Semar
menuliskan kalimat itu dengan tinta merah di white board di dalam pendopo. Senyum tipis menyembul dari bibirnya.
Sinis. Pendar-pendar asam menyusup keluar melalui celah-celah dinding bambu
padepokan.
“Senyum
Romo kecut bener, kecium sampai keluar,” gumam Bagong yang muncul bersama
Petruk.
“Hush! Sama Romonya kok ngomong begitu! Mbok belajar berbicara yang santun. Bisa bahaya
kalau ada yang ndak suka!” sergah
Petruk.
“Kalian
tahu kalimat itu?” tanya Semar tanpa menoleh. “Kalimat itu adalah pisau bermata
dua yang dilemparkan tiga bocah di face
book. Akibatnya, mereka dikeluarkan dari bangku sekolah, karena dianggap
mencemarkan nama baik sekolah.”
“Kok bermata dua, Mo? Siapa lagi yang
kena akibatnya?” sela Bagong.
“Kamu
ini, mbok ya mikir dulu!” sergah
Petruk lagi. “Coba pikir! Kalau hanya karena kalimat seperti itu mereka dikeluarkan
dari sekolah, kok bisa? Hari gini, gitu
loh! Guru mengeluarkan siswanya hanya karena disindir di face book?”
“Ya.
Dengan mengeluarkan tiga murid hanya karena ngomongin sebentuk
ketidakkonsistenan peraturan sekolah dan kebiasaan buruk para guru, sekolah
dalam hal ini guru seperti telah mengumumkan diri sebagai sosok yang tidak sanggup
menghadapi perubahan. Tidak mampu menerima kritikan di era keterbukaan IT
seperti ini. Romo jadi malu, jangan-jangan juga seperti itu,” tutur Semar tanpa
ekspresi.
“Aku
sih positive thingking, Mo. Pepatah lama bilang ‘guru kencing berdiri,
murid kencing berlari’. Pasti masih banyak guru yang tidak ingin ketahuan
kencing berdiri agar tidak menemui muridnya kencing berlari. He he, apalagi Romo,” ujar Bagong nakal.
“Bagong.
Bagong. Selalu saja bicara seenaknya ke Romo. Kalau ada orang lain mendengar, bisa
dianggap ndak sopan,” gumam Petruk.
“Eh. Eh. Eh. Imam al-Ghazali pernah
berkata, “Orang yang mengetahui adalah orang yang mengamalkan dan mengajarkan
ilmunya. Janganlah menjadi seperti sebatang
jarum yang berfungsi menjahit pakaian [untuk menutupi badan] tapi ia
sendiri nampak telanjang.” Kemuliaan, itulah sejatinya guru. Ia tidak akan
meminta muridnya istiqomah sebelum dirinya menjadi istiqomah.”
Miladiyah Susanti
Tidak ada komentar:
Posting Komentar