Anjing menggonggong
kafilah berlalu. Pro kontra terus terdengar, tetapi Kurikulum 2013 terus berjalan
dan disosialisasikan. Kurikulum pendidikan formal 2013 dirumuskan dan
kembangkan dengan optimisme tinggi, sebagai penyempurnaan kurikulum-kurikulum
sebelumnya.Tujuannya, agar dihasilkan lulusan sekolah yang cerdas, kreatif,
inovatif, dan memiliki kepercayaan diri tinggi baik secara individu maupun
sebagai bangsa, serta toleran terhadap segala perbedaan yang ada.
Kurikulum
2013 sudah diimplementasikan di sejumlah sekolah model, baik Sekolah
Dasar/Madrasah Ibtidaiyah (SD/MI), Sekolah Menengah Pertama/Madrasah Tsanawiyah
(SMP/MTs), Sekolah Menengah Atas/Madrasah Aliyah (SMA/MA), maupun Sekolah
Menengah Kejuruan/Madrasah Aliyah Kejuruan (SMK/MAK).
Suara-suara
sumbang bernada pesimis dan sinis tentang Kurikulum 2013, masih terdengar dari
berbagai pihak, termasuk para guru sebagai pelaksananya. Ada yang menyebut
bahwa implementasinya terlalu tergesa-gesa dan kurang sosialisasi. Produk baru ini juga dirasa kurang melibatkan guru atau asosiasi
profesi pendidik dalam perumusannya, serta
tidak didasari evaluasi terhadap Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) yang sedang berjalan. Sejumlah mata pelajaran yang mendukung persiapan
siswa dalam menghadapi persaingan global (Bahasa Inggris dan TIK) justru dihapuskan, sehingga dianggap tidak menjawab kebutuhan peserta didik. Bahkan
berkembang pula stigma negatif terhadap guru, yang
merasa diabaikan kemampuannya dalam membuat Rencana Pelaksanaan Pembelajaran
(RPP) dan silabus. Singkatnya, pemerintah dicap salah langkah
memberlakukan Kurikulum 2013, karena semestinya cukup hanya dengan membenahi metodologi dan kualitas guru saja.
Sebagian
kalangan bersikap skeptis. Bukan hanya masyarakat awam, pengamat pendidikan,
bahkan para guru masih meraba-raba wujud pembelajaran yang akan dilaksanakan di
kelasnya. Hal ini terjadi karena kebiasaan para guru yang telah berlaku selama
puluhan tahun, tak akan mudah berubah.
Diakui atau tidak, mindset
para guru di Indonesia sampai saat ini masih sangat sederhana (jika tidak ingin
disebut primitif). Yaitu bahwa tugas guru adalah mengajar, menyampaikan materi mata
pelajaran tertentu, sehingga anak menjadi pintar, yang keberhasilannya
ditentukan oleh nilai berupa angka-angka dengan standar kelulusan tertentu. Sebagian
besar (jika tak boleh dikatakan seluruhnya) guru, baik itu di SD, SMP, maupun
SMA, belum terbiasa menilai elemen sikap siswanya. Pun belum terbiasa mengajar
secara modern sebagaimana diamanatkan oleh Kurikulum 2013.
Perubahan/pengembangan
kurikulum yang hampir selalu terjadi setiap kali penguasa berganti, tak serta
merta mengubah mindset tersebut.Tetap
saja ceramah menjadi metode favorit para guru saat mengajar. Hanya segelintir
guru yang benar-benar mampu dan rela bersusah payah mempelajari lalu menggunakan
berbagai pendekatan, model, dan alat peraga pembelajaran. Selebihnya, semua materi
tentang pelaksanaan pembelajaran yang inofatif dan menyenangkan dalam setiap Diklat, hanya tinggal sebagai
teori dalam perencanaan. Salah satu buktinya, model pembelajaran tematik sebenarnya
telah diperkenalkan dalam KTSP, meski baru sebatas untuk siswa kelas satu
sampai tiga SD. Kenyataannya, belum satupun sekolah atau guru yang mampu
melaksanakannya.
Kebingungan
para guru (terutama guru SD) dalam menerapkan Kurikulum 2013 semakin
menjadi-jadi, ketika tanggal 3 Desember lalu pemerintah resmi menghapuskan
sistem Ujian Nasional (UN) bagi siswa SD, yang berlaku pada tahun 2013. Dengan
PP No. 32/2013 sistem UN bagi siswa SD ditiadakan, dan digantikan dengan sistem
ujian sekolah. Guna menjaga kualitas lulusan, materi ujian sekolah 25%
dibuat/ditentukan oleh pusat sebagai bahan monitoring. Sedangkan 75% lainnya
disusun sendiri oleh sekolah.
Selain
itu, bagi siswa SD juga tidak lagi diterapkan sistem penilaian dengan
angka-angka. Bentuk pembelajaran harus dirupakan kegiatan-kegiatan, dengan
komposisi 70% berupa penanaman sikap, dan 30 % untuk pengetahuan dan
ketrampilan. Raport siswa SD akan berisi catatan-catatan tentang kelebihan dan
kekurangan siswa bersangkutan. Dengan demikian, tidak akan lagi terdengar
istilah siswa tidak naik kelas, bagi siswa SD.
Jelas,
pernyataan yang terkesan tiba-tiba (setelah sebelumnya pemerintah begitu ngotot
mempertahankan UN) itu membuat guru kerepotan. Belum lagi mampu memahami
apalagi menerapkan sepenuhnya Kurikulum 2013, sudah harus segera melaksanakan
kebijakan baru pula, mengingat ujian semester sudah dimulai. Butuh waktu lama,
tak cukup hanya dengan diklat selama beberapa hari saja hingga program
pemerintah ini berjalan seperti yang diharapkan. Butuh komitmen tinggi pula
dari para guru maupun pihak-pihak terkait untuk menyukseskannya. Jika tidak,
harapan tinggi yang menyertai lahirnya Kurikulum 2013 justru akan menjadi bumerang,
dan berakibat fatal bagi siswa, masyarakat
maupun bangsa pada umumnya.
Kurikulum di Indonesia
Terlepas dari keraguan berbagai pihak terhadap penerapan Kurikulum
2013, ada baiknya kita memahami perjalanan kurikulum di Indonesia. Apakah
kurikulum itu? Kenapa perangkat ini seolah menjadi ajang bagi pejabat berwenang
(di Indonesia) untuk menunjukkan eksistensinya, sehingga terpatri anggapan
‘ganti mentri ganti kurikulum’? Lalu kita dapat melihat, bagaimana Kurikulum
2013 harus diterapkan?
Kurikulum dalam Kamus Besar Bahasa
Indonesia (KBBI) didefinisikan sebagai perangkat mata pelajaran yang diajarkan pada lembaga
pendidikan. Peraturan Pemerintah No. 19 tahun 2005 tentang Stantar Nasional
Pendidikan menyebutkan, kurikulum sebagai seperangkat rencana dan pengaturan
mengenai tujuan, isi, dan bahan pelajaran serta cara yang digunakan sebagai
pedoman penyelenggaraan kegiatan pembelajaran untuk mencapai tujuan pendidikan
tertentu.
Kunandar (2007:91) mengutip pendapat
beberapa ahli pendidikan tentang pengertian kurikulum. Di antaranya Nurhadi,
yang mengatakan bahwa kurikulum merupakan salah satu variabel yang berpengaruh
terhadap sistem pendidikan nasional. Sedangkan B. Othanel Smith dkk menyebut
kurikulum sebagai sejumlah pengalaman yang secara potensial dapat diberikan
kepada anak atau pemuda, agar mereka dapat berpikir dan berbuat sesuai dengan
masyarakat. William B. Ragan memerinci kurikulum meliputi seluruh program dan
kehidupan dalam sekolah, yakni segala pengalaman anak di bawah tanggung jawab
sekolah, berupa bahan pelajaran, juga seluruh kehidupan dalam kelas, termasuk
di dalamnya hubungan sosial antara guru dengan murid, metode mengajar, dan cara
mengevaluasi. Demikian juga dengan J. Lloyd dan Delmas F. Miller yang menguraikan
kurikulum meliputi metode belajar mengajar, cara mengevaluasi murid, dan
seluruh program, perubahan tenaga mengajar, bimbingan dan penyuluhan, supervisi
dan administrasi, serta hal-hal struktural tentang waktu, jumlah ruangan juga
kemungkinan memilih mata pelajaran.
Dengan demikian, kurikulum merupakan
seperangkat rencana program tertulis yang menjadi pedoman praktis bagi terlaksananya
proses pendidikan, menuju tercapainya tujuan pendidikan nasional. Nurhadi juga
mengemukakan beberapa kriteria kurikulum, yaitu; harus dapat menjawab kebutuhan
masyarakat dalam menghadapi perkembangan kehidupan mendatang, dapat diperbaharui,
komprehensif dan responsef terhadap dinamika sosial, relevan, tidak overload, serta mampu mengakomodasi
keberagaman keperluan maupun kemajuan teknologi.
Di Indonesia, kurikulum pendidikan baru
dikenal pada tahu1968. Sebelumnya, sejak tahun 1947 hanya dikenal adanya
‘Rencana Pelajaran’ yangdimaksudkan sebagai salah satu upaya pembenahan sistem
persekolahan pascamerdeka, agar sesuai dengan Undang-Undang Dasar 1945. Namun
pembenahan ini baru terwujud pada tahun 1965 dengan dikeluarkannya Keppres No. 19 tahun 1965 tentang Pokok-pokok Sistem
Pendidikan Nasional Pancasila. Jiwa kurikulum pada waktu itu adalah gotong
royong dan demokrasi terpimpin.Tak lama kemudian keluar Tap.MPRS No.
XXVII/MPRS/1966 yang berisi tujuan pendidikan untuk membentuk manusia
Pancasilais sejati (Kunandar, 2007:86).
Tahun 1968 keluar kurikulum yang
menyebutkan tujuan pendidikan adalah mempertinggi mental, moral, budi pekerti,
dan memperkuat keyakinan beragama, mempertinggi kecerdasan dan ketrampilan,
serta membina dan mengembangkan fisik yang kuat dan sehat. Tahun 1975 kurikulum baru muncul lagi, dengan
karakteristik menunjuk pada sifat integrated
curriculum organization. Namun kurikulum ini dianggap tidak mampu mengikuti
pesatnya kemajuan dan kebutuhan masyarakat.
Tahun 1984 kurikulum yang bersifat content based curriculum diberlakukan.
Dalam kurikulum ini, terdapat penambahan mata pelajaran Pendidikan Sejarah
Perjuangan Bangsa (PSPB). Setelah berjalan beberapa lama, kurikulum ini
dianggap terlalu sarat beban. Lalu pada tahun 1994 digantikan kurikulum baru,
yang bersifat objective based curriculum
dan menghapus PSPB dari daftar mata pelajaran. Selain itu, istilah SMP berubah
menjadi SLTP (Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama), sedangkan SMA menjadi SMU
(Sekolah Menengah Umum).
Kurikulum 1994 mengalami beberapa kali perubahan
dalam rangka menyesuaikannya dengan
tuntutan reformasi. Dalam penyesuaian itulah muncul suplemen kurikulum tahun
1999, yang memuat penyesuaian materi pelajaran, terutama mata pelajaran sosial,PPKN,
Sejarah, dan beberapa mata pelajaran lainnya.
Melalui UU No. 23 tahun 2003 tentang
Sistem Pendidikan Nasional pangganti UU No. 2 tahun 1989, pemerintah dalam hal
ini Departemen Pendidikan Nasional (Depdiknas) menyodorkan gagasan Kurikulum
Berbasis Kompetensi (KBK) yang bersifat competency
based curriculum, dalam Kurikulum 2004. KBK merupakan salah satu upaya
pemerintah untuk mencapai keunggulan masyarakat dalam penguasaan ilmu dan
teknologi. Gagasan tersebut sekaligus dimaksudkan untuk menjawab tantangan atas
rendahnya mutu pendidikan karena lulusan yang tidak ditunjang dengan kompetensi
memadai, saat terjun ke masyarakat. KBK diarahkan untuk mengembangkan
pengetahuan, pemahaman, kemampuan, nilai, sikap, dan minat peserta didik agar
dapat melakukan sesuatu dalam bentuk kemahiran, ketepatan dan keberhasilan
dengan penuh tanggung jawab (Mulyasa, 2009:48).
Kurikulum 2004 mengembalikan istilah
SLTP menjadi SMP dan SMU kembali menjadi SMA. Ironisnya, walau telah diujicobakan
di beberapa sekolah melalui pilot project,
KBK tidak juga disahkan sebagai kurikulum resmi. Hal ini antara lain karena KBK
dianggap terlalu sarat materi, dan pemerintah (Depdiknas) terlalu intervensi
terhadap kewenangan sekolah dalam mengembangkannya. Selain itu, KBK dinilai
kurang aplikatif, bahkan pengertian kompetensi dan sistem penilaiannya dianggap
belum jelas (Kunandar, 2007:89).
Peraturan Menteri Pendidikan Nasional
(Permendiknas) Nomor 22 tahun 2006 tentang Standar Isi untuk Satuan Pendidikan
Dasar dan Menengah, dan Permendiknas Nomor 23 tahun 2006 tentang Standar
Kompetensi Lulusan untuk Satuan Pendidikan Dasar dan Menengah, serta
Permendiknas Nomor 24 tahun 2006 tentang pelaksanaan dua Permendiknas
sebelumnya, merupakan dasar berlakunya kurikulum baru yang menggantikan Kurikulum
1994 dan merevisi KBK (Kurikulum 2004). Setelah itu dikenal Kurikulum Tingkat
Satuan Pendidikan (KTSP), yaitu kurikulum yang disusun dan dilaksanakan oleh
masing-masing satuan pendidikan.
Kunandar (2007:111-112) menguraikan,
KTSP adalah sebuah konsep kurikulum yang menekankan pada pengembangan kemampuan
melakukan (kompetensi) tugas-tugas dengan standar performa tertentu, sehingga
hasilnya dapat dirasakan oleh siswa, berupa penguasaan terhadap seperangkat
kompetensi tertentu. KTSP merupakan perangkat standar program pendidikan yang
mengantar siswa memiliki kompetensi, pengetahuan, ketrampilan, dan nilai-nilai
yang digunakan dalam berbagai bidang kehidupan. KTSP sebagai kurikulum yang
dikembangkan dengan prinsip mampu beradaptasi dengan berbagai perubahan (berisi
prinsip-prinsip pokok, bersifat fleksibel sesuai dengan perkembangan zaman),
dan pengembangannya melalui proses akreditasi yang memungkinkan mata pelajaran
dimodifikasi. Pada praktiknya, kurikulum ini dikembangkan oleh setiap satuan
pendidikan dan komite sekolah/madrasah
di bawah koordinasi dan supervisi Dinas Pendidikan/Kantor Depag Kabupaten/Kota
untuk Pendidikan Dasar, dan Dinas Pendidikan/Kantor Depag untuk Pendidikan
Menengah dan Pendidikan Khusus.
Tahun
2013, Kurikulum 2013 resmi dilaksanakan, meski baru terbatas di beberapa
sekolah model. Perangkat ini sejatinya merupakan langkah pengembangan KBK
yang telah dirintis melalui pilot project
pada tahun 2004, dan KTSP 2006 yang mencakup kompetensi sikap, pengetahuan,
dan keterampilan secara terpadu.
Alasan
Pengembangan Kurikulum 2013
Di dalam “Informasi
Kurikulum untuk Masyarakat” dari Kemendikbud tahun 2013, ada
empat alasan pengembangan Kurikulum 2013. Pertama berkembangnya fenomena di
masyarakat, seperti maraknya perkelahian pelajar, merajalelanya peredaran
narkoba, korupsi, plagiatisme, berbagai bentuk kecurangan dalam ujian nasional,
dan berbagai gejolak lain yang mempengaruhi dan dipengaruhi pendidikan. Kedua,
persepsi masyarakat terhadap kurikulum terdahulu yang dianggap terlalu
menitikberatkan aspek kognitif, dan beban siswa yang terlalu berat. Ketiga,
kompetensi yang dibutuhkan pada masa depan seperti; kemampuan berkomunikasi,
berpikir jernih dan kritis, menjadi warga negara yang bertanggung jawab,
mencoba mengerti jugatoleran terhadap
pandangan yang berbeda, hidup dalam masyarakat yang mengglobal. Keempat,
tantangan masa depan seperti globalisasi, masalah lingkungan hidup, kemajuan
iptek, konvergensi ilmu dan teknologi, ekonomi berbasis pengetahuan,
kebangkitan industri kreatif dan budaya, pergeseran kekuatan ekonomi dunia,
tuntutan mutu, investasi juga transformasi sektor pendidikan, dan hasil-hasil pengukuran
TIMMS (Trends in International Math and Science Survey. 2007. Global Survey)
maupun PISA ( Programe for International
Student Assesment. 2009).
Penyempurnaan pola pikir perumusan
kurikulum. Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemdikbud) menyatakan bahwa
perumusan Kurikulum 2013 berbeda dari kurikulum-kurikulum sebelumnya, terutama
KBK tahun 2004 dan KTSP 2006. Dalam KBK dan KTSP, standar kelulusan diturunkan
dari standar isi, sedangkan pada Kurikulum 2013 diturunkan dari kebutuhan riil
anak didik dan kehidupan sosial masyarakat saat ini maupun nanti. Dengan kata
lain, pada KBK dan KTSP kompetensi diturunkan dari matapelajaran, sedangkan
pada Kurikulum 2013 matapelajaran diturunkan dari kompetensi yang ingin
dicapai. Selain itu, KBK dan KTSP relatif menekankan pada matapelajaran (subject matter), padahal yang dituju
adalah penguasaan sejumlah kompetensi.Hal tersebut terlihat dari pemisahan
berbagai matapelajaran dalam rangka membentuk kompetensi berupa pengetahuan,
sikap, dan keterampilan tertentu.Kurikulum 2013 diarahkan agar semua
matapelajaran bersifat tematik integratif, sehingga secara bersama menunjang
tercapainya seluruh kompetensi tersebut.Jika dalam kurikulum sebelumnya
pendekatan tematik hanya berlaku bagi siswa Kelas 1 (satu) sampai 3 (tiga) SD (itu
pun ternyata tidak berjalan–red),
sekarang harus diterapkan untuk seluruh siswa dari Kelas 1 (satu) sampai 6 (enam).
Standar Kompetensi Lulusan
(SKL). Secara umum SKL yang dirumuskan dalam Kurikulum 2013 diambil dari
analisis kebutuhan anak didik dan realitas sosial. SKL Kurikulum 2013 dibagi
menjadi tiga kategori kompetensi, yaitu sikap, keterampilan, dan pengetahuan, baik
pada jenjang SD/MI, SMP/MTs, SMA/MA dan SMK/MAK. Sikap yang diharapkan dimiliki
peserta didik di antaranya; menjadi pribadi yang beriman, berakhlak mulia,
percaya diri, dan bertanggungjawab dalam berinteraksi secara efektif dengan
lingkungan sosial, alam sekitar, serta dunia dan peradabannya.Selain itu juga
dapat menerima, menjalankan, menghargai, menghayati, dan mengamalkan
nilai-nilai kebaikan.
Keterampilan. Beberapa ketrampilan diharapkan dikuasai siswa sebagai
hasil belajarnya. Antara lain; menjadi pribadi yang berkemampuan pikir dan
sikap yang efektif dan kreatif dalam ranah abstrak dan konkret. Selain itu juga
memiliki kemampuan yang baik dalam mengamati, bertanya, mencoba, mengolah,
menyajikan, melanar, dan mencipta.
Pengetahuan. Pada akhirnya peserta didik juga harus menjadi pribadi yang
menguasai sejumlah ilmu pengetahuan, teknologi, seni, budaya, dan berwawasan
kemanusiaan, kebangsaan, kenegaraan, dan peradaban.Selain itu memiliki
kemampuan tinggi dalam mengetahui, memahami, menerapkan, menganalisa, dan
mengevaluasi berbagai problema yang dihadapi dalam masyarakat.
Pada jenjang SD, anak didik harus memiliki sikap dan perilaku yang
mencerminkan sikap orang beriman, berakhlak mulia, percaya diri, dan
bertanggungjawab dalam berinteraksi secara efektif dengan lingkungan sosial dan
alam di sekitar rumah, sekolah, dan tempat bermain. Selain itu harus memiliki
kemampuan berpikir dan bertindak atau bersikap yang efektif dan kreatif scara
abstrak dan konkret sesuai dengan apa yang ditugaskan kepada anak didik
tersebut. Pada bidang pengetahuan anak didik juga dituntut untuk memiliki
pengetahuan faktual dan konseptual dalam ilmu pengetahuan, teknologi, seni, dan
budaya dengan wawasan kemanusiaan, kebangsaan, kenegaraan, dan peradaban
terkait fenomena dan kejadian di lingkungan rumah, sekolah, dan tempat bermain.
Di SMP anak didik harus memiliki perilaku yang mencerminkan sikap orang
beriman, berakhlak mulia, percaya diri, dan bertanggungjawab dalam berinteraksi
secara efektif dengan lingkungan sosial dan alam dalam jangkauan pergaulan dan
keberadaannya. Selain itu juga harus memiliki kemampuan berpikir dan bertindak
yang efektif dan kreatif baik secara abstrak maupun konkret sesuai dengan hal
yang dipelajari di sekolah atau sumber belajar lain yang sama dengan yang
diperoleh di sekolah. Pada bidang pengetahuan anak didik juga dituntut untuk
memiliki pengetahuan faktual, konseptual, dan prosedural dalam ilmu
pengetahuan, teknologi, seni, dan budaya dengan wawasan kemanusiaan,
kebangsaan, kenegaraan, dan peradaban terkait fenomena dan kejadian yang tampak
mata.
Pada jenjang SMA dan SMK anak didik harus memiliki perilaku yang
mencerminkan sikap orang beriman, berakhlak mulia, percaya diri, dan
bertanggungjawab dalam berinteraksi secara efektif dengan lingkungan sosial dan
alam serta dalam menempatkan dirinya sebagai cerminan bangsa dalam pergaulan
dunia.Pada bidang keterampilan anak didik harus memiliki kemampuan berpikir dan
bertindak yang efektif dan kreatif dalam baik secara abstrak maupun konkret
terkait dengan pengembangan dari yang sudah dipelajari oleh anak didik di sekolah
secara mandiri.Selain itu pada bidang pengetahuan anak didik juga dituntut
untuk dapat memiliki pengetahuan prosedural dan metakognitif dalam ilmu
pengetahuan, teknologi, seni, dan budaya dengan wawasan kemanusiaan,
kebangsaan, kenegaraan, dan peradaban terkait penyebab fenomena dan kejadian.
Penguatan isi/materi pembelajaran. Berdasarkan analisis yang sudah dibuat
oleh Tim Pengembang Kurikulum 2013, maka penguatan materi atau isi Kurikulum
2013 diarahkan untuk memenuhi standar yang terdapat dalam model evaluasi dari TIMSS
dan PISA. Hal yang dilakukan pada penguatan materi antara lain adalah dengan:
(1) mengevaluasi ruang lingkup materi yang diberikan, berupa meniadakan materi
yang tidak esensial dan atau tidak relevan bagi siswa, mempertahankan materi yang
sesuai dengan kebutuhan siswa, dan menambah materi yang dianggap penting dalam
perbandingan internasional; (2) mengevaluasi kedalaman atau tingkat kesulitan
materi sesuai dengan tuntutan perbandingan internasional; dan (3) menyusun
kompetensi dasar yang sesuai dengan materi yang dibutuhkan.
Penguatan proses pembelajaran. Pertimbangan utama pada penguatan proses
pembelajaran didasarkan pada analisis kompetensi yang dibutuhkan pada abat
ke-21. Intinya adalah: kehidupan di abad ke-21 adalah dunia yang selalu berubah
tiap menit dan detik, perkembangan teknologi informasi dan komunikasi (TIK)
sudah demikian pesatnya dan mengisi semua sendi-sendi kehidupan manusia,
realitas globalisasi ekonomi, budaya, dan lainnya yang diperantarai oleh media.
Oleh karena itu, dalam kehidupan sosial dan dunia kerja diperlukan kompetensi
individu yang: (1) fleksibel dan adaptif terhadap perubahan; (2) memiliki
inisiatif dan mandiri; (3) memiliki keterampilan sosial dan budaya; (4)
produktif dan akuntabel; (5) memilik jiwa kepemimpinan dan bertanggungjawab;
(6) memiliki kemampuan belajar sepanjang hayat dan inovasi; dan (7) melek
media, teknologi, dan informasi. Oleh karena itulah terjadi perubahan proses
pembelajaran yang cukup signifikan. Bila dalam KBK dan KTSP pengetahuan mengenai
TIK itu diajarkan sebagai mata pelajaran, dalam Kurikulum 2013 TIK menjadi
bagian melekat dari setiap proses pembelajaran.
Hal tersebut menunjukkan bahwa proses pembelajaran di kelas dan sekolah
tidak cukup hanya melalui peningkatan pengetahuan saja, melainkan juga harus
dilengkapi dengan kemampuan kritis dan kreatif, berkarakter kuat, yakni
individu yang bertanggungjawab, berjiwa sosial tinggi, toleran, produktif,
adaptif terhadap perubahan, dan lainnya, serta didukung oleh kemampuan
memanfaatkan teknologi, informasi, dan media. Beberapa hal yang dapat dilakukan
antara lain adalah: (1) mempersiapkan tenaga pendidik dan kependidikan melalui
pelatihan dan juga dukungan infrastruktur; (2) memungkinkan pendidikan untuk
berkolaborasi, berbagi pengalaman, dan mengintegrasikannya di ruang kelas; (3)
memungkinkan siswa untuk belajar banyak hal yang relevan dengan konteks dunia
sekitar yang selalu berkembang; dan (4) mendukung keterlibatan komunitas dalam
pembelajaran, baik pembelajaran langsung (tatap muka) maupun online.
Penguatan penilaian pembelajaran. Penguatan penilaian pembelajaran juga
didasarkan pada analisis kemampuan yang diperlukan pada abad ke-21. Agar dapat
menunjang proses pembelajaran dan pencapaian kompetensi yang dibutuhkan, maka
penilaian yang digunakan bukan hanya berupa tes formatif maupun tes sumatif,
melainkan juga penilaian lain termasuk portofolio siswa yang menekankan pada
pemanfaatan umpan balik berdasarkan kinerja yang ditunjukkan oleh siswa, dan
memperbolehkan pengembangan portofolio siswa. Hal-hal yang dinilai antara lain
adalah: (1) tingkat kemampuan berpikir siswa dari tingkat rendah sampai tinggi;
(2) menekankan pada pemberian pertanyaan yang membutuhkan pemikiran mendalam
(bukan sekadar hafalan semata); (3) mengukur proses kerja siswa, bukan hanya
hasil kerja siswa; dan (4) menggunakan portofolio pembelajaran siswa.
Pembagian peran guru dan pemerintah. Kurikulum 2013 sudah dilengkapi
dengan silabus yang akan diimplementasikan di kelas oleh para guru di sekolah.Dengan
demikian, beban guru menjadi lebih ringan karena tidak perlu pusing lagi menghabiskan
waktu untuk menyusun silabus atau RPP. Kurikulum 2013 juga memberikan hak dan
kewenangan kepada pemerintah daerah (Pemda) untuk menyusun kurikulum daerah
yang di dalamnya antara lain dapat memuat materi bahasa daerah, budaya daerah,
dan sejenisnya. Mata pelajaran bahasa daerah tidak dimunculkan dalam struktur
Kurikulum 2013. Oleh karena itu,keberadaan Bahasa Daerah sebagai mata pelajaran
ditentukan oleh kebijakan Pemda,sesuai dengan bunyi pasal 42 UU No.24 Tahun
2009 tentang Bendera dan Bahasa Nasional.
Struktur
Kurikulum 2013
Terkait dengan struktur kurikulum, rencana pengembangan kurikulum
adalah sebagai berikut :
1. SD/MI. Berorientasi pada holistik integratif berfokus pada alam,
sosial dan budaya. Pembelajaran dilaksanakan dengan pendekatan sains. Jumlah
mata pelajaran dari 10 menjadi 6. Jumlah jam bertambah 4 jam per minggu akibat
pendekatan pembelajaran (dari 32 jam menjadi 36 jam).
2. SMP/MTs. TIK menjadi media semua pelajaran.
Pengembangan diri terintegrasi pada setiap mata pelajaran dan ekstrakurikuler.
Jumlah mata pelajaran dari 12 menjadi 10. Jumlah jam bertambah dari 6 jam
pelajaran/minggu akibat pendekatan pembelajaran (dari 32 menjadi 38).
3. SMA/MA. Perubahan sistem, ada mata
pelajaran wajib dan pilihan. Terjadi pengurangan mata pelajaran yang harus
diikuti siswa. Jumlah jam bertambah 2 jam per minggu akibat pendekatan
pembelajaran.
4. SMK/MAK. Penyesuaian jenis keahlian
berdasarkan spektruk kebutuhan saat ini. Penyeragaman mata pelajaran dasar
umum. Mapel produktif disesuaikan dengan trens perkembangan industry.
Pengelompokan mata pelajaran produktif sehingga tidak terlalu rinci
pembagiannya.
DAFTAR PUSTAKA
Kunandar. 2007. Guru Profesional, Implementasi KTSP dan
Persiapan Menghadapi Sertifikasi Guru. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada.
Mulyasa E. 2009. Menjadi Kepala Sekolah Profesional.
Bandung: PT. Remaja Rosdakarya.
Mulyasa E. 2010. Penelitian Tindakan Sekolah. Bandung:
PT. Remaja Rosdakarya.
Kementrian
Pendidikan dan Kebudayaan. 2013. Informasi
Kurikulum untuk Masyarakat.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar