Kepastian berita kekalahan Jepang terjawab ketika tanggal 15 Agustus
1945 dini hari, Sekutu mengumumkan bahwa Jepang sudah menyerah tanpa syarat dan
perang telah berakhir. Berita tersebut
diterima melalui siaran radio di Jakarta oleh para pemuda yang termasuk
orang-orang Menteng Raya 31 seperti Chaerul Saleh, Abubakar Lubis, Wikana dan
lainnya. Penyerahan Jepang atas Sekutu menghadapkan para pemimpin Indonesia
pada masalah yang cukup berat, Indonesia mengalami kekosongan kekuasaan (vocuum of power). Jepang masih tetap
berkuasa atas Indonesia meskipun telah menyerah, sementara pasukan Sekutu yang
akan menggantikan mereka belum datang. Gunseikan telah mendapat
perintah-perintah khusus agar mempertahankan status quo sampai
kedatangan pasukan Sekutu.
Adanya kekosongan kekuasaan menyebabkan munculnya konflik antara
golongan muda dan golongan tua mengenai masalah kemerdekaan Indonesia. Golongan
muda menginginkan agar proklamasi kemerdekaan segera dikumandangkan. Mereka itu
antara lain Sukarni, BM Diah, Yusuf Kunto, Wikana, Sayuti Melik, Adam Malik dan
chaerul Shaleh. Sedangkan golongan tua menginginkan proklamasi kemerdekaan
harus dirapatkan dulu dengan anggota PPKI. Mereka adalah Ir. Soekarno, Drs.
Moh. Hatta, Mr. Ahmad Subardjo, Mr. Moh. Yamin, Dr. Buntaran, Dr. Syamsi dan
Mr. Iwa Kusumasumantri.
Soekarno-Hatta dan golongan tua ragu-ragu tentang apa yang harus
dilakukan serta berusaha mencegah konflik dengan pihak Jepang. Laksamana Madya
Maeda, seorang perwira tinggi Angkatan Laut Jepang di Jakarta, menghendaki pengalihan kekuasaan secara cepat
kepada generasi tua, karena merasa khawatir terhadap kelompok muda yang
dianggapnya berbahaya. Di sisi lain para pemimpin pemuda menginginkan suatu
pernyataan kemerdekaan secara dramatis di luar kerangka yang disusun oleh pihak
Jepang, dalam hal ini mereka di dukung
oleh Syahrir.
Golongan muda mengadakan rapat di salah
satu ruangan Lembaga Bakteriologi di Pegangsaan Timur, Jakarta ( sekarang
gedung Fakultas Kedokteran UI, Jakarta ) pada tanggal 15 Agustus 1945 pukul
20.00 WIB. Rapat tersebut dipimpin oleh Chairul Saleh yang menghasilkan
keputusan tuntutan-tuntutan golongan muda yang menegaskan bahwa kemerdekaan
Indonesia adalah hal dan soal rakyat Indonesia sendiri, tidak dapat
digantungkan kepada bangsa lain. Segala ikatan, hubungan dan janji kemerdekaan
harus diputus dan sebaliknya perlu mengadakan rundingan dengan Ir. Soekarno dan Mohammad Hatta agar kelompok
pemuda diikutsertakan dalam menyatakan
proklamasi. Langkah selanjutnya malam itu juga sekitar jam 22.00 WIB Wikana dan
Darwis mewakili kelompok muda mendesak Soekarno agar bersedia melaksanakan
proklamasi kemerdekaan Indonesia secepatnya lepas dari Jepang. Ternyata usaha
tersebut gagal. Soekarno tetap tidak mau memproklamasikan kemerdekaan.
Kuatnya pendirian Ir Soekarno untuk tidak
memproklamasikan kemerdekaan sebelum rapat PPKI menyebabkan golongan muda
berpikir bahwa golongan tua mendapat pengaruh dari Jepang. Kemudian golongan
muda mengadakan rapat di jalan Cikini 71 Jakarta pada pukul 24.00 Wib menjelang
tanggal 16 Agustus 1945. Rapat tersebut menghasilkan keputusan bahwa Ir.
Soekarno dan Drs. Moh. Hatta harus diamankan dari pengaruh Jepang.
Pada tanggal 16 Agustus 1945 pagi, Soekarno dan Hatta tidak dapat ditemukan
di Jakarta. Mereka telah dibawa oleh para pemimpin pemuda, diantaranya
Soekarni, Jusuf Kunto dan Syodanco Singgih, pada malam harinya ke garnisun Peta
(Pembela Tanah Air) di Rengasdengklok, sebuah kota kecil yang terletak sebelah
Utara Kerawang. Pemilihan Rengasdengklok sebagai tempat pengamanan
Soekarno-Hatta, didasarkan pada perhitungan militer. Antara anggota Peta
Daidan Purwakarta dan Daidan Jakarta terdapat hubungan erat sejak keduanya
melakukan latihan bersama. Secara geografis, Rengasdengklok letaknya terpencil,
sehingga dapat dilakukan deteksi dengan mudah setiap gerakan tentara Jepang
yang menuju Rengasdengklok, baik dari arah Jakarta, Bandung atau Jawa Tengah.
Tujuan para pemuda mengamankan Soekarno-Hatta
ke Rengasdengklok antara lain:
v Agar ke dua tokoh
tersebut tidak terpengaruh Jepang
v Mendesak keduanya
supaya segera memproklamirkan kemerdekaan Indonesia terlepas dari segala ikatan
dengan Jepang.
Perbedaan waktu, kapan proklamasi kemerdekaan dilaksanakan menyebabkan
terjadinya peristiwa Rengasdengklok. Golongan tua, dalam hal ini diwakili
Soekarno-Hatta, tetap pada pendiriannya,
bahwa proklamasi kemerdekaan dilaksanakan setelah rapat PPKI tanggal 18 Agustus
1945. Sikap tersebut beralasan karena apabila proklamasi kemerdekaan dilaksanakan
di luar PPKI, maka Negara Indonesia Merdeka tersebut harus dipertahankan dari
Sekutu (NICA) yang akan mendarat di Indonesia dan sekaligus tentara Jepang yang
ingin mempertahankan jajahannya atas Indonesia. Dengan demikian Negara
Indonesia Merdeka harus dipertahankan terhadap dua lawan sekaligus. Akan
berbeda apabila proklamasi kemerdekaan dilaksanakan melalui sidang PPKI, karena
Jepang tidak akan memusuhinya. Sementara itu golongan muda menginginkan
kemerdekaan diumumkan secepatnya, paling lambat tanggal 16 Agustus 1945. Ini
artinya tanggal 17 Agustus 1945 sebetulnya di luar kehendak kedua golongan
tersebut.
Yang menarik untuk
diperhatikan, meskipun Soekarno-Hatta telah diamankan ke Rengasdengklok, mereka
tetap belum mau memproklamasikan kemerdekaan. Hal ini disebabkan keduanya belum
yakin akan berita yang diberikan pemuda tentang menyerahnya Jepang kepada
Sekutu. Di samping itu berita resmi dari Jepang belum mereka peroleh.
Sementara itu Mr. Ahmad Soebardjo, seorang tokoh golongan tua merasa
prihatin atas kondisi bangsanya dan terpanggil untuk mengusahakan agar
proklamasi kemerdekaan dapat dilaksanakan secepat mungkin. Untuk tercapainya
maksud tersebut Soekarno-Hatta harus segera dibawa ke Jakarta. Akhirnya Ahmad
Soebardjo, Sudiro dan Yusuf Kunto segera menuju Rengasdengklok. Rombongan
tersebut tiba di Rengasdengklok pukul 17.30 WIB. Peranan Ahmad Soebardjo sangat
penting dalam peristiwa kembalinya Soekarno-Hatta ke Jakarta, sebab mampu
meyakinkan para pemuda bahwa proklamasi kemerdekaan akan dilaksanakan keesokan
harinya paling lambat pukul 12.00 WIB, nyawanya sebagai jaminan. Akhirnya
Subeno sebagai komandan kompi Peta setempat bersedia melepaskan Soekarno-Hatta
ke Jakarta.
Dalam Peristiwa Rengasdengklok terjadi
perbedaan pendapat antara golongan tua dan golongan muda tentang waktu
pelaksanaan proklamasi kemerdekaan. Golongan tua lebih berhati-hati dan penuh
perhitungan, sedangkan golongan muda
cenderung bersifat revolusioner. Pada akhirnya kedua golongan menyadari
posisinya masing-masing sehingga dapat bekerjasama untuk mewujudkan Indonesia
yang merdeka.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar