Alkisah,
kapal Nuh kekar, tegak di tengah gurun pasir, jauh dari bibir lautan. Ke
dalamnya masuk segala jenis makhluk, masing-masing berpasangan. Mereka diperintahkan
berlindung di dalam kapal, yang menurut sang
Nabi akan segera melakukan pelayaran terhebat, mengarungi air bah terdahsyat sepanjang
sejarah, yang bahkan akan menenggelamkan bukit dan gunung, merombak total
tatanan kehidupan.
Orang-orang
menganggap sang Nabi telah hilang ingatan, sehingga ngawur membuat kapal besar
di tempat yang jauh dari tepi lautan. Bahkan isteri dan anak-anaknya juga sama,
menolak seruan agar masuk ke kapal, karena keangkuhan logika tanpa iman pada
Yang Maha Perkasa. Sang Nabi pun tak sanggup memaksa orang-orang terdekatnya
untuk mempercayai berita dari Sang Maha
Ghaib.
Singkat
cerita, maha bencana air bah itu benar datang. Seketika air membuncah dari
setiap jengkal tanah, hingga dalam sekejap seluruh daratan, bukit, bahkan
gunung tenggelam, dan tak satu pun makhluk selamat kecuali yang telah berada di
dalam kapal. Sang Nabi sempat menangis menyaksikan isteri dan anak-anaknya
binasa. Namun seketika pula ia ditegur Tuhan, bahwa setiap yang menolak ajakannya
sesungguhnya bukanlah keluarganya. Sang Nabi pun terkulai, menghempaskan seluruh
kesombongannya, lalu berdoa “Tuhanku,
sesungguhnya aku berlindung kepadaMU dari memohon kepadaMu sesuatu yang aku
tidak mengetahuinya. Dan sekiranya Engkau tidak mengampuniku dan tidak
merahmatiku, niscaya aku termasuk orang yang rugi” (QS. Hud:47). Doa yang
seyogyanya selalu dipahami dalam setiap tarikan nafas. Doa yang memungkinkan
Tuhan hadir dan menyatu dengan hidup kita, hingga selamat dari jebakan-jebakan
halus alur kehidupan.
Kisah
sang Nabi yang konon berusia hingga 900 tahun itu, menunjukkan betapa sulit memperbaiki sebuah
tradisi buruk. Tak cukup rentang waktu ratusan tahun, meski hanya untuk
menyampaikan satu perkara, yaitu, “Sembahlah Alloh dan bertakwalah kepadaNYA!”
Mungkinkah
bencana besar seperti itu terulang? Wallohu’alam.
Kita lihat partikel mikron terdekat saja, dunia pendidikan. Bukankah pendidikan
kita masih karut marut, terombang-ambing mencari jati diri? Belum ada kesepakatan
tentang bentuk pendidikan terbaik, yang pas diterapkan di negeri seribu tradisi
ini. Belum cukup tersedia ‘ketulusan hati’ untuk mendidik, kecuali sekedar
menyampaikan materi ajar sehingga orang menjadi terlihat seolah-olah pintar. Pendidikan
masih menjadi ladang bisnis. Bahkan, UN saja masih terus menjadi polemik
orang-orang yang dianggap pakar, sampai-sampai mengalihkah perhatian dari potret
buram buruknya infrastruktur pendidikan, juga rendahnya kualitas para pendidik
yang ternyata tak serta-merta meningkat meski telah dibanjiri fasilitas dan
kemudahan.
Anggaran
pendidikan terus meningkat setiap tahun demi mewujudkan janji pendidikan murah
bahkan gratis, yang nyatanya hanya isapan jempol. Limpahan anggaran pendidikan
justru seperti semburan air dari tempat-tempat tak terduga yang semakin saat
semakin deras. Efeknya memang tak sebanding dengan secipratan halus air bah
masa Nabi Nuh. Bahkan, sebagian besar orang tak menyadari telah terkena percikan,
lalu terlena kesegarannya. Kian bertambah jumlah guru besar dan akademisi menjadi
penghuni bui. Jika tidak menjadikannya sebagai cermin diri, bukan tidak mungkin
suatu hari nanti ada guru atau kepala sekolah yang menjadi korban semburan
rupiah.
Bersyukur,
Pak Nuh belakangan menunjukkan greget untuk memperbaiki keadaan, bahkan tak
segan melaporkan anak buahnya ke KPK. Satu misinya, memajukan pendidikan bagi
seluruh negeri. Salah satunya dengan
membebaskan lembaga pendidikan dari predikat ‘sarang tikus’. Langkah awal telah
diayun menuju penyelenggaraan pendidikan yang lebih baik. Barangkali (bagi umat
akhir jaman sekarang) langkah itu tak kalah berat dengan perjuangan sang Nabi.
Nawaitu, bismillah….
Tidak ada komentar:
Posting Komentar