Perang Banjar (
1859 – 1905 )
Kerajaan Banjar terletak di Kalimantan dengan pusat
pemerintahannya di tepi sungai Barito, kota Banjarmasin. Pendiri kerajaan
Banjar adalah Sultan Suriansyah pada
tahun 1595, yang wilayahnya meliputi seluruh Kalimantan Selatan dan Kalimantan
Tengah serta beberapa daerah di Kalimantan Barat dan Kalimantan Timur. Banjar
masin sebagai ibukotanya merupakan sebuah Bandar yang ramai dan sebagai kota
dagang yang sibuk.
Kapal
Belanda pertama kali datang ke Banjarmasin sekitar abad ke –16, begitu mengenal
daerah tersebut sebagai penghasil lada dan batu bara langsung tertarik. Pada
tanggal 14 Pebruari 1606 datang lagi kapal Belanda di bawah pimpinan Gillis
Michielszoon, mula-mula sebatas hubungan dagang, namun pada perkembangan
selanjutnya mengarah pada monopoli dan menguasai wilayah.
Campur tangan
pemerintah Belanda dalam urusan pergantian kekuasaan di Banjar merupakan
biang perpecahan. Sewaktu Sultan Adam Al Wasikbillah menduduki tahta kerajaan
Banjar ( 1825 – 1857 ), putra mahkota yang bernama Sultan Muda Abdurrakhman
meninggal dunia. Dengan demikiancalon berikutnya adalah putra Sultan Muda
Abdurrakhman atau cucu Sultan Adam. Yang
menjadi masalah adalah cucu Sultan Adam dari putra mahkota ada dua orang, yaitu
Pangeran Hidayatulloh dan Pangeran Tamjid.
Cucu Sultan Adam Al Wasikbillah ada 2 orang, yaitu :
1.
Pangeran
Hidayatulloh, putra Sultan Muda Abdurrakhman dengan permaisuri putri keraton Ratu Siti, Putri dari Pangeran
Mangkubumi Nata.
2.
Pangeran
Tamjid adalah putra Abdurrakhman dengan istri wanita biasa keturunan China yang
bernama Nyai Aminah.
Sultan Adam cenderung
untuk memilih Pangeran Hidayatulloh, dengan alasan dia memiliki perangai yang
baik, tatat beragama, luas pengetahuan dan disukai rakyat. Sebaliknya Pangeran
Tamjid kelakuannya kurang terpuji, kurang taat beragama dan bergaya hidup
kebarat-baratan meniru orang Belanda. Justru Pangeran Tamjid inilah yang dekat
dengan Belanda dan dijagokan oleh Belanda. Belanda menekan kepada Sultan Adam
disertai ancaman supaya mengangkat Pangeran Tamjid.
Di mana-mana timbul suara
ketidakpuasan masyarakat terhadap Sultan Tamjidillah II (gelar Sultan Tamjid
setelah naik tahta) dan kebencian rakyat terhadap Belanda. Kebencian rakyat lama-lama
berubah menjadi bentuk perlawanan yang terjadi di mana-mana. Perlawanan
tersebut ternyata dipimpin oleh seorang figure yang didambakan rakyat, yaitu
Pangeran Antasari. Pangeran Antasari adalah cucu Pangeran Amir, pewaris utama
kerajaan Banjar, yang karena kelicikan Belanda, tahta kerajaan jatuh pada
Pangeran Nata.
Pangeran Hidayatulloh secara terang-terangan menyatakan
memihak kepada Pangeran Antasari. Bentuk perlawanan rakyat terhadap Belanda
mulai berkobar sekitar tahun 1859.
Pangeran Antasari selain didukung oleh Pangeran Hidayatulloh, diperkuat oleh
Kyai Demang Lehman, Haji Nasrun, Haji Buyasin, dan Kyai Langleng. Penyerangan
diarahkan pada pos-pos tentara milik Belanda dan pos-pos missi Nasrani. Benteng Belanda di Tabania berhasil direbut
dan dikuasai. Tidak lama kemudian datang bantuan tentara Belanda dari Jawa yang
dipimpin oleh Verspick, berhasil membalik keadaan setelah terjadi pertempuran
sengit.
Akibat musuh terlalu kuat, beberapa orang pemimpin
perlawanan yang membantu Pangeran Antasari ditangkap. Pangeran Hidayatulloh
ditawan oleh Belanda pada tanggal 3 Maret
1862, dan diasingkan ke Cianjur, Jawa-Barat. Dengan tertawannya Pangeran
Hidayatulloh bukan berarti perlawanan sudah berakhir. Perang terus dilanjutkan
oleh Pangeran Antasari yang oleh rakyat kemudian diangkat sebagai Sultan dengan
gelar Panembahan Amiruddin Khalifatul Mu’minin. Antasari bersumpah; Waja Sampai
Kaputing, harus tetap dilaksanakan. Perjuangan harus diteruskan, haram menyerah
kepada Wolanda.
Pada tanggal 11 Oktober 1862, Pangeran Antasari wafat
karena sakit, dimakamkan di dekat benteng pertahanannya yang terakhir di Bayan
Begog, ulu Sungai Teweh, Kalimantan Tengah. Sepeninggal Pangeran Antasari, para
pemimpin rakyat mufakat sebagai penggantinya
adalah Gusti Mohammad Seman, putera Pangeran Antasari.
Perang Banjar ternyata membuat Belanda menderita kerugian
cukup besar. Pengakuan Belanda sendiri mengatakan bahwa selama Perang Banjar
sampai Pangeran Antasari meninggal dunia, kurang lebih 3,5 tahun, Belanda rugi
sampai 3.000 tentara yang mati, diantaranya 136 orang opsir Belanda, lebih dari
1.000 orang serdadu kulit putih dan 50 orang Afrika sebagai tentara bayaran
yang di sewa Belanda.
4. Perang Bali
Para
penguasa Bali pada masa sekitar abad ke –18 merupakan hal yang biasa menerapkan
hak tawan karang. Pada waktu itu kerajaan Buleleng dipimpin oleh raja I
Gusti Ngurah Made dan patihnya bernama I Gusti Ketut Jelantik. Baik raja maupun
patihnya memiliki sikap anti terhadap penjajah Belanda.
Hak tawan karang
adalah hak yang menyatakan bahwa kerajaan-kerajaan Bali berhak merampas
dan menyita barang-barang serta kapal-kapal yang terdampar dan kandas di
wilayah perairannya di pulau Bali.
Pada
tahun 1844, sebuah kapal dagang Belanda kandas di daerah Prancak ( daerah
Jembara), yang saat itu berada di bawah kekuasaan kerajaan Buleleng yang
memberlakukan hak tawan karang. Dengan demikian, kapal dagang
Belanda tersebut menjadi haknya kerajaan Buleleng. Peristiwa inilah sebagai awal sengketa antara
penguasa Bali dengan Belanda. Pemerintah kolonial Belanda memprotes raja
Buleleng yang dianggap merampas kapal Belanda, namun tidak dihiraukan. Insiden
inilah yang memicu pecahnya perang Bali, atau dikenal juga dengan nama Perang
Jagaraga.
Belanda melakukan penyerangan terhadap pulau Bali pada
tahun 1846, yang menjadi sasaran pertama dan utama adalah kerajaan Buleleng.
Patih I Gusti Ketut Jelantik beserta pasukan menghadapi serbuan Belanda dengan
gigih. Pertempuran yang begitu heroik terjadi di Jagaraga yang merupakan salah
satu benteng tertahanan Bali. Akhirnya pasukan I Gusti Ketut Jelantik terdesak
dan mengundurkan diri ke daerah luar benteng Jagaraga.
Jatuhnya
benteng Jagaraga ke pihak Belanda, waktu itu pasukan Belanda dipimpin oleh
Jenderal Mayor A.V. Michiels dan sebagai wakilnya adalah Van
Swieten. Raja Buleleng dan patih dapat meloloskan diri dari kepungan
pasukan Belanda, menuju Karangasem. Setelah Buleleng secara keseluruhan dapat
dikuasai, Belanda kemudian berusaha menaklukkan kerajaan-kerajaan lainnya di
pulau Bali. Ternyat perlawanan sengit dari rakyat setempat membuat pihak
Puputan adalah pensucian diri secara keagamaan untuk menyongksong
kematian dengan berpakaian seba putih dan hanya dengan bersenjatakan tombak dan
keris, bertempur sampai titik darah penghabisan.
DAFTAR PUSTAKA
Badrika, Wayan . 2000. Sejarah Nasional Indonesia dan
Umum 2, Jakarta: Penerbit Erlangga
Depdiknas. 2005. Materi
Pelatihan Terintegrasi IPS Sejarah. Jakarta: Direktorat PLP.
Hamlan Arpan, H., 1992.
Pangeran Antasari.
Jakarta: PT Mutiara Sumber Widya.
KS, Tugiyono, Sutrisno Kutoyo, Alex Pelatta. 1984. Atlas
dan Lukisan Sejarah Nasional
Indonesia. Jakarta
: CV Baru
Marwati Djoenet P. & Nugroho
Noto Susanto. 1993. Sejarah Nasional Indonesia VI. Jakarta: Balai Pustaka
Ricklefs, M.C., 2005. A History of Modern Indonesia
Since c. 1200. alih bahasa Satrio
Wahono dkk. Sejarah
Indonesia Modern 1200 – 2004,
Jakarta : PT Serambi Ilmu
Semesta.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar