Total Tayangan Halaman

Rabu, 08 Oktober 2014

PPDB



Lunglai, Togog memasuki pendopo padepokan Semar sambil menggaruk-garuk kepala. Wajahnya kusut berkerut-kerut. Matanya suram sama sekali tak bercahaya. Senyum yang biasanya selalu tersungging, lenyap. Bibirnya terkatup rapat. Berulangkali nafas dihempaskan keras, seolah tengah berusaha membuang sesuatu yang menyesakkan dadanya.
“Man! Paman, barusan dimarahi Bibikah? Kok sampai putus asa begitu?” tanya Bagong yang menyambutnya.
Togog tak langsung menjawab. Duduk selonjor di salah satu sudut  pendopo, menghadap meja bundar pendek. Tanpa berkata sepatah juga, kerabat dekat Semar itu menyambar kopi hitam panas dan melahap beberapa potong singkong rebus,  camilan untuk Semar yang telah terhidang di atas meja
Wah, jan! Lapar apa doyan? Sama sekali ndak ada tata krama. Mbok ya tanya dulu, yang diminum itu kopi siapa! Kalau kepengin baru minta, atau setidaknya nunggu ditawari!” Bagong bersungut-sungut.
“Capek! Sia-sia semuanya,” gerutu Togog masih sambil mengunyah singkong.
“Paman stress, to? Lha wong sertivikasi barusan cair, tinggal beli mobil baru lagi, to Man? Asal jangan beli isteri baru saja, kalau ndak pengin dibejek sama Bibi!” sahut Bagong sekenanya.

“Mati-matian mengajar. Segenap pikiran dan tenaga dipakai agar anak-anak menguasai seluruh materi setiap mata pelajaran. Eh! Ternyata, sistem penerimaan peserta didik baru (PPDB) SMP yang baru, cuma melihat nilai tiga mata pelajaran saja, Bahasa Indonesia, IPA, dan Matematika. Apa ndak dongkol, Gong? Aku, seorang diri harus mengajarkan 11 mata pelajaran, kok yang diakui cuma tiga. Bayangkan!” Togog memuntahkan kekesalan. Dilahapnya lagi beberapa potong singkong. “Aturan yang dulu, setidaknya masih mempertimbangkan nilai semua mata pelajaran meski sedikit. Lha, kalau memang ndak diperlukan nilainya, buat apa PKN, IPS, seni budaya, dan lain-lainnya diajarkan? Kan, nambah beban guru SD? Satu guru SD mengajarkan seluruh mata pelajaran. Capek, Gong! Lelah! Sama sekali ndak dihargai, kan?”
O..alaaah, Man! Salah alamat kalau Paman mengeluh seperti itu di tempat ini. Romo Semar sendiri ndak ada yang nggaji. Ndak minta imbalan, juga ndak berharap pengakuan atas ilmu yang diajarkan. Boro-boro mendapat sertivikasi, untuk makan saja harus menanam dulu di kebun. Herannya, justru orang-orang seperti Paman ini yang begitu lahap saat menyantap jatah makanan untuk Romo,” sindir Bagong. “Setiap langkah kita harus diniatkan ikhlas hanya untuk mendapatkan ridho Gusti Pangeran. Bukan untuk dipuji, dihargai, atau dihormati orang lain. Hanya dengan begitu, kehormatan sejati justru akan tercapai.”
“Tugasmu sebagai guru adalah mendidik dan menyampaikan ilmu, sehingga muridmu menjadi manusia mumpuni. Ingat teladan yang diajarkan Gusti Pangeran kepada Kanjeng Nabi, “Aku tidak  meminta upah sedikit pun kepadamu atas dakwahku.” “Sesungguhnya kami memberi makanan kepadamu hanyalah untuk mengharapkan keridlaan Alloh. Kami tidak menghendaki balasan dari kamu dan tidak pula (ucapan) terima kasih,” sela Romo Semar yang keluar dari kamarnya, mengutip QS. Shod: 86 dan Al-Insaan: 9.
“Aku juga ndak berharap lebih, Kang. Cuma, sepertinya ini sama sekali tidak adil,” ujar Togog lirih.
“Sudahlah! Kamu berada dalam sistem yang memperlakukanmu secara profesional. Ikuti saja aturannya! Tidak ada pekerjaanmu yang sia-sia. Kau memberi bekal lebih kepada murid-murid sebagai dasar perkembangan mereka. Itu kebaikan yang luar biasa. “Maka barangsiapa mengerjakan kebaikan sebesar zarrah, niscaya dia akan melihat (balasan)nya.” (QS. az-Zalzalah:7) Kalau singkongnya masih ada, keluarkan lagi sini, Gong! Aku lapar,” kata Romo Semar.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar