“Ruwet. Bundet. Mampet.
Belasan nyawa melayang, terjerat benang kusut arus kendaraan yang stuck hampir
di setiap persimpangan. Stress, sakit akibat kelelahan setelah puluhan jam
terjebak di dalam kendaraan yang tak mampu beringsut ke kiri maupun ke kanan, di
atas aspal jalan raya.”
“Tiga hari penghujung
puasa, asa terakhir untuk bisa bertemu dengan lailatul qadar, seakan menjadi
anticlimax, ketika orang-orang hilang kesabaran. Mengumpat petugas pengayom
masyarakat yang justru tak terlihat di titik keruwetan. Sesekali terlihat
petugas berompi hijau menyala tengah mengatur arus kendaraan, memberi jalan
bagi yang hendak menyeberang, ternyata tukang parkir atau satpam. Memaki-maki
para pengemudi yang menyerobot dari sisi kanan/kiri, seakan menganggap antrian
cuma bentuk kebodohan, lalu menambah sumbatan di ujung persimpangan. Ironis,
orang semacam ini bisa balik memaki-maki pengemudi lain yang setia mengantri,
saat butuh menyela masuk barisan karena kendaraan dari arah depan tak bisa
jalan. Akibatnya terjadi senggolan, mobil baru jadi penyok penuh goresan.
Bahkan banyak tabrakan fatal, tubuh dan kendaraan ringsek bersamaan.”
Romo Semar berpidato
membuka tahun pelajaran baru, di hadapan para pengajar padepokan. Tubuhnya yang
gempal tampak tersengal-sengal berusaha mengatur ritme bicara. Bahasanya jelas,
pelan-pelan, banyak penekanan.
“Disiplin.
Tanggung jawab. Kemampuan bekerja sama. Menghargai orang lain, sabar, dan
istiqomah. Itu poin-poin yang terasa tak ada saat terjadi bencana arus mudik
dan balik. Seakan kita semua lupa, sebulan penuh kita melakukan puasa,
hakikatnya melatih diri menguasai poin-poin tersebut. Lapar haus di siang hari,
lelah dan kantuk di malam hari selama 30 hari penuh, seakan tak membekaskan
apapun.”
Romo
Semar menyapu wajah-wajah para pengajar. Togog duduk tegak, menatap Romo Semar,
seakan tengah serius menyimak, tetapi bibir lebarnya terbuka, melongo. Drona
dan Sangkuni gelisah di bangkunya, karena menjadi bagian dari mereka yang suka
zig zag di jalanan untuk cepat mencapai tujuan. Bisma tertunduk membisu,
mengingat anak-anaknya yang masih terbaring kelelahan setelah lebih 48 jam
mengantri di pintu tol.
Gareng,
Bagong, dan Petruk sibuk menyuguhkan bakpia, lumpia, geplak,dodol, dan getuk
goreng, oleh-oleh dari kampung. Mereka tak merasakan efek macet, karena mudik
lebih awal.
“Tugas
kitalah menanam dan menguatkan nilai-nilai yang hilang itu kepada para cantrik,
sehingga bencana seperti ini tidak akan terulang di masa depan. Tetapi, kita
pun harus legowo mendidik diri agar benar-benar paham bahwa, “Barang siapa bertawakal kepada Allah,
niscaya Allah akan mencukupkan (keperluan)nya.” (QS. Ath-Thalaq:3). Dan bahwa, “Sesungguhnya
(bencana) kezalimanmu akan menimpa dirimu sendiri.” (QS. Yunus:23)
Usai
berpidato, Romo Semar menyalami para pengajar satu demi satu. “Minal aidin wal
faizin. Legowo meminta maaf, legowo memaafka,” katanya.
Miladiyah S
Tidak ada komentar:
Posting Komentar