Total Tayangan Halaman

Jumat, 04 Oktober 2013

N U H



Alkisah, kapal Nuh kekar, tegak di tengah gurun pasir, jauh dari bibir lautan. Ke dalamnya masuk segala jenis makhluk, masing-masing berpasangan. Mereka diperintahkan berlindung di dalam kapal, yang menurut  sang Nabi akan segera melakukan pelayaran terhebat, mengarungi air bah terdahsyat sepanjang sejarah, yang bahkan akan menenggelamkan bukit dan gunung, merombak total tatanan kehidupan.
Orang-orang menganggap sang Nabi telah hilang ingatan, sehingga ngawur  membuat kapal besar di tempat yang jauh dari tepi lautan. Bahkan isteri dan anak-anaknya juga sama, menolak seruan agar masuk ke kapal, karena keangkuhan logika tanpa iman pada Yang Maha Perkasa. Sang Nabi pun tak sanggup memaksa orang-orang terdekatnya untuk mempercayai  berita dari Sang Maha Ghaib.  
Singkat cerita, maha bencana air bah itu benar datang. Seketika air membuncah dari setiap jengkal tanah, hingga dalam sekejap seluruh daratan, bukit, bahkan gunung tenggelam, dan tak satu pun makhluk selamat kecuali yang telah berada di dalam kapal. Sang Nabi sempat menangis menyaksikan isteri dan anak-anaknya binasa. Namun seketika pula ia ditegur Tuhan, bahwa setiap yang menolak ajakannya sesungguhnya bukanlah keluarganya. Sang Nabi pun terkulai, menghempaskan seluruh kesombongannya, lalu berdoa “Tuhanku, sesungguhnya aku berlindung kepadaMU dari memohon kepadaMu sesuatu yang aku tidak mengetahuinya. Dan sekiranya Engkau tidak mengampuniku dan tidak merahmatiku, niscaya aku termasuk orang yang rugi” (QS. Hud:47). Doa yang seyogyanya selalu dipahami dalam setiap tarikan nafas. Doa yang memungkinkan Tuhan hadir dan menyatu dengan hidup kita, hingga selamat dari jebakan-jebakan halus alur kehidupan.
Kisah sang Nabi yang konon berusia hingga 900 tahun itu,  menunjukkan betapa sulit memperbaiki sebuah tradisi buruk. Tak cukup rentang waktu ratusan tahun, meski hanya untuk menyampaikan satu perkara, yaitu, “Sembahlah Alloh dan bertakwalah kepadaNYA!”
Mungkinkah bencana besar seperti itu terulang? Wallohu’alam. Kita lihat partikel mikron terdekat saja, dunia pendidikan. Bukankah pendidikan kita masih karut marut, terombang-ambing mencari jati diri? Belum ada kesepakatan tentang bentuk pendidikan terbaik, yang pas diterapkan di negeri seribu tradisi ini. Belum cukup tersedia ‘ketulusan hati’ untuk mendidik, kecuali sekedar menyampaikan materi ajar sehingga orang menjadi terlihat seolah-olah pintar. Pendidikan masih menjadi ladang bisnis. Bahkan, UN saja masih terus menjadi polemik orang-orang yang dianggap pakar, sampai-sampai mengalihkah perhatian dari potret buram buruknya infrastruktur pendidikan, juga rendahnya kualitas para pendidik yang ternyata tak serta-merta meningkat meski telah dibanjiri fasilitas dan kemudahan.
Anggaran pendidikan terus meningkat setiap tahun demi mewujudkan janji pendidikan murah bahkan gratis, yang nyatanya hanya isapan jempol. Limpahan anggaran pendidikan justru seperti semburan air dari tempat-tempat tak terduga yang semakin saat semakin deras. Efeknya memang tak sebanding dengan secipratan halus air bah masa Nabi Nuh. Bahkan, sebagian besar orang tak menyadari telah terkena percikan, lalu terlena kesegarannya. Kian bertambah jumlah guru besar dan akademisi menjadi penghuni bui. Jika tidak menjadikannya sebagai cermin diri, bukan tidak mungkin suatu hari nanti ada guru atau kepala sekolah yang menjadi korban semburan rupiah.
Bersyukur, Pak Nuh belakangan menunjukkan greget untuk memperbaiki keadaan, bahkan tak segan melaporkan anak buahnya ke KPK. Satu misinya, memajukan pendidikan bagi seluruh negeri.  Salah satunya dengan membebaskan lembaga pendidikan dari predikat ‘sarang tikus’. Langkah awal telah diayun menuju penyelenggaraan pendidikan yang lebih baik. Barangkali (bagi umat akhir jaman sekarang) langkah itu tak kalah berat dengan perjuangan sang Nabi.
Nawaitu, bismillah….

Tidak ada komentar:

Posting Komentar