Total Tayangan Halaman

Senin, 27 Oktober 2014

MEMILIH FIGUR PEMIMPIN



Alkisah, Raja Harun al Rasyid menentukan penggantinya. Dua putranya dari isteri berbeda, Al Amin dan Al Makmun yang sama cerdas. Hati sang Raja bijak sejatinya telah memilih Al Makmun yang rendah hati dan santun untuk menggantikannya. Namun Zubaidah sang permaisuri, ngotot anaknya Al Amin dinobatkan menjadi putera mahkota.
“Apa yang akan terjadi dengan padepokan kita setelah suksesi ini? Raja baru selalu membawa kebijakan pendidikan anyar. Kebijakan lama belum dipahami dan terlaksana sempurna, ketentuan baru sudah diberlakukan. Bingung” gumam Petruk menerawang.
“Yang penting bagiku, anakku si Kompleng semakin mudah mewujudkan cita-cita, menjadi manusia berilmu dan berguna. Pintu-pintu ilmu semakin terbuka lebar, nyaman dan aman bagi semua orang, utamanya untuk keluargaku yang melarat ini.” Gareng menimpali.

“Kalau saja Al Makmun yang jadi raja. Dia itu ahli ilmu. Ahli pikir. Tidak banyak bicara, selalu matang dan tepat dalam membuat strategi. Segala sesuatu dia kembalikan pada dasar keilmuan yang dikuasai secara paripurna. Baginya, ilmu bukan sekedar diketahui, tetapi juga dipahami dan diwujudkan dalam setiap perbuatan. Lalu dengan rendah hati pula disampaikan dalam sidang kabinet di depan Raja, tanpa pernah mengklaim sebagai prestasi pribadi. Kalau rajanya seperti dia, pasti ilmu pengetahuan berkembang pesat. Padepokan kita barangkali akan menjadi salah satu pusat kajian ilmu, karena Romo Semar memiliki sifat yang serupa itu. Sangat disegani, bahkan oleh para guru besar,” Petruk masih menerawang.
“Al Amin juga menguasai berbagai bidang ilmu. Lihat saja, gelarnya banyak dan diperoleh dengan predikat cumlaude,” sela Bagong.
“Betul! Dia juga pintar. Tapi apa kamu ingat apa yang terjadi ketika Raja memanggil mereka satu demi satu, lalu bertanya, “Wahai anakku, siapkah engkau menjadi penggantiku sebagai raja negeri ini?” Al Makmun yang dipanggil lebih dulu datang dengan menundukkan wajah, lalu mencium kening Raja Harun al Rasyid dan permaisuri (mencium kening adalah tradisi di Arab sebagai ungkapan hormat –red). Dengan rendah hati pula ia menjawab, “Jabatan itu bukan milikku, Ayah.” Sedangkan Al Amin yang datang kemudian tanpa mengucap salam, dengan berkacak pinggang, mendongakkan wajah, dan tersenyum lebar, menjawab lantang  “Siapa lagi yang pantas untuk jabatan itu selain aku, Ayah?” Seketika kita yang menyaksikan kejadian itu terbelalak bukan? Di tangan orang seperti itu, apakah ilmu akan berkembang?” kata Petruk lagi.
Positive thinking to, Kang! Barangkali sikap percaya diri Al Amin justru akan membakar semangat para pembantunya nanti dalam menjalankan tugas pemerintahan. Dia mungkin akan menunjuk orang yang tepat untuk mengurus pendidikan. Siapa tahu nanti Al Makmun yang diberi tugas khusus urusan pendidikan. Pasti hebat, to?” kata Bagong santai, mencoba menyingkirkan galau kakaknya.
“Dan, aku menyerahkan urusanku kepada Alloh. Sesungguhnya, Alloh Maha Melihat akan hamba-hambaNYA. Maka, Alloh memeliharanya dari kejahatan tipu daya mereka.” Romo Semar yang ternyata menyimak obrolan mereka menyela dengan mengutip makna dari ayat 44-45 surat al-Mukminun.
Seketika ketiga anaknya bergegas memberikan taklim. “Tidak perlu risau tentang pendidikan pasca suksesi ini. Apalagi kelangsungan padepokan kita. Asal memegang teguh ilmu dan keyakinan kita, dan tidak menjadi orang terburuk, yaitu “orang yang bermuka dua, yang hadir kepada sebagian orang dengan satu muka, dan kepada sebagian yang lain dengan muka yang berbeda (HR. Bukhori-Muslim),” tegasnya.
Gareng, Petruk, dan Bagong mengangguk-angguk dengan ekspresi masing-masing./ Miladiyah Susanti

Tidak ada komentar:

Posting Komentar