Alkisah, Raja Harun al Rasyid menentukan penggantinya.
Dua putranya dari isteri berbeda, Al Amin dan Al Makmun yang sama cerdas. Hati sang
Raja bijak sejatinya telah memilih Al Makmun yang rendah hati dan santun untuk
menggantikannya. Namun Zubaidah sang permaisuri, ngotot anaknya Al Amin
dinobatkan menjadi putera mahkota.
“Apa yang akan terjadi dengan padepokan kita setelah
suksesi ini? Raja baru selalu membawa kebijakan pendidikan anyar. Kebijakan lama belum dipahami dan terlaksana sempurna,
ketentuan baru sudah diberlakukan. Bingung” gumam Petruk menerawang.
“Yang penting bagiku, anakku si Kompleng semakin mudah
mewujudkan cita-cita, menjadi manusia berilmu dan berguna. Pintu-pintu ilmu
semakin terbuka lebar, nyaman dan aman bagi semua orang, utamanya untuk keluargaku
yang melarat ini.” Gareng menimpali.
“Kalau saja Al Makmun yang jadi raja. Dia itu ahli
ilmu. Ahli pikir. Tidak banyak bicara, selalu matang dan tepat dalam membuat
strategi. Segala sesuatu dia kembalikan pada dasar keilmuan yang dikuasai secara
paripurna. Baginya, ilmu bukan sekedar diketahui, tetapi juga dipahami dan
diwujudkan dalam setiap perbuatan. Lalu dengan rendah hati pula disampaikan
dalam sidang kabinet di depan Raja, tanpa pernah mengklaim sebagai prestasi
pribadi. Kalau rajanya seperti dia, pasti ilmu pengetahuan berkembang pesat.
Padepokan kita barangkali akan menjadi salah satu pusat kajian ilmu, karena
Romo Semar memiliki sifat yang serupa itu. Sangat disegani, bahkan oleh para
guru besar,” Petruk masih menerawang.
“Al Amin juga menguasai berbagai bidang ilmu. Lihat
saja, gelarnya banyak dan diperoleh dengan predikat cumlaude,” sela Bagong.
“Betul! Dia juga pintar. Tapi apa kamu ingat apa yang
terjadi ketika Raja memanggil mereka satu demi satu, lalu bertanya, “Wahai
anakku, siapkah engkau menjadi penggantiku sebagai raja negeri ini?” Al Makmun yang
dipanggil lebih dulu datang dengan menundukkan wajah, lalu mencium kening Raja
Harun al Rasyid dan permaisuri (mencium kening adalah tradisi di Arab sebagai
ungkapan hormat –red). Dengan rendah hati pula ia menjawab, “Jabatan itu bukan
milikku, Ayah.” Sedangkan Al Amin yang datang kemudian tanpa mengucap salam,
dengan berkacak pinggang, mendongakkan wajah, dan tersenyum lebar, menjawab lantang
“Siapa lagi yang pantas untuk jabatan
itu selain aku, Ayah?” Seketika kita yang menyaksikan kejadian itu terbelalak
bukan? Di tangan orang seperti itu, apakah ilmu akan berkembang?” kata Petruk
lagi.
“Positive thinking
to, Kang! Barangkali sikap percaya diri Al Amin justru akan membakar semangat
para pembantunya nanti dalam menjalankan tugas pemerintahan. Dia mungkin akan
menunjuk orang yang tepat untuk mengurus pendidikan. Siapa tahu nanti Al Makmun
yang diberi tugas khusus urusan pendidikan. Pasti hebat, to?” kata Bagong
santai, mencoba menyingkirkan galau kakaknya.
“Dan, aku menyerahkan urusanku kepada Alloh.
Sesungguhnya, Alloh Maha Melihat akan hamba-hambaNYA. Maka, Alloh memeliharanya
dari kejahatan tipu daya mereka.” Romo Semar yang ternyata menyimak obrolan mereka
menyela dengan mengutip makna dari ayat 44-45 surat al-Mukminun.
Seketika ketiga anaknya bergegas memberikan taklim. “Tidak
perlu risau tentang pendidikan pasca suksesi ini. Apalagi kelangsungan
padepokan kita. Asal memegang teguh ilmu dan keyakinan kita, dan tidak menjadi
orang terburuk, yaitu “orang yang bermuka dua, yang hadir kepada sebagian orang
dengan satu muka, dan kepada sebagian yang lain dengan muka yang berbeda (HR.
Bukhori-Muslim),” tegasnya.
Gareng, Petruk, dan Bagong mengangguk-angguk dengan
ekspresi masing-masing./ Miladiyah Susanti
Tidak ada komentar:
Posting Komentar