Total Tayangan Halaman

Kamis, 13 November 2014

GURU ALIM



Imam Syafi’i berkata, “Aku pernah menyaksikan Imam Malik ditanya empat puluh delapan pertanyaan. Dan untuk tiga puluh dua pertanyaan beliau menjawabnya dengan berkata, ‘Saya tidak tahu.’ ” Begitu Romo Semar mulai wejangannya pagi ini.
Seketika ekspresi tiga anaknya berubah. Gareng yang menggeleng-gelengkan kepala. Wajahnya berkerut, terlihat bingung, lalu kembali datar, menatap romonya dalam diam, berharap mendapat penjelasan. Petruk mengernyitkan kening, diam terlihat berpikir keras. Beberapa kali menggelengkan kepala, lalu mengangguk-angguk, melepas seutas nafas berat, lalu tersenyum lebar.
Kalo saja si Imam Malik itu seorang murid sekolah, tentu dia dicap bodoh. Lha wong cuma seperempat dari seluruh pertanyaan yang dijawab. Pasti jauh dari KKM, nggak lulus,” celetuk Bagong yang terlalu lugu mengelola kejujurannya. “Kenapa dia bilang tidak tahu, padahal pasti dia telah belajar buanyak ilmu? Seharusnya, dia bisa menjawab dengan banyak dalil yang meyakinkan, lho!”
Semar kembali berkisah. “Imam Syafi’i berkata, “Aku ingin orang-orang dapat mengambil banyak manfaat dari ilmu ini, dan tidak menisbahkan sesuatu pun kepadaku.” ”
Kembali Bagong menyela, “Kalo saja Imam Syafi’i cuma seorang guru biasa, tentu  dia sangat bangga jika banyak dikutip pendapatnya karena dianggap pakar. Wong kalo ga dikenalpun berusaha mati-matian mempopulerkan nama dengan segala cara.”

Romo Semar melanjutkan nukilan riwayat tentang Imam Syafi’i yang dipelajarinya dari buku Ihya’ Ulumuddin tulisan Imam Ghazali. “Aku tidak pernah mendebat seorang pun, lalu dalam perdebatan itu, aku  merasa senang jika lawanku tersalah. Dan aku sama sekali tidak pernah berbicara dengan seseorang, kecuali aku sendiri selalu menginginkan agar Alloh swt menunjukkan kebenaran, baik melalui perkataanku atau ungkapannya.”
“Beda sekali ya Mo, dengan orang sekarang. Di TV, kulihat setiap debat semua berapi-api. Yang nonton ikut emosi. Lalu pertentangan justru meruncing berkepanjangan tak selesai.” Lagi-lagi Bagong memotong.
“Gong! Jangan menyela terus! Pikirkan saja dulu! Pakai akalmu untuk mengerti, lalu gunakan hati untuk memahami! Mulutmu yang ndowoh suka cepat komentar itu hanya akan menghalangimu dari hakikat ilmu, yang sedang dibicarakan Romo,” sergah Petruk gemas.
“Hati-hati. Penuh pertimbangan. Bahkan untuk sebuah pertanyaan yang tampak sederhana, hati orang alim selalu menimbang, apakah lebih baik dijawab atau diam lebih mulia. Sungguh bukan alternatif populer di tengah kehidupan demokratis, materialis, humanis, hedonis, individualis, yang sekarang mengglobal. Tetapi, begitulah sejatinya ahli ilmu! Begitulah semestinya semua guru! Seperti itu juga seygoyanya kamu menjadi orang tua bagi anakmu. Terus menggali ilmu, bukan hanya menghafal atau terampil melakukan, melainkan membenahi hati, mewujudkan nurani Illahi dalam setiap gerak indera ini.  Lalu tancapkan keyakinan  bahwa, “Kami tidak menghendaki balasan dari kamu dan tidak pula (ucapan) terima kasih.” (QS.  al-Insaan:9). “Ikhlas lillaahita’ala,” Romo Semar membantu anak-anaknya memahami makna pelajarannya.
“Ingat Petruk, jangan pongah hanya karena orang menganggapmu pintar, bahkan sampai ada yang memandangmu pantas menjadi ratu! Lihat Imam Abu Hanifah! Seseorang berkata,  “Sungguh, Imam Abu Hanifah senantiasa menghidupkan seluruh waktu malamnya dengan beribadah.” Mulai saat itu, beliau selalu mengisi seluruh waktu malamnya untuk beribadah, lalu berkata, “Aku malu disifati dengan sifat yang tidak ada padaku.”
Tiga anaknya manggut-manggut.

                                                                                                    Miladiyah Susanti, INFO Education

Tidak ada komentar:

Posting Komentar