Lunglai, Togog memasuki pendopo padepokan Semar sambil
menggaruk-garuk kepala. Wajahnya kusut berkerut-kerut. Matanya suram sama
sekali tak bercahaya. Senyum yang biasanya selalu tersungging, lenyap. Bibirnya
terkatup rapat. Berulangkali nafas dihempaskan keras, seolah tengah berusaha membuang
sesuatu yang menyesakkan dadanya.
“Man! Paman, barusan dimarahi Bibikah? Kok sampai
putus asa begitu?” tanya Bagong yang menyambutnya.
Togog tak langsung menjawab. Duduk selonjor di salah
satu sudut pendopo, menghadap meja
bundar pendek. Tanpa berkata sepatah juga, kerabat dekat Semar itu menyambar
kopi hitam panas dan melahap beberapa potong singkong rebus, camilan untuk Semar yang telah terhidang di
atas meja
“Wah, jan! Lapar
apa doyan? Sama sekali ndak ada tata
krama. Mbok ya tanya dulu, yang
diminum itu kopi siapa! Kalau kepengin baru minta, atau setidaknya nunggu
ditawari!” Bagong bersungut-sungut.
“Capek! Sia-sia semuanya,” gerutu Togog masih sambil
mengunyah singkong.
“Paman stress, to?
Lha wong sertivikasi barusan cair,
tinggal beli mobil baru lagi, to Man?
Asal jangan beli isteri baru saja, kalau ndak
pengin dibejek sama Bibi!” sahut Bagong sekenanya.
“Mati-matian mengajar. Segenap pikiran dan tenaga
dipakai agar anak-anak menguasai seluruh materi setiap mata pelajaran. Eh! Ternyata, sistem penerimaan peserta
didik baru (PPDB) SMP yang baru, cuma melihat nilai tiga mata pelajaran saja, Bahasa
Indonesia, IPA, dan Matematika. Apa ndak
dongkol, Gong? Aku, seorang diri harus mengajarkan 11 mata pelajaran, kok yang diakui cuma tiga. Bayangkan!”
Togog memuntahkan kekesalan. Dilahapnya lagi beberapa potong singkong. “Aturan
yang dulu, setidaknya masih mempertimbangkan nilai semua mata pelajaran meski
sedikit. Lha, kalau memang ndak
diperlukan nilainya, buat apa PKN, IPS, seni budaya, dan lain-lainnya
diajarkan? Kan, nambah beban guru SD? Satu guru SD mengajarkan seluruh mata
pelajaran. Capek, Gong! Lelah! Sama sekali ndak
dihargai, kan?”
“O..alaaah,
Man! Salah alamat kalau Paman mengeluh seperti itu di tempat ini. Romo Semar
sendiri ndak ada yang nggaji. Ndak minta imbalan, juga ndak
berharap pengakuan atas ilmu yang diajarkan. Boro-boro mendapat sertivikasi,
untuk makan saja harus menanam dulu di kebun. Herannya, justru orang-orang
seperti Paman ini yang begitu lahap saat menyantap jatah makanan untuk Romo,”
sindir Bagong. “Setiap langkah kita harus diniatkan ikhlas hanya untuk
mendapatkan ridho Gusti Pangeran.
Bukan untuk dipuji, dihargai, atau dihormati orang lain. Hanya dengan begitu, kehormatan
sejati justru akan tercapai.”
“Tugasmu sebagai guru adalah mendidik dan menyampaikan
ilmu, sehingga muridmu menjadi manusia mumpuni. Ingat teladan yang diajarkan Gusti Pangeran kepada Kanjeng Nabi, “Aku tidak meminta upah sedikit pun kepadamu atas
dakwahku.” “Sesungguhnya kami memberi makanan kepadamu hanyalah untuk
mengharapkan keridlaan Alloh. Kami tidak menghendaki balasan dari kamu dan
tidak pula (ucapan) terima kasih,” sela Romo Semar yang keluar dari kamarnya,
mengutip QS. Shod: 86 dan Al-Insaan: 9.
“Aku juga ndak
berharap lebih, Kang. Cuma, sepertinya ini sama sekali tidak adil,” ujar Togog
lirih.
“Sudahlah! Kamu berada dalam sistem yang
memperlakukanmu secara profesional. Ikuti saja aturannya! Tidak ada pekerjaanmu
yang sia-sia. Kau memberi bekal lebih kepada murid-murid sebagai dasar
perkembangan mereka. Itu kebaikan yang luar biasa. “Maka barangsiapa
mengerjakan kebaikan sebesar zarrah, niscaya dia akan melihat (balasan)nya.”
(QS. az-Zalzalah:7) Kalau singkongnya masih ada, keluarkan lagi sini, Gong! Aku
lapar,” kata Romo Semar.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar