“Apa
aku bisa bersaing di sekolah ini, Yu?
Yang kutahu, setiap murid sekolah favorit mengikuti les privat. Biayanya mahal
banget,” gumam Thole di hadapan Mbakyu
sebelum berangkat tadi.
“Le, kalau kamu belajar sungguh-sungguh
di sekolah juga di rumah, tak perlu khawatir. Modal kamu tu otak cemerlang, buat apa buang uang di luar sekolah sekedar agar
bisa lulus ujian? Memang ngga gampang,
Le, tapi buktinya di SMP kamu juga
bisa,” hibur Mbakyu.
Kalimat
Mbakyu masih panjang, mengekor si Thole
yang menghilang di ujung jalan. “Belajarlah
berkali lipat lebih keras dari temanmu! Gurumu hanya ada di dalam kelas. Di
luar itu, jangan harap ada yang membantu.
Bahkan gurumu tak kan mau memberi jam
tambahan cuma-cuma. Sekarang saja kudengar banyak guru yang stress, tertekan
harus memenuhi beban mengajar 24 jam perminggu tatap muka, pusing mengikuti uji
kompetensi, parno dengan system
kenaikan pangkat/jabatan, sampai kebingungan mengimplementasikan kurikulum. Mungkin
mereka lupa bahwa sejatinya itulah konsekuensi dari gaji plus-plus yang telah
diterima, yang bahkan telah membuat masyarakat termasuk para guru sepuh (yang sudah pensiun) ngiler dan merasa kurang dihargai.
Satu
pesanku, Le, jangan terlalu berharap
ketemu ‘Pahlawan (Tanpa Tanda Jasa)’ lagi. Mereka sudah mati bersama hilangnya
aroma apek nasi beras kupon dari menu para guru. Guru sudah sejahtera, tapi
kehilangan ketulusan. Gaya hidupnya kian menjauhi sahaja mengarah materialistis,
sehingga setiap tetes keringat di luar kelas harus dihitung ulang, lalu struknya
dikomplain kepada pemerintah, atau wali murid. So, jika kamu bilang butuh tambahan belajar pada gurumu, dia akan menjawab,
“Datanglah ke rumah, nanti diberi les tambahan.” Bila sudah begitu, kamu juga
harus paham bahwa di balik tatapan yang penuh
perhatian, senyum manis dan sentuhannya, tersembunyi kalimat, “Bayarnya boleh
setiap kali tatap muka, atau perbulan.”
Le, guru juga manusia, makhluk yang telanjur cenderung
kepada kegembiraan dan bangga terhadap diri sendiri. Selalu mengeluh dan mengaduh
saat kekurangan, tetapi segera lupa diri dan merasa superior ketika diberikan sedikit
saja kebaikan.
Baik sekarang tegakkan wajahmu, tataplah dengan pasti
masa depanmu! Lantunkan takbirmu lantang di hari Fitri, sebab, “Boleh jadi kamu membenci sesuatu, padahal ia
amat baik bagimu” (QS.
Al-Baqarah:216). Kini saatnya, murid boleh mengingatkan guru agar “… berpegang teguhlah kepada apa yang Aku
berikan kepadamu dan hendaklah kamu termasuk rang-orang yang bersyukur,” (QS. al-A’raf:144). Kalau perlu, usai
sholat Ied ajak mereka melongok kembali cara beribadah yang diajarkan Kanjeng Nabi saw, “Sholatlah kamu seperti
sholatnya orang yang tidak akan pernah kembali lagi (mati).”
Le, jangan ragu untuk menyelamatkan gurumu dari gulungan
gelombang gaya hidup hedonis! Sesekali senandungkan puisi tentang derita ruh yang
raganya terkungkung kemewahan. Bisikkan pula bahwa dunia tak lebih cuma sekepal
nasi bagi yang kelaparan, secawan air bagi yang kehausan, selembar baju hangat
bagi yang kedinginan, dan sebatang pohon rimbun bagi yang kepanasan. Seringlah mengajak mereka berdiskusi tentang
makna firman Tuhan, “Sesungguhnya Kami
mewarisi bumi dan semua orang-orang yang ada di atasnya,” (QS. Maryam:40).
Semangat, Le!
Semoga kelak kembali banyak guru yang hidup dengan berpegang teguh pada
prinsip, jujur dalam dakwah, dan sungguh-sungguh dalam menjalankan risalah.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar