Total Tayangan Halaman

Jumat, 11 Januari 2013

Pelurusan Sejarah ala Asvi


      Asvi Warman Adam,

Istilah kontroversi sejarah baru terdengar belakangan, 1998, pada orde baru nyaris tindak ada, begitu kata Asvi Warman Adam, salah seorang tokoh sejarawan. Selanjutnya memaparkan, kontroversi artinya perdebatan, pertentangan, pada orde baru tidak ada, karena adanya hanya 1 versi, yaitu versi Orde Baru.
Buku tentang PKI, 1995 dilarang, tidak boleh ada kontroversi.
Sartono, mengundurkan diri, tidak ada pada penyusun SNI. Pada buku karangan Nugroho, Pejuang dan Prajurit, gambar saat proklamasi wajah Sukarno tidak ada, kemudian Abdurrahman Surjomihardjo, menelepon pada penerbit untuk protes, namun tidak ada jawaban atau alasan yang diberikan, dan pada terbitan ke dua sudah ada gambar wajah Sukarno..
Nasution menyusun buku, 40 Hari Kegagalan G 30 S, belum ada kata PKI di belakang G 30 S, walau di tulis dalam waktu singkat, termasuk buku laris.
Setelah Orba, baru muncul kontroveri, dikarenakan sudah ada kebebasan pers, pendapat, televisi tidak takut lagi  membuat film dokumenter yang beda versi dengan  pemerintah, misal tentang G 30 S,  Supersemar dan  Serangan umum 1 Maret 1949.

Berbicara tentang pelurusan sejarah, adalah koreksi terhadap kekeliruan sejarah yang tidak tepat tetang masa lalu. AURI mendapat stigma, kelompok yang di cap PKI, Sukarnois, merasa dipinggirkan. Di sini AURI berkepentingan meluruskan sejarah. Film G 30 S/PKI, yang ditayangkan rutin tiap tahun pada 30 September, lembaga pertama yang meminta untuk menghentikan penayangan justru dari AURI.
Unsur pelurusan sejarah itu memungkinkan kalau ada penggeraknya, disegani oleh pemerintah. Ini terbukti adanya Marskal Joko Suyanto dari AURI telah dipercaya menjadi panglima TNI, ini di anggap pelurusan di tubuh AURI berhasil.

Kurikulum yang berusaha menghilangkan PKI pada kata G 30 S di anggap resistensi, sekarang ini muncul lagi kata PKI, berarti pelurusan belum berhasil. Tentang Anak Agung Gde Agung, saat diusulkan menjadi pahlawan nasional justru datangnya dari DI Yogyakarta. Hal ini diprotes lembaga veteran di Bali yang melihat kekerasan yang dilakukan Anak Agung. Gelar pahlawan nasional untuk Anak Agung tidak layak, perlu dipertimbangkan, apalagi sempat korupsi. Kriteria layak gelar pahlawan nasional pada figure yang tidak punya cacat, seperti memberontak, ini sulit,  sosok Safrudin dicap sebagai pemberontak, tidak diangkat, namun Moh. Natsir, telah diangkat, apakah kriterianya sudah diubah?

Persoalan kontroversi bukan sekedar persoalan keilmuan, dibalik ini ada persoalan kemanusiaan. G 30 pakai PKI atau tidak hanya sekedar istilah, tapi dilapangan menimbulkan dampak yang luas, keluarganya merasa didiskriminasi. Soal kontroversi bukan sekedar benar atau tidak, tapi ada dampak yang luas tentang persoalan itu. Seperti usulan orang tionghoa menjadi pahlawan nasional (dari Asvi), melihat perseolan pribumi dengan Tionghoa, kerusuhan yang terjadi dikarenakan 3 hal  :
  1. kesenjangan ekonomi
  2. mereka dianggap orang asing
  3. mereka dianggap tidak ikut dalam perjuangan bangsa indonesia

Maka mencoba menghilangkan penyebab yang ke 3, memang salah satu seperti  persolan ekonomi ya, tapi itu hal lain. Pendapat  yang menyatakan orang Thionghoa tidak ikut dalam perjuangan itu salah, seorang John Lie yang menerobos pasukan Belanda merupakan contoh. Bahwa kalau ada orang Thionghoa yang diangkat menjadi pahlawan nasional mereka sudah dianggap sama dengan suku yang lain di Indonesia.

Pada tahun ini sudah diterbitkan kembali oleh balai pustaka, Sejarah nasional edisi pemutahiran, 6 jilid harga Rp 825.000,00. Di buku itu masih ada hal-hal yang versi lama, tentang Bung Karno yang menimbulkan kontroversi. Mestinya di buku standar tidak ada lagi  sampai ke hal yang masih kontroversi. Suharto mengundurkan diri itu tidak benar, tapi menghentikan diri. Kalo mengundurkan diri harus mempertanggungjwabkan, tapi tidak dilakukan Suharto. Buku 8 jilid yang dipimpin Taufik Abdullah baru sampulnya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar