Total Tayangan Halaman

Rabu, 23 Oktober 2013

RASIONAL PENGEMBANGAN KURIKULUM



Pengembangan kurikulum perlu dilakukan karena adanya berbagai tantangan dan  tuntutan perkembangan zaman. Hal ini menuntut adanya penyempurnaan pola pikir dan penguatan tata kelola kurikulum serta pendalaman dan perluasan materi. Dan hal pembelajaran, perlunya penguatan proses pembelajaran dan penyesuaian beban belajar agar dapat menjamin kesesuaian antara apa yang diinginkan dengan apa yang dihasilkan.

A.  Tantangan Internal

Tantangan internal pengembangan kurikulum baru  terkait dengan standar pendidikan dan faktor kependudukan Indonesia. Terkait dengan standar, tantangan internal berkenaan dengan 8 Standar Nasional Pendidikan yang meliputi standar pengelolaan, standar biaya, standar sarana prasarana, standar pendidik dan tenaga kependidikan, standar isi, standar proses, standar penilaian, dan standar kompetensi lulusan yang berengaruh terhadap kualitas manusia Indonesia yang harus dihasilkan suatu kurikulum. Tantangan internal lainnya terkait dengan faktor perkembangan penduduk Indonesia dilihat dari pertumbuhan penduduk usia produktif yang harus mendapatkan kepedulian kurikulum karena kurikulum adalah rancangan dan proses pendidikan untuk memberikan pengalaman pendidikan bagi penduduk usia sekolah dalam mengembangkan potensi dirinya menjadi kompetensi yang berkualitas tinggi.


Terkait dengan tantangan internal pertama, berbagai program dan kegiatan dilaksanakan untuk mengupayakan agar penyelenggaraan pendidikan dapat didukung oleh dan dapat mencapai standar yang telah ditetapkan. Di dalam memenuhi Standar Pengelolaan hal-hal yang dikembangkan antara lain adalah pengembangan Manajemen Berbasis Sekolah. Rehabilitasi gedung sekolah dan penyediaan laboratorium serta perpustakaan sekolah terus dilaksanakan agar setiap sekolah yang ada di Indonesia dapat mencapai Standar Sarana-Prasarana yang telah ditetapkan. Dalam mencapai Standar Pendidik dan Tenaga Kependidikan, berbagai upaya yang dilakukan antara lain adalah peningkatan kualifikasi dan sertifikasi guru, pembayaran tunjangan sertifikasi, serta uji kompetensi dan pengukuran kinerja guru. Keempat standar tersebut dikembangkan untuk mendukung implementasi kurikulum yang lebih baik dan yang lebih memberikan kesempatan kepada siswa dalam mengembangkan potensi dirinya.

Keempat standar lainnya yaitu Standar Isi, Standar Proses, Standar Penilaian, dan Standar Kompetensi Lulusan merupakan standar yang terkait dengan kurikulum karena menjadi standar yang harus dicapai dan dikembangkan dalam suatu kurikulum. Standar-standar tersebut secara terus menerus dikaji agar siswa yang melalui proses pendidikan dapat memiliki kompetensi yang telah ditetapkan. Kajian-kajian tersebut menyebabkan adanya perubahan dalam stadar dan berdampak pada perubahan kurikulum.Gambar 1 memperlihatkan keterkaitan antara standar dan kurikulum.

Gambar 1

Terkait dengan perkembangan penduduk, saat ini jumlah penduduk Indonesia usia produktif (15-64 tahun) lebih banyak dari usia tidak produktif (anak-anak berusia 0-14 tahun dan orang tua berusia 65 tahun ke atas). Jumlah penduduk usia produktif ini akan mencapai puncaknya pada tahun 2020-2035 pada saat angkanya mencapai 70% dari jumlah total penduduk Indonesia. Komposisi ini mengandung makna bahwa kelompok produktif yang besar ini akan menjadi pendukung potensial bagi kehidupan bangsa Indonesia yang lebih baik ketika kelompok ini memiliki kompetensi yang diperlukan.
Gambar 2

Dari Gambar 2 terlihat bahwa sampai tahun 2025, penduduk usia kerja menjadi mayoritas penduduk Indonesia. Ini berarti bahwa pada tahun 2020-2035 sumber daya manusia (SDM) Indonesia usia produktif akan melimpah. SDM yang melimpah ini apabila memiliki kompetensi dan keterampilan akan menjadi modal pembangunan yang luar biasa besarnya. Namun apabila tidak memiliki kompetensi dan keterampilan tentunya akan menjadi beban pembangunan.Tantangan besar yang dihadapi adalah bagaimana mengupayakan agar SDM usia produktif yang melimpah ini dapat ditransformasikan menjadi SDM yang memiliki kompetensi dan keterampilan melalui pendidikan agar tidak menjadi beban. Artinya, kurikulum harus memberikan kesempatan yang luas bagi penduduk usia sekolah untuk mengembangkan potensi mereka menjadi kemampuan yang dapat digunakan untuk membangun kehidupan dirinya, masyarakat, bangsa, dan ummat manusia.

B.  Tantangan Eksternal

Tantangan eksternal yang dihadapi dunia pendidikan  berkaitan dengan tantangan masa depan, kompetensi yang diperlukan di masa depan, persepsi masyarakat, perkembangan pengetahuan dan pedagogi, serta berbagai fenomena negatif yang mengemuka.Tantangan masa depan antara lain terkait dengan arus globalisasi dan berbagai isu yang terkait dengan masalah lingkungan hidup, kemajuan teknologi dan informasi, kebangkitan industri kreatif dan budaya, dan perkembangan pendidikan di tingkat internasional.
Di era globalisasi, dimana terjadi perubahan-perubahan yang sedang dan akan berlangsung dalam waktu cepat. Dunia menjadi semakin transparan, terasa sempit, dan seakan tanpa batas.Hubungan komunikasi, informasi, dan transportasi menjadikan satu sama lain menjadi dekat sebagai akibat dari revolusi industri dan hasil pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi. Arus globalisasi menggeser pola hidup masyarakat dari agraris dan perniagaan tradisional menjadi masyarakat industri dan perdagangan modern seperti dapat terlihat di WTO, ASEAN Community, APEC, dan AFTA. Tantangan masa depan juga terkait dengan pergeseran kekuatan ekonomi dunia, pengaruh dan imbas teknosains, serta mutu, investasi dan transformasi pada sektor pendidikan. Keikutsertaan Indonesia di dalam studi International TIMSS (Trends in International Mathematics and Science Study) dan PISA (Program for International Student Assessment) sejak tahun 1999 juga menunjukkan bahwa capaian anak-anak Indonesia tidak menggembirakan dalam beberapa kali laporan yang dikeluarkan TIMSS dan PISA yang hanya menduduki peringkat empat besar dari bawah. Penyebab capaian ini antara lain adalah karena banyaknya materi uji yang ditanyakan di TIMSS dan PISA tidak terdapat di kurikulum Indonesia.
            Kompetensi masa depan yang diperlukan dalam menghadapi arus globalisasi antara lain berkaitan dengan kemampuan berkomunikasi, kemampuan berpikir jernih dan kritis, kemampuan mempertimbangkan segi moral suatu permasalahan, kemampuan menjadi warga negara yang bertanggungjawab, kemampuan mencoba untuk mengerti dan toleran terhadap pandangan yang berbeda, dan kemampuan hidup dalam masyarakat yang mengglobal. Disamping itu generasi Indonesia juga harus memiliki minat luas dalam kehidupan, memiliki kesiapan untuk bekerja, memiliki kecerdasan sesuai dengan bakat/minatnya, dan memiliki rasa tanggung-jawab terhadap lingkungan.

Gambar 3 merangkum berbagai tantangan eksternal yang merupakan conditio sine qua non bagi dunia pendidikan Indonesia untuk memiliki kurikulum baru yang dapat menjawab tantangan eksternal.


Gambar 3

            Dilihat dari persepsi masyarakat dan kajian para ahli, pendidikan di Indonesia saat ini dinilai terlalu menitik-beratkan pada aspek kognitif tingkat rendah dan beban siswa dianggap terlalu berat, dan kurang bermuatan karakter. Pengetahuan tentang fakta yang hanya memerlukan kemampuan kognitif mengingat menjadi hasil belajar yang dominan sedangkan kemampuan menerapkan apa yang sudah dipelajari di sekolah di masyarakat dan kemampuan berpikir kreatif untuk sebagai dasar bagi kemampuan kreativitas baik dalam ilmu mau pun dalam aspek kehidupan tidak mendapat perhatian yang cukup dalam kurikulum. Demikian dalam aspek sikap dan kebiasaan yang menjadi dasar bagi pengembangan “soft-skills” tidak menjadi hasil belajar yang diandalkan. Hal yang sama terjadi pula dalam hasil belajar ranah psikomotorik yang untuk menghasilkan kemampuan pada jenjang mahir dan kreatif memerlukan kemampuan kognitif tinggi dan nilai serta sikap yang tinggi pula. Akibat dari penguasaan kemampuan kognitif, afektif dan psikomotorik pada jenjang rendah upaya pengembangan kurikulum menjadi suatu keharusan yang mendesak agar penduduk usia produktif memiliki berbagai kemampuan kognitif, afektif, dan psikomotorik untuk digunakan dalam mengembangkan kehidupan pribadi, masyarakat dan bangsa yang lebih baik.
            Penyelenggaraan pendidikan juga perlu memperhatikan perkembangan pengetahuan yang terkait dengan perkembangan neurologi dan psikologi serta perkem-bangan pedagogi yang terkait dengan observation-based (discovery) learning,collaborative learning, dan Project-Based Learning. Ketiga pendekatan dalam belajar ini memungkin penerapan teori belajar tentang kemampuan berpikir, kebiasaan belajar, sikap, dan ketrampilan psikomotorik. Kelompok kemampuan ini yang merupakan kompetensi utama dalam belajar dan termasuk ke dalam yang dinamakan developmental content, hanya dapat dikembangkan melalui suatu kegiatan belajar yang berkesinambungan dan berkelanjutan. Kegiatan belajar yang dikembangkan dalam Obervation-based learning, Collaborative Learning, dan Project-Based Learning memberikan kesempatan yang leluasa untuk mengembangkan kemampuan kelompok developmental content. Aplikasi dari kegiatan belajar yang demikian adalah pada pengembangan kurikulum yang memiliki desain sesuai dengan karakteristik konten tersebut dalam bentuk proses belajar. Artinya, diperlukan suatu desain kurikulum yang menerapkan proses belajar yang berkelanjutan dan berkesimbungan. Dengan perkataan lain organisasi konten yang berkesinambungan secara vertikal dan saling memperkuat secara horizontal.
            Tantangan eksternal lainnya berupa fenomena negatif yang mengemuka antara lain terkait dengan masalah perkelahian pelajar, masalah narkoba, korupsi, plagiarisme, kecurangan dalam ujian, dan gejolak sosial di masyarakat (social unrest). Permasalahan sosial merupakan hal yang selalu harus mendapat perhatian kurikulum dan berpengaruh terhadap kurikulum, sebagaimana yang dikemukakan oleh Oliva (1992). Oliva mengatakan curriculum is a product of its time . . .. Curriculum reponds to and is changed by social forces, philosophical positions, psychological principles, accumulating knowledge, and educational leadership at its moment its history.Perubahan yang terjadi di masyarakat harus dijawab tetapi juga berpengaruh terhadap kurikulum sehingga perubahan kurikulum merupakan sesuatu yang tak dapat dielakkan.

C.  Penyempurnaan Pola Pikir

Pendidikan yang sesuai dengan kebutuhan masa depan hanya akan dapat terwujud apabila terjadi pergeseran atau perubahan pola pikir. Laporan BSNP tahun 2010 dengan judul Paradigma Pendidikan Nasional Abad XXI menegaskan bahwa untuk meningkatkan kualitas pendidikan dalam menghadapi masa depan perlu dilakukan perubahan paradigma pembelajaran melalui pergeseran tata cara penyelenggaraan kegiatan pendidikan dan pembelajaran di dalam kelas atau lingkungan sekitar lembaga pendidikan tempat siswa menimba ilmu. Pergeseran itu meliputi proses pembelajaran sebagai berikut:
1.      Dari berpusat pada guru menuju berpusat pada siswa. Apayang terjadi adalah guru berbicara dan siswa mendengar, menyimak, dan menulis, maka sekarang guru harus lebih banyak mendengarkan siswanya saling berinteraksi, berargumen, berdebat, dan berkolaborasi. Fungsi guru dari pengajar berubah dengan sendirinya menjadi fasilitator bagi siswa-siswanya.
2.      Dari satu arah menuju interaktif.  Mekanisme pembelajaran yang terjadi adalah satu arah dari guru ke siswa, maka saat ini harus terdapat interaksi yang cukup antara guru dan siswa dalam berbagai bentuk komunikasinya. Guru berusaha membuat kelas semenarik mungkin melalui berbagai pendekatan interaksi yang dipersiapkan dan dikelola.
3.      Dari isolasi menuju lingkungan jejaring. Proses pembelajaran yan dominan sekarang adalah  siswa hanya dapat bertanya pada guru dan berguru pada buku yang ada di dalam kelas semata, maka kurikulum yang akan datang harus memberikan kesempatan kepada siswa menimba ilmu dari siapa saja dan dari mana saja yang dapat dihubungi serta diperoleh via internet.
4.        Dari pasif menuju aktif-menyelidiki. Jika dahulu siswa diminta untuk pasif saja mendengarkan dan menyimak baik-baik apa yang disampaikan gurunya agar mengerti, maka kurikulum yang akan datang harus memberikan kesempatan kepada siswa lebih aktif dengan cara memberikan berbagai pertanyaan yang ingin diketahui jawabannya secara berkelanjutan dan meningkat dalam kualitas soal yang diajukan.
5.      Dari maya/abstrak menuju konteks dunia nyata. Dalam proses pembelajaran, contoh-contoh yang diberikan guru kepada siswanya kebanyakan bersifat abstrak dan tidak terkait dengan kehidupan nyata siswa, kurikulum yang akan harus memberikan kesempatan kepada siswa untuk menerapkan apa yang dipelajari di sekolah dalam kehidupan nyata sesuai dengan konteks kehidupan sehari-hari dan relevan dengan bahan yang diajarkan.
6.        Dari pribadi menuju pembelajaran berbasis tim. Proses pembelajaran yang terjadi bersifat kelas tetapi pada dasarnya siswa belajar lebih bersifat personal atau berbasiskan masing-masing individu, maka kurikulum yang akan dikembangkan adalah model pembelajaran yang mengedepankan kerjasama antar individu.
7.      Dari luas menuju perilaku khas memberdayakan kaidah keterikatan. Pada saat sekarang,  ilmu atau materi yang didesain dalam kurikulum lebih bersifat umum (semua materi yang dianggap perlu diberikan), maka kurikulum yang akan datang  dipilih ilmu atau materi yang benar-benar relevan untuk ditekuni dan diperdalam secara sungguh-sungguh (hanya materi yang relevan bagi kehidupan sang siswa yang diberikan).
8.      Dari stimulasi rasa tunggal menuju stimulasi ke segala penjuru. Dalam kurikulum yang berlaku, siswa hanya menggunakan sebagian panca inderanya dalam menangkap materi yang diajarkan guru (mata dan telinga), maka dalam kurikulum yang akan datang  semua panca indera dan komponen jasmani-rohani harus terlibat aktif dalam proses pembelajaran (kognitif, afektif, dan psikomotorik).
9.      Dari alat tunggal menuju alat multimedia. Kurikulum yang berlaku terbatas pada menggunakan papan tulis untuk mengajar dan sedikit penerapan teknologi informasi, kurikulum yang akan datang harus memberikan kesempatan kepada siswa dan guru untuk dapat menggunakan beranekaragam peralatan dan teknologi pendidikan yang tersedia, baik yang bersifat konvensional maupun moderen.
10.  Dari hubungan satu arah bergeser menuju kooperatif. Kurikulum yang akan datang haruslah didasarkan pada proses pembelajaran kooperatif, dimana siswa belajar dari teman sekelompok yang memiliki kemampuan untuk menjelaskan dan memimpin kelompok dalam diskusi serta menyelesaikan masalah.
11.  Dari produksi massa menuju kebutuhan pelanggan. Jika kurikulum sekarang didesain untuk semua siswa tanpa kecuali memperoleh bahan atau konten materi yang sama, maka kurikulum yang akan datang perlu mengakomodasi kebutuhan berbeda setiap siswa untuk mendapatkan konten sesuai dengan ketertarikan atau keunikan potensi yang dimilikinya.
12.  Dari usaha sadar tunggal menuju jamak. Jika kurikulum yang berlaku siswa harus secara seragam mengikuti sebuah cara dalam berproses maka yang harus ditonjolkan sekarang justru adanya keberagaman inisiatif yang timbul dari masing-masing individu.
13.  Dari satu ilmu pengetahuan bergeser menuju pengetahuan disiplin jamak. Kurikulum yang akan datang tidak boleh membatasi siswa hanya mempelajari sebuah materi atau fenomena dari satu sisi pandang ilmu, maka sekarang konteks pemahaman akan jauh lebih baik dimengerti melalui pendekatan pengetahuan multi disiplin.
14.  Dari kontrol terpusat menuju otonomi dan kepercayaan.  Kontrol dan kendali kelas untuk kurikulum yang akan datang tidak hanya pada  guru tetapi siswa diberi kepercayaan untuk bertanggung jawab atas pekerjaan dan aktivitasnya masing- masing.
15.  Dari pemikiran faktual menuju kritis. Kurikulum yang akan datang tidak lagi membahas pengetahuan yang  lebih bersifat faktual, maka sekarang harus dikembangkan pembahasan terhadap berbagai hal yang membutuhkan pemikiran kreatif dan kritis untuk menyelesaikannya.
16.  Dari penyampaian pengetahuan menuju pertukaran pengetahuan. Kurikulum yang berlaku mengembangkan “pemindahan” ilmu dari guru ke siswa, maka dalam abad XXI ini yang terjadi di kelas adalah pertukaran pengetahuan antara guru dan siswa maupun antara siswa dengan sesamanya.

Undang-undang Sistem Pendidikan Nasional mengamanatkan kompetensi lulusan yang menyangkut pengetahuan, keterampilan, dan sikap yang dirumuskan berdasarkan kebutuhan pada tingkat individu, masyarakat, bangsa dan negara, serta peradaban. Untuk mencapai kompetensi lulusan ini, yang dirumuskan dalam bentuk Standar Kompetensi Lulusan (SKL), kemudian dirumuskan materi inti pembelajaran yang dirumuskan dalam bentuk Standar Isi (SI), proses pembelajaran yang dirumuskan dalam bentuk Standar Proses, dan proses penilaian dalam bentuk Standar Penilaian. Selanjutnya dirumuskan secara lebih detil mata pelajaran apa saja yang perlu diajarkan untuk memenuhi pencapaian kompetensi yang telah ditetapkan.
Dilihat dari pendekatan yang dilakukan dalam penyusunan Standar Kompetensi Lulusan (SKL) pada Kurikulum Berbasis Kompetensi (KBK) 2004 dan KTSP 2006, dapat disimpulkan bahwa SKL dirumuskan dari beberapa mata pelajaran yang telah ditetapkan terlebih dahulu. Ini berarti bahwa SKL satuan pendidikan ditetapkan dengan mengacu kepada mata pelajaran yang harus diajarkan kepada siswa, atau dengan kata lain mata pelajaran menjadi penentu rumusan SKL. Model pengembangan seperti ini mengakibatkan terjadinya pemisahan antara satu mata pelajaran dengan mata pelajaran lainnya. Pemisahan mata pelajaran yang lepas satu dengan yang lainnya ini tidak sesuai lagi dengan tuntutan globalisasi yang menuntut agar semua mata pelajaran harus berkontribusi terhadap pembentukan sikap, keterampilan, dan pengetahuan dan konteks pemahaman akan jauh lebih baik dimengerti melalui pendekatan pengetahuan multi disiplin.

D.  Pendalaman dan Perluasan Materi

Berdasarkan analisis hasil PISA 2009, ditemukan bahwa dari 6 level kemampuan yang dirumuskan di dalam studi PISA, hampir semua siswa Indonesia hanya mampu menguasai pelajaran sampai level 3 saja, sementara negara lain yang terlibat di dalam studi ini banyak yang mencapai level 4, 5, dan 6. Dengan keyakinan bahwa semua manusia diciptakan sama, interpretasi yang dapat disimpulkan dari hasil studi ini, hanya satu, yaitu yang kita ajarkan berbeda dengan tuntutan zaman.

Gambar  4


Analisis hasil TIMSS tahun 2007 dan 2011 di bidang matematika dan IPA untuk siswa kelas 2 SMP juga menunjukkan hasil yang tidak jauh berbeda. Untuk bidang matematika, lebih dari 95% siswa Indonesia hanya mampu mencapai level menengah, sementara misalnya di Taiwan hampir 50% siswanya mampu mencapai level tinggi dan advance. Dari hasil ini dapat disimpulkan bahwa yang diajarkan di Indonesia berbeda dengan apa yang diujikan atau yang distandarkan di tingkat internasional.

Gambar  5

Untuk bidang IPA, pencapaian siswa kelas 2 SMP juga tidak jauh berbeda dengan pencapaian yang mereka peroleh untuk bidang matematika. Hasil studi pada tahun 2007 dan 20011 menunjukkan bahwa lebih dari 95% siswa Indonesia hanya mampu mencapai level menengah, sementara hampir 40% siswa Taiwan mampu mencapai level tinggi dan advance. Dengan keyakinan bahwa semua anak dilahirkan sama, kesimpulan yang dapat diambil dari studi ini adalah bahwa apa yang diajarkan kepada siswa di Indonesia berbeda dengan apa yang diujikan atau distandarkan di tingkat internasional.

Gambar  6
Hasil studi internasional untuk reading dan literacy (PIRLS) yang ditujukan untuk kelas IV SD juga menunjukkan hasil yang tidak jauh berbeda dengan hasil studi untuk tingkat SMP seperti yang dipaparkan terdahulu. Dalam hal membaca, lebih dari 95% siswa Indonesia di SD kelas IV juga hanya mampu mencapai level menengah, sementara lebih dari 50% siswa Taiwan mampu mencapai level tinggi dan advance. Hal ini juga menunjukkan bahwa apa yang diajarkan di Indonesia berbeda dengan apa yang diujikan dan distandarkan pada tingkat internasional

Gambar 7
Hasil analisis lebih jauh untuk studi TIMSS dan PIRLS menunjukkan bahwa soal-soal yang digunakan untuk mengukur kemampuan siswa dibagi menjadi empat kategori, yaitu:
-       low mengukur kemampuan sampai level knowing
-       intermediate mengukur kemampuan sampai level applying
-       high mengukur kemampuan sampai level reasoning
-       advancemengukur kemampuan sampai level reasoning with incomplete information.

Tabel 2
Analisis lebih jauh untuk membandingkan kurikulum IPA SMP kelas 2 yang ada di Indonesia dengan materi yang terdapat di TIMSS menunjukkan bahwa terdapat beberapa topik yang sebenarnya belum diajarkan di kelas 2 SMP (Tabel 2). Hal yang sama juga terdapat di kurikulum matematika kelas 2 SMP di mana juga terdapat beberapa topik yang belum diajarkan di kelas 2. Lebih parahnya lagi, malah terdapat beberapa topik yang sama sekali tidak terdapat di dalam kurikulum saat ini, sehingga menyulitkan bagi siswa kelas 2 SMP menjawab pertanyaan yang terdapat di dalam TIMSS .

Tabel 3

Hal yang sama juga terjadi di kurikulum matematika kelas 4 SD pada studi PIRLS di mana juga terdapat topik yang belum diajarkan ke kelas 4 dan topik yang sama sekali tidak terdapat di dalam kurikulum saat ini, seperti bisa dilihat pada Tabel 4.

Tabel 4

Dalam kaitan itu, perlu dilakukan langkah penguatan materi dengan mengevaluasi ulang ruang lingkup materi yang terdapat di dalam kurikulum dengan cara meniadakan materi yang tidak esensial atau tidak relevan bagi siswa, mempertahankan materi yang sesuai dengan kebutuhan siswa, dan menambahkan materi yang dianggap penting dalam perbandingan internasional. Disamping itu juga perlu dievaluasi ulang tingkat kedalaman materi sesuai dengan tuntutan perbandingan internasional dan menyusun kompetensi dasar yang sesuai dengan materi yang dibutuhkan.

Disadur dari :
Naskah Akademik Pengembangan Kurikulum, Kementerian Pendidikan Dan Kebudayaan, 2011

2 komentar: