Oleh : Miladiyah Susanti
Togog tergopoh-gopoh berjalan keluar rumah sambil mengepit erat map biru. Wajahnya kusut. bibirnya cemberut, pantulan isi hati yang sedang sengkarut. Beberapa puluh meter dari pintu rumah, datang Gareng yang juga terlihat sedang gelisah.
Togog tergopoh-gopoh berjalan keluar rumah sambil mengepit erat map biru. Wajahnya kusut. bibirnya cemberut, pantulan isi hati yang sedang sengkarut. Beberapa puluh meter dari pintu rumah, datang Gareng yang juga terlihat sedang gelisah.
“Kebetulan
ketemu, aku mau ke rumah Wa Togog!” sapa Gareng.
”Wah,
aku sedang terburu-buru mau ke rumah Guru Sangkuni. Kalau sampai telat, pasti
aku gagal lagi jadi PNS,” jawab Togog sambil terus berjalan.
“Sebentar
saja, Wa! Ini tentang anakku Kompleng yang habis dikeroyok temannya saat sedang
pelajaranmu?” sergah Gareng.
“Yang
penting si Kompleng ndak apa-apa.
Lukanya ndak serius dan sudah
diobati. Sekarang ini deadline
untukku mengumpulkan berkas-berkas, bukti pengabdianku sebagai guru honorer
selama 20 tahun untuk kepentingan ferifikasi. Inilah ujung asaku bisa diangkat
menjadi PNS, Reng,” kata Togog memelas.
“Wa
Togog kok nyepelekke. Kompleng itu anakku,
Wa. Aku mau tahu, bagaimana mungkin saat jam pelajaran kok dia dihajar sama
teman-temannya? Apa yang Wa Togog lakukan waktu itu?” Intonasi Gareng meninggi.
Togog
terus berjalan. Kaki Gareng terseok-seok mencoba mengimbangi langkah. “Sudah
sering si Kompleng diledek oleh anak itu karena tubuhnya yang kurus dan hitam.
Sudah sering pula aku menasehati anak-anak untuk tidak suka ledek-ledekan. Aku
juga sudah ajarkan Kompleng agar bersabar, tidak membalas dengan perbuatan yang
sama. Tapi, kemarin entah kenapa, si Kompleng membalas dengan menantang
berantem satu lawan satu. Jadilah anak-anak itu mengeroyoknya. Kebetulan waktu
itu aku sedang ke kantor guru,” tutur Togog sambil terus berjalan. Nafasnya
tersengal-sengal. Ekor matanya menangkap ekspresi wajah Gareng memerah, mulut melongo,
dan tak lagi mengejarnya. Langkahnya pun tertahan. “Heh! Reng, jangan marah! Aku
sama sekali tidak menyepelekan kasus si Kompleng. Besok akan kujelaskan
semuanya detil. Aku pasti bertanggung jawab. Tapi sekarang, tolong biarkan aku
mengurus nasibku dulu. Tolong ngerti aku juga. Hampir 20 tahun mengabdi jadi
guru honorer, upahku bahkan tak cukup untuk makan. Kau tega menunjuk hidungku,
melempar semua kesalahan dalam kasus si Kompleng ini hanya kepadaku? Di luar
sana mungkin anak-anakku juga diledek teman-temannya karena miskin ndak pernah bisa jajan,” tuturnya kian sendu.
Gareng
speechless. Geleng-geleng sambil
komat-kamit, “Astaghfirulloh. Hasbunalloh
wa ni’mal wakil. Hasbunalloh wa ni’mal wakil”. Gusti Pangeran, cukup Engkau
yang menolongku dan anakku. Bagaimana aku bisa minta pertanggungjawaban Wa
Togog sebagai guru si Kompleng, ketika ia sendiri masih pusing memikirkan
kebutuhan pokoknya?” Gareng berbalik arah, kembali terseok-seok menuju rumah
sambil terus komat-kamit. “Hasbunalloh wa
ni’mal wakil.”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar