KRISIS RASA TANGGUNG-JAWAB
A. PENDAHULUAN
Gerak sejarah di tanah air menjelang
era globalisasi dewasa ini merajut cerita yang memprihatinkan. Jatuhnya rezim
Orde Baru yang ditandai oleh lengsernya kepemimpinan
Soeharto tahun 1998 yang lalu ternyata belum kearah perbaikan diberbagai
sektor. Krisis multi demensi seakan
telah berurat berakar. Mulai krisis ekonomi tahun 1998 yang salah satunya
menyebabkan nilai rupiah menukik tajam terhadap US $. Bahklan saat ini kita
diperparah dengan munculnya krisis energi sehingga kenaikkan BBM tak terelakkan
lagi. Setidaknya dari tahun 2004 kenaikkannya sudah ratusan prosen, dari Rp
1.810,00 menjadi Rp 6.000,00 di Mei 2008.
Krisis Pangan |
B. KRISIS MORAL, SEBAB DAN
DAMPAKNYA
Penegak Hukum Bertindak |
Kata moral
sering diidentikkan dengan budi pekerti, adab, etika, tata krama, etiket, dan
sebagainya. Dalam kosakata bahasa Arab, istilah itu sering disebut al-akhlaq
atau al-adab. Al-akhlaq adalah bentuk jamak dari al-khuluq, artinya budi
pekerti atau moralitas. Kata itu semula diproyeksikan sebagai sandingan kata
al-khalq, berarti ciptaan.
Meskipun berasal
dari akar kata sama (kha-la-qa), kedua istilah itu memiliki arti yang bersifat
immateri dan permanen, sedangkan al-khalq sebagai partner keberadaan manusia
yang bersifat materi, bisa dilihat, kasat mata, dan sementara. Keduanya tidak
dapat dipisahkan. Meniadakan salah satu berarti memudarkan jati diri manusia.
Karena itu, manusia sejati (insan kamil) adalah pengungkapan ahsan taqwim,
ciptaan Tuhan yang terbaik, yang baru terwujud jika antara al-khuluq memiliki
irama dan ritme yang selaras dengan al-khalq.(Said Aqiel Siradj,2008).
Beberapa penulis klasik Eropa
seperti Nicolo Machiavelli ( 1469-1527), Sigmun Freud, Thomas Lickona dan Brook
& Goble memiliki pendapat beragam tentang
menyebabkan penyimpangan tingkah laku sebagai cermin krisis moral. Nicolo
Machiavelli berpendapat penyimpangan
tingkah laku tersebut ialah kerana manusia itu pada dasarnya adalah penipu,
rakus, tidak pernah puas dan kejam. Begitu juga, pemikir Thomas Hobes
(1588-1679) yang berpendapat bahawa manusia itu mempunyai sifat dasar yang
mementingkan egonya sendiri dan merupakan musuh bagi manusia lainnya (homo
homini lupus).
Sedikit berbeda, ahli psikologi modern seperti Sigmund Freud melihat bahwa
perilaku manusia itu terbentuk atas dasar motif yang berada dalam fikiran alam
bawah sadar (unconscious mind) sehingga seringkali manusia melakukan
kejahatan tanpa disadarinya. Freud turut
berpendapat, bahwa tingkah laku manusia terjadi akibat dorongan seksual (sexual
drive) yang mengarah kepada prinsip kesenangan (pleasure principle)
yang dikendalikan oleh idnya (naluri) masing-masing. Sementara itu, ego manusia memberikan
pertimbangan terhadap tingkah laku manusia atas dasar prinsip realiti (reality
principle), sedangkan super ego memberikan pertimbangan terhadap
tingkah laku manusia atas dasar prinsip moral (morality principle).
Menurut Freud, kadar id, ego dan super ego setiap individu berbeda
sehingga manusia yang cenderung pada kejahatan akan menandakan id lebih
dominan, sementara manusia yang cenderung pada kebaikan akan memainkan superegonya
lebih 'berkuasa'. Namun, benarkan
kejadian-kejadian demoralisasi
masyarakat kita hari ini didasarkan oleh tingkah laku di bawah sedar? Bolehkah
pandangan Freud dapat diterima begitu sahaja?
Menurut Prof. Dr. Koentjaraningrat, adalam bukunya “ Manusia dan
Kebudayaan di Indonesia” mengatakan bahwa suatu sifat dari bangsa Indonesia
yang sering kita banggakan adalah faktor aneka warna bangsa, namun sifat ini
mempunyai aspek-aspek
yang membuat pembangunan sangat sukar. Masyarakat majemuk memiliki potensi
ketegangan antar suku bangsa dan golongan. ( 1988 : 384 ). Memang tidak bisa
dipungkiri, bila pembangunan terhambat memiliki andil munculnya multi krisis,
khususon krisis moral.
Sisi lain pendapat sarjana Jepang yang bernama Akira Nagazumi mengatakan
bahwa tekanan jumlah penduduk yang makin banyak dan sumber-sumber daya yang
terbatas, masyarakat pedesaan Jawa tidak lagi terbagi menjadi 2 golongan yaitu
golongan tuan tanah besar dan golongan setengah budak yang tertindas, tetapi
sebaliknya masyarakat ini mempertahankan suatu tingkat homogenitas
(keserbasamaan) sosial dan ekonomi yang cukup tinggi dengan membagi kue ekonomi
dalam potongan yang makin lama makin kecil .… Masyarakat bukannya terbagi
menjadi golongan kaya dan golongan miskin, yang ada dalam bahasa kaum tani yang
sedikit diperhalus hanyalah golongan cukup dan golongan kekurangan (1986 : 19).
Dari pendapat beberapa penulis klasik Eropa, . Koentjaraningrat, dan
Akira Nagazumi, dapat disimpulkan bahwa sebagai penyebab krisis moral masyarakat
Indonesia
ada 2 faktor, yaitu factor intern dan factor ekstern. Faktor intern adalah
muncul dari dalam diri seseorang sebagaimana pendapat para penulis klasik
Eropa, sedang factor ekstern adalah sebab dari luar diri seseorang. Faktor dari
luar di samping karena faktor jumlah penduduk yang tinggi, keanekawarna bangsa,
tentunya masih banyak dimensi lain yang sangat mempengaruhi.
Berbicara tentang krisis
tanggung-jawab ini tidak bisa dipisahkan dengan krisis moral. Orang yang tidak
bertanggung jawab terhadap sesuatu yang semestinya, merupakan salah satu dari
bentuk penyimpangan tingkah laku dan dapat dikategorikan sebagai bagian dari
krisis moral. Dampak penyimpangan ini bisa menyebar ke berbagai sektor :
1.
Sektor ekonomi, menyebabkan krisis ekonomi dan pangan.
2.
Sektor social, menyebabkan krisis social, anarkhis dan
tidak berperikemanusiaan.
3.
Sektor budaya, menyebabkan krisis etis estetika.
4.
Sektor politik, menyebabkan krisis kepercayaan.
C. ALTERNATIF PENGENDALIAN
KRISIS
Sebenarnya ada beberapa indikator untuk melihat adanya kejahatan dan krisis
demoralisasi masyarakat kita yang kemudian dijadikan ukuran bagi perkembangan
kualiti kehidupan suatu bangsa. Menurut
Thomas Lickona dalam Educating for Character, How Our Schools Can Teach
Respect and Responsibility (1992), terdapat sepuluh tanda dari perilaku
manusia yang menunjukkan arah kehancuran suatu bangsa. Tanda-tanda kehancuran sebuah
bangsa antara lain ialah meningkatnya keganasandan pergaulan bebas di kalangan remaja, berkembangnya budaya tidak
jujur, semakin meningkat rasa tidak hormat kepada orang tua, guru dan
pemimpin.Ia juga ditandai dengan meningkatnya kumpulan-kumpulan liar, selain
tumbuhnya kecurigaan dan kebencian antara kaum, penggunaan bahasa yang buruk dan
kemerosotan moral.
Senada dengan itu, guru
besar Fakultas Ilmu Sosial Politik Universitas Indonesia, Prof Dr Budiatna
menegaskan, sungguh pilu hati ini ketika melihat sebuah negara yang amat besar,
kaya dan luas, kini ternyata harus mendapati citra dan keadaan yang amat buruk.
Penuh dengan pencuri uang rakyat, korupsi, kongkalingkong dalam kebatilan,
nepotisme merajalela, kekerasan, pornografi, kemiskinan, merebaknya aneka
kejahatan, dan lain sebagainya. "Bila dicermati dengan nurani yang bersih,
semua ini tampaknya bersumber dari kerusakan moral yang kian menjadi-jadi. Lebih
pedih lagi, kepekaan dan kepedulian masyarakat pun kian melemah dan memudar.
Sebagian orang tampaknya berpikir bahwa yang penting menyelamatkan diri,"
katanya. Sedangkan yang masih peka dan peduli pun bingung harus mengadu kepada
siapa, harus melakukan apa, dan bisa-bisa malah jadi senjata makan tuan. Ketika
hendak melaksanakan niat baik, malah diri yang menjadi korban. Kenyataan ini
dimanfaatkan oleh manusia serakah yang tak punya tanggung jawab untuk meraup
keuntungan sebesar-besarnya tanpa peduli kerusakan moral yang ditanggung
masyarakat, terutama generasi muda. “Tayangan porno, komik cabul, majalah, VCD,
narkoba, hingga perjudian kian tak terkendali. Akankah kita biarkan bangsa ini
hancur dan nista, relakah anak cucu kita menanggung kesengsaraan dan aib yang
lebih getir," tuturnya.
Keprihatinan yang
mendalam atas krisis-krisis berkepanjangan yang menimpa bangsa tercinta ini
yang diawali dari krisis moral. Semakin meredupnya kepekaan dan kepedulian
masyarakat terhadap kemerosotan moral bangsa, terbukti dengan semakin maraknya tindakan yang dapat meruntuhkan
nilai moral. Karena kurangnya wadah yang menjadi media aspirasi dari keresahan
masyarakat terhadap krisis yang terjadi, maka dibutuhkan upaya bersama untuk
membantu memperbaiki keadaan bangsa ini. Upaya ini memerlukan komitmen yang
tulus dan kepekaan yang tinggi dari setiap individu masyarakat.
1. Perspektif agama
Sebagai alternatif pengendalian krisis, perspektif agama sebenarnya
lebih tepat. Peningkatan gejala sosial dan penyimpangan sosial disebabkan
segelintir masyarakat terlalu lemah dalam pengendalian emosi dan nafsunya
karena tidak lagi memiliki ikatan kuat dengan kekuasaan mutlak Tuhan.
"Persoalan
terbesar masyarakat kontemporari ialah mereka berada dalam ruang positivisme
yang berasaskan sains dan teknologi yang menyingkirkan keberadaan moral dan
agama," tulis J.Q Wilson
dalam The Moral Sense (1993). Kelahiran
positivisme yang mendasari kelahiran ilmu pengetahuan (science) telah
membuat pemisahan sangat jelas antara fakta (yang dapat dibuktikan dengan
ilmiah sehingga disebut kebenaran dengan nilai yang tidak dapat dibuktikan
secara ilmiah, sehingga disebut sebagai perasaan. Alam dan isinya
adalah anugerah Tuhan kepada manusia. Manusia diberi potensi mengolah dan
menata alam secara kreatif, produktif, konstruktif, dan humanis. Dalam
mengelola alam diperlukan tindakan moral yang baik agar tidak terjadi
pembelokan dan perusakan yang menyengsarakan.
Dalam konteks
moral, agama memberi petunjuk praktis dalam menyempurnakan moralitas manusia.
Dalam diri manusia tersimpuh dorongan baik dan buruk (al-ba’its al-din wa
al-ba’its al- syaithan). Agama tidak menyangkal, manusia dengan akalnya mampu
membedakan antara baik (al-haq) dan buruk (al-bathil). Namun, agama mewartakan,
hanya dengan akal manusia tidak akan mampu menangkap hakikat moralitas. Sebab,
akal mudah terbelokkan oleh unsur lain dalam diri manusia, terutama apa yang
disebut nafsu (syahwathiyah). Masalah moral boleh dikatakan amat lembut, sering
meremangkan pandangan manusia. Agama mengajarkan untuk selalu bersikap ramah
kepada sesama, bersedekah, saling membantu (ta’awun) sehingga terbentuk kohesi
dan solidaritas sosial (hablum min al-nas). Ini adalah ajaran moral standar
yang secara ’aqliyah maupun naqliyah diterima. Islam menjunjung perenungan
rasional (ta’aqqul, tadabbur, I’tibar), karena dengan itu manusia bisa
merengkuh pemahaman secara baik.
2. Usaha Bersama
Membangun Aklhak |
Perlu adanya usaha
bersama membangun akhlak moralitas dan karakter bangsa demi kemajuan dan
kemartabatan bangsa dengan cara-cara yang baik dan berbudi. Demi membangun
kejernihan akhlak bangsa itu ha- rus dimulai dari membangun hati nurani.
"Kemajuan dan martabat bangsa bukan hanya ditentukan oleh prestasi
material, tetapi juga oleh kekuatan akhlak, moralitas dan karakter bangsa. Pembangunan
kekuatan akhlak, moralitas dan karakter bangsa tersebut harus dilakukan secara
serius, konsisten dan bersama-sama seluruh potensi dan elemen bangsa,"
ujar sejarawan dan peneliti LIPI, Dr Haryo Nugroho.
Katanya, kelemahan
bangsa kita adalah belum bersungguh-sungguh menghidupkan dan membangkitkan
kekuatan hati nurani. Padahal nurani itulah yang akan menentukan akal pikiran,
sikap, dan tingkah laku menjadi penuh nilai kemuliaan dan kehormatan yang
hakiki. Hati nurani tidak pernah berdusta dan tidak bisa dibohongi. Hati
nurani, inti martabat dan kemuliaan manusia. Yang dapat membantu bangsa Indonesia keluar dari krisis adalah bangsa Indonesia
itu sendiri, dengan menjadi pejuang yang tulus yang berbuat untuk kebaikan
bersama dalam menata bangsa menuju kehidupan yang lebih baik. Untuk itu
diperlukan wadah agar dapat saling membantu memperbaiki diri, membangun
ketahanan moral keluarga, khususnya generasi muda serta berkiprah dalam
membangun lingkungan dan bangsa, sehingga bangsa dapat keluar dari krisis moral.
Karena itu tegasnya,
gerakan moral dimaksud bukan gerakan politik, namun merupakan gerakan sukarela
yang tidak memiliki ikatan apapun selain ikatan hati nurani yang bertekad untuk
memiliki kepekaan, kepedulian, dan berbuat serta berjuang bersama-sama dengan
cara yang santun. Salah satu yang masih perlu dilakukan adalah gerakan
membangun nurani bangsa dan masih dibutuhkan sejumlah gerakan moral sejenis
agar lebih efektif dan membumi. "Bangkitnya negeri ini dari krisis akan
terjadi, bila masyarakat menjadi para pejuang yang tulus berbuat untuk
kemaslahatan bersama. Untuk itu, diperlukan wadah yang dapat menampung keluh
kesah, aspirasi masyarakat dalam meningkatkan moral bangsa ini. Wadah tersebut
tidak tergabung dalam partai politik atau elemen negara sehingga masyarakat
mempunyai wadah langsung dalam menyuarakan hati nuraninya. Sejumlah organisasi
gerakan moral memang sudah ada namun masih perlu diperbanyak," paparnya.
Tak jauh beda dengan
pendapat sebelumnya, aktor Didi Petet mengungkapkan bahwa bila dari sejarah dan
perkembangan sekarang ini ternyata masih ada kesamaan. "Kita senang diadu
domba, senang membicarakan orang, hanya senang yang ramai-ramai saja,
memikirkan diri sendiri atau egois dan masih mengedepankan anarkisme,"
katanya kepada Pembaruan. Ia
khawatir bahwa pada masa ke depan, kondisinya akan tetap seperti ini seandainya
tidak ada bagian dari bangsa ini sendiri yang memikirkannya, entah pemerintah
atau elemen bangsa lainnya. Bagi Didi Petet, soal karakter bangsa tak jauh
jaraknya dari dunia yang ia tekuni yakni seni peran. Ia setuju bahwa karakter
bangsa berhubungan erat dengan seni budaya. Sayang , Indonesia
yang terkenal dengan ragam seni budaya ini sepertinya kurang mempedulikan aset
itu. "Seni hiburan tak pernah diletakkan pada bagian depan dalam pembinaan
atau pembentukan karakter bangsa. Ini menyedihkan." katanya.
Beberapa tahun terakhir
korupsi diperlakukan sebagai kejahatan luar biasa dan sejumlah koruptor dijerat
hukum. Sebelumnya, korupsi sulit diberantas. Sistem hukum lama tak mampu
menjerat pejabat publik yang ditengarai terlibat skandal keuangan. Negara sulit
menghukum pejabat, tetapi mudah menghukum rakyat. Padahal, yang dikorupsi
adalah uang rakyat. Tiada efek jera bagi pejabat yang melihat uang negara
sebagai obyek untuk dijarah. Pengeluaran negara dibuat jauh lebih besar
daripada seharusnya. Penerimaan negara dibuat jauh lebih kecil daripada
seharusnya. Politik anggaran penuh rekayasa.
3. Pembenahan Kehormatan
Institusi
Berangkat dari Diri Sendiri |
Ketika pemerintah mengatur mekanisme untuk
menghukum diri sendiri (diwakili pejabat terkait), keadilan menjadi bias.
Pemerintahan korup berkepentingan dengan sistem hukum yang lemah agar sesedikit
mungkin pejabat terjerat hukum untuk menjaga kehormatan institusi. Semakin
tinggi jabatan atau dekat lingkaran kekuasaan, semakin banyak alasan untuk
melindunginya dari jerat hukum.
Kendati suatu kebijakan
publik terbukti keliru, pejabat terkait tidak dikriminalkan. Kebijakan keliru
dianggap produk kelembagaan, bukan produk individu. Pejabat bertindak sebagai
otoritas publik dan lolos dari jerat hukum meski keuangan negara amat dirugikan.
Daripada mengabdi untuk kehormatan institusi, pejabat korup berlindung di balik
kehormatan itu dan melakukan kolusi lintas institusional. Kendati selalu ada kemauan politik untuk
menghukum pejabat yang salah, dalam praktiknya pemerintah cenderung defensif.
Pejabat kerap berkelit jika dikatakan korupsi mewabah nyaris di semua institusi
negara. Yang disalahkan selalu oknum. Tiap penyimpangan dikembalikan kepada
kesalahan pribadi, kelemahan nurani yang bersangkutan. Padahal, yang terjadi
adalah penyimpangan korps. Semangat koruptif korps. Nurani korps bermasalah.
Di kantor-kantor
layanan administrasi publik, warga yang taat aturan terpaksa menunggu lama
untuk dilayani dibandingkan mereka yang menggunakan jasa calo. Sudah biasa calo
bebas masuk-keluar ruang petugas. Mustahil prosedur seperti itu hanya inisiatif
satu dua petugas di loket tanpa dukungan korps. Itu sebabnya Rancangan
Undang-Undang Layanan Publik mendesak untuk disahkan. Perang melawan korupsi tidak cukup hanya
dicanangkan, tetapi harus menular di level pejabat struktural. Administrasi
layanan publik sarat pungutan liar. Inspeksi mendadak selalu diperlukan untuk
menimbulkan efek jera, terutama bagi kepala kantor yang dengan sengaja
membiarkan praktik koruptif merajalela. Indonesia belum belajar dari negeri
tetangga yang dipercaya para investor dan menjadi kaya karena tertib
administrasinya. Kehormatan institusi
harus dikembalikan untuk dilaksanakan secara adil dan konsekuen.
Negeri kaya sumber daya alam macam Indonesia
tak kunjung kaya. Negara dirugikan oleh kleptokrasi. Oknum birokrasi dengan
mudah melakukan pungutan ilegal. Yang tidak tunduk dipersulit. Rakyat kecil
harus membayar segala macam layanan publik yang mestinya gratis atau murah.
Tertib bernegara ditentukan oleh kekuatan uang, bukan oleh tata kelola
pemerintahan. Hal semacam ini takkan terulang seandainya institusi benar-benar
dijaga kehormatannya.
4. Pemberlakuan
Darurat Moralitas
Pemberlakuan darurat moralitas perlu dilakukan sebagai “bencana Nasional” untuk segera diatasi. Kasus korupsi yang melibatkan pejabat di lingkungan eksekutif-legislatif-yudikatif menunjukkan lemahnya disiplin anggaran dan tata kelola pemerintahan. Pejabat lebih merasa berutang kepada (oligarki) partai, bukan kepada rakyat. Kepentingan asing pun bermain dalam proses legislasi yang akhirnya mengorbankan kesejahteraan rakyat. Pejabat terjebak hiruk-pikuk demokrasi yang tak berkorelasi dengan kesejahteraan rakyat.
Pelayan publik mengabdi
demi uang, bukan untuk kepentingan publik. Pengabdian mendua itu menghasilkan
perilaku koruptif. Darurat moralitas publik. Solusinya bukan menjadikan negara
sebagai polisi moral bagi warga, tetapi rakyat terus menekan birokrasi agar
mentalitas koruptif terkikis. Jika perang melawan korupsi dilakukan dengan
semangat jihad, niscaya Indonesia
melesat maju meninggalkan banyak negeri lain sekawasan.
Rakyat sering terjebak
dengan keberagamaan lahiriah pejabat. Padahal, substansi keberagamaan pejabat
adalah integritas moralnya. Kesalehan publiknya. Kecintaannya kepada rakyat.
Pengabdiannya tanpa pamrih. Berhadapan dengan jerat korporasi yang bersandar
pada mekanisme pasar dan hukum-hukum impersonal, negara mestinya berperan
sebagai regulator, tidak ikut-ikutan memakai bahasa pasar berhadapan dengan
rakyat.
Harga jual gas kita
kepada asing dalam kerangka kontrak bisnis jangka panjang masih lebih murah
dibandingkan harga gas subsidi di dalam negeri. Namun, pemerintah membiarkan
harga jual di dalam negeri berlaku sesuai mekanisme pasar. Rakyat kecil
menjerit dengan harga gas yang cenderung naik dan pontang-panting menghadapi
kelangkaan. Mudahnya pejabat kita mengingkari kontrak sosial dengan rakyat
(baca: konstitusi). Di negara demokrasi
yang kuat penegakan hukumnya, (calon) pejabat mudah membuat pengakuan salah di
depan publik. Meski dikenal sebagai negeri yang lemah penegakan hukumnya,
jarang sekali pejabat kita mengaku salah. Makin tinggi posisi, makin sulit
mengaku salah. Citra publik di atas moralitas publik. Kesenjangan antara
moralitas individual dan moralitas publik.
Banyak yang tidak beres dengan
penyelenggaraan negara, tetapi terlalu sedikit pejabat yang mengaku salah atau
dikenai sanksi berat. Ketidakberesan ditutupi kebohongan publik. Ketidakberesan
terus berlangsung karena ketidaktegasan atasan dan lemahnya kontrol dari atas. Reformasi
birokrasi jalan di tempat. Krisis ekonomi berlanjut dan kini menggerogoti
pranata sosial. Figur publik membanjir di tengah kelangkaan moralitas publik.
Krisis tanggungjawab yang merupakan
bagian dari krisis moral masyarakat Indonesia sudah kronis. Hal ini
merembak keberbagai sector sejak tahun 1998 yang ditengarai tumbangnya rezim
Orde Baru. Orde Reformasi hingga detik ini masih tertetih-tatih untuk
membenahi, bahkan telah dihadang dengan munculnya krisis energi dan dampak
krisis dunia yang merontokkan perbankan di Amerika Serikat.
Pergumulan
terhadap dunia modern dengan segala kembangnya ini bukan lagi menjadi
penghalang (mawani’), tetapi justru menjadi kesadaran baru untuk lebih
menggiatkan kerja mulia demi membangun mentalitas, intelektualitas, dan
spiritualitas bangsa sehingga mampu memberi warna ideal bagi pembangunan
bangsa.
Perspektif
agama merupakan alternative jitu untuk membenahi krisis dari nol menuju
perilaku masyarakat Indonesia
yang santun dan beriman. Tanpa diawali dengan perombakan perilaku yang korup,
tidak jujur, krisis di ibu pertiwi ini tak akan lenyap. Masalah pangan bisa
sebagai biang krisis moral ataupun krisis tanggung-jawab.
DAFTAR PUSTAKA
Akira Nagazumi. ( 1986), Indonesia
Dalam Kajian Sarjana Jepang, Jakarta ,
Yayasan
Obor Indonesia
Albert Hasibuan, SH.,Dr. ( 1996). Titik Pandang Untuk Orde
Baru. Jakarta :
Suara
Pembaharuan Pustaka Sinar
harapan.
Koentjaraningrat, Prof. Dr., ( 1988). Manusia dan Kebudayaan di Indonesia. Jakarta :
Penerbit Djambatan.
Internet :
http://www.yahoo.co.id
/ moral
- ANTARA News,
Copyright C 2008
- Said Aqiel Siradj,
Idul Fitri, Moralitas dan Spiritualitas, Kompas, 30 September
2008
- Kompas, Kita Masih Terjajah
- Yonky Karman,
Pengajar di Sekolah Tinggi Teologi Jakarta
Tidak ada komentar:
Posting Komentar