Total Tayangan Halaman

Rabu, 02 Oktober 2019





NILAI-NILAI KEPAHLAWANAN, KEPERINTISAN DAN KESETIAKAWANAN

Oleh   :   Amin Hidayat, M.Pd.
Pengawas SMP Dinas Pendidikan Kab. Banyumas


Hasil gambar untuk animasi pahlawan indonesiaBangsa yang besar adalah bangsa yang mau dan mampu menghargai sejarah perjuangan para pendahulunya”. Dalam konteks ini, sudahkan kita sebagai bangsa yang besar? Benarkah kita sebagai bangsa sudah sangat perhatian dan menghargai para pahlawan pejuang bangsa yang telah  mengorbankan jiwa dan raganya untuk kepentingan tanah air, masyarakat dan Negara Indonesia?

Pengantar
Bangsa Indonesia sebagai bangsa yang berbudaya, sudah selayaknya menghormati dan menghargai para Pahlawan/ Pejuang yang telah mencurahkan segala perhatian, pengabdian dan pengorbanan jiwa, raga maupun harta, demi kemerdekaan dan kejayaan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Sejarah mencatat bahwa untuk mendirikan NKRI, diperlukan proses perjuangan yang panjang, dan amat berat, oleh para Pahlawan/ Pejuang demi  tercapainya kemerdekaan NKRI.
Para Pahlawan/ Pejuang dalam merebut kemerdekaan tersebut, telah mewariskan nilai-nilai luhur kepada kita semua. Nilai-nilai luhur tersebut adalah Iman dan takwa kepada Tuhan Yang Maha Esa; cinta damai tetapi lebih cinta kemerdekaan; nasionalisme dan patriotisme; teguh dalam pendirian dan cita-cita; berani dan rela berkorban; anti segala bentuk penjajahan dan diskriminasi; persatuan dan kesatuan; kesetiakawanan dan kebersamaan; loyalitas kepada bangsa dan negara; berbudi luhur dan dapat dipercaya; kebebasan berpikir, berpendapat dan berkreasi; ulet dan tabah menghadapi tantangan; disiplin; idealisme dan profesionalisme. Nilai-nilai luhur inilah yang dinamakan Nilai Kepahlawanan, Keperintisan dan Kesetiakawanan Sosial.

Kepahlawanan adalah keberanian untuk bertindak karena benar dan selalu membela kebenaran serta mau berkorban untuk kepentingan orang banyak tanpa pamrih. Keperintisan adalah keberanian untuk mempelopori/memulai melakukan rintisan/ membuka jalan untuk memulai ha1-hal yang baik, pantang menyerah, memiliki jiwa militansi, menjadi suri tauladan.
Kesetiakawanan sosial/ solidaritas sosial adalah rasa kebersamaan, rasa simpati, rasa pengalaman yang sama dalam suatu kelompok yang menyangkut tentang kesetiakawanan dalam mencapai tujuan dan keinginan yang sama.
Gerak sejarah di tanah air di era globalisasi dewasa ini merajut cerita yang memprihatinkan. Jatuhnya rezim Orde Baru  yang ditandai oleh lengsernya kepemimpinan Soeharto tahun 1998 yang lalu ternyata belum menuju kearah perbaikan diberbagai sektor. Kemajemukan bangsa Indonesia mulai tergerus bahkan menjadi sumber krisis jati diri. Krisis jatidiri/kepribadian ini ditandai dengan munculnya sikap intoleransi seperti: menurunnya sikap gotong royong, bertindak semena-mena, tidak tepo seliro, kurang rela berkorban. Pancasila kehilangan roh sejatinya apalagi ditunjang oleh arus teknologi, informasi, dan komunikasi terbuka tanpa batas dan tak terkendali (Rachman, dalam Habibullah, 2018). Tanda-tanda meredupnya nilai-nilai Pancasila dapat terlihat seperti pada meningkatnya kekerasan di kalangan remaja, penggunaan bahasa dan kata-kata yang memburuk, penyebaran berita hoax di media sosial, terorisme dan ujaran kebencian pengaruh peer group yang kuat dalam tindak kekerasan, meningkatnya perilaku merusak diri, makin kaburnya pedoman moral baik dan buruk, menurunnya etos kerja, semakin rendahnya rasa hormat kepada orang tua dan guru, rendahnya rasa tanggungjawab individu dan warga negara, membudayanya ketidakjujuran, dan adanya rasa saling curiga, dan kebencian di antara sesama (Suyanto dalam Habibullah. 2018).
Begitu pula melemahnya nilai-nilai kejuangan tampak dari etos kerja lemah yang berdampak terhadap ketidakmampuan memberikan pelayanan publik dengan prima sehingga makin meningkatkan kondisi kesenjangan sosial. Budaya sopan santun, sikap saling menghormati semakin hari semakin menipis, yang terjadi saling menghina, mengejek dan berpendapat kebablasan tanpa memikirkan harkat dan martabat sebagai
manusia, bahkan sengaja atau tidak sengaja memunculkan isu SARA, yang mengakibatkan saling ketersinggungan individu, kelompok maupun masyarakat yang mengarah kepada menurunnya sikap kebhinekaaan yang selama ini diperjuangkan para pahlawan dan pejuang negara Indonesia.
Kondisi ini sekaligus menunjukkan semakin melemahnya wawasan kebangsaan dan menurunnya rasa kesetiakawanan sosial. Kondisi demikian merupakan bentuk-bentuk melemah/memudarnya nilai-nilai yang terkandung pada jati diri/kepribadian bangsa Indonesia yang selama ini sudah berurat berakar. Hal ini sungguh melukai hati para pendiri bangsa yang sudah berjuang dengan mengorbankan segenap jiwa raga dalam merebut kemerdekaan dengan tanpa pamrih dari tangan penjajah.

Memaknai Nilai K3 (Kepahlawanan, Keperintisan dan Kesetiakawanan Sosial)
Bangsa Indonesia lahir dan bangkit melalui sejarah perjuangan masyarakat untuk bebas dari penjajahan Portugis, Belanda dan Jepang. Akibat penjajahan, bangsa Indonesia sangat menderita, tertindas lahir dan batin, mental dan material, mengalami kehancuran di berbagai bidang. Mercusuar kemegahan dan kejayaan Nusantara seperti Majapahit dan Sriwijaya hancur tanpa sisa.
Kondisi masyarakat yang semakin parah akibat penjajahan tersebut membangkitkan perlawanan yang dipimpin oleh para tokoh perjuangan diantaranya Sultan Ageng Tirtayasa, Cik Dik Tiro, Teuku Umar, Sultan Hasanuddin, Imam Bonjol, Panglima Polim dan Pangeran Diponegoro. Namun peristiwa heroik perlawanan-perlawanan tersebut mengalami kegagalan karena pada waktu itu belum terpupuk kesadaran nasional, masih bersifat kedaerahan ( Setidjo Pandji, 2009).
Perlawanan terhadap kaum imperialism dan kolonialisme terus dilakukan, baik secara fisik maupun non fisik. Muncul kesadaran para pejuang dan golongan terpelajar Indonesia, melahirkan pergerakan nasional. Pada tanggal 20 Mei 1908 di Jakarta berdirilah Boedi Oetomo yang didirikan oleh dr. Soetomo dengan ketuanya dr. Wahidin Sudiro Husodo. Berturut diikuti berdirinya organisasi Serikat Dagang Islam/ Serikat Islam, Muhammadiyah, Indische Partij, Partai Komunis Indonesia, Nahdlatul Ulama (NU) dan Partai Nasional Indonesia (PNI). Pada tahun 1928 tercetuslah Sumpah Pemuda.
Pada masa pendudukan Jepang (1942-1945) Bangsa Indonesia terus melakukan perlawanan baik secara diplomasi maupun melalui gerakan perlawanan di bawah tanah. Puncak perjuangan, momentum proklamasi kemerdekaan Indonesia pada tanggal 17 Agustus 1945. Bertempat di Halaman rumah Laksamana Muda Tadashi Maeda, Jalan Pegangsaan Timur Nomor 56 Jakarta. Peristiwa bersejarah ini  merupakan momentum pembebasan dan berakhirnya penjajahan,  Indonesia merdeka.
Dalam sejarah kemerdekaan Indonesia, Belanda terus merongrong kedaulatan Negara Indonesia. Para pemimpin bangsa berjuang melalui perundingan-perundingan di samping mengatasi sejumlah pemberontakan-pemberontakan.   Mereka berjuang mati-matian dengan senjata seadanya sekalipun nyawa menjadi taruhannya.  Tak ada kata pamrih dalam aksi mereka apalagi pencitraaan, yang ada hanyalah sebuah kemerdekaaan. 
Melalui serangkaian perjuangan panjang, akhirnya negara Indonesia merdeka terbentang dari Sabang sampai Merauke dan dari Miangas sampai pulau Rote tampak berjajar pulau-pulau dengan komposisi dan konstruksi yang berragam berjumlah 17.508 buh pulau besar dan kecil (Pimpinan MPR dan Tim, 2012).
Peristiwa di atas sungguh luar biasa dan menakjubkan. Mungkin, jika pristiwa itu terjadi dimasa sekarang belum tentu kita sanggup berjuang sebagaimana perjuangan mereka, apalagi mempertaruhkan nyawa demi terwujudnya sebuah kemerdekaan yang hanya dirasakan generasi penerus. Sehingga tidaklah ayal, jika mereka menorehkan sejarah hebat yang selalu terabadikan dalam kehidupan bangsa dan negara kita yang pada puncaknya mereka mendapat gelar pahlawan nasional.
Selanjutnya bagaimana kita memaknainya? Dalam sepak terjang perjuangan  terdapat nilai-nilai luhur yang terkandung, yaitu:
1.      Rela Berkorban
Dalam setiap tindak kepahlawanan terdapat kesediaan berkorban. Kesediaan berkorban adalah dasar kepahlawanan yang harus dikembangkan dalam pendidikan sejarah. kesediaan berkorban adalah suatu kualitas manusia yang harus dimiliki setiap orang untuk menjadi pahlawan. Peristiwa-peristiwa sejarah dapat memberikan pelajaran yang berarti dalam pengorbanan dan tindakan kepahlawanan tersebut.
2.      Kepemimpinan
Kepemimpinan merupakan salah satu atribut nilai dan sikap kepahlawanan. Seorang pahlawan senantiasa berinisiatif melakukan perubahan serta mampu mengajak dan memimpin komunitas atau bangsanya untuk melakukan perubahan menuju masa depan yang lebih baik. sikap tersebut muncul bukan saja statusnya sebagai penguasa, raja atau pemimpin formal lainnya, namun juga muncul dari orang-orang di luar status itu yang memiliki jiwa kepemimpinan.
3.      Tanggung Jawab
Pahlawan adalah orang-orang yang terpanggil jiwa dan tindakannya untuk memikul tanggung jawab dari upaya-upaya menuju kehidupan yang lebih baik dalam masyarakatnya. Perwujudan dari rasa tanggung jawab itulah yang sering membuat pahlawan masuk dalam penderitaan yang menjadi resiko perjuangannya.


4.      Keberanian
Sikap keberanian ini bagian dari nilai kepahlawanan karena seorang pahlawan secara berani mengambil keputusan untuk menentukan sikap dan respon terhadap sesuatu tantangan/masalah. Nilai-nilai keberanian tersebut tentunya dengan kesadaran akan resiko yang akan dihadapi sebagai dampak dari sikapnya tersebut. namun dengan nilai keberanian, seorang pahlawan tetap teguh membela prinsip yang ia yakini.
5.       Nasionalis
Cinta tanah air, tanah tumpah darah merupakan nilai kepahlawanan yang mendasar. Segala bentuk penindasan, penjajahan, koloni dan imperialis di tanah air harus dihapus. Kepentingan nasional, bersama di atas kepentingan pribadi ataupun golongan. Jiwa nasionalisme ini menumbuhkan kebersamaan, egaliter, gotong royong, persatuan dan kesetiakawanan.
Berdasarkan dari kelima nilai di atas dapat menjadi modal bagi kita untuk memaknai Nilai Kepahlawanan di era milenial. Karena untuk menghadapi tantangan di era milenial ini kita perlu belajar mengenai perjuangan yang telah dilakukan oleh para pendahulu kita sebagai referensi untuk menjaga warisan yang telah didapatkannya dengan susah payah.

Membangun Nilai-Nilai K3
Menurut Prof. Dr. Koentjaraningrat, dalam bukunya Manusia dan Kebudayaan di Indonesia ( 1988 : 384 ), menyatakan bahwa suatu sifat dari bangsa Indonesia yang sering kita banggakan adalah faktor aneka warna bangsa, namun sifat ini mempunyai aspek-aspek yang membuat pembangunan sangat sukar. Masyarakat majemuk memiliki potensi ketegangan antar suku bangsa dan golongan.  Memang tidak bisa dipungkiri, bila pembangunan terhambat karena munculnya multi krisis, khususnya krisis nilai-nilai, krisis moral.
Sisi lain pendapat sarjana Jepang yang bernama Akira Nagazumi (1986 : 19) mengatakan bahwa tekanan jumlah penduduk yang makin banyak dan sumber-sumber daya yang terbatas, masyarakat pedesaan Jawa tidak lagi terbagi menjadi 2 golongan yaitu golongan tuan tanah besar dan golongan setengah budak yang tertindas, tetapi sebaliknya masyarakat ini mempertahankan suatu tingkat homogenitas (keserbasamaan) sosial dan ekonomi yang cukup tinggi dengan membagi kue ekonomi dalam potongan yang makin lama makin kecil. Masyarakat bukannya terbagi menjadi golongan kaya dan golongan miskin, yang ada dalam bahasa kaum tani yang sedikit diperhalus hanyalah golongan cukup dan golongan kekurangan.
Dari pendapat Koentjaraningrat dan Akira Nagazumi, dapat disimpulkan bahwa sebagai penyebab krisis moral masyarakat Indonesia ada 2 faktor, yaitu faktor intern dan faktor ekstern. Faktor intern adalah muncul dari dalam diri seseorang sebagaimana pendapat para penulis klasik Eropa, sedang faktor ekstern adalah sebab dari luar diri seseorang. Faktor dari luar di samping karena faktor jumlah penduduk yang tinggi, keanekawarna bangsa, tentunya masih banyak dimensi lain yang sangat mempengaruhi.
Berbicara tentang  krisis nilai-nilai luhur, tidak bisa dipisahkan dengan krisis moral. Misal orang yang tidak bertanggung jawab terhadap sesuatu yang semestinya, merupakan salah satu dari bentuk penyimpangan tingkah laku dan dapat dikategorikan sebagai bagian dari krisis moral. Dampak penyimpangan ini bisa menyebar ke berbagai sektor    :
1.      Sektor ekonomi, menyebabkan krisis ekonomi dan pangan.
2.      Sektor sosial, menyebabkan krisis sosial, anarkhis dan tidak berperikemanusiaan.
3.      Sektor budaya, menyebabkan krisis etis estetika.
4.      Sektor politik, menyebabkan krisis kepercayaan.
Alternatif membangun nilai dan pengendalian krisis nilai, antara lain melalui :
1.      Perspektif agama
Sebagai alternatif pengendalian krisis, perspektif agama sebenarnya lebih tepat. Peningkatan gejala sosial dan penyimpangan sosial disebabkan segelintir masyarakat terlalu lemah dalam pengendalian emosi dan nafsunya karena tidak lagi memiliki ikatan kuat dengan kekuasaan mutlak Tuhan.
2.      Usaha Bersama
Perlu adanya usaha bersama membangun akhlak moralitas dan karakter bangsa demi kemajuan dan kemartabatan bangsa dengan cara-cara yang baik dan berbudi. Demi membangun kejernihan akhlak bangsa itu harus dimulai dari membangun hati nurani. Kemajuan dan martabat bangsa bukan hanya ditentukan oleh prestasi material, tetapi juga oleh kekuatan akhlak, moralitas dan karakter bangsa. Usaha bersama pemerintah dan masyarakat antara lain melalui restorasi sosial, ziarah pahlawan, olimpiade pahlawan ataupun kunjungan situs sejarah.

3.      Pembenahan Pendidikan Sejarah
Nilai-nilai luhur yang diwariskan para Pahlawan/ Pejuang tidak lepas dari pendidikan sejarah. Oleh karena itu pemahaman sejarah perjuangan bangsa penting ditanamkan. Pembelajaran sejarah, akan mengembangkan aktivitas seseorang untuk melakukan
telaah berbagai peristiwa, untuk kemudian dipahami dan diinternalisasikan kepada
dirinya sehingga melahirkan contoh  untuk bersikap dan bertindak. Dari sekian peristiwa
itu antara lain pula ada pesan-pesan yang terkait dengan nilai nilai kepahlawanan seperti 
keteladanan, rela berkorban, cinta tanah air, kebersamaan, kemerdekaan, kesetaraan,
nasionalisme dan patriotisme (Kabul Budiyono, 2007).

4.      Pemberlakuan Darurat Moralitas
Pemberlakuan darurat nilai-nilai, moralitas perlu dilakukan  sebagai “bencana Nasional” untuk segera diatasi. Kasus tawuran, pelecehan seksual, narkoba, dan kasus korupsi yang melibatkan pejabat di lingkungan eksekutif-legislatif-yudikatif menunjukkan lemahnya disiplin anggaran dan tata kelola pemerintahan. Pejabat lebih merasa berutang kepada (oligarki) partai, bukan kepada rakyat. Kepentingan asing pun bermain dalam proses legislasi yang akhirnya mengorbankan kesejahteraan rakyat. Pejabat terjebak hiruk-pikuk demokrasi yang tak berkorelasi dengan kesejahteraan rakyat. Banyak yang tidak beres dengan penyelenggaraan negara, tetapi terlalu sedikit pejabat yang mengaku salah atau dikenai sanksi berat. Ketidakberesan ditutupi kebohongan publik. Ketidakberesan terus berlangsung karena ketidaktegasan atasan dan lemahnya kontrol dari atas. Reformasi birokrasi jalan di tempat. Krisis ekonomi berlanjut dan kini menggerogoti pranata sosial. Figur publik membanjir di tengah kelangkaan moralitas publik.

Penutup
Berdasarkan Permensos Nomor 22 tahun 2017 Restorasi Sosial adalah upaya yang diarahkan untuk mengembalikan atau memulihkan kondisi sosial masyarakat yang mengalami kondisi memudarnya/melemahnya nilai-nilai luhur jati diri/kepribadian bangsa sehingga dapat kembali pada kondisi idealnya. Melalui pemahaman sejarah para pahlawan/ pejuang dalam merebut kemerdekaan dapat memaknai nilai-nilai luhur yang diwariskan kepada kita semua. Dengan mengimplementasikan atau mengamalkan nilai-nilai luhur yang diwariskan para Pahlawan/ Pejuang tersebut, generasi muda hendaknya dapat menyikapi perkembangan yang terjadi, dan membuktikan dengan hal-hal yang positif dan nyata, sehingga kejadian-kejadian seperti pergaulan bebas, kejahatan, penyalahgunaan narkoba, tawuran antar pelajar, perkelahian yang cenderung mengkhawatirkan kelanjutan masa depan bangsa tidak akan terjadi.
Selanjutnya para generasi muda/ generasi penerus bangsa ini, di kemudian hari, dapat mencurahkan segala keberadaan dan kemampuannya, berjuang untuk membangun Bangsa Indonesia yang tercinta ini, menjadi bangsa yang mandiri, bersatu, damai, berpikir kreatif, rasional, demokratis, dan kritis dalam menuntaskan segala masalah yang ada di NKRI, sehingga NKRI menjadi negara yang maju dan negara yang sejahtera yang lebih dihormati oleh negara lain.



DAFTAR PUSTAKA

Akira Nagazumi.  1986. Indonesia Dalam Kajian Sarjana Jepang, Jakarta: Yayasan Obor Indonesia

Habibullah. 2018. Konsep dan Kebijakan Restorasi Sosial di Indonesia. Sosio Informa Vol. 4,  No. 01, Januari – April 2018

Kabul Budiyono. 2007. Nilai-nilai Kepribadian dan Kejuangan Bangsa Indonesia. Bandung : Alfabeta.

Kementerian Sosial Republik Indonesia. 2017. Peraturan Menteri Sosial RI No. 22 tahun 2017 tentang Restorasi Sosial. Jakarta: Kementerian Sosial RI.

Koentjaraningrat, Prof. Dr., 1988.  Manusia dan Kebudayaan di Indonesia. Jakarta : Penerbit Djambatan.

Setidjo, Pandji. 2009. Pendidikan Pancasila, Perspektif Sejarah Perjuangan Bangsa. Jakarta : Gramedia Widiasarana Indonesia


 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar