Sesaat langkah Bagong
tertahan. “Pagi-pagi aku seneng, Kang mendapat kabar kalau kita boleh gabung
lagi di Majalah Info Education. Tapi
beritanya datang pas aku lagi update berita viral, pemuda ngamuk rikin motor emuk,
gara-gara ditilang polisi. Lha dalah!
Pemuda itu ternyata anaknya si Togog,” jawab Bagong. Ada cantrik SMP
mencaci-maki gurunya. Ada lagi yang ngroyok tukang kebun di sekolahnya.
Gonjang-ganjing apa ini, Kang?” bagong melanjutkan langkah.
Sambil berjalan menyusul,
Petruk bertanya, “Lha terus kamu mau ke
mana, mau apa?”
“Aku mau mencari si
Togog, dulu yang jelas aku tahu. Mau tanya, tahu ndak kelakuan anaknya? Kalau ternyata dia tahu dan diam saja, ya perlu
diwejang sama Romo Semar,” jawab Bagong sambil terus berjalan.
Petruk berusaha
menyusul. “Tunggu Gong! Jangan gegabah! Masalah ini sudah bukan ranah
padepokan. Kalau seperti ini sudah menjadi ranahnya kriminal, hukum.”
Sontak Bagong berhenti.
“Kang Petruk, bagaimana to? Ilmumu
tinggi, jangan pura-pura ndak ngerti!
Oke! Pemuda itu, juga cantrik-cantrik yang nakal, biar ditangani polisi. Tapi,
kita yang berkepentingan menanamkan nilai-nilai kepada para cantrik harus tahu
akar masalahnya di mana? Kenapa seseorang bisa emosional sampai melakukan
tindakan irasional destruktif seperti itu? Kenapa para cantrik ‘boleh’ bersikap
brutal di lingkungan sekolah. Pertama, kita harus tahu seperti apa keseharian
anak-anak itu. Penting kita mengerti pola asuh macam apa yang diterapkan si
Togog dan orang tua lainnya terhadap anak-anaknya, hingga berbuah seperti itu?
Setelah itu, baru kita tahu apa yang harus dilakukan agar cantrik-cantrik
Padepokan Romo Semar tidak memiliki sifat-sifat negatif seperti itu”
“ Canggih! Kamu hendak
melakukan penelitian hebat,” puji Petruk.
“Ehm..boleh saja Kang Petruk sebut ini penelitian. Tetapi aku melakukannya
spontan lho! Tidak ada proposal. Ini bentuk
keprihatinanku terhadap fenomena sosial yang terjadi, ketika sifat
temperamental dan emosional menggerus akal sehat generasi muda,”kata Bagong.
Cuping hidungnya mengembang.
Petruk tersenyum
melihat semangat dan nada kebanggaan dalam kalimat adiknya. “Bagong is best of the best teachers!”
“Aku ndak perlu pujian,” tukas Bagong. Namun
ia berjalan mendekati Petruk yang tengah menjabat sebagai wakil Romo Semar. Sambil
berjinjit, ia berusaha berbisik di telinga kanan kakaknya itu. “Kang Petruk bantu
aku, tolong buat tulisan tentang apa yang kulakukan sekarang ini sampai menjadi
sebuah tulisan ilmiah. Setelah jadi, dimuat di Majalah Info Education. Trus
Kang Petruk sodorkan ke hadapan Romo Semar, tunjukkan kalau aku sudah
membuat karya ilmiah dan dimuat di media massa, biar dapat poin!”
Petruk tertawa lepas. “Katanya
ndak perlu pujian, Gong...Bagong!”
“Pujian ndak perlu. Tapi, perbaikan nasib, to” jawab Bagong lirih sembari
garuk-garuk kepala. “Lha wong
meskipun orang-orang bilang, “Bagong is
best of the best teachers” tetep
saja jabatanku cuma Bagong. Cuma karena ndak
rajin ngumpulin sertifikat dan piagam dari berbagai diklat, seminar, workshop,
maupun kegiatan lainnya, aku dianggap tidak meningkatkan kompetensi. Lalu aku ndak boleh naik pangkat. Padahal,
kemampuan otak dan ketrampilanku siap lho
diadu sama otak Kang Petruk sekalipun. Sesekali naik jabatan, merasakan seperti
apa empuknya kursi Kang Petruk sebagai wakilnya Romo Semar.” Bagong meracau.
Petruk semakin keras
tertawa.
“Bantu adikmu y, Kang!
Sesekali merasakan naik pangkat,” Bagong berulah seolah merajuk.
“Bagong adikku, best of the best teachers, ingat kembali
ini! “ ...Engkau berikan kekuasaan kepada
siapapun yang Engkau kehendaki, dan Engkau cabut kekuasaan dari siapapun yang
Engkau kehendaki. Engkau muliakan siapapun yang Engkau kehendaki dan Engkau
hinakan siapapun yang Engkau kehendaki...”(Ali-Imran:26)
Sambil tersenyum asam Bagong
berkata lirih, “Bagong juga manusia, Kang Petruk.”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar