Istilah kontroversi
sejarah baru terdengar belakangan, 1998, pada orde baru nyaris tindak ada, begitu kata Asvi Warman Adam, salah seorang tokoh sejarawan. Selanjutnya memaparkan, kontroversi artinya perdebatan, pertentangan, pada orde baru tidak ada, karena
adanya hanya 1 versi, yaitu versi Orde Baru.
Buku tentang PKI, 1995 dilarang,
tidak boleh ada kontroversi.
Sartono,
mengundurkan diri, tidak ada pada penyusun SNI. Pada buku karangan Nugroho, Pejuang
dan Prajurit, gambar saat proklamasi wajah Sukarno tidak ada, kemudian Abdurrahman
Surjomihardjo, menelepon pada penerbit untuk protes, namun tidak ada jawaban
atau alasan yang diberikan, dan pada terbitan ke dua sudah ada gambar wajah
Sukarno..
Nasution
menyusun buku, 40 Hari Kegagalan G 30 S, belum ada kata PKI di belakang G 30 S,
walau di tulis dalam waktu singkat, termasuk buku laris.
Setelah Orba,
baru muncul kontroveri, dikarenakan sudah ada kebebasan pers, pendapat, televisi
tidak takut lagi membuat film dokumenter
yang beda versi dengan pemerintah, misal
tentang G 30 S, Supersemar dan Serangan umum 1 Maret 1949.
Berbicara
tentang pelurusan sejarah, adalah koreksi terhadap kekeliruan sejarah yang tidak
tepat tetang masa lalu. AURI mendapat stigma, kelompok yang di cap PKI, Sukarnois,
merasa dipinggirkan. Di sini AURI berkepentingan meluruskan sejarah. Film G 30
S/PKI, yang ditayangkan rutin tiap tahun pada 30 September, lembaga pertama yang
meminta untuk menghentikan penayangan justru dari AURI.
Unsur
pelurusan sejarah itu memungkinkan kalau ada penggeraknya, disegani oleh
pemerintah. Ini terbukti adanya Marskal Joko Suyanto dari AURI telah dipercaya menjadi
panglima TNI, ini di anggap pelurusan di tubuh AURI berhasil.
Kurikulum yang
berusaha menghilangkan PKI pada kata G 30 S di anggap resistensi, sekarang ini
muncul lagi kata PKI, berarti pelurusan belum berhasil. Tentang Anak Agung Gde
Agung, saat diusulkan menjadi pahlawan nasional justru datangnya dari DI
Yogyakarta. Hal ini diprotes lembaga veteran di Bali
yang melihat kekerasan yang dilakukan Anak Agung. Gelar pahlawan nasional untuk
Anak Agung tidak layak, perlu dipertimbangkan, apalagi sempat korupsi. Kriteria
layak gelar pahlawan nasional pada figure yang tidak punya cacat, seperti memberontak,
ini sulit, sosok Safrudin dicap sebagai
pemberontak, tidak diangkat, namun Moh. Natsir, telah diangkat, apakah
kriterianya sudah diubah?
Persoalan
kontroversi bukan sekedar persoalan keilmuan, dibalik ini ada persoalan
kemanusiaan. G 30 pakai PKI atau tidak hanya sekedar istilah, tapi dilapangan
menimbulkan dampak yang luas, keluarganya merasa didiskriminasi. Soal kontroversi
bukan sekedar benar atau tidak, tapi ada dampak yang luas tentang persoalan
itu. Seperti usulan orang tionghoa menjadi pahlawan nasional (dari Asvi),
melihat perseolan pribumi dengan Tionghoa, kerusuhan yang terjadi dikarenakan 3
hal :
- kesenjangan ekonomi
- mereka dianggap orang asing
- mereka dianggap tidak ikut dalam perjuangan bangsa indonesia
Maka mencoba menghilangkan penyebab
yang ke 3, memang salah satu seperti persolan ekonomi ya, tapi itu hal lain.
Pendapat yang menyatakan orang Thionghoa
tidak ikut dalam perjuangan itu salah, seorang John Lie yang menerobos pasukan
Belanda merupakan contoh. Bahwa kalau ada orang Thionghoa yang diangkat menjadi
pahlawan nasional mereka sudah dianggap sama dengan suku yang lain di Indonesia.
Pada tahun ini sudah diterbitkan
kembali oleh balai pustaka, Sejarah nasional edisi pemutahiran, 6 jilid harga Rp
825.000,00. Di buku itu masih ada hal-hal yang versi lama, tentang Bung Karno
yang menimbulkan kontroversi. Mestinya di buku standar tidak ada lagi sampai ke hal yang masih kontroversi. Suharto mengundurkan
diri itu tidak benar, tapi menghentikan diri. Kalo mengundurkan diri harus
mempertanggungjwabkan, tapi tidak dilakukan Suharto. Buku 8 jilid yang dipimpin
Taufik Abdullah baru sampulnya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar