Total Tayangan Halaman

Kamis, 21 Maret 2013

PERANG BANJAR DAN PERANG BALI


Perang Banjar  ( 1859 – 1905 )

            Kerajaan Banjar terletak di Kalimantan dengan pusat pemerintahannya di tepi sungai Barito, kota Banjarmasin. Pendiri kerajaan Banjar adalah Sultan Suriansyah  pada tahun 1595, yang wilayahnya meliputi seluruh Kalimantan Selatan dan Kalimantan Tengah serta beberapa daerah di Kalimantan Barat dan Kalimantan Timur. Banjar masin sebagai ibukotanya merupakan sebuah Bandar yang ramai dan sebagai kota dagang yang sibuk.

            Kapal Belanda pertama kali datang ke Banjarmasin sekitar abad ke –16, begitu mengenal daerah tersebut sebagai penghasil lada dan batu bara langsung tertarik. Pada tanggal 14 Pebruari 1606 datang lagi kapal Belanda di bawah pimpinan Gillis Michielszoon, mula-mula sebatas hubungan dagang, namun pada perkembangan selanjutnya mengarah pada monopoli dan menguasai wilayah.
            Campur tangan  pemerintah Belanda dalam urusan pergantian kekuasaan di Banjar merupakan biang perpecahan. Sewaktu Sultan Adam Al Wasikbillah menduduki tahta kerajaan Banjar ( 1825 – 1857 ), putra mahkota yang bernama Sultan Muda Abdurrakhman meninggal dunia. Dengan demikiancalon berikutnya adalah putra Sultan Muda Abdurrakhman  atau cucu Sultan Adam. Yang menjadi masalah adalah cucu Sultan Adam dari putra mahkota ada dua orang, yaitu Pangeran Hidayatulloh dan Pangeran Tamjid.
Cucu Sultan Adam Al Wasikbillah ada 2 orang, yaitu  :
1.      Pangeran Hidayatulloh, putra Sultan Muda Abdurrakhman dengan permaisuri putri  keraton Ratu Siti, Putri dari Pangeran Mangkubumi Nata.
2.      Pangeran Tamjid adalah putra Abdurrakhman dengan istri wanita biasa keturunan China yang bernama Nyai Aminah.

Sultan Adam cenderung untuk memilih Pangeran Hidayatulloh, dengan alasan dia memiliki perangai yang baik, tatat beragama, luas pengetahuan dan disukai rakyat. Sebaliknya Pangeran Tamjid kelakuannya kurang terpuji, kurang taat beragama dan bergaya hidup kebarat-baratan meniru orang Belanda. Justru Pangeran Tamjid inilah yang dekat dengan Belanda dan dijagokan oleh Belanda. Belanda menekan kepada Sultan Adam disertai ancaman supaya mengangkat Pangeran Tamjid.
Di mana-mana timbul suara ketidakpuasan masyarakat terhadap Sultan Tamjidillah II (gelar Sultan Tamjid setelah naik tahta) dan kebencian rakyat terhadap Belanda. Kebencian rakyat lama-lama berubah menjadi bentuk perlawanan yang terjadi di mana-mana. Perlawanan tersebut ternyata dipimpin oleh seorang figure yang didambakan rakyat, yaitu Pangeran Antasari. Pangeran Antasari adalah cucu Pangeran Amir, pewaris utama kerajaan Banjar, yang karena kelicikan Belanda, tahta kerajaan jatuh pada Pangeran Nata.

            Pangeran Hidayatulloh secara terang-terangan menyatakan memihak kepada Pangeran Antasari. Bentuk perlawanan rakyat terhadap Belanda mulai berkobar  sekitar tahun 1859. Pangeran Antasari selain didukung oleh Pangeran Hidayatulloh, diperkuat oleh Kyai Demang Lehman, Haji Nasrun, Haji Buyasin, dan Kyai Langleng. Penyerangan diarahkan pada pos-pos tentara milik Belanda dan pos-pos missi Nasrani.  Benteng Belanda di Tabania berhasil direbut dan dikuasai. Tidak lama kemudian datang bantuan tentara Belanda dari Jawa yang dipimpin oleh Verspick, berhasil membalik keadaan setelah terjadi pertempuran sengit.
            Akibat musuh terlalu kuat, beberapa orang pemimpin perlawanan yang membantu Pangeran Antasari ditangkap. Pangeran Hidayatulloh ditawan oleh Belanda pada tanggal 3 Maret  1862, dan diasingkan ke Cianjur, Jawa-Barat. Dengan tertawannya Pangeran Hidayatulloh bukan berarti perlawanan sudah berakhir. Perang terus dilanjutkan oleh Pangeran Antasari yang oleh rakyat kemudian diangkat sebagai Sultan dengan gelar Panembahan Amiruddin Khalifatul Mu’minin. Antasari bersumpah; Waja Sampai Kaputing, harus tetap dilaksanakan. Perjuangan harus diteruskan, haram menyerah kepada Wolanda.
            Pada tanggal 11 Oktober 1862, Pangeran Antasari wafat karena sakit, dimakamkan di dekat benteng pertahanannya yang terakhir di Bayan Begog, ulu Sungai Teweh, Kalimantan Tengah. Sepeninggal Pangeran Antasari, para pemimpin rakyat mufakat sebagai penggantinya  adalah Gusti Mohammad Seman, putera Pangeran Antasari.
            Perang Banjar ternyata membuat Belanda menderita kerugian cukup besar. Pengakuan Belanda sendiri mengatakan bahwa selama Perang Banjar sampai Pangeran Antasari meninggal dunia, kurang lebih 3,5 tahun, Belanda rugi sampai 3.000 tentara yang mati, diantaranya 136 orang opsir Belanda, lebih dari 1.000 orang serdadu kulit putih dan 50 orang Afrika sebagai tentara bayaran yang di sewa Belanda.

4. Perang Bali
            Pulau Bali sekitar abad ke –19, terdapat beberapa kerajaan kecil antara lain kerajaan Buleleng, kerajaan Karang Asem, kerajaan Klungkung, kerajaan Gianyar, kerajaan Badung, kerajaan Tabanan, kerajaan Jembrana dan kerajaan Bangli. Perhatikan pada peta berikut letak kerajaan-kerajaan di Bali.

            Para penguasa Bali pada masa sekitar abad ke –18 merupakan hal yang biasa menerapkan hak tawan karang. Pada waktu itu kerajaan Buleleng dipimpin oleh raja I Gusti Ngurah Made dan patihnya bernama I Gusti Ketut Jelantik. Baik raja maupun patihnya memiliki sikap anti terhadap penjajah Belanda.

Hak tawan karang  adalah hak yang menyatakan bahwa kerajaan-kerajaan Bali berhak merampas dan menyita barang-barang serta kapal-kapal yang terdampar dan kandas di wilayah perairannya di pulau Bali.

            Pada tahun 1844, sebuah kapal dagang Belanda kandas di daerah Prancak ( daerah Jembara), yang saat itu berada di bawah kekuasaan kerajaan Buleleng yang memberlakukan hak tawan karang. Dengan demikian, kapal dagang Belanda tersebut menjadi haknya kerajaan Buleleng.  Peristiwa inilah sebagai awal sengketa antara penguasa Bali dengan Belanda. Pemerintah kolonial Belanda memprotes raja Buleleng yang dianggap merampas kapal Belanda, namun tidak dihiraukan. Insiden inilah yang memicu pecahnya perang Bali, atau dikenal juga dengan nama Perang Jagaraga.
            Belanda melakukan penyerangan terhadap pulau Bali pada tahun 1846, yang menjadi sasaran pertama dan utama adalah kerajaan Buleleng. Patih I Gusti Ketut Jelantik beserta pasukan menghadapi serbuan Belanda dengan gigih. Pertempuran yang begitu heroik terjadi di Jagaraga yang merupakan salah satu benteng tertahanan Bali. Akhirnya pasukan I Gusti Ketut Jelantik terdesak dan mengundurkan diri ke daerah luar benteng Jagaraga.
            Jatuhnya benteng Jagaraga ke pihak Belanda, waktu itu pasukan Belanda dipimpin oleh Jenderal Mayor A.V. Michiels dan sebagai wakilnya adalah Van Swieten. Raja Buleleng dan patih dapat meloloskan diri dari kepungan pasukan Belanda, menuju Karangasem. Setelah Buleleng secara keseluruhan dapat dikuasai, Belanda kemudian berusaha menaklukkan kerajaan-kerajaan lainnya di pulau Bali. Ternyat perlawanan sengit dari rakyat setempat membuat pihak
Belanda cukup kewalahan. Perang puputan pecah dimana-mana, seperti Perang Puputan Kusamba ( 1849 ), Perang Puputan Badung ( 1906 ), dan Perang Puputan Klungkung ( 1908 ).
           
Puputan adalah pensucian diri secara keagamaan untuk menyongksong kematian dengan berpakaian seba putih dan hanya dengan bersenjatakan tombak dan keris, bertempur sampai titik darah penghabisan.

            Perang Puputan Kusamba yang terjadi pada tahun 1849, merupakan benteng pertahanan kerajaan klungkung di daerah selatang. Ternyata mampu memberi perlawanan cukup seru dari serbuan Belanda. Pasukan Belanda cukup kerepotan bahkan Jenderal A.V. Michiels  mendapat luka-luka serius. Namun dalam selang tak seberapa lama, gempuran pasukan Belanda berikutnya mampu menaklukkan dan menduduki benteng Kusamba.
            Perang puputan Badung yang terjadi pada tahun 1906, bermula dari pelaksanaan hak tawan karang   terhadap kapal Belanda yang kandas di pantai Sanur. Raja Badung yang bernama Ida Cokorde Ngurah Gede menolak tuntutan ganti rugi yang diminta Belnda. Raja Bandung telah menimbang-nimbang segala resika yang akan terjadi akibat penolakannya itu. Dengan demikian persiapan segera dilaksanakan untuk menghadapi segala kemingkinan, perang puputan telah menjadi suatu tekad dan tugas suci. Pasukan Belanda benar-benar datang mendarat di pantai Sanur dan terus merangsak ke pusat kerajaan Badung. Pasukan Belanda mendapat perlawanan rakyat Bandung yang bertempur mati-matian, baik lai-laki, wanita dan anak-anak yang berpakaian serba putih. Senjata yang mereka gunakan hanyalah berupa keris dan tombak, untuk menghadapi senapan dan meriam. Ketika senapan-senapan pihak kolonial Belanda menewaskan raja dan keluarga, termasuk kaum wanita dan anak-anak, yang masih hidup sengaja menyempatkan membunuh keluarga  yang terluka, dan kemudian bergerak ke medan pertempuran lagi sampai hampir semuanya mati.
            Langkah berikut, Belanda beruhasa menaklukkan kerajaan Tabanan. Ternyata di Tabanan, Belanda juga mendapat perlawanan yang tak kalah hebatnya dari perlawanan kerajaan Badung. Setelah melalui pertempuran yang gigih, raja Tabanan menyerah tetapi kemudian melakukan bunuh diri bersama putranya. Peristiwa heroisme diTabanan ini dikenal  dengan nama Balikan Wongaya.
            Hebatnya, pada tahun 1908, kerajaan Klungkung bangkit di bawah pimpinan raja senior Dewa Agung, mengobarkan perlawanan mengusir penjajah Belanda. Belanda dengan senjata lengkap dan modern berusaha menaklukkan kerajaan Klungkung dengan segera. Yang dihadapi adalah perang puputan, sehingga Belanda begitu waspada dan khawatir. Korban pun banyak berjatuhan dikedua belah pihak,  Belanda menanggung kerugian baik harta dan nyawa yang tidak sedikit. Apalagi sikap dan jiwa perang puputan ini terus berkobar dihati sanubari generasi berikut, bertekad mengusir penjajah dari tanah Bali.


DAFTAR PUSTAKA
             
Badrika, Wayan . 2000. Sejarah Nasional Indonesia dan Umum 2, Jakarta: Penerbit Erlangga

Depdiknas. 2005. Materi Pelatihan Terintegrasi IPS Sejarah. Jakarta: Direktorat PLP.

Hamlan Arpan, H., 1992.  Pangeran Antasari.  Jakarta:  PT Mutiara Sumber Widya.

KS, Tugiyono, Sutrisno Kutoyo, Alex Pelatta. 1984. Atlas dan Lukisan Sejarah Nasional
Indonesia. Jakarta : CV Baru

Marwati Djoenet P. & Nugroho Noto Susanto. 1993. Sejarah Nasional Indonesia VI.        Jakarta: Balai Pustaka

Ricklefs, M.C., 2005. A History of Modern Indonesia Since c. 1200.  alih bahasa  Satrio
Wahono dkk. Sejarah Indonesia Modern  1200 – 2004, Jakarta : PT Serambi Ilmu
Semesta.


 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar