NILAI-NILAI
KEPAHLAWANAN, KEPERINTISAN DAN KESETIAKAWANAN
Oleh
: Amin Hidayat, M.Pd.
Pengawas SMP Dinas Pendidikan Kab.
Banyumas
”Bangsa yang besar adalah bangsa yang mau dan
mampu menghargai sejarah perjuangan para pendahulunya”. Dalam konteks ini,
sudahkan kita sebagai bangsa yang besar? Benarkah kita sebagai bangsa sudah
sangat perhatian dan menghargai para pahlawan pejuang bangsa yang telah mengorbankan jiwa dan raganya untuk
kepentingan tanah air, masyarakat dan Negara Indonesia?
Pengantar
Bangsa Indonesia sebagai bangsa yang
berbudaya, sudah selayaknya menghormati dan menghargai para Pahlawan/ Pejuang
yang telah mencurahkan segala perhatian, pengabdian dan pengorbanan jiwa, raga
maupun harta, demi kemerdekaan dan kejayaan Negara Kesatuan Republik Indonesia
(NKRI). Sejarah mencatat bahwa untuk mendirikan NKRI, diperlukan proses
perjuangan yang panjang, dan amat berat, oleh para Pahlawan/ Pejuang demi
tercapainya kemerdekaan NKRI.
Para Pahlawan/ Pejuang dalam merebut
kemerdekaan tersebut, telah mewariskan nilai-nilai luhur kepada kita semua.
Nilai-nilai luhur tersebut adalah Iman dan takwa kepada Tuhan Yang Maha Esa;
cinta damai tetapi lebih cinta kemerdekaan; nasionalisme dan patriotisme; teguh
dalam pendirian dan cita-cita; berani dan rela berkorban; anti segala bentuk
penjajahan dan diskriminasi; persatuan dan kesatuan; kesetiakawanan dan
kebersamaan; loyalitas kepada bangsa dan negara; berbudi luhur dan dapat
dipercaya; kebebasan berpikir, berpendapat dan berkreasi; ulet dan tabah
menghadapi tantangan; disiplin; idealisme dan profesionalisme. Nilai-nilai
luhur inilah yang dinamakan Nilai Kepahlawanan,
Keperintisan dan Kesetiakawanan Sosial.
Kepahlawanan
adalah keberanian untuk bertindak karena benar dan selalu membela kebenaran
serta mau berkorban untuk kepentingan orang banyak tanpa pamrih. Keperintisan adalah keberanian untuk
mempelopori/memulai melakukan rintisan/ membuka jalan untuk memulai ha1-hal
yang baik, pantang menyerah, memiliki jiwa militansi, menjadi suri tauladan.
Kesetiakawanan
sosial/ solidaritas sosial adalah rasa kebersamaan, rasa simpati, rasa
pengalaman yang sama dalam suatu kelompok yang menyangkut tentang
kesetiakawanan dalam mencapai tujuan dan keinginan yang sama.
Gerak
sejarah di tanah air di era globalisasi dewasa ini merajut cerita yang
memprihatinkan. Jatuhnya rezim Orde Baru
yang ditandai oleh lengsernya kepemimpinan Soeharto tahun 1998 yang lalu
ternyata belum menuju kearah perbaikan diberbagai sektor. Kemajemukan bangsa
Indonesia mulai tergerus bahkan menjadi sumber krisis jati diri. Krisis
jatidiri/kepribadian ini ditandai dengan munculnya sikap intoleransi seperti:
menurunnya sikap gotong royong, bertindak semena-mena, tidak tepo seliro,
kurang rela berkorban. Pancasila kehilangan roh sejatinya apalagi ditunjang
oleh arus teknologi, informasi, dan komunikasi terbuka tanpa batas dan tak
terkendali (Rachman, dalam Habibullah, 2018). Tanda-tanda meredupnya
nilai-nilai Pancasila dapat terlihat seperti pada meningkatnya kekerasan di
kalangan remaja, penggunaan bahasa dan kata-kata yang memburuk, penyebaran
berita hoax di media sosial, terorisme dan ujaran kebencian pengaruh peer group yang kuat dalam tindak
kekerasan, meningkatnya perilaku merusak diri, makin kaburnya pedoman moral
baik dan buruk, menurunnya etos kerja, semakin rendahnya rasa hormat kepada
orang tua dan guru, rendahnya rasa tanggungjawab individu dan warga negara,
membudayanya ketidakjujuran, dan adanya rasa saling curiga, dan kebencian di
antara sesama (Suyanto dalam Habibullah. 2018).
Begitu
pula melemahnya nilai-nilai kejuangan tampak dari etos kerja lemah yang
berdampak terhadap ketidakmampuan memberikan pelayanan publik dengan prima
sehingga makin meningkatkan kondisi kesenjangan sosial. Budaya sopan santun,
sikap saling menghormati semakin hari semakin menipis, yang terjadi saling
menghina, mengejek dan berpendapat kebablasan tanpa memikirkan harkat dan
martabat sebagai
manusia,
bahkan sengaja atau tidak sengaja memunculkan isu SARA, yang mengakibatkan
saling ketersinggungan individu, kelompok maupun masyarakat yang mengarah
kepada menurunnya sikap kebhinekaaan yang selama ini diperjuangkan para
pahlawan dan pejuang negara Indonesia.
Kondisi
ini sekaligus menunjukkan semakin melemahnya wawasan kebangsaan dan menurunnya
rasa kesetiakawanan sosial. Kondisi demikian merupakan bentuk-bentuk
melemah/memudarnya nilai-nilai yang terkandung pada jati diri/kepribadian
bangsa Indonesia yang selama ini sudah berurat berakar. Hal ini sungguh melukai
hati para pendiri bangsa yang sudah berjuang dengan mengorbankan segenap jiwa
raga dalam merebut kemerdekaan dengan tanpa pamrih dari tangan penjajah.
Memaknai
Nilai K3 (Kepahlawanan, Keperintisan dan Kesetiakawanan Sosial)
Bangsa
Indonesia lahir dan bangkit melalui sejarah perjuangan masyarakat untuk bebas
dari penjajahan Portugis, Belanda dan Jepang. Akibat penjajahan, bangsa
Indonesia sangat menderita, tertindas lahir dan batin, mental dan material,
mengalami kehancuran di berbagai bidang. Mercusuar kemegahan dan kejayaan
Nusantara seperti Majapahit dan Sriwijaya hancur tanpa sisa.
Kondisi
masyarakat yang semakin parah akibat penjajahan tersebut membangkitkan
perlawanan yang dipimpin oleh para tokoh perjuangan diantaranya Sultan Ageng
Tirtayasa, Cik Dik Tiro, Teuku Umar, Sultan Hasanuddin, Imam Bonjol, Panglima
Polim dan Pangeran Diponegoro. Namun peristiwa heroik perlawanan-perlawanan
tersebut mengalami kegagalan karena pada waktu itu belum terpupuk kesadaran
nasional, masih bersifat kedaerahan ( Setidjo Pandji, 2009).
Perlawanan
terhadap kaum imperialism dan kolonialisme terus dilakukan, baik secara fisik
maupun non fisik. Muncul kesadaran para pejuang dan golongan terpelajar
Indonesia, melahirkan pergerakan nasional. Pada tanggal 20 Mei 1908 di Jakarta
berdirilah Boedi Oetomo yang didirikan oleh dr. Soetomo dengan ketuanya dr.
Wahidin Sudiro Husodo. Berturut diikuti berdirinya organisasi Serikat Dagang
Islam/ Serikat Islam, Muhammadiyah, Indische Partij, Partai Komunis Indonesia,
Nahdlatul Ulama (NU) dan Partai Nasional Indonesia (PNI). Pada tahun 1928 tercetuslah
Sumpah Pemuda.
Pada
masa pendudukan Jepang (1942-1945) Bangsa Indonesia terus melakukan perlawanan
baik secara diplomasi maupun melalui gerakan perlawanan di bawah tanah. Puncak
perjuangan, momentum proklamasi kemerdekaan Indonesia pada tanggal 17 Agustus
1945. Bertempat di Halaman rumah Laksamana Muda Tadashi Maeda, Jalan Pegangsaan
Timur Nomor 56 Jakarta. Peristiwa bersejarah ini merupakan momentum pembebasan dan berakhirnya
penjajahan, Indonesia merdeka.
Dalam
sejarah kemerdekaan Indonesia, Belanda terus merongrong kedaulatan Negara
Indonesia. Para pemimpin bangsa berjuang melalui perundingan-perundingan di
samping mengatasi sejumlah pemberontakan-pemberontakan. Mereka berjuang mati-matian dengan
senjata seadanya sekalipun nyawa menjadi taruhannya. Tak ada kata pamrih
dalam aksi mereka apalagi pencitraaan, yang ada hanyalah sebuah
kemerdekaaan.
Melalui
serangkaian perjuangan panjang, akhirnya negara Indonesia merdeka terbentang
dari Sabang sampai Merauke dan dari Miangas sampai pulau Rote tampak berjajar
pulau-pulau dengan komposisi dan konstruksi yang berragam berjumlah 17.508 buh
pulau besar dan kecil (Pimpinan MPR dan Tim, 2012).
Peristiwa di
atas sungguh luar biasa dan menakjubkan. Mungkin, jika pristiwa itu terjadi
dimasa sekarang belum tentu kita sanggup berjuang sebagaimana perjuangan
mereka, apalagi mempertaruhkan nyawa demi terwujudnya sebuah kemerdekaan yang
hanya dirasakan generasi penerus. Sehingga
tidaklah ayal, jika mereka menorehkan sejarah hebat yang selalu terabadikan
dalam kehidupan bangsa dan negara kita yang pada puncaknya mereka mendapat
gelar pahlawan nasional.
Selanjutnya bagaimana kita memaknainya? Dalam sepak terjang
perjuangan terdapat nilai-nilai luhur
yang terkandung, yaitu:
1. Rela Berkorban
Dalam setiap tindak kepahlawanan
terdapat kesediaan berkorban. Kesediaan berkorban adalah dasar kepahlawanan
yang harus dikembangkan dalam pendidikan sejarah. kesediaan berkorban adalah
suatu kualitas manusia yang harus dimiliki setiap orang untuk menjadi pahlawan.
Peristiwa-peristiwa sejarah dapat memberikan pelajaran yang berarti dalam
pengorbanan dan tindakan kepahlawanan tersebut.
2. Kepemimpinan
Kepemimpinan merupakan salah satu
atribut nilai dan sikap kepahlawanan. Seorang pahlawan senantiasa berinisiatif
melakukan perubahan serta mampu mengajak dan memimpin komunitas atau bangsanya
untuk melakukan perubahan menuju masa depan yang lebih baik. sikap tersebut
muncul bukan saja statusnya sebagai penguasa, raja atau pemimpin formal
lainnya, namun juga muncul dari orang-orang di luar status itu yang memiliki
jiwa kepemimpinan.
3. Tanggung Jawab
Pahlawan adalah orang-orang yang
terpanggil jiwa dan tindakannya untuk memikul tanggung jawab dari upaya-upaya
menuju kehidupan yang lebih baik dalam masyarakatnya. Perwujudan dari rasa
tanggung jawab itulah yang sering membuat pahlawan masuk dalam penderitaan yang
menjadi resiko perjuangannya.
4. Keberanian
Sikap keberanian ini bagian dari
nilai kepahlawanan karena seorang pahlawan secara berani mengambil keputusan untuk
menentukan sikap dan respon terhadap sesuatu tantangan/masalah. Nilai-nilai
keberanian tersebut tentunya dengan kesadaran akan resiko yang akan dihadapi
sebagai dampak dari sikapnya tersebut. namun dengan nilai keberanian, seorang
pahlawan tetap teguh membela prinsip yang ia yakini.
5. Nasionalis
Cinta tanah air, tanah tumpah darah merupakan nilai
kepahlawanan yang mendasar. Segala bentuk penindasan, penjajahan, koloni dan
imperialis di tanah air harus dihapus. Kepentingan nasional, bersama di atas
kepentingan pribadi ataupun golongan. Jiwa nasionalisme ini menumbuhkan
kebersamaan, egaliter, gotong royong, persatuan dan kesetiakawanan.
Berdasarkan dari kelima nilai di atas dapat menjadi modal
bagi kita untuk memaknai Nilai Kepahlawanan di era milenial. Karena untuk
menghadapi tantangan di era milenial ini kita perlu belajar mengenai perjuangan
yang telah dilakukan oleh para pendahulu kita sebagai referensi untuk menjaga
warisan yang telah didapatkannya dengan susah payah.
Membangun Nilai-Nilai
K3
Menurut
Prof. Dr. Koentjaraningrat, dalam bukunya Manusia dan Kebudayaan di Indonesia
( 1988 : 384 ), menyatakan bahwa suatu sifat dari bangsa Indonesia yang sering
kita banggakan adalah faktor aneka warna bangsa, namun sifat ini mempunyai
aspek-aspek yang membuat pembangunan sangat sukar. Masyarakat majemuk memiliki
potensi ketegangan antar suku bangsa dan golongan. Memang tidak bisa dipungkiri, bila
pembangunan terhambat karena munculnya multi krisis, khususnya krisis
nilai-nilai, krisis moral.
Sisi
lain pendapat sarjana Jepang yang bernama Akira Nagazumi (1986 : 19) mengatakan
bahwa tekanan jumlah penduduk yang makin banyak dan sumber-sumber daya yang
terbatas, masyarakat pedesaan Jawa tidak lagi terbagi menjadi 2 golongan yaitu
golongan tuan tanah besar dan golongan setengah budak yang tertindas, tetapi
sebaliknya masyarakat ini mempertahankan suatu tingkat homogenitas
(keserbasamaan) sosial dan ekonomi yang cukup tinggi dengan membagi kue ekonomi
dalam potongan yang makin lama makin kecil. Masyarakat bukannya terbagi menjadi
golongan kaya dan golongan miskin, yang ada dalam bahasa kaum tani yang sedikit
diperhalus hanyalah golongan cukup dan golongan kekurangan.
Dari
pendapat Koentjaraningrat dan Akira Nagazumi, dapat disimpulkan bahwa sebagai
penyebab krisis moral masyarakat Indonesia ada 2 faktor, yaitu faktor intern
dan faktor ekstern. Faktor intern adalah muncul dari dalam diri seseorang
sebagaimana pendapat para penulis klasik Eropa, sedang faktor ekstern adalah
sebab dari luar diri seseorang. Faktor dari luar di samping karena faktor
jumlah penduduk yang tinggi, keanekawarna bangsa, tentunya masih banyak dimensi
lain yang sangat mempengaruhi.
Berbicara
tentang krisis nilai-nilai luhur, tidak
bisa dipisahkan dengan krisis moral. Misal orang yang tidak bertanggung jawab
terhadap sesuatu yang semestinya, merupakan salah satu dari bentuk penyimpangan
tingkah laku dan dapat dikategorikan sebagai bagian dari krisis moral. Dampak penyimpangan ini bisa menyebar ke berbagai sektor :
1. Sektor ekonomi, menyebabkan krisis ekonomi
dan pangan.
2. Sektor sosial, menyebabkan krisis sosial,
anarkhis dan tidak berperikemanusiaan.
3. Sektor budaya, menyebabkan krisis etis
estetika.
4. Sektor politik, menyebabkan krisis
kepercayaan.
Alternatif
membangun nilai dan pengendalian krisis nilai, antara lain melalui :
1. Perspektif agama
Sebagai alternatif pengendalian krisis, perspektif
agama sebenarnya lebih tepat. Peningkatan gejala sosial dan penyimpangan sosial
disebabkan segelintir masyarakat terlalu lemah dalam pengendalian emosi dan
nafsunya karena tidak lagi memiliki ikatan kuat dengan kekuasaan mutlak Tuhan.
2. Usaha
Bersama
Perlu adanya usaha bersama membangun akhlak moralitas dan karakter bangsa
demi kemajuan dan kemartabatan bangsa dengan cara-cara yang baik dan berbudi.
Demi membangun kejernihan akhlak bangsa itu harus dimulai dari membangun hati
nurani. Kemajuan dan martabat bangsa bukan hanya ditentukan oleh prestasi
material, tetapi juga oleh kekuatan akhlak, moralitas dan karakter bangsa. Usaha
bersama pemerintah dan masyarakat antara lain melalui restorasi sosial, ziarah
pahlawan, olimpiade pahlawan ataupun kunjungan situs sejarah.
3.
Pembenahan
Pendidikan Sejarah
Nilai-nilai luhur yang diwariskan
para Pahlawan/ Pejuang tidak lepas dari pendidikan sejarah. Oleh karena itu
pemahaman sejarah perjuangan bangsa penting ditanamkan. Pembelajaran sejarah,
akan mengembangkan aktivitas seseorang untuk melakukan
telaah berbagai peristiwa, untuk
kemudian dipahami dan diinternalisasikan kepada
dirinya sehingga melahirkan
contoh untuk bersikap dan bertindak.
Dari sekian peristiwa
itu antara lain pula ada pesan-pesan
yang terkait dengan nilai nilai kepahlawanan seperti
keteladanan, rela berkorban, cinta
tanah air, kebersamaan, kemerdekaan, kesetaraan,
nasionalisme dan patriotisme (Kabul
Budiyono, 2007).
4. Pemberlakuan Darurat Moralitas
Pemberlakuan darurat nilai-nilai, moralitas perlu dilakukan sebagai “bencana Nasional” untuk segera
diatasi. Kasus tawuran, pelecehan seksual, narkoba, dan kasus korupsi yang
melibatkan pejabat di lingkungan eksekutif-legislatif-yudikatif menunjukkan
lemahnya disiplin anggaran dan tata kelola pemerintahan. Pejabat lebih merasa
berutang kepada (oligarki) partai, bukan kepada rakyat. Kepentingan asing pun
bermain dalam proses legislasi yang akhirnya mengorbankan kesejahteraan rakyat.
Pejabat terjebak hiruk-pikuk demokrasi yang tak berkorelasi dengan
kesejahteraan rakyat. Banyak yang tidak beres dengan penyelenggaraan negara,
tetapi terlalu sedikit pejabat yang mengaku salah atau dikenai sanksi berat.
Ketidakberesan ditutupi kebohongan publik. Ketidakberesan terus berlangsung
karena ketidaktegasan atasan dan lemahnya kontrol dari atas. Reformasi
birokrasi jalan di tempat. Krisis ekonomi berlanjut dan kini menggerogoti
pranata sosial. Figur publik membanjir di tengah kelangkaan moralitas publik.
Penutup
Berdasarkan Permensos Nomor 22
tahun 2017 Restorasi Sosial adalah upaya yang diarahkan untuk mengembalikan
atau memulihkan kondisi sosial masyarakat yang mengalami kondisi
memudarnya/melemahnya nilai-nilai luhur jati diri/kepribadian bangsa sehingga
dapat kembali pada kondisi idealnya. Melalui pemahaman sejarah para pahlawan/
pejuang dalam merebut kemerdekaan dapat memaknai nilai-nilai luhur yang
diwariskan kepada kita semua. Dengan mengimplementasikan atau mengamalkan
nilai-nilai luhur yang diwariskan para Pahlawan/ Pejuang tersebut, generasi muda
hendaknya dapat menyikapi perkembangan yang terjadi, dan membuktikan dengan
hal-hal yang positif dan nyata, sehingga kejadian-kejadian seperti pergaulan
bebas, kejahatan, penyalahgunaan narkoba, tawuran antar pelajar, perkelahian
yang cenderung mengkhawatirkan kelanjutan masa depan bangsa tidak akan terjadi.
Selanjutnya para generasi muda/ generasi penerus
bangsa ini, di kemudian hari, dapat mencurahkan segala keberadaan dan
kemampuannya, berjuang untuk membangun Bangsa Indonesia yang tercinta ini, menjadi
bangsa yang mandiri, bersatu, damai, berpikir kreatif, rasional, demokratis,
dan kritis dalam menuntaskan segala masalah yang ada di NKRI, sehingga NKRI
menjadi negara yang maju dan negara yang sejahtera yang lebih dihormati oleh
negara lain.
DAFTAR PUSTAKA
Akira Nagazumi.
1986. Indonesia Dalam Kajian
Sarjana Jepang, Jakarta: Yayasan Obor Indonesia
Habibullah.
2018. Konsep dan Kebijakan Restorasi
Sosial di Indonesia. Sosio Informa Vol. 4,
No. 01, Januari – April 2018
Kabul
Budiyono. 2007. Nilai-nilai Kepribadian
dan Kejuangan Bangsa Indonesia. Bandung : Alfabeta.
Kementerian
Sosial Republik Indonesia. 2017. Peraturan Menteri Sosial RI No. 22 tahun 2017
tentang Restorasi Sosial. Jakarta: Kementerian Sosial RI.
Koentjaraningrat, Prof. Dr., 1988. Manusia
dan Kebudayaan di Indonesia. Jakarta : Penerbit Djambatan.
Setidjo,
Pandji. 2009. Pendidikan Pancasila,
Perspektif Sejarah Perjuangan Bangsa. Jakarta : Gramedia Widiasarana
Indonesia
Tidak ada komentar:
Posting Komentar