Peristiwa ini berawal dari gerakan Paderi untuk
memurnikan ajaran Islam di wilayah Minangkabau, Sumatera Barat. Gerakan Paderi ini diilhami faham
Wahabi yang merebak berkembang kuat dan subur di jasirah Arab khususnya Mekkah.
Aliran Wahabi ini di bawa oleh tiga serangkai putra Minang yang naik haji pada
tahun 1803, yaitu :
- Haji Miskin berasal dari Pandaisikat ( Agam ).
- Haji Sumanik dari VIII Kota.
- Haji Piabang dari Tanah Datar.
Pendiri faham Wahabi bernama Mohammad bin Abdul Wahab ( 1703 –
1792 ). Ia berasal dari Nejed, Arabia Tengah. Pokok-pokok ajaran Wahabi
adalah :
1. Menekankan mutlaknya kepada
keesaan Allah SWT.
2.
Kembali
kepada kemurnian ajaran Islam, sesuai Al Qur’an dan Sunnah
Rosul.
3.
Mengutamakan
perbuatan baik dan menghindari perbuatan jahat.
Masyarakat Minangkabau waktu itu mengaku beragama Islam
namun melakukan kebiasaan-kebiasaan buruk yang dilarang agama Islam. Kebiasaan
–kebiasaan ini dibiarkan hidup oleh kaum adat bahkan dilestarikan, seperti
mengadu ayam, berjudi, mengisap madat dan minum tuak. Menurut kaum Paderi segala kebiasaan yang dibiarkan oleh kaum
adat itu harus dilenyapkan. Maka sejak mulai tersebarnya faham baru itu konflik
antara kaum agama dan kaum adatpun terbuka. Pertentangan pun mengarah pada kekerasan
yang berujung pecahnya perang.
Istilah Paderi
berasal dari nama tempat pusat kegiatan Islam di pantai timur Sumatra, yaitu
Pedir.
Jadi kaum Paderi adalah kaum Pedir atau kaum Putih karena selalu berpakaian serba putih. Kebetulan kaum adat suka berpakaian serba hitam. Namun menurut orang-orang Barat, Paderi berasal dari kata Portugis yaitu padre yang artinya Bapak. Umumnya orang Barat memanggil dengan sebutan Bapak untuk Pendeta mereka atau pemuka agama.
Jadi kaum Paderi adalah kaum Pedir atau kaum Putih karena selalu berpakaian serba putih. Kebetulan kaum adat suka berpakaian serba hitam. Namun menurut orang-orang Barat, Paderi berasal dari kata Portugis yaitu padre yang artinya Bapak. Umumnya orang Barat memanggil dengan sebutan Bapak untuk Pendeta mereka atau pemuka agama.
Perang ini dikenal dengan nama perang Paderi karena
perang antara kaum Paderi/ kaum putih / golongan agama melawan kaum hitam /
kaum adat dan Belanda. Kaum hitam bukan hanya kaum adat, orang Belanda yang
berkulit putih yang membantu kaum adat mereka
hitamkan. Belanda adalah ‘kafir’ yang bermaksud menduduki
Minangkabau.Tokoh-tokoh pendukung kaum Paderi selain tiga serangkai adalah
Tuanku Nan Renceh, Tuanku Kotatua, Tuanku Mesiangan, Tuanku Pasaman, Tuanku
Tambusi dan Tuanku Imam.
Jalannya
Perang Paderi dapat dibagi menjadi 3 tahapan, yaitu :
- Tahap I, tahun 1803 – 1821
Pada tahap ini bermula
dari sejak Haji Miskin membakar balai Pandaisikat yang dimuliakan oleh semua
penghulu namun biasa dipakai untuk menyabung ayam dan berjudi. Kemudian di mana
saja kaum agama mengadakan pemurnian atau larangan-larangan, kaum adat selalu
menentangnya. Karena sama-sama keras maka penyelesaian akhir dengan menggunakan
senjata. Pertempuranpun terjadi, mula-mula di daerah Batubatabuh berkembang ke
Tilatang, Ujungguguk, Padangtarab, Matur dan sampailah ke luhak Limapuluh Kota.
Ciri perang tahap pertama
ini adalah murni perang saudara, kedua belah pihak sama-sama beragama Islam.
Bedanya, kaum putih sangat mengutamakan agama, kaum hitam sangat mengutamakan
adat. Perang pada tahap ini belum ada campur tangan pihak luar dalam hal ini
Belanda.
- Tahap II, tahun 1822 – 1832
Kaum agama terus menerus
mendesak kaum adat. Di tiap kampung yang sudah ditundukkanoleh kaum putih
diangkat 2 orang alim, Tuanku Imam dan Tuanku Kadi. Tugas Tuanku Imam memimpin
upacara agama serta memberi penerangan –penerangan tentang agama. Tuanku Kadi
tugasnya sebagai hakim , ia menghukum setiap orang yang dianggap bersalah.
Karena terus-menerus
terdesak, kaum adat meminta bantuan bangsa asing, yaitu Belanda. Dengan
demikian Kaum Paderi tidak hanya menghadapi kaum adat tetapi juga menghadapi
Belanda yang membantu kaum adat, artinya Belanda diperalat kaum adat.
- Tahap III, tahun 1832 – 1838
Pada pertempuran tahap ini kaum
Paderi tidak lagi memandang kaum adat sebagai musuh besar, perang bukan lagi
pertentangan kaum adat dengan kaum agama, sifat perang bukan lagi perang
saudara. Perang pada tahap ini adalah perang semesta rakyat Minangkabau
mengusir Belanda. Melalui kekuatan rakyat yang dipimpin kaum Paderi, perang ini
merupakan perang sabil ( jihad fi sabilillah ) melawan Belanda yang ‘
kafir’.
Pada tahun 1809, Tuanku Imam mengundang rapat para
penghulu dan orang-orang terkemuka dari kawasan Alahan Panjang. Mereka sepakat
untuk mendirikan sebuah masjid yang dikelilingi benteng. Selain masjid di dalam
benteng, didirikan pula rumah-rumah penduduk. Tempat inilah yang diberi nama
Bonjol.
Tuanku Imam Bonjol ( 1772 – 1864 ) waktu mudanya bernama Peto Syarif.
Gelar yang didapat berturut-turut adalah
Malin Basa ( besar ) lalu Tuanku
Muda, akhirnya Tuanku Imam. Peto Syarif
dilahirkan di Tanjung Bunga pada
tahun 1772. Ayahnya bernama Tuanku Rajamudin. Pada tahun 1807 ia bersama
keluarga pindah ke kaki Bukit Terjadi di Alahan Panjang.
Rapat itu
selain menyepakati mendirikan benteng dan membangun masjid juga mengangkat
empat orang pembesar yang akan memerintah di Bonjol, yaitu :
- Tuanku Imam
- Tuanku Hitam
- Tuanku Nan Gapuk
- Tuanku Keluat
Keempat pembesar ini disebut Berempat
Sela atau Raja nan Berempat. Tuanku Imam diangkat karena kecerdasan
dan pengetahuannya yang dalam tentang ajaran Islam. Tiga pemimpin yang lain
karena keberaniannya. Dalam kenyataannya kemudian, Tuanku Imam yang memegang
kendali pimpinan. Pada tahun 1814, Bonjol telah berkembang semakin besar,
negeri ini menjadi ramai karena didatangi penghuni baru. Sebagai sebuah negeri
yang berbenteng, Bonjol dipersenjatai. Senjata berat ukuran waktu itu seperti
meriam ditempatkan di Bukit Terjadi yang dianggap strategis untuk
mempertahankan diri.
Dalam perang Paderi, Bonjol adalah salah satu sumber
kekuatan terpenting dari pihak kaum agama. Bonjol merupakan pusat dan benteng
dari negeri Islam. Tuanku Imam bertindak sebagai pemimpin agama, pemimpin
pemerintahan dan panglima. Kepemimpinan Tuanku Imam dalam Perang Paderi membuat
ia seorang tokoh yang paling disegani oleh pihak kawan maupun lawan.
Pada
tahun 1837 adalah tahun yang amat menentukan dalam pertempuran Bonjol. Gubernur
Jenderal D.J. de Eerens ( 1836
–1840 ) memerintahkan Mayor Jenderal F.D Cochius berangkat ke Sumatera
Barat untuk mencari jalan mengakhiri Perang Paderi. Siasat yang digunakan
Belanda untuk merebut Bonjol adalah :
1. Perundingan,
siasat ini bagi Belanda untuk mengulur waktu memperluat diri dan menunggu
datangnya bala
bantuan.
2. Merebut
negeri-negeri di sekitar Bonjol, maksudnya ialah untuk memutuskan masuknya
perbekalan ke
Bonjol. Kemudian membuat kubu-kubu untuk mengimbangi kubu-kubu kaum
Paderi di Bonjol
terutama di Bukit Terjadi.
3. Menakhukkan lebih
dahulu Bukit Terjadi yang merupakan sarang meriam-meriam kubu
Paderi, sebagai
urat nadi pertahanan Bonjol.
Akhirnya dengan jatuhnya Bukit Terjadi, Paderi Bonjol
sudah tidak berdaya. Pada tanggal 16 Agustus 1837, jam 8 pagi, Bonjol secara
keseluruhan diduduki Belanda. Tuanku
Imam mengungsi ke Marapak. Pada tanggal 28 Oktober 1837 Tuanku Imam memenuhi
undangan Residen Padang, Francis untuk bertemu di Pelupuh. Pertemuan itu
berakhir dengan penangkapan Tuanku Imam, yang langsung di bawa ke Padang.
Selanjutnya atas perintah Letkol Michiels, Tuanku Imam diasingkan ke Cianjur,
Jawa pada tahun 1838. Kemudian pada tahun 1839 dipindah ke Ambon. Tiga tahun
kemudian dipindah ke Manado sampai meninggal pada tanggal 6 Nopember 1964 pada
usia 92 tahun.
Badrika, Wayan . 2000. Sejarah Nasional Indonesia dan
Umum 2, Jakarta: Penerbit Erlangga
Depdiknas. 2005. Materi
Pelatihan Terintegrasi IPS Sejarah. Jakarta: Direktorat PLP.
Helius Syamsuddin M.A., Drs., 1975. Perang Paderi.
Jakarta : PT Mutiara Sumber Widya.
KS, Tugiyono, Sutrisno Kutoyo, Alex Pelatta. 1984. Atlas
dan Lukisan Sejarah Nasional
Indonesia. Jakarta
: CV Baru
Mardjani Martamin, Drs. 1985. Tuanku Imam Bonjol. Jakarta :
Departeemen Pendidikan dan
Kebudayaan.
Marwati Djoenet P. & Nugroho
Noto Susanto. 1993. Sejarah Nasional Indonesia VI. Jakarta: Balai Pustaka
Ricklefs, M.C., 2005. A History of Modern Indonesia
Since c. 1200. alih bahasa Satrio
Wahono dkk. Sejarah
Indonesia Modern 1200 – 2004,
Jakarta : PT Serambi Ilmu
Semesta.
Cuma yang bagus-bagusnya saja, atau memang gerombolan si imam tidak ada mengumbar intoleransi, kebiadaban, dst? Duluan mana gerombolan itu serang dan bantai habis: Belanda atau Negeri Bakkara Batak?
BalasHapus