Refleksi Miladiyah Susanti
Bagong
merah padam. Mata beloknya memancar garang. Gigi geliginya gemeletuk menahan
gelegak amarah. Diseretnya tangan Petruk, lalu didorongnya keras hingga
terjerembab di hadapan Romo Semar yang tengah berbincang dengan Gareng di
pendopo padepokan.
“Babarblas ndak pantas kelakuanmu kali
ini, Kang! Guru besar Padepokan Romo Semar, acuan bagi sistem pendidikan
manusiawi terbaik di negeri ini, menjadikan wajah bocah cantrik sebagai alas
tanda tangan? Sungguh ndak patut
dilihat!” Bagong geram.
Terkejut,
Gareng bangkit bertanya, “Ada apa to
ini, Gong?”
“Petruk
ini dikenal berilmu tinggi. Orang melihat, kuncirnya tegak lurus ke langit,
pertanda lurus pemahaman pengetahuan dan ilmunya. Kata-katanya didengarkan
orang karena bersahaja. Ide-idenya diiyakan, diyakini selalu berwawasan.
Padepokan ini jadi percontohan full day
school berkarakter kemanusiaan dan moral ketuhanan, sebagian besar karena
andilnya. Tapi lihat apa yang dilakukan sebelum hari ini, ketika ia diberi
kesempatan berbicara di luar sana! Ia berteriak lantang agar jam sekolah di
seluruh negeri diperpanjang menjadi sehari penuh sebagaimana di Padepokan Romo
Semar. Lha, sontak banyak guru, sekolah, bahkan orang tua yang
tegang urat. Para pakar lintas ilmu pun silang pendapat,” tutur Bagong emosi.
“Sudah
lama full day school berjalan baik di
Padepokan kita. Bukankah patut ditularkan ke sekolah-sekolah?” Petruk membela
diri.
“Kau
juga masih akan membela diri atas tindakanmu hari ini yang menjadi viral di
medsos? Foto saat kau tanda tangan dengan alas jidat bocah itu?,” Bagong
meradang. “Kau yang memberitahuku bahwa wajah itu lambang tertinggi harga diri,
kehormatan seseorang. Jadi karena aku nyablak
maka harus berhati-hati bicara, tidak menyentuh, bahkan mengarahkan telunjuk ke muka orang.”
Gareng
menengahi. “Memberi teladan dengan perbuatan lebih kuat pengaruhnya daripada
dengan ucapan. Kanjeng Nabi mendidik dengan kasih sayang. “Sesungguhnya (kasih sayang)-ku kepada kalian laksana (kasih sayang)
seorang ayah kepada anak-anaknya,” (HR.
Abu Dawud). Jadi berhati-hatilah berperilaku !”
“Dan kamu lihat gunung-gunung itu, kamu
sangka dia tetap di tempatnya, padahal ia berjalan sebagaimana jalannya awan,”
(QS. an-Naml:88). Kalian
anak-anakku, camkan itu!” pungkas Romo Semar.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar