Pengembangan kurikulum perlu dilakukan karena adanya berbagai tantangan dan
tuntutan perkembangan zaman. Hal ini
menuntut adanya penyempurnaan pola pikir dan penguatan tata kelola kurikulum
serta pendalaman dan perluasan materi. Dan hal pembelajaran, perlunya penguatan
proses pembelajaran dan penyesuaian beban belajar agar dapat menjamin
kesesuaian antara apa yang diinginkan dengan apa yang dihasilkan.
A. Tantangan Internal
Tantangan internal pengembangan
kurikulum baru terkait dengan standar pendidikan dan faktor
kependudukan Indonesia. Terkait dengan standar, tantangan internal berkenaan
dengan 8 Standar Nasional Pendidikan yang meliputi standar pengelolaan,
standar biaya, standar sarana prasarana, standar pendidik dan tenaga kependidikan,
standar isi, standar proses, standar penilaian, dan standar kompetensi lulusan yang berengaruh terhadap kualitas manusia
Indonesia yang harus dihasilkan suatu kurikulum. Tantangan internal
lainnya terkait dengan faktor perkembangan penduduk Indonesia dilihat dari
pertumbuhan penduduk usia produktif
yang harus mendapatkan kepedulian kurikulum karena kurikulum adalah rancangan
dan proses pendidikan untuk memberikan pengalaman pendidikan bagi penduduk usia
sekolah dalam mengembangkan potensi dirinya menjadi kompetensi yang berkualitas
tinggi.
Terkait dengan tantangan internal pertama, berbagai program dan kegiatan dilaksanakan untuk
mengupayakan agar penyelenggaraan pendidikan dapat didukung oleh dan dapat mencapai standar
yang telah ditetapkan. Di dalam memenuhi
Standar Pengelolaan hal-hal yang dikembangkan antara lain adalah pengembangan Manajemen Berbasis
Sekolah. Rehabilitasi gedung sekolah dan penyediaan laboratorium serta
perpustakaan sekolah terus dilaksanakan agar setiap sekolah yang ada di
Indonesia dapat mencapai Standar Sarana-Prasarana yang telah ditetapkan. Dalam
mencapai Standar Pendidik dan Tenaga Kependidikan, berbagai upaya yang
dilakukan antara lain adalah peningkatan kualifikasi dan sertifikasi guru,
pembayaran tunjangan sertifikasi, serta uji kompetensi dan pengukuran kinerja
guru. Keempat standar tersebut
dikembangkan untuk mendukung implementasi kurikulum yang lebih baik dan yang
lebih memberikan kesempatan kepada siswa dalam mengembangkan potensi dirinya.
Keempat standar lainnya yaitu Standar
Isi, Standar Proses, Standar Penilaian, dan Standar Kompetensi Lulusan merupakan
standar yang terkait dengan kurikulum karena menjadi standar yang harus dicapai dan dikembangkan dalam suatu
kurikulum. Standar-standar tersebut secara terus menerus dikaji agar siswa
yang melalui proses pendidikan dapat memiliki kompetensi yang telah ditetapkan. Kajian-kajian tersebut menyebabkan adanya
perubahan dalam stadar dan berdampak pada perubahan kurikulum.Gambar 1 memperlihatkan keterkaitan antara standar
dan kurikulum.
Gambar 1
Terkait dengan
perkembangan penduduk, saat ini jumlah penduduk Indonesia usia produktif (15-64
tahun) lebih banyak dari usia tidak produktif (anak-anak berusia 0-14 tahun dan
orang tua berusia 65 tahun ke atas). Jumlah penduduk usia produktif ini akan
mencapai puncaknya pada tahun 2020-2035 pada saat angkanya mencapai 70% dari jumlah total penduduk Indonesia. Komposisi ini mengandung makna bahwa kelompok
produktif yang besar ini akan menjadi pendukung potensial bagi kehidupan bangsa
Indonesia yang lebih baik ketika kelompok ini memiliki kompetensi yang
diperlukan.
Gambar 2
Dari Gambar 2 terlihat bahwa sampai tahun 2025,
penduduk usia kerja menjadi mayoritas penduduk Indonesia. Ini berarti
bahwa pada tahun 2020-2035 sumber daya manusia (SDM) Indonesia usia produktif
akan melimpah. SDM yang melimpah ini apabila memiliki kompetensi dan
keterampilan akan menjadi modal pembangunan yang luar biasa besarnya. Namun
apabila tidak memiliki kompetensi dan keterampilan tentunya akan menjadi beban
pembangunan.Tantangan besar
yang dihadapi adalah bagaimana mengupayakan agar SDM usia produktif yang
melimpah ini dapat ditransformasikan menjadi SDM yang memiliki kompetensi dan
keterampilan melalui pendidikan agar tidak menjadi beban. Artinya, kurikulum harus memberikan kesempatan
yang luas bagi penduduk usia sekolah untuk mengembangkan potensi mereka menjadi
kemampuan yang dapat digunakan untuk membangun kehidupan dirinya, masyarakat,
bangsa, dan ummat manusia.
B. Tantangan Eksternal
Tantangan eksternal yang dihadapi dunia pendidikan berkaitan dengan tantangan masa depan,
kompetensi yang diperlukan di masa depan, persepsi masyarakat, perkembangan
pengetahuan dan pedagogi, serta berbagai fenomena negatif yang
mengemuka.Tantangan masa depan antara lain terkait dengan arus globalisasi dan
berbagai isu yang terkait dengan masalah lingkungan hidup, kemajuan teknologi
dan informasi, kebangkitan industri kreatif dan budaya, dan perkembangan
pendidikan di tingkat internasional.
Di era globalisasi, dimana terjadi
perubahan-perubahan yang sedang dan
akan berlangsung dalam waktu cepat. Dunia menjadi semakin transparan, terasa sempit,
dan seakan tanpa batas.Hubungan komunikasi, informasi, dan transportasi
menjadikan satu sama lain menjadi dekat sebagai akibat dari revolusi industri
dan hasil pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi. Arus globalisasi
menggeser pola hidup masyarakat dari agraris dan perniagaan tradisional menjadi
masyarakat industri dan perdagangan modern seperti dapat terlihat di WTO, ASEAN
Community, APEC, dan AFTA. Tantangan masa depan juga terkait dengan pergeseran
kekuatan ekonomi dunia, pengaruh dan imbas teknosains, serta mutu, investasi
dan transformasi pada sektor pendidikan. Keikutsertaan Indonesia di dalam studi
International TIMSS (Trends in
International Mathematics and Science Study) dan PISA (Program for International Student Assessment) sejak tahun 1999 juga
menunjukkan bahwa capaian anak-anak Indonesia tidak menggembirakan dalam
beberapa kali laporan yang dikeluarkan TIMSS dan PISA yang hanya menduduki
peringkat empat besar dari bawah. Penyebab capaian ini antara lain adalah
karena banyaknya materi uji yang ditanyakan di TIMSS dan PISA tidak terdapat di
kurikulum Indonesia.
Kompetensi masa depan yang
diperlukan dalam menghadapi arus globalisasi antara lain berkaitan dengan kemampuan
berkomunikasi, kemampuan berpikir jernih dan kritis, kemampuan mempertimbangkan
segi moral suatu permasalahan, kemampuan menjadi warga negara yang
bertanggungjawab, kemampuan mencoba untuk mengerti dan toleran terhadap
pandangan yang berbeda, dan kemampuan hidup dalam masyarakat yang mengglobal.
Disamping itu generasi Indonesia juga harus memiliki minat luas dalam
kehidupan, memiliki kesiapan untuk bekerja, memiliki kecerdasan sesuai dengan
bakat/minatnya, dan memiliki rasa tanggung-jawab terhadap lingkungan.
Gambar 3 merangkum berbagai tantangan
eksternal yang merupakan conditio sine
qua non bagi dunia pendidikan Indonesia untuk memiliki kurikulum baru yang
dapat menjawab tantangan eksternal.
Gambar 3
Dilihat dari persepsi masyarakat dan kajian para ahli, pendidikan
di Indonesia saat ini dinilai terlalu menitik-beratkan pada aspek kognitif tingkat rendah dan beban siswa
dianggap terlalu berat, dan
kurang bermuatan karakter.
Pengetahuan tentang fakta yang hanya memerlukan kemampuan kognitif mengingat
menjadi hasil belajar yang dominan sedangkan kemampuan menerapkan apa yang
sudah dipelajari di sekolah di masyarakat dan kemampuan berpikir kreatif untuk
sebagai dasar bagi kemampuan kreativitas baik dalam ilmu mau pun dalam aspek
kehidupan tidak mendapat perhatian yang cukup dalam kurikulum. Demikian dalam
aspek sikap dan kebiasaan yang menjadi dasar bagi pengembangan “soft-skills” tidak
menjadi hasil belajar yang diandalkan. Hal yang sama terjadi pula dalam hasil
belajar ranah psikomotorik yang untuk menghasilkan kemampuan pada jenjang mahir
dan kreatif memerlukan kemampuan kognitif tinggi dan nilai serta sikap yang
tinggi pula. Akibat dari penguasaan kemampuan kognitif, afektif dan
psikomotorik pada jenjang rendah upaya pengembangan kurikulum menjadi suatu
keharusan yang mendesak agar penduduk usia produktif memiliki berbagai
kemampuan kognitif, afektif, dan psikomotorik untuk digunakan dalam
mengembangkan kehidupan pribadi, masyarakat dan bangsa yang lebih baik.
Penyelenggaraan pendidikan juga
perlu memperhatikan perkembangan pengetahuan yang terkait dengan perkembangan
neurologi dan psikologi serta perkem-bangan pedagogi yang terkait dengan observation-based (discovery) learning,collaborative
learning, dan Project-Based Learning. Ketiga pendekatan dalam belajar ini
memungkin penerapan teori belajar tentang kemampuan berpikir, kebiasaan
belajar, sikap, dan ketrampilan psikomotorik. Kelompok kemampuan ini yang
merupakan kompetensi utama dalam belajar dan termasuk ke dalam yang dinamakan developmental content, hanya dapat
dikembangkan melalui suatu kegiatan belajar yang berkesinambungan dan
berkelanjutan. Kegiatan belajar yang dikembangkan dalam Obervation-based learning, Collaborative Learning, dan Project-Based
Learning memberikan kesempatan yang leluasa untuk mengembangkan kemampuan
kelompok developmental content.
Aplikasi dari kegiatan belajar yang demikian adalah pada pengembangan kurikulum
yang memiliki desain sesuai dengan karakteristik konten tersebut dalam bentuk
proses belajar. Artinya, diperlukan suatu desain kurikulum yang menerapkan
proses belajar yang berkelanjutan dan berkesimbungan. Dengan perkataan lain
organisasi konten yang berkesinambungan secara vertikal dan saling memperkuat
secara horizontal.
Tantangan eksternal lainnya berupa
fenomena negatif yang mengemuka antara lain terkait dengan masalah perkelahian
pelajar, masalah narkoba, korupsi, plagiarisme, kecurangan dalam ujian, dan
gejolak sosial di masyarakat (social
unrest). Permasalahan sosial
merupakan hal yang selalu harus mendapat perhatian kurikulum dan berpengaruh
terhadap kurikulum, sebagaimana yang dikemukakan oleh Oliva (1992). Oliva
mengatakan curriculum is a product of its
time . . .. Curriculum reponds to and is changed by social forces,
philosophical positions, psychological principles, accumulating knowledge, and
educational leadership at its moment its history.Perubahan yang terjadi di
masyarakat harus dijawab tetapi juga berpengaruh terhadap kurikulum sehingga
perubahan kurikulum merupakan sesuatu yang tak dapat dielakkan.
C. Penyempurnaan Pola Pikir
Pendidikan yang sesuai dengan kebutuhan masa depan hanya akan dapat
terwujud apabila terjadi pergeseran atau perubahan pola pikir. Laporan BSNP
tahun 2010 dengan judul Paradigma Pendidikan Nasional Abad XXI menegaskan bahwa
untuk meningkatkan kualitas pendidikan dalam menghadapi masa depan perlu
dilakukan perubahan paradigma pembelajaran melalui pergeseran tata cara
penyelenggaraan kegiatan pendidikan dan pembelajaran di dalam kelas atau
lingkungan sekitar lembaga pendidikan tempat siswa menimba ilmu. Pergeseran itu
meliputi proses pembelajaran sebagai berikut:
1. Dari
berpusat pada guru menuju berpusat pada siswa. Apayang terjadi adalah guru berbicara dan siswa mendengar, menyimak,
dan menulis, maka sekarang guru harus lebih banyak mendengarkan siswanya saling
berinteraksi, berargumen, berdebat, dan berkolaborasi. Fungsi guru dari
pengajar berubah dengan sendirinya menjadi fasilitator bagi siswa-siswanya.
2. Dari
satu arah menuju interaktif. Mekanisme pembelajaran yang terjadi
adalah satu arah dari guru ke siswa, maka saat ini harus terdapat interaksi
yang cukup antara guru dan siswa dalam berbagai bentuk komunikasinya. Guru
berusaha membuat kelas semenarik mungkin melalui berbagai pendekatan interaksi
yang dipersiapkan dan dikelola.
3. Dari
isolasi menuju lingkungan jejaring. Proses pembelajaran yan dominan sekarang adalah siswa hanya dapat bertanya pada guru dan
berguru pada buku yang ada di dalam kelas semata, maka kurikulum yang akan datang harus memberikan kesempatan kepada
siswa menimba ilmu dari siapa saja dan dari mana saja yang dapat
dihubungi serta diperoleh via internet.
4. Dari pasif menuju aktif-menyelidiki. Jika
dahulu siswa diminta untuk pasif saja mendengarkan dan menyimak baik-baik apa
yang disampaikan gurunya agar mengerti, maka kurikulum yang akan datang harus memberikan kesempatan kepada siswa
lebih aktif dengan cara memberikan berbagai pertanyaan yang ingin diketahui
jawabannya secara berkelanjutan dan
meningkat dalam kualitas soal yang diajukan.
5. Dari
maya/abstrak menuju konteks dunia nyata. Dalam proses pembelajaran, contoh-contoh yang diberikan guru kepada
siswanya kebanyakan bersifat abstrak
dan tidak terkait dengan kehidupan nyata siswa, kurikulum yang akan harus memberikan kesempatan kepada siswa untuk
menerapkan apa yang dipelajari di sekolah dalam kehidupan nyata sesuai
dengan konteks kehidupan sehari-hari dan relevan dengan bahan yang diajarkan.
6. Dari pribadi menuju pembelajaran berbasis
tim. Proses pembelajaran yang terjadi bersifat kelas tetapi pada
dasarnya siswa belajar lebih bersifat personal atau berbasiskan
masing-masing individu, maka kurikulum
yang akan dikembangkan
adalah model pembelajaran yang mengedepankan kerjasama antar individu.
7. Dari
luas menuju perilaku khas memberdayakan kaidah keterikatan. Pada saat sekarang, ilmu atau materi yang didesain dalam kurikulum lebih bersifat umum
(semua materi yang dianggap perlu diberikan), maka kurikulum yang akan datang dipilih ilmu atau materi yang benar-benar relevan
untuk ditekuni dan diperdalam secara sungguh-sungguh (hanya materi yang relevan
bagi kehidupan sang siswa yang diberikan).
8. Dari
stimulasi rasa tunggal menuju stimulasi ke segala penjuru. Dalam kurikulum yang berlaku, siswa hanya
menggunakan sebagian panca inderanya dalam menangkap materi yang diajarkan guru
(mata dan telinga), maka dalam
kurikulum yang akan datang semua
panca indera dan komponen jasmani-rohani harus terlibat aktif dalam proses
pembelajaran (kognitif, afektif, dan psikomotorik).
9. Dari
alat tunggal menuju alat multimedia. Kurikulum yang berlaku terbatas pada menggunakan papan tulis untuk mengajar dan sedikit penerapan teknologi informasi,
kurikulum yang akan datang harus
memberikan kesempatan kepada siswa dan guru untuk dapat menggunakan beranekaragam
peralatan dan teknologi pendidikan yang tersedia, baik yang bersifat
konvensional maupun moderen.
10. Dari
hubungan satu arah bergeser menuju kooperatif. Kurikulum yang akan datang haruslah didasarkan pada proses pembelajaran
kooperatif, dimana siswa belajar dari teman sekelompok yang memiliki kemampuan
untuk menjelaskan dan memimpin kelompok dalam diskusi serta menyelesaikan
masalah.
11. Dari
produksi massa menuju kebutuhan pelanggan. Jika kurikulum sekarang didesain untuk semua siswa tanpa kecuali
memperoleh bahan atau konten materi yang sama, maka kurikulum yang akan datang perlu mengakomodasi
kebutuhan berbeda setiap siswa untuk mendapatkan konten sesuai dengan
ketertarikan atau keunikan potensi yang dimilikinya.
12. Dari
usaha sadar tunggal menuju jamak. Jika kurikulum yang berlaku siswa harus secara seragam mengikuti sebuah
cara dalam berproses maka yang harus ditonjolkan sekarang justru adanya
keberagaman inisiatif yang timbul dari masing-masing individu.
13. Dari
satu ilmu pengetahuan bergeser menuju pengetahuan disiplin jamak. Kurikulum yang akan datang tidak boleh
membatasi siswa hanya mempelajari sebuah materi atau fenomena dari satu
sisi pandang ilmu, maka sekarang konteks pemahaman akan jauh lebih baik
dimengerti melalui pendekatan pengetahuan multi disiplin.
14. Dari
kontrol terpusat menuju otonomi dan kepercayaan. Kontrol
dan kendali kelas untuk kurikulum
yang akan datang tidak hanya pada
guru tetapi siswa
diberi kepercayaan untuk bertanggung jawab atas pekerjaan dan aktivitasnya
masing- masing.
15. Dari
pemikiran faktual menuju kritis. Kurikulum
yang akan datang tidak lagi membahas pengetahuan yang lebih bersifat faktual, maka sekarang harus
dikembangkan pembahasan terhadap berbagai hal yang membutuhkan pemikiran
kreatif dan kritis untuk menyelesaikannya.
16. Dari
penyampaian pengetahuan menuju pertukaran pengetahuan. Kurikulum yang berlaku mengembangkan
“pemindahan” ilmu dari guru ke siswa, maka dalam abad XXI ini yang terjadi di
kelas adalah pertukaran pengetahuan antara guru dan siswa maupun antara siswa
dengan sesamanya.
Undang-undang Sistem
Pendidikan Nasional mengamanatkan
kompetensi lulusan yang menyangkut
pengetahuan, keterampilan, dan sikap yang dirumuskan berdasarkan
kebutuhan pada tingkat individu, masyarakat, bangsa dan negara, serta peradaban. Untuk mencapai kompetensi lulusan
ini, yang dirumuskan dalam bentuk Standar Kompetensi Lulusan (SKL), kemudian
dirumuskan materi inti pembelajaran yang dirumuskan dalam bentuk Standar Isi
(SI), proses pembelajaran yang dirumuskan dalam bentuk Standar Proses, dan
proses penilaian dalam bentuk Standar Penilaian. Selanjutnya dirumuskan secara
lebih detil mata pelajaran apa
saja yang perlu diajarkan untuk memenuhi pencapaian kompetensi yang telah
ditetapkan.
Dilihat dari pendekatan yang dilakukan dalam penyusunan Standar
Kompetensi Lulusan (SKL) pada Kurikulum Berbasis Kompetensi (KBK) 2004 dan KTSP
2006, dapat disimpulkan bahwa SKL dirumuskan dari beberapa mata pelajaran yang
telah ditetapkan terlebih dahulu. Ini berarti bahwa SKL satuan pendidikan
ditetapkan dengan mengacu kepada mata pelajaran yang harus diajarkan kepada siswa,
atau dengan kata lain mata pelajaran menjadi penentu rumusan SKL. Model
pengembangan seperti ini mengakibatkan terjadinya pemisahan antara satu mata
pelajaran dengan mata pelajaran lainnya. Pemisahan mata pelajaran yang lepas
satu dengan yang lainnya ini tidak sesuai lagi dengan tuntutan globalisasi yang
menuntut agar semua mata pelajaran harus berkontribusi terhadap pembentukan
sikap, keterampilan, dan pengetahuan dan konteks pemahaman akan jauh lebih baik
dimengerti melalui pendekatan pengetahuan multi disiplin.
D. Pendalaman dan Perluasan Materi
Berdasarkan analisis hasil PISA 2009, ditemukan bahwa dari 6 level
kemampuan yang dirumuskan di dalam studi PISA, hampir semua siswa Indonesia
hanya mampu menguasai pelajaran sampai level 3 saja, sementara negara lain yang
terlibat di dalam studi ini banyak yang mencapai level 4, 5, dan 6. Dengan
keyakinan bahwa semua manusia diciptakan sama, interpretasi yang dapat
disimpulkan dari hasil studi ini, hanya satu, yaitu yang kita ajarkan berbeda
dengan tuntutan zaman.
Gambar 4
Analisis hasil
TIMSS tahun 2007 dan 2011 di bidang matematika dan IPA untuk siswa kelas 2 SMP
juga menunjukkan hasil yang tidak jauh berbeda. Untuk bidang matematika, lebih
dari 95% siswa Indonesia hanya mampu mencapai level menengah, sementara
misalnya di Taiwan hampir 50% siswanya mampu mencapai level tinggi dan advance.
Dari hasil ini dapat disimpulkan bahwa yang diajarkan di Indonesia berbeda
dengan apa yang diujikan atau yang distandarkan di tingkat internasional.
Gambar 5
Untuk bidang
IPA, pencapaian siswa kelas 2 SMP juga tidak jauh berbeda dengan pencapaian
yang mereka peroleh untuk bidang matematika. Hasil studi pada tahun 2007 dan
20011 menunjukkan bahwa lebih dari 95% siswa Indonesia hanya mampu mencapai
level menengah, sementara hampir 40% siswa Taiwan mampu mencapai level tinggi
dan advance. Dengan keyakinan bahwa
semua anak dilahirkan sama, kesimpulan yang dapat diambil dari studi ini adalah
bahwa apa yang diajarkan kepada siswa di Indonesia berbeda dengan apa yang
diujikan atau distandarkan di tingkat internasional.
Gambar 6
Hasil studi
internasional untuk reading dan literacy
(PIRLS) yang ditujukan untuk kelas IV SD juga menunjukkan hasil yang tidak jauh
berbeda dengan hasil studi untuk tingkat SMP seperti yang dipaparkan terdahulu.
Dalam hal membaca, lebih dari 95% siswa Indonesia di SD kelas IV juga hanya
mampu mencapai level menengah, sementara lebih dari 50% siswa Taiwan mampu
mencapai level tinggi dan advance. Hal ini juga menunjukkan bahwa apa yang
diajarkan di Indonesia berbeda dengan apa yang diujikan dan distandarkan pada
tingkat internasional
Gambar 7
Hasil analisis
lebih jauh untuk studi TIMSS dan PIRLS menunjukkan bahwa soal-soal yang
digunakan untuk mengukur kemampuan siswa dibagi menjadi empat kategori, yaitu:
-
low mengukur
kemampuan sampai level knowing
-
intermediate
mengukur kemampuan sampai level applying
-
high mengukur
kemampuan sampai level reasoning
-
advancemengukur
kemampuan sampai level reasoning with
incomplete information.
Tabel 2
Analisis lebih
jauh untuk membandingkan kurikulum IPA SMP kelas 2 yang ada di Indonesia dengan
materi yang terdapat di TIMSS menunjukkan bahwa terdapat beberapa topik yang
sebenarnya belum diajarkan di kelas 2 SMP (Tabel 2). Hal yang sama juga
terdapat di kurikulum matematika kelas 2 SMP di mana juga terdapat beberapa
topik yang belum diajarkan di kelas 2. Lebih parahnya lagi, malah terdapat
beberapa topik yang sama sekali tidak terdapat di dalam kurikulum saat ini,
sehingga menyulitkan bagi siswa kelas 2 SMP menjawab pertanyaan yang terdapat
di dalam TIMSS .
Tabel 3
Hal yang sama
juga terjadi di kurikulum matematika kelas 4 SD pada studi PIRLS di mana juga
terdapat topik yang belum diajarkan ke kelas 4 dan topik yang sama sekali tidak
terdapat di dalam kurikulum saat ini, seperti bisa dilihat pada Tabel 4.
Tabel 4
Dalam kaitan
itu, perlu dilakukan langkah penguatan materi dengan mengevaluasi ulang ruang
lingkup materi yang terdapat di dalam kurikulum dengan cara meniadakan materi
yang tidak esensial atau tidak relevan bagi siswa, mempertahankan materi yang
sesuai dengan kebutuhan siswa, dan menambahkan materi yang dianggap penting
dalam perbandingan internasional. Disamping itu juga perlu dievaluasi ulang
tingkat kedalaman materi sesuai dengan tuntutan perbandingan internasional dan
menyusun kompetensi dasar yang sesuai dengan materi yang dibutuhkan.
Disadur dari :
Naskah Akademik Pengembangan Kurikulum, Kementerian
Pendidikan Dan Kebudayaan, 2011
sangat bermanfaat pak, terimaksasih.
BalasHapusizin copy pak
izin copy ya pak
BalasHapus