Total Tayangan Halaman

Rabu, 01 Januari 2014

KURIKULUM 2013 ANTARA ASA DAN TANTANGAN



Oleh : Amin Hidayat, M.Pd.
Anjing menggonggong kafilah berlalu. Pro kontra terus terdengar, tetapi Kurikulum 2013 terus berjalan dan disosialisasikan. Kurikulum pendidikan formal 2013 dirumuskan dan kembangkan dengan optimisme tinggi, sebagai penyempurnaan kurikulum-kurikulum sebelumnya.Tujuannya, agar dihasilkan lulusan sekolah yang cerdas, kreatif, inovatif, dan memiliki kepercayaan diri tinggi baik secara individu maupun sebagai bangsa, serta toleran terhadap segala perbedaan yang ada.
Kurikulum 2013 sudah diimplementasikan di sejumlah sekolah model, baik Sekolah Dasar/Madrasah Ibtidaiyah (SD/MI), Sekolah Menengah Pertama/Madrasah Tsanawiyah (SMP/MTs), Sekolah Menengah Atas/Madrasah Aliyah (SMA/MA), maupun Sekolah Menengah Kejuruan/Madrasah Aliyah Kejuruan (SMK/MAK).
Suara-suara sumbang bernada pesimis dan sinis tentang Kurikulum 2013, masih terdengar dari berbagai pihak, termasuk para guru sebagai pelaksananya. Ada yang menyebut bahwa implementasinya terlalu tergesa-gesa dan kurang sosialisasi. Produk baru ini juga dirasa kurang melibatkan guru atau asosiasi profesi pendidik dalam perumusannya, serta tidak didasari evaluasi terhadap Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) yang sedang berjalan. Sejumlah mata pelajaran yang mendukung persiapan siswa dalam menghadapi persaingan global (Bahasa Inggris dan TIK) justru dihapuskan, sehingga dianggap tidak menjawab kebutuhan peserta didik. Bahkan berkembang pula stigma negatif terhadap guru, yang merasa diabaikan kemampuannya dalam membuat Rencana Pelaksanaan Pembelajaran (RPP) dan silabus. Singkatnya, pemerintah dicap salah langkah memberlakukan Kurikulum 2013, karena semestinya cukup hanya dengan membenahi metodologi dan kualitas guru saja.
Sebagian kalangan bersikap skeptis. Bukan hanya masyarakat awam, pengamat pendidikan, bahkan para guru masih meraba-raba wujud pembelajaran yang akan dilaksanakan di kelasnya. Hal ini terjadi karena kebiasaan para guru yang telah berlaku selama puluhan tahun, tak akan mudah berubah.  Diakui atau tidak, mindset para guru di Indonesia sampai saat ini masih sangat sederhana (jika tidak ingin disebut primitif). Yaitu bahwa tugas guru adalah mengajar, menyampaikan materi mata pelajaran tertentu, sehingga anak menjadi pintar, yang keberhasilannya ditentukan oleh nilai berupa angka-angka dengan standar kelulusan tertentu. Sebagian besar (jika tak boleh dikatakan seluruhnya) guru, baik itu di SD, SMP, maupun SMA, belum terbiasa menilai elemen sikap siswanya. Pun belum terbiasa mengajar secara modern sebagaimana diamanatkan oleh Kurikulum 2013.
Perubahan/pengembangan kurikulum yang hampir selalu terjadi setiap kali penguasa berganti, tak serta merta mengubah mindset tersebut.Tetap saja ceramah menjadi metode favorit para guru saat mengajar. Hanya segelintir guru yang benar-benar mampu dan rela bersusah payah mempelajari lalu menggunakan berbagai pendekatan, model, dan alat peraga pembelajaran. Selebihnya, semua materi tentang pelaksanaan pembelajaran yang inofatif dan menyenangkan  dalam setiap Diklat, hanya tinggal sebagai teori dalam perencanaan. Salah satu buktinya, model pembelajaran tematik sebenarnya telah diperkenalkan dalam KTSP, meski baru sebatas untuk siswa kelas satu sampai tiga SD. Kenyataannya, belum satupun sekolah atau guru yang mampu melaksanakannya.
Kebingungan para guru (terutama guru SD) dalam menerapkan Kurikulum 2013 semakin menjadi-jadi, ketika tanggal 3 Desember lalu pemerintah resmi menghapuskan sistem Ujian Nasional (UN) bagi siswa SD, yang berlaku pada tahun 2013. Dengan PP No. 32/2013 sistem UN bagi siswa SD ditiadakan, dan digantikan dengan sistem ujian sekolah. Guna menjaga kualitas lulusan, materi ujian sekolah 25% dibuat/ditentukan oleh pusat sebagai bahan monitoring. Sedangkan 75% lainnya disusun sendiri oleh sekolah.
Selain itu, bagi siswa SD juga tidak lagi diterapkan sistem penilaian dengan angka-angka. Bentuk pembelajaran harus dirupakan kegiatan-kegiatan, dengan komposisi 70% berupa penanaman sikap, dan 30 % untuk pengetahuan dan ketrampilan. Raport siswa SD akan berisi catatan-catatan tentang kelebihan dan kekurangan siswa bersangkutan. Dengan demikian, tidak akan lagi terdengar istilah siswa tidak naik kelas, bagi siswa SD.
Jelas, pernyataan yang terkesan tiba-tiba (setelah sebelumnya pemerintah begitu ngotot mempertahankan UN) itu membuat guru kerepotan. Belum lagi mampu memahami apalagi menerapkan sepenuhnya Kurikulum 2013, sudah harus segera melaksanakan kebijakan baru pula, mengingat ujian semester sudah dimulai. Butuh waktu lama, tak cukup hanya dengan diklat selama beberapa hari saja hingga program pemerintah ini berjalan seperti yang diharapkan. Butuh komitmen tinggi pula dari para guru maupun pihak-pihak terkait untuk menyukseskannya. Jika tidak, harapan tinggi yang menyertai lahirnya Kurikulum 2013 justru akan menjadi bumerang, dan berakibat fatal bagi siswa, masyarakat  maupun bangsa pada umumnya.
Kurikulum di Indonesia
Terlepas dari keraguan berbagai pihak terhadap penerapan Kurikulum 2013, ada baiknya kita memahami perjalanan kurikulum di Indonesia. Apakah kurikulum itu? Kenapa perangkat ini seolah menjadi ajang bagi pejabat berwenang (di Indonesia) untuk menunjukkan eksistensinya, sehingga terpatri anggapan ‘ganti mentri ganti kurikulum’? Lalu kita dapat melihat, bagaimana Kurikulum 2013 harus diterapkan?
Kurikulum dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) didefinisikan sebagai perangkat  mata pelajaran yang diajarkan pada lembaga pendidikan. Peraturan Pemerintah No. 19 tahun 2005 tentang Stantar Nasional Pendidikan menyebutkan, kurikulum sebagai seperangkat rencana dan pengaturan mengenai tujuan, isi, dan bahan pelajaran serta cara yang digunakan sebagai pedoman penyelenggaraan kegiatan pembelajaran untuk mencapai tujuan pendidikan tertentu.
Kunandar (2007:91) mengutip pendapat beberapa ahli pendidikan tentang pengertian kurikulum. Di antaranya Nurhadi, yang mengatakan bahwa kurikulum merupakan salah satu variabel yang berpengaruh terhadap sistem pendidikan nasional. Sedangkan B. Othanel Smith dkk menyebut kurikulum sebagai sejumlah pengalaman yang secara potensial dapat diberikan kepada anak atau pemuda, agar mereka dapat berpikir dan berbuat sesuai dengan masyarakat. William B. Ragan memerinci kurikulum meliputi seluruh program dan kehidupan dalam sekolah, yakni segala pengalaman anak di bawah tanggung jawab sekolah, berupa bahan pelajaran, juga seluruh kehidupan dalam kelas, termasuk di dalamnya hubungan sosial antara guru dengan murid, metode mengajar, dan cara mengevaluasi. Demikian juga dengan J. Lloyd dan Delmas F. Miller yang menguraikan kurikulum meliputi metode belajar mengajar, cara mengevaluasi murid, dan seluruh program, perubahan tenaga mengajar, bimbingan dan penyuluhan, supervisi dan administrasi, serta hal-hal struktural tentang waktu, jumlah ruangan juga kemungkinan memilih mata pelajaran.
Dengan demikian, kurikulum merupakan seperangkat rencana program tertulis yang menjadi pedoman praktis bagi terlaksananya proses pendidikan, menuju tercapainya tujuan pendidikan nasional. Nurhadi juga mengemukakan beberapa kriteria kurikulum, yaitu; harus dapat menjawab kebutuhan masyarakat dalam menghadapi perkembangan kehidupan mendatang, dapat diperbaharui, komprehensif dan responsef terhadap dinamika sosial, relevan, tidak overload, serta mampu mengakomodasi keberagaman keperluan maupun kemajuan teknologi.
Di Indonesia, kurikulum pendidikan baru dikenal pada tahu1968. Sebelumnya, sejak tahun 1947 hanya dikenal adanya ‘Rencana Pelajaran’ yangdimaksudkan sebagai salah satu upaya pembenahan sistem persekolahan pascamerdeka, agar sesuai dengan Undang-Undang Dasar 1945. Namun pembenahan ini baru terwujud pada tahun 1965 dengan dikeluarkannya Keppres  No. 19 tahun 1965 tentang Pokok-pokok Sistem Pendidikan Nasional Pancasila. Jiwa kurikulum pada waktu itu adalah gotong royong dan demokrasi terpimpin.Tak lama kemudian keluar Tap.MPRS No. XXVII/MPRS/1966 yang berisi tujuan pendidikan untuk membentuk manusia Pancasilais sejati (Kunandar, 2007:86). 
Tahun 1968 keluar kurikulum yang menyebutkan tujuan pendidikan adalah mempertinggi mental, moral, budi pekerti, dan memperkuat keyakinan beragama, mempertinggi kecerdasan dan ketrampilan, serta membina dan mengembangkan fisik yang kuat dan sehat. Tahun 1975  kurikulum baru muncul lagi, dengan karakteristik menunjuk pada sifat integrated curriculum organization. Namun kurikulum ini dianggap tidak mampu mengikuti pesatnya kemajuan dan kebutuhan masyarakat.
Tahun 1984 kurikulum yang bersifat content based curriculum diberlakukan. Dalam kurikulum ini, terdapat penambahan mata pelajaran Pendidikan Sejarah Perjuangan Bangsa (PSPB). Setelah berjalan beberapa lama, kurikulum ini dianggap terlalu sarat beban. Lalu pada tahun 1994 digantikan kurikulum baru, yang bersifat objective based curriculum dan menghapus PSPB dari daftar mata pelajaran. Selain itu, istilah SMP berubah menjadi SLTP (Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama), sedangkan SMA menjadi SMU (Sekolah Menengah Umum).
Kurikulum 1994 mengalami beberapa kali perubahan dalam rangka menyesuaikannya   dengan tuntutan reformasi. Dalam penyesuaian itulah muncul suplemen kurikulum tahun 1999, yang memuat penyesuaian materi pelajaran, terutama mata pelajaran sosial,PPKN, Sejarah, dan beberapa mata pelajaran lainnya.
Melalui UU No. 23 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional pangganti UU No. 2 tahun 1989, pemerintah dalam hal ini Departemen Pendidikan Nasional (Depdiknas) menyodorkan gagasan Kurikulum Berbasis Kompetensi (KBK) yang bersifat competency based curriculum, dalam Kurikulum 2004. KBK merupakan salah satu upaya pemerintah untuk mencapai keunggulan masyarakat dalam penguasaan ilmu dan teknologi. Gagasan tersebut sekaligus dimaksudkan untuk menjawab tantangan atas rendahnya mutu pendidikan karena lulusan yang tidak ditunjang dengan kompetensi memadai, saat terjun ke masyarakat. KBK diarahkan untuk mengembangkan pengetahuan, pemahaman, kemampuan, nilai, sikap, dan minat peserta didik agar dapat melakukan sesuatu dalam bentuk kemahiran, ketepatan dan keberhasilan dengan penuh tanggung jawab (Mulyasa, 2009:48).
Kurikulum 2004 mengembalikan istilah SLTP menjadi SMP dan SMU kembali menjadi SMA. Ironisnya, walau telah diujicobakan di beberapa sekolah melalui pilot project, KBK tidak juga disahkan sebagai kurikulum resmi. Hal ini antara lain karena KBK dianggap terlalu sarat materi, dan pemerintah (Depdiknas) terlalu intervensi terhadap kewenangan sekolah dalam mengembangkannya. Selain itu, KBK dinilai kurang aplikatif, bahkan pengertian kompetensi dan sistem penilaiannya dianggap belum jelas (Kunandar, 2007:89).
Peraturan Menteri Pendidikan Nasional (Permendiknas) Nomor 22 tahun 2006 tentang Standar Isi untuk Satuan Pendidikan Dasar dan Menengah, dan Permendiknas Nomor 23 tahun 2006 tentang Standar Kompetensi Lulusan untuk Satuan Pendidikan Dasar dan Menengah, serta Permendiknas Nomor 24 tahun 2006 tentang pelaksanaan dua Permendiknas sebelumnya, merupakan dasar berlakunya kurikulum baru yang menggantikan Kurikulum 1994 dan merevisi KBK (Kurikulum 2004). Setelah itu dikenal Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP), yaitu kurikulum yang disusun dan dilaksanakan oleh masing-masing satuan pendidikan.
Kunandar (2007:111-112) menguraikan, KTSP adalah sebuah konsep kurikulum yang menekankan pada pengembangan kemampuan melakukan (kompetensi) tugas-tugas dengan standar performa tertentu, sehingga hasilnya dapat dirasakan oleh siswa, berupa penguasaan terhadap seperangkat kompetensi tertentu. KTSP merupakan perangkat standar program pendidikan yang mengantar siswa memiliki kompetensi, pengetahuan, ketrampilan, dan nilai-nilai yang digunakan dalam berbagai bidang kehidupan. KTSP sebagai kurikulum yang dikembangkan dengan prinsip mampu beradaptasi dengan berbagai perubahan (berisi prinsip-prinsip pokok, bersifat fleksibel sesuai dengan perkembangan zaman), dan pengembangannya melalui proses akreditasi yang memungkinkan mata pelajaran dimodifikasi. Pada praktiknya, kurikulum ini dikembangkan oleh setiap satuan pendidikan  dan komite sekolah/madrasah di bawah koordinasi dan supervisi Dinas Pendidikan/Kantor Depag Kabupaten/Kota untuk Pendidikan Dasar, dan Dinas Pendidikan/Kantor Depag untuk Pendidikan Menengah dan Pendidikan Khusus.
Tahun 2013, Kurikulum 2013 resmi dilaksanakan, meski baru terbatas di beberapa sekolah model. Perangkat ini sejatinya merupakan langkah pengembangan KBK yang telah dirintis melalui pilot project pada tahun 2004, dan KTSP 2006 yang mencakup kompetensi sikap, pengetahuan, dan keterampilan secara terpadu.
Alasan Pengembangan Kurikulum 2013
Di dalam “Informasi Kurikulum untuk Masyarakat” dari Kemendikbud tahun 2013, ada empat alasan pengembangan Kurikulum 2013. Pertama berkembangnya fenomena di masyarakat, seperti maraknya perkelahian pelajar, merajalelanya peredaran narkoba, korupsi, plagiatisme, berbagai bentuk kecurangan dalam ujian nasional, dan berbagai gejolak lain yang mempengaruhi dan dipengaruhi pendidikan. Kedua, persepsi masyarakat terhadap kurikulum terdahulu yang dianggap terlalu menitikberatkan aspek kognitif, dan beban siswa yang terlalu berat. Ketiga, kompetensi yang dibutuhkan pada masa depan seperti; kemampuan berkomunikasi, berpikir jernih dan kritis, menjadi warga negara yang bertanggung jawab, mencoba mengerti jugatoleran  terhadap pandangan yang berbeda, hidup dalam masyarakat yang mengglobal. Keempat, tantangan masa depan seperti globalisasi, masalah lingkungan hidup, kemajuan iptek, konvergensi ilmu dan teknologi, ekonomi berbasis pengetahuan, kebangkitan industri kreatif dan budaya, pergeseran kekuatan ekonomi dunia, tuntutan mutu, investasi juga transformasi sektor pendidikan, dan hasil-hasil pengukuran TIMMS (Trends in International Math and Science Survey. 2007. Global Survey) maupun PISA ( Programe for International Student Assesment. 2009).
Penyempurnaan pola pikir perumusan kurikulum. Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemdikbud) menyatakan bahwa perumusan Kurikulum 2013 berbeda dari kurikulum-kurikulum sebelumnya, terutama KBK tahun 2004 dan KTSP 2006. Dalam KBK dan KTSP, standar kelulusan diturunkan dari standar isi, sedangkan pada  Kurikulum 2013 diturunkan dari kebutuhan riil anak didik dan kehidupan sosial masyarakat saat ini maupun nanti. Dengan kata lain, pada KBK dan KTSP kompetensi diturunkan dari matapelajaran, sedangkan pada Kurikulum 2013 matapelajaran diturunkan dari kompetensi yang ingin dicapai. Selain itu, KBK dan KTSP relatif menekankan pada matapelajaran (subject matter), padahal yang dituju adalah penguasaan sejumlah kompetensi.Hal tersebut terlihat dari pemisahan berbagai matapelajaran dalam rangka membentuk kompetensi berupa pengetahuan, sikap, dan keterampilan tertentu.Kurikulum 2013 diarahkan agar semua matapelajaran bersifat tematik integratif, sehingga secara bersama menunjang tercapainya seluruh kompetensi tersebut.Jika dalam kurikulum sebelumnya pendekatan tematik hanya berlaku bagi siswa Kelas 1 (satu) sampai 3 (tiga) SD (itu pun ternyata tidak berjalan–red), sekarang harus diterapkan untuk seluruh siswa dari Kelas 1 (satu) sampai 6 (enam).
Standar Kompetensi Lulusan (SKL). Secara umum SKL yang dirumuskan dalam Kurikulum 2013 diambil dari analisis kebutuhan anak didik dan realitas sosial. SKL Kurikulum 2013 dibagi menjadi tiga kategori kompetensi, yaitu sikap, keterampilan, dan pengetahuan, baik pada jenjang SD/MI, SMP/MTs, SMA/MA dan SMK/MAK. Sikap yang diharapkan dimiliki peserta didik di antaranya; menjadi pribadi yang beriman, berakhlak mulia, percaya diri, dan bertanggungjawab dalam berinteraksi secara efektif dengan lingkungan sosial, alam sekitar, serta dunia dan peradabannya.Selain itu juga dapat menerima, menjalankan, menghargai, menghayati, dan mengamalkan nilai-nilai kebaikan.
Keterampilan. Beberapa ketrampilan diharapkan dikuasai siswa sebagai hasil belajarnya. Antara lain; menjadi pribadi yang berkemampuan pikir dan sikap yang efektif dan kreatif dalam ranah abstrak dan konkret. Selain itu juga memiliki kemampuan yang baik dalam mengamati, bertanya, mencoba, mengolah, menyajikan, melanar, dan mencipta.
Pengetahuan. Pada akhirnya peserta didik juga harus menjadi pribadi yang menguasai sejumlah ilmu pengetahuan, teknologi, seni, budaya, dan berwawasan kemanusiaan, kebangsaan, kenegaraan, dan peradaban.Selain itu memiliki kemampuan tinggi dalam mengetahui, memahami, menerapkan, menganalisa, dan mengevaluasi berbagai problema yang dihadapi dalam masyarakat.
Pada jenjang SD, anak didik harus memiliki sikap dan perilaku yang mencerminkan sikap orang beriman, berakhlak mulia, percaya diri, dan bertanggungjawab dalam berinteraksi secara efektif dengan lingkungan sosial dan alam di sekitar rumah, sekolah, dan tempat bermain. Selain itu harus memiliki kemampuan berpikir dan bertindak atau bersikap yang efektif dan kreatif scara abstrak dan konkret sesuai dengan apa yang ditugaskan kepada anak didik tersebut. Pada bidang pengetahuan anak didik juga dituntut untuk memiliki pengetahuan faktual dan konseptual dalam ilmu pengetahuan, teknologi, seni, dan budaya dengan wawasan kemanusiaan, kebangsaan, kenegaraan, dan peradaban terkait fenomena dan kejadian di lingkungan rumah, sekolah, dan tempat bermain.
Di SMP anak didik harus memiliki perilaku yang mencerminkan sikap orang beriman, berakhlak mulia, percaya diri, dan bertanggungjawab dalam berinteraksi secara efektif dengan lingkungan sosial dan alam dalam jangkauan pergaulan dan keberadaannya. Selain itu juga harus memiliki kemampuan berpikir dan bertindak yang efektif dan kreatif baik secara abstrak maupun konkret sesuai dengan hal yang dipelajari di sekolah atau sumber belajar lain yang sama dengan yang diperoleh di sekolah. Pada bidang pengetahuan anak didik juga dituntut untuk memiliki pengetahuan faktual, konseptual, dan prosedural dalam ilmu pengetahuan, teknologi, seni, dan budaya dengan wawasan kemanusiaan, kebangsaan, kenegaraan, dan peradaban terkait fenomena dan kejadian yang tampak mata.
Pada jenjang SMA dan SMK anak didik harus memiliki perilaku yang mencerminkan sikap orang beriman, berakhlak mulia, percaya diri, dan bertanggungjawab dalam berinteraksi secara efektif dengan lingkungan sosial dan alam serta dalam menempatkan dirinya sebagai cerminan bangsa dalam pergaulan dunia.Pada bidang keterampilan anak didik harus memiliki kemampuan berpikir dan bertindak yang efektif dan kreatif dalam baik secara abstrak maupun konkret terkait dengan pengembangan dari yang sudah dipelajari oleh anak didik di sekolah secara mandiri.Selain itu pada bidang pengetahuan anak didik juga dituntut untuk dapat memiliki pengetahuan prosedural dan metakognitif dalam ilmu pengetahuan, teknologi, seni, dan budaya dengan wawasan kemanusiaan, kebangsaan, kenegaraan, dan peradaban terkait penyebab fenomena dan kejadian.
Penguatan isi/materi pembelajaran. Berdasarkan analisis yang sudah dibuat oleh Tim Pengembang Kurikulum 2013, maka penguatan materi atau isi Kurikulum 2013 diarahkan untuk memenuhi standar yang terdapat dalam model evaluasi dari TIMSS dan PISA. Hal yang dilakukan pada penguatan materi antara lain adalah dengan: (1) mengevaluasi ruang lingkup materi yang diberikan, berupa meniadakan materi yang tidak esensial dan atau tidak relevan bagi siswa, mempertahankan materi yang sesuai dengan kebutuhan siswa, dan menambah materi yang dianggap penting dalam perbandingan internasional; (2) mengevaluasi kedalaman atau tingkat kesulitan materi sesuai dengan tuntutan perbandingan internasional; dan (3) menyusun kompetensi dasar yang sesuai dengan materi yang dibutuhkan.
Penguatan proses pembelajaran. Pertimbangan utama pada penguatan proses pembelajaran didasarkan pada analisis kompetensi yang dibutuhkan pada abat ke-21. Intinya adalah: kehidupan di abad ke-21 adalah dunia yang selalu berubah tiap menit dan detik, perkembangan teknologi informasi dan komunikasi (TIK) sudah demikian pesatnya dan mengisi semua sendi-sendi kehidupan manusia, realitas globalisasi ekonomi, budaya, dan lainnya yang diperantarai oleh media. Oleh karena itu, dalam kehidupan sosial dan dunia kerja diperlukan kompetensi individu yang: (1) fleksibel dan adaptif terhadap perubahan; (2) memiliki inisiatif dan mandiri; (3) memiliki keterampilan sosial dan budaya; (4) produktif dan akuntabel; (5) memilik jiwa kepemimpinan dan bertanggungjawab; (6) memiliki kemampuan belajar sepanjang hayat dan inovasi; dan (7) melek media, teknologi, dan informasi. Oleh karena itulah terjadi perubahan proses pembelajaran yang cukup signifikan. Bila dalam KBK dan KTSP pengetahuan mengenai TIK itu diajarkan sebagai mata pelajaran, dalam Kurikulum 2013 TIK menjadi bagian melekat dari setiap proses pembelajaran. 
Hal tersebut menunjukkan bahwa proses pembelajaran di kelas dan sekolah tidak cukup hanya melalui peningkatan pengetahuan saja, melainkan juga harus dilengkapi dengan kemampuan kritis dan kreatif, berkarakter kuat, yakni individu yang bertanggungjawab, berjiwa sosial tinggi, toleran, produktif, adaptif terhadap perubahan, dan lainnya, serta didukung oleh kemampuan memanfaatkan teknologi, informasi, dan media. Beberapa hal yang dapat dilakukan antara lain adalah: (1) mempersiapkan tenaga pendidik dan kependidikan melalui pelatihan dan juga dukungan infrastruktur; (2) memungkinkan pendidikan untuk berkolaborasi, berbagi pengalaman, dan mengintegrasikannya di ruang kelas; (3) memungkinkan siswa untuk belajar banyak hal yang relevan dengan konteks dunia sekitar yang selalu berkembang; dan (4) mendukung keterlibatan komunitas dalam pembelajaran, baik pembelajaran langsung (tatap muka) maupun online.
Penguatan penilaian pembelajaran. Penguatan penilaian pembelajaran juga didasarkan pada analisis kemampuan yang diperlukan pada abad ke-21. Agar dapat menunjang proses pembelajaran dan pencapaian kompetensi yang dibutuhkan, maka penilaian yang digunakan bukan hanya berupa tes formatif maupun tes sumatif, melainkan juga penilaian lain termasuk portofolio siswa yang menekankan pada pemanfaatan umpan balik berdasarkan kinerja yang ditunjukkan oleh siswa, dan memperbolehkan pengembangan portofolio siswa. Hal-hal yang dinilai antara lain adalah: (1) tingkat kemampuan berpikir siswa dari tingkat rendah sampai tinggi; (2) menekankan pada pemberian pertanyaan yang membutuhkan pemikiran mendalam (bukan sekadar hafalan semata); (3) mengukur proses kerja siswa, bukan hanya hasil kerja siswa; dan (4) menggunakan portofolio pembelajaran siswa.
Pembagian peran guru dan pemerintah. Kurikulum 2013 sudah dilengkapi dengan silabus yang akan diimplementasikan di kelas oleh para guru di sekolah.Dengan demikian, beban guru menjadi lebih ringan karena tidak perlu pusing lagi menghabiskan waktu untuk menyusun silabus atau RPP. Kurikulum 2013 juga memberikan hak dan kewenangan kepada pemerintah daerah (Pemda) untuk menyusun kurikulum daerah yang di dalamnya antara lain dapat memuat materi bahasa daerah, budaya daerah, dan sejenisnya. Mata pelajaran bahasa daerah tidak dimunculkan dalam struktur Kurikulum 2013. Oleh karena itu,keberadaan Bahasa Daerah sebagai mata pelajaran ditentukan oleh kebijakan Pemda,sesuai dengan bunyi pasal 42 UU No.24 Tahun 2009 tentang Bendera dan Bahasa Nasional.
Struktur Kurikulum 2013
Terkait dengan struktur kurikulum, rencana pengembangan kurikulum adalah sebagai berikut :
1.      SD/MI. Berorientasi pada holistik integratif berfokus pada alam, sosial dan budaya. Pembelajaran dilaksanakan dengan pendekatan sains. Jumlah mata pelajaran dari 10 menjadi 6. Jumlah jam bertambah 4 jam per minggu akibat pendekatan pembelajaran (dari 32 jam menjadi 36 jam).
2.      SMP/MTs. TIK menjadi media semua pelajaran. Pengembangan diri terintegrasi pada setiap mata pelajaran dan ekstrakurikuler. Jumlah mata pelajaran dari 12 menjadi 10. Jumlah jam bertambah dari 6 jam pelajaran/minggu akibat pendekatan pembelajaran (dari 32 menjadi 38).
3.      SMA/MA. Perubahan sistem, ada mata pelajaran wajib dan pilihan. Terjadi pengurangan mata pelajaran yang harus diikuti siswa. Jumlah jam bertambah 2 jam per minggu akibat pendekatan pembelajaran.
4.      SMK/MAK. Penyesuaian jenis keahlian berdasarkan spektruk kebutuhan saat ini. Penyeragaman mata pelajaran dasar umum. Mapel produktif disesuaikan dengan trens perkembangan industry. Pengelompokan mata pelajaran produktif sehingga tidak terlalu rinci pembagiannya.

DAFTAR PUSTAKA
Kunandar. 2007. Guru Profesional, Implementasi KTSP dan Persiapan Menghadapi Sertifikasi Guru. Jakarta:  PT. Raja Grafindo Persada.
Mulyasa E. 2009. Menjadi Kepala Sekolah Profesional. Bandung: PT. Remaja Rosdakarya.
Mulyasa E. 2010. Penelitian Tindakan Sekolah. Bandung: PT. Remaja Rosdakarya.
Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan. 2013. Informasi Kurikulum untuk Masyarakat.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar