasional sekolah inklusi?
b. Untuk keperluan apa saja dana tersebut?

6. Manajemen
Penyelenggaraan pendidikan inklusif memerlukan manajemen yang berbeda dengan sekolah reguler. Implikasinya antara lain perlu difikirkan:
a. Bagaimana manajemennya?
b. Siapa saja yang dilibatkan?
c. Apa tugas dan fungsinya?

7. Lingkungan
Agar tercipta suasana belajar yang menyenangkan maka lingkungan belajar dibuat sedemikian rupa sehingga proses belajar-mengajar dapat berlangsung secara aman dan nyaman. Implikasinya antara lain perlu difikirkan:
  • Bagaimana lingkungan sekolahnya? Bangunan sekolah dan lingkungan apakah aksesibel bagi anak berkebutuhan khusus?
  • Bagaimana lingkungan sekitaranya?Bagaimana lingkungan rumah tangganya?
  • Upaya apa yang dilakukan dalam rangka meningkatkan peranserta masyarakat dan orang tua untuk meningkatkan mutu pendidikan di sini?

8. Proses belajar-mengajar
Proses belajar-mengajar lebih banyak memberikan kesempatan belajar kepada siswa melalui pengalaman nyata. Implikasinya antara lain perlu dipikirkan:
a. Bagaimana perencanaan kegiatan belajar-mengajar?
b. Bagaimana pelaksanaan kegiatan belajar-mengajar?
c. Bagaimana evaluasi kegiatan belajar-mengajar?

Sumber : Pusat Kajian Perlindungan Anak & Pusat Kajian Disabilitas UI (PUSKAPA)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar