Total Tayangan Halaman

Rabu, 02 Oktober 2013

GAMANG



Si Thole tampak gamang menjejakkan kaki pertamanya di sekolah baru. Dengan seragam baru, rautnya bangga menjadi siswa SMA favorit berbekal NEM SMP nyaris sempurna. Tapi, jauh di sudut batinnya muram, sekusam sepatu yang sudah dipakai satu tahun lebih. Semangatnya sedikit kusut, selusuh tas bututnya. Kepalanya tegak, tetapi matanya redup.
“Apa aku bisa bersaing di sekolah ini, Yu? Yang kutahu, setiap murid sekolah favorit mengikuti les privat. Biayanya mahal banget,”  gumam Thole di hadapan Mbakyu sebelum berangkat tadi.
Le, kalau kamu belajar sungguh-sungguh di sekolah juga di rumah, tak perlu khawatir. Modal kamu tu otak cemerlang, buat apa buang uang di luar sekolah sekedar agar bisa lulus ujian? Memang ngga gampang, Le, tapi buktinya di SMP kamu juga bisa,” hibur Mbakyu.
Kalimat Mbakyu masih panjang, mengekor si Thole yang menghilang di ujung jalan.  “Belajarlah berkali lipat lebih keras dari temanmu! Gurumu hanya ada di dalam kelas. Di luar itu, jangan harap ada yang membantu.
Bahkan gurumu tak kan mau memberi jam tambahan cuma-cuma. Sekarang saja kudengar banyak guru yang stress, tertekan harus memenuhi beban mengajar 24 jam perminggu tatap muka, pusing mengikuti uji kompetensi, parno dengan system kenaikan pangkat/jabatan, sampai kebingungan mengimplementasikan kurikulum. Mungkin mereka lupa bahwa sejatinya itulah konsekuensi dari gaji plus-plus yang telah diterima, yang bahkan telah membuat masyarakat termasuk para guru sepuh (yang sudah pensiun) ngiler  dan merasa kurang dihargai.
Satu pesanku, Le, jangan terlalu berharap ketemu ‘Pahlawan (Tanpa Tanda Jasa)’ lagi. Mereka sudah mati bersama hilangnya aroma apek nasi beras kupon dari menu para guru. Guru sudah sejahtera, tapi kehilangan ketulusan. Gaya hidupnya kian menjauhi sahaja mengarah materialistis, sehingga setiap tetes keringat di luar kelas harus dihitung ulang, lalu struknya dikomplain kepada pemerintah, atau wali murid. So, jika kamu bilang butuh tambahan belajar pada gurumu, dia akan menjawab, “Datanglah ke rumah, nanti diberi les tambahan.” Bila sudah begitu, kamu juga harus paham bahwa  di balik tatapan yang penuh perhatian, senyum manis dan sentuhannya, tersembunyi kalimat, “Bayarnya boleh setiap kali tatap muka, atau perbulan.”
Le, guru juga manusia, makhluk yang telanjur cenderung kepada kegembiraan dan bangga terhadap diri sendiri. Selalu mengeluh dan mengaduh saat kekurangan, tetapi segera lupa diri dan merasa superior ketika diberikan sedikit saja kebaikan.
Baik sekarang tegakkan wajahmu, tataplah dengan pasti masa depanmu! Lantunkan takbirmu lantang di hari Fitri, sebab, “Boleh jadi kamu membenci sesuatu, padahal ia amat baik bagimu” (QS. Al-Baqarah:216). Kini saatnya, murid boleh mengingatkan guru agar “… berpegang teguhlah kepada apa yang Aku berikan kepadamu dan hendaklah kamu termasuk rang-orang yang bersyukur,” (QS. al-A’raf:144). Kalau perlu, usai sholat Ied ajak mereka melongok kembali cara beribadah yang diajarkan Kanjeng Nabi saw, “Sholatlah kamu seperti sholatnya orang yang tidak akan pernah kembali lagi (mati).”
Le, jangan ragu untuk menyelamatkan gurumu dari gulungan gelombang gaya hidup hedonis! Sesekali senandungkan puisi tentang derita ruh yang raganya terkungkung kemewahan. Bisikkan pula bahwa dunia tak lebih cuma sekepal nasi bagi yang kelaparan, secawan air bagi yang kehausan, selembar baju hangat bagi yang kedinginan, dan sebatang pohon rimbun bagi yang kepanasan.  Seringlah mengajak mereka berdiskusi tentang makna firman Tuhan, “Sesungguhnya Kami mewarisi bumi dan semua orang-orang yang ada di atasnya,” (QS. Maryam:40).
Semangat, Le! Semoga kelak kembali banyak guru yang hidup dengan berpegang teguh pada prinsip, jujur dalam dakwah, dan sungguh-sungguh dalam menjalankan risalah.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar