Imam Syafi’i berkata,
“Aku pernah menyaksikan Imam Malik ditanya empat puluh delapan pertanyaan. Dan
untuk tiga puluh dua pertanyaan beliau menjawabnya dengan berkata, ‘Saya tidak
tahu.’ ” Begitu Romo Semar mulai wejangannya pagi ini.
Seketika ekspresi tiga
anaknya berubah. Gareng yang menggeleng-gelengkan kepala. Wajahnya berkerut,
terlihat bingung, lalu kembali datar, menatap romonya dalam diam, berharap mendapat penjelasan. Petruk mengernyitkan
kening, diam terlihat berpikir keras. Beberapa kali menggelengkan kepala, lalu
mengangguk-angguk, melepas seutas nafas berat, lalu tersenyum lebar.
“Kalo saja si Imam Malik itu seorang murid sekolah, tentu dia dicap
bodoh. Lha wong cuma seperempat dari seluruh
pertanyaan yang dijawab. Pasti jauh dari KKM, nggak lulus,” celetuk Bagong yang terlalu lugu mengelola kejujurannya.
“Kenapa dia bilang tidak tahu, padahal pasti dia telah belajar buanyak ilmu? Seharusnya, dia bisa
menjawab dengan banyak dalil yang meyakinkan, lho!”
Semar kembali berkisah.
“Imam Syafi’i berkata, “Aku ingin orang-orang dapat mengambil banyak manfaat
dari ilmu ini, dan tidak menisbahkan sesuatu pun kepadaku.” ”
Kembali Bagong menyela,
“Kalo saja Imam Syafi’i cuma seorang
guru biasa, tentu dia sangat bangga jika
banyak dikutip pendapatnya karena dianggap pakar. Wong kalo ga dikenalpun
berusaha mati-matian mempopulerkan nama dengan segala cara.”
Romo Semar melanjutkan
nukilan riwayat tentang Imam Syafi’i yang dipelajarinya dari buku Ihya’ Ulumuddin
tulisan Imam Ghazali. “Aku tidak pernah mendebat seorang pun, lalu dalam
perdebatan itu, aku merasa senang jika
lawanku tersalah. Dan aku sama sekali tidak pernah berbicara dengan seseorang,
kecuali aku sendiri selalu menginginkan agar Alloh swt menunjukkan kebenaran, baik melalui perkataanku atau ungkapannya.”
“Beda sekali ya Mo,
dengan orang sekarang. Di TV, kulihat setiap debat semua berapi-api. Yang nonton
ikut emosi. Lalu pertentangan justru meruncing berkepanjangan tak selesai.” Lagi-lagi
Bagong memotong.
“Gong! Jangan menyela
terus! Pikirkan saja dulu! Pakai akalmu untuk mengerti, lalu gunakan hati untuk
memahami! Mulutmu yang ndowoh suka cepat
komentar itu hanya akan menghalangimu dari hakikat ilmu, yang sedang
dibicarakan Romo,” sergah Petruk gemas.
“Hati-hati. Penuh pertimbangan.
Bahkan untuk sebuah pertanyaan yang tampak sederhana, hati orang alim selalu
menimbang, apakah lebih baik dijawab atau diam lebih mulia. Sungguh bukan
alternatif populer di tengah kehidupan demokratis, materialis, humanis, hedonis,
individualis, yang sekarang mengglobal. Tetapi, begitulah sejatinya ahli ilmu! Begitulah
semestinya semua guru! Seperti itu juga seygoyanya kamu menjadi orang tua bagi
anakmu. Terus menggali ilmu, bukan hanya menghafal atau terampil melakukan,
melainkan membenahi hati, mewujudkan nurani Illahi dalam setiap gerak indera
ini. Lalu tancapkan keyakinan bahwa, “Kami
tidak menghendaki balasan dari kamu dan tidak pula (ucapan) terima kasih.”
(QS.
al-Insaan:9). “Ikhlas lillaahita’ala,”
Romo Semar membantu anak-anaknya memahami makna pelajarannya.
“Ingat Petruk, jangan pongah
hanya karena orang menganggapmu pintar, bahkan sampai ada yang memandangmu pantas
menjadi ratu! Lihat Imam Abu Hanifah! Seseorang berkata, “Sungguh, Imam Abu Hanifah senantiasa
menghidupkan seluruh waktu malamnya dengan beribadah.” Mulai saat itu, beliau
selalu mengisi seluruh waktu malamnya untuk beribadah, lalu berkata, “Aku malu
disifati dengan sifat yang tidak ada padaku.”
Tiga anaknya
manggut-manggut.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar