Total Tayangan Halaman

Jumat, 10 Februari 2012

LAND REFORM SEJATI





Image Detail
Pembelajaran dari kaum Tani
Jalan Menuju Kemerdekaan


A.   Pendahuluan
Belajar dari kaum tani, berjuang seperti menanam tanaman. Kita harus memulainya dengan menebar benih, merawat dan memelihara, sampai menuai panenan, meski sebagian besar hasil tidak bias dinikmati oleh kaum tani yang mengerjakannya. Tetapi kaum tani telah memberi keteladanan bagi seluruh rakyat, tentang arti kesetiaan dan kerelaan berkorban, untuk mencapai hasil perjuangan yanggemilang. Kami mengucapkan selamat atas terbitnya Berita Kaum Tani. Semoga terus berlanjut, setia menemani sekaligus menyinari perjuangan kaum tani dan rakyat Indonesia.
Dalam perjalanan 60 tahun (1945-2005) Indonesia merdeka, sektor pertanian tercatat pernah menjadi primadona atau leading sector dalam perekonomian yang menyumbang sekitar 70% lebih dari produk domestik bruto dan penciptaan lapangan kerja. Namun, semrawut dan tidak adanya visi jangka panjang pembangunan ekonomi di negara ini membuat pertanian kemudian terpuruk dan peran sektor pertanian dalam perekonomian tak lebih dari sekedar pengganjal atau pelengkap bagi sektor lain (adjusting atau following sector). Dalam satu dekade lebih terakhir, sebagian besar subsektor pertanian, perkebunan, peternakan, dan perikanan mengalami kemerosotan kinerja dan petaninya mengalami pemiskinan secara dramatis. Sementara ketergantungan pada impor pangan dan produk pertanian lain meningkat tajam. Bahkan, Indonesia sempat menjadi penerima bantuan pangan terbesar dunia pada masa krisis. Indonesia yang pada awal abad ke-19 merupakan eksportir gula terbesar kedua dunia (setelah Kuba) kini berbalik menjadi importir gula terbesar kedua dunia. Beras yang dulu swasembada, kini harus impor. Hal yang sama terjadi untuk produk pangan penting lain, seperti jagung dan kedelai, serta produk holtikultura, seperti buah-buahan dan tanaman hias, seperti pisang, jeruk, durian, dan mangga.
Dulu, kita bisa memenuhi sendiri kebutuhan dalam negeri, bahkan ekspor, kini produk impor menyerbu bukan saja untuk konsumsi hotel, restoran, dansupermarket, tetapi juga rumah tangga. Ketergantungan pada impor produk holtikultura dari luar semakin meningkat, seiring dengan pertumbuhan pesat jaringan supermarket internasional di kota-kota besar di Indonesia sejak sekitar tahun 1990. Tahun 2002 nilai impor mencapai US$ 217 juta untuk buah-buahan, US$ 111 juta untuk sayur-sayuran, dan sekitar US$ 0,824 juta untuk tanaman hias. Untuk produk perkebunan terjadi penurunan pangsa pasar ekspor teh di hampir semua jenis teh yang diekspor Indonesia pada periode 1997-2001, kecuali teh jenis hijau curah. Kondisi suram dan penurunan pangsa pasar juga dihadapi komoditas kopi karena kondisi tanaman yang umumnya sudah tua, kurang terpelihara, dan produktivitas yang semakin menurun. Indonesia yang sebelumnya produsen ketiga terbesar tergusur ke urutan keempat oleh Vietnam pada tahun 1998.

B.   Fase Pembangunan Pertanian Indonesia
Pembangunan Pertanian
Secara ringkas, pembangunan pertanian Indonesia bisa dibagi dalam enam fase. Pertama, fase refolusi (1945-1965). Langkah pertama Presiden Soekarno membangun pertanian adalah melakukan nasionalisasi perkebunan dan perusahaan milik eks pemerintahan kolonial Belanda dan Jepang. Pada fase ini, pertanian pangan belum mampu meningkatkan kesejahteraan rakyat hingga akhir tahun 1950-an. Produksi dan produktivitas padi baru meningkat setelah gerakan intensifikasi dibakukan menjadi Bimbingan Massal pada awal tahun 1960-an. Gerakan intensifikasi baru menemukan momentumnnya dengan adanya Demonstrasi Massal berupa plot-plot percontohan dari para peneliti/mahasiswa tingkat akhir Institut Pertanian Bogor pada lahan petani di pantai utara Jawa.
Kedua, fase konsolidasi (1967-1978). Pada fase ini, sektor pertanian tumbuh 3,39%. Pertumbuhan ini terutama disumbangkan oleh subsektor tanaman pangan dan perkebunan yang tumbuh 3,58% dan 4,53%. Produksi beras mencapai di atas 2 juta ton pada tahun 1970-an dan produktivitas berhasil ditingkatkan menjadi dua kali lipat dari tahun 1963, yakni menjadi 2,5 juta ton per hektar. Tiga kebijakan penting pertanian diterapkan pada masa ini, yakni intensifikasi, ekstensifikasi, dan diversifikasi, yang didukung kemampuan meningkatkan produksi dan produktivitas pertanian. Fondasi kokoh untuk terjadinya pertumbuhan tinggi sektor pertanian pada periode berikutnya juga berhasil diciptakan pada fase ini. Perhatian besar ditunjukkan oleh pemerintah pada upaya menggenjot pembangunanSarana/infrastruktur vital pertanian, seperti sarana irigasi, jalan, dan industri pendukung, seperti semen dan pupuk.
Ketiga, fase tumbuh tinggi (1978-1986). Ini fase cukup penting bagi ekonomi pertanian Indonesia. Sektor pertanian tumbuh di atas 5,7% karena strategi pembangunan ekonomi yang berbasis pertanian. Produksi pangan, perkebunan, perikanan, dan peternakan meningkat, dengan angka pertumbuhan 6,8%. Lonjakan kinerja produksi, terutama pangan, seperti beras, jagung, dan biji-biji lainnya ini, terutama disebabkan oleh meningkatnya peran riset atau iptek dalam sektor pertanian.
Program Revolusi Hijau dan revolusi teknologi pangan berhasil meningkatkan produktivitas pangan hingga 5,6% dan memungkinkan tercapainya swasembada pangan pada tahun 1984. Ketika itu, daerah produksi padi identik dengan kesejahteraan pedesaan. Kendati demikian, Revolusi Hijau melalui sistem monokultur— yang dipaksakan di semua wilayah yang secara geografis sangat beragam dan secara tradisional selama ini mampu subsisten dengan bahan makanan pokok lain, seperti jagung, ubi, dan sagu—menyebabkan ketahanan pangan sangat rentan terhadap perubahan iklim dan mengakibatkan ekologi memburuk. Revolusi  Hijau juga memunculkan ketergantungan petani kecil dan buruh tani pada tuan tanahdan pada input pertanian yang mahal dari luar, seperti bibit, pupuk, dan  pestisida.
Keempat, fase dekonstruksi (1986-1997). Akibat kebijakan yang diterapkan sebelumnya dan diterapkan selama periode ini, sector pertanian mengalami kontraksi pertumbuhan hingga di bawah 3,4% per tahun. Para perumus kebijakan dan ekonom mengacuhkan sektor ini hingga pertanian terbengkalai. Masa gelap pertanian semakin kental dengan adanya kebijakan teknokratik pembangunan ekonomi yang mengarah pada strategi industrialisasi dangkal (footloose) secara besar-besaran pada awal tahun 1990-an. Sejak pertengahan 1980-an, berbagai komponen proteksi untuk sektor industri diberikan sehinggaindustri dan manufaktur tumbuh di atas dua digit per tahun. Saat itu muncul keyakinan Indonesia telah mampu bertransformasi dari Negara agraris menjadi negara industri. Kebijakan yang diterapkan pemerintah pada waktu itu diarahkan untuk menyedot seluruh sumber daya dari sektor pertanian ke industri karena proyek-proyek pertanian dianggap tidak bisa mendatangkan hasil secepat industri atau investasi di perkotaan. Kebijakan pangan murah yang ada pada waktu itu didesain untuk menyubsidi industri dengan cara menjaga harga barang-barang tetap terjangkau oleh upah para pekerja di perkotaan. Kebijakan ini mengakibatkan ambruknya kesejahteraan petani dan melencengnya pembangunan pertanian di Indonesia.
Kelima, fase krisis (1997-2001). Pada fase ini, sektor pertanian yang sudah babak belur harus menanggung dampak krisis, yakni menyerap limpahan tenaga kerja
sektor informal dan perkotaan, dan harus menjadi penyelamat ekonomi Indonesia. Ketergantungan petani pada input produksi mahal dari luar akibat kebijakan di masa lalu, menjadibumerang pada saat panen gagal akibat kekeringan atau saat krisis ketika keran impor ditutup untuk menghemat devisa, subsidi pupuk dicabut dan invasi beras dari luar menyerbu pasar domestik, baik dalam bentuk bantuan pangan murah, beras selundupan maupun impor.
Keenam, fase transisi dan desentralisasi (2001-sekarang). Ini fase yang serba tidak jelas bagi para pelaku ekonomi dan bagi sector pertanian Indonesia. Pembangunan pertanian pada era desentralisasi, yang mestinya diterjemahkan menjadi peningkatan basis kemandirian daerah dan wewenang daerah untuk lebih leluasa melakukan kombinasi strategi pemanfaatan keunggulan komparatif dan kompetitif, ternyata tidak berjalan. Pembangunan sector pertanian di tangan pemerintah daerah semakin terabaikan.

C.   Kegagalan Revolusi Agustus 1945

Seluruh rakyat Indonesia mengerti dengan baik bahwa pada hari itu merupakan hari yang cukup bersejarah bagi bangsa dan negara. Dimana, pada tanggal tersebut, yaitu 62 tahun yang lalu kekuasaan politik Kolonialisme Belanda berakhir tanpa ampun berkat perjuangan yang gigih dan berdarah—dalam merebut dan  mempertahankan kemerdekaan—seluruh rakyat dari semua klas, golongan dan sector yang anti terhadap segala bentuk penindasan dan penghisapan, baik manusia atas manusia maupun bangsa atas bangsa.
Pada saat yang bersamaan pula, proklamasi kemerdekaan pada waktu itu sekaligus menjadi tanda bagi penyusunan nation-state (negara- bangsa) Republik Indonesia yang baru, yang menghendaki tegaknya sistem sosial yang menjamin keadilan dan kesejahteraan seluruh rakyat. Gelombang pasang perjuangan rakyat Indonesia hingga mampu mendirikan negara-bangsa Republik Indonesia tersebut, terjadi bersamaan dengan pasang-naik perjuangan dari rakyat di negeri- negeri jajahan dan bergantung lainnya di sebagian besar belahan dunia, mulai dari wilayah Afrika, Asia dan Amerika Latin. Inilah cirri lain yang ada pada saat itu, zaman imperialisme, yaitu zaman yang dicirikan  oleh  bangkitnya perjuangan rakyat di seluruh negeri jajahan dan bergantung melawan negeri-negeri penjajahnya. Hasil gemilang yang tak terlelakkan dari gelora perjuangan seluruh rakyat di negeri-negeri  jajahan  dan bergantung tersebut adalah lahirlah negara-negara baru di sebagian wilayah di Afrika, Asia dan Amerika Latin. Tentu saja, harapan dari seluruh rakyat di negeri-negeri ini,
Proklamasi 17 Agustus 1945 tidak tuntasnya hasil pembebasan nasional menyebabkan langgengnya penjajahan terhadap kaum tani Indonesia melalui kemerdekaan yang mampu diraih akan dapat beridiri sejajar dan setara dengan bangsa-bangsa lain dalam membangun perdamaian dunia, demokrasi dan keadilan. Bagi rakyat Indonesia sendiri, kemerdekaan melalui proklamasi 17 Agustus 1945 diharapkan bahwa segala “sistem lama” yang menindas dan menghisap dapat didesak sampai ke akar-akarnya dan digantikan dengan sistem yang baru sama sekali, yaitu sistem sosial yang meletakkan kepentingan mayoritas rakyat Indonesia dapat dijamin dan dilindungi. Golongan mayoritas itu adalah buruh, kaum tani, serta klas pekerja lainnya maupun golongan dan sektor dalam masyarakat yang selama masa sebelumnya merupakan golongan yang paling ditindas dan dihisap hingga tidak dapat mengembangkan kehidupannya di semua aspek, baik aspek ekonomi, politik maupun kebudayaan.
Golongan mayoritas itu sekaligus juga golongan yang paling banyak berjasa dan paling setia terhadap tujuan kemerdekaan dan tegaknya negara Indonesia yang baru. Golongan masyarakat yang pada masa sebelumnya dihambat bahkan didesak oleh sistem social kolonialisme dan sisa-sisa feodalisme. Dengan demikian, tugas terpenting melalui proklamasi kemerdekaan  sesungguhnya mengakhiri karakter masyarakat Indonesia yang jajahan dan setengah feodal. Tugas inilah yang pada masa awal kemerdekaan dan terutama pada masa perang rakyat yang paling gigih dalam mempertahankan kemerdekaan hendak diraih. Pada periode ini, sebagian besar masa rakyat,  bergerak dan mengorganisasikan diri dalam badan-badan perjuangan melakukan perang sosial yang paling sengit terhadap kolonial.
Klas buruh di berbagai perusahaan milik kolonialis Belanda melaui serikat-serikat buruh dan laskar-laskar yang didirikannya merebut dan menduduki perusahaan- perusahaan tersebut. Demikian juga dengan kaum tani di berbagai wilayah, mereka bergerak mengusir tanpa ampun dan merebut serta menduduki perusahaan-perusahaan perkebunan milik kolonial Belanda. Namun hasil-hasil yang telah secara gemilang diraih selama 4 tahun melalui perang rakyat untuk mempertahankan kemerdekaan tersebut harus dibatalkan dan dikembalikan kepada kekuasaan kolonial Belanda.
Melalui Konferensi Meja Bundar (KMB) pada Bulan Desember 1949 antara Pemerintah RI dengan Kerajaan Belanda, hasil-hasil perjuangan yang ditempuh secara sengit dan telahbanyak memakan korban dari rakyat tersebut terpaksa dan dipaksa diserahkan kembali. Bahkan, seluruh kerugian dan utang Kolonial Belanda akibat perang yang berlangsung harus ditanggung oleh Pemerintah RI dan seluruh rakyat Indonesia.  Ini  sungguh pengkhianatan yang paling sempurna dan mneyedihkan dari kaum borjuasi komprador yang ada di tubuh Republik Indonesia yang baru lahir pada saat itu. Kebimbangan dan memandang sebelah mata atau lebih tepat meremehkan kekuatan rakyat dari kaum borjuasi komprador (bergantung dan reaksioner) inilah yang menyebabkan Revolusi Demokratis Nasional-Agustus 45 menemukan  kegagalannya. Kekuasaan imperialisme dipulihkan kembali, sementara sistem social lama, yaitu sisa-sisa feodalisme yang masih luas bercokol tetap bertahan dan tidak berhasil dihapuskan. Maka negara Indonesia sejak saat itu, sejak 1949 hingga saat ini tetap menjadi negara yang karakternya setengah jajahan dengan sisa-sisa feodalisme sebagai fondasi sosialnya.

D.   Kemiskinan Kaum Tani

Kemiskinan yang merajalela
Akibat kegagalan Revolusi Agustus 1945,  kekuasaan kolonialisme dan feodalisme tidak mampu sepenuhnya didesak hingga tidak memiliki tempat lagi untuk tumbuh  dan  berkembang. Kekuasaannya pada aspek ekonomi, politik dan budaya masih bercokol dan menyebabkan keterpurukan seluruh klas, golongan dan sector dalam  masyarakat  yang berkepentingan atas hapusnya system sosial tersebut. Golongan mayoritas rakyat seluruhnya, semakin jatuh dalam kesengsaraan dan kemerosotan kualitas hidup yang tiada bandingannya dimanapun di dunia ini.
Pada era Pemerintahan Soekarno—pemerintahan yang memiliki karakter anti imperialisme dan  feodalisme—pernah mengusahakan untuk membangun negara dan bangsa yang cukup memiliki relevansi dengan tujuan kemerdekaan Agustus 1945, dimana pada masa itu, ditempuh kebijakan “nasionalisasi” terhadap perusahaan-perusahaan Belanda serta menerbitkan berbagai kebijakan yang mencerminkan kepentingan rakyat dan kaum tani, seperti penetapan Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA) No.5 Tahun 1960 dan Undang-Undang Perjanjian Bagi Hasil (UUPBH) No.2 Tahun 1960.
Akan tetapi, hasil-hasil inipun dibatalkan dengan naiknya Pemerintahan Orde Baru di bawah kepemimpinan Jendral fasis kanan Soeharto dan semakin jauh bergeser kepada kepentingan imperialisme dan feodalisme pada masa pemerintahan sesudahnya, hingga Pemerintahan SBY-JK saat ini. Hasil “nasionalisasi” perusahaan perkebunan milik Belanda jatuh ke tangan militer (TNI) bahkan kemudian berkembang menjadi bisnis yang sarat dengan korupsi. Penetrasi dan ekspansi kapital dari imperialisme pada sektor agrarian semakin tinggi dan luas mendesak produksi pertanian perseorangan skala kecil dengan cara melakukan perampasan tanah-tanah rakyat (land grabbing).
Sementara, UUPA No.5 Tahun 1960 dan UUPBH No.2 Tahun 1960, hanya ditempatkan sebagai kebijakan politik formal semata. Secara esensi, kensesi-kensesi baru melalui pemberian berbagai hak atas tanah, semisal Hak Guna Usaha (HGU), Hak Pengusahaan Hutan (HPH) dan Kontrak Karya Pertambangan kepada imperialisme di sector agraria terus diperluas dengan merujuk pada berbagai pruduk kebijakan yang secara terang bertentangan dengan UUPA No. 5 Tahun1960 dan UUPBH No.2 Tahun 1960. Akibatnya, monopoli atas sumber-sumber agraria semakin luas dan kokoh meminggirkan serta mematikan potensi kekuatan produktif dari kaum tani dan rakyat Indonesia.
Menurut data yang dapat diorganisasikan oleh Badan Pertanahan Nasional (BPN), hingga tahun 2000 dari sekitar 1.887 jumlah pengusaha perkebunan, paling tidak mereka menguasai 3.358.072 Ha dengan besaran luas penguasaan berkisar antara 6.000 Ha sampai 48.000 Ha. Ini sungguh ironi bila dibandingkan dengan rata-rata penguasaan lahan yang dimiliki oleh kaum tani dan masyarakat pedesaan bagi keperluan produksi pertanian- subsisten. Dimana, rata-rata penguasaan dan kepemilikan lahan dari kaum tani tidak lebih dari 0,5 Ha/keluarga. Luas areal penguasaan pun terus mengalami penyusutan dari tahun ke tahun ketika monopoli yang terjadi disertai oleh terjadinya proses alih fungsi lahan. Maka kemudian, banyak dari kalangan kaum tani yang terlempar menjadi buruh tani dan petani miskin, hingga terpaksa harus menjadi “buruh serabutan” yang bekerja di luar sektor pertanian. Sebagian menjadi buruh bangunan musiman di kota, sementara sebagian yang lainnya menjadi buruh migrant di luar negeri. Oleh karenanya, menjadi keniscayaan apabila kecilnya luas penguasaan lahan yang dimiliki oleh kaum tani ini telah menyebabkan rendahnya produktifitas serta tingkat pendapatan. Usaha pertanian perseorangan skala kecil untuk sekedar dapat mencukupi kebutuhan dasar yang paling minimumsekalipun, terancam secara menyedihkan.
Di samping aspek  monopoli, kaum tani juga terjerembab dan terhambat kemajuannya dalam berbagai bentuk relasi penindasan dan penghisapan yang berkembang pada sistem sisa-sisa feodalisme. Sewa tanah yang tinggi, sistem bagi hasil yang tidak adil, berbagai bentuk peribaan yang subur berkembang pada masyarakat pedesaan, sistem gadai, hingga tengkulakisme menjadi ancaman yang selalu mengepung terhadap perkembangan kaum tani di semua aspek kehidupan. Surplus produk pertanian dari hasil jerih payah kaum tani diambil dan dirampas oleh sistem pertukaran dan distribusihasil yang tidak adil tersebut. Akibat dari kelebihan produk pertanian yang tidak dapat dinikmati ini, kaum tani tidak mampu mencukupi kebutuhan dasar,  apalagi  untuk mengembangkan pengetahuan dan kebudayaannya.
Situasi lebih lanjut, kaum tani juga harus dihadapkan dengan sistem pertukaran dan perdagangan hasil-hasil produksi pertanian yang tidak adil serta berbagai kebijakan Negara yang tidak memberikan proteksi (red : perlindungan) yang diperlukan guna menjamin kepentingan optimalisasi surplus produk maupun subsistensi produksi pertanian. Imperialisme melalui berbagai lembaga multi lateral semacam World Trade Organization (WTO), International Monetery Fund (IMF) dan World Bank (WB) memaksa setiap negara mengikuti dan menerapkan berbagai kebijakan yang menguntungkan bagi kepentingan kapitalisme monopoli asing pada sektor agraria.
Sementara,  negeri-negeri imperialisme, Amerika Serikat, Jepang dan beberapa negara Uni Eropa lainnya tidak pernah tunduk pada peraturan yang mereka desakkan sendiri, bahkan cenderung mengkhianatinya. Sebagai contoh, kegagalan dalam putaran pertemuan perundingan WTO terutama dalam hal  bagaimana  mengatur perdagangan hasil-hasil sector pertanian, selain disebabkan oleh desakan yang keras dari berbagai organisasi massa tani dari berbagai negeri dan organisasi massa demokratis laninnya, juga dikarenakan oleh keengganan negeri-negeri imperialisme tersebut menjalankan ketentuan-ketentuan yang menguntungkan dan adil bagi semua negara dan kaum tani. Akan tetapi dengan congkaknya demi keuntungan yang tanpa batas, mereka tetap memaksakan aturan- aturan perdagangan sektor pertanian yang menjamin kepentingannya agar diadobsi dan diterapkan di negera- negara  berkembang.
 Oleh karenanya, setiap waktu, hasil-hasil produksi pertanian kaum tani Indonesia harus terseok-seok menahan gempuran produk impor pertanian. Berbagai impor produk pertanian, baik berupa produk bahan pangan pokok, hortikultura (sayuran) hingga buah-buahan terus membanjiri pasar dalam negeri dan mendepak hasil-hasil produksi pertanian kaum tani.
Keadaan ini menggambarkan bahwa kaum tani dipaksa bertahan dalam keadaan minimum pada buasnya mekanisme pasar melawan kaum monopoli distribusi hasil-hasil produksi pertanian dan korporasi monopoli produsen hasil-hasil pertanian skala besar. Bahkan, demi menjaga kepentingan imperialisme pada sektor agraria, negara dipaksa mencabut berbagai subsidi pertanian. Mulai dari subsidi benih, pupuk hingga obat-obatan, termasuk tiadanya dukungan sarana-prasarana produksi pertanian, jaminan keamanan  atas  air-irigasi, pengembangan teknik serta teknologi maupun mesin-mesin pertanian. Namun disisi lain, Negara justru memberikan subsidi dalam bentuk menanggung utang pengusaha komprador yang telah bangkrut dengan membebankannya pada pundak rakyat melalui penetapan  pada Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN).
Inilah situasi umum yang melingkupi dan mengekang kemajuan kaum tani dan perkembangan sektor agraria. Situasi yang menggambarkan telah terjadinya krisis agraria yang berkepanjangan. Maka tidak mengherankan, meski negara ini mayoritas adalah kaum tani atau dengan kalimat lain bahwa sektor pertanian merupakan sektor yang paling luas, namun kehidupan kaum tani dan terutama sektor
pertaniannya  tidak berkembang dan mengalami kemajuan yang berarti. Sebaliknya, bergerak ke tingkatan krisis yang semakin dalam dan luas. Sebagai contoh, pada tahun 2004, sector pertanian menyerap hampir 43 juta orang atau sekitar 46,5 persen dari angkatan kerja. Namun pada tahun yang sama, sektor pertanian hanya memberikan kontribusi pada Pendapatan Domestik Kotor (PDB) hanya 14,7 persen. Jauh dibawah kontribusi sektor industri, terutama jasa dan perdagangan. Keadaan ini secara jelas memberi gambaran, bahwa meski tenaga produktif yang terlibat cukup besar bila dibandingkan pada sektor lain, namun hasil produksi pertanian sangat rendah.
Sekaligus juga menjelaskan mengenai factor-faktor yang menghambat kemajuan sector pertanian, yaitu adanya monopoli atas sumber-sumber agraria serta berbagai problem-problem lain yang telah disinggung pada pemaparan sebelumnya. Bahkan, demi kelancaran operasi modal kapitalisme monopoli internasional, negara tidak ragu-ragu untuk mengerahkan kekuatan bersenjata yang dimilikinya (TNI/ POLRI) serta milisi-sipil yang didirikannya untuk memperkokoh kekuasaan—ekonomi, politik dan budaya—imperialisme  dan feodalisme. Berbagai tindak kekerasan, intimidasi penangkapaan dan bentuk-bentuk teror lainnya yang memalukan merupakan tindakan politik yang sejalan pada perampasan tanah-tanah (land grabbing) milik kaum tani dan masyarakat di pedesaan yang selama ini terus berlangsung. Situasi ini, semakin memperburuk keadaan, menggoncang serta mematikan sendi-sendi kehidupan demokrasi di pedesaan dan secara keseluruhan di Indonesia.

Kebebasan menyampaikan Pendapat
Berbagai hambatan dan tekanan pada organisasi massa kaum tani dan organisasi massa demokratis lainnya sering bertubi-tubi menghantam organisasi tersebut serta menekan kebebasan untuk menyampaikan pendapat secara lisan maupun tulisan di muka umum. Alasan-alasan inilah yang pada peristiwa belakangan ini sering menimpa kaum tani, yaitu serangkaian kekerasan yang menimpa kaum tani di Rumpin- Bogor sampai Alas Tlogo-Pasuruan. Seluruh cara yang ditempuh oleh imperialisme dan feodalisme yang tercermin melalui tindakan politik negara, merupakan jalan keluar yang harus diambil untuk mengatasi terjadinya krisis umum ekonomidari imperialisme.
 Inilah mengapa, secara umum, keadaan sektor agrarian terus mengalami krisis semakin dalam, luas dan akut. Yang tentu saja agar bisa keluar dari situasi krisis agraria ini diperlukan usaha-usaha politik secara menyeluruh dan berskala nasional.

E.   Penutup
Kaum tani dan rakyat Indonesia, bahwa krisis yang timbul pada sektor agraria karena masih bercokolnya sistem social yang menindas dan menghisap, yaitu dominasi imperialisme yang menjadikan sisa-sisa feodalisme sebagai fondasi sosialnya. Maka, untuk dapat keluar dari situasi krisis agraria yang terjadi, kaum tani Indonesia harus mampu menarik pelajaran atas pengkhianatan yang dilakukan oleh borjuasi komprador hingga menyebabkan gagalnya Revolusi Agustus 1945.
 Kaum tani juga  harus  sanggup mengorganisasikan dirinya secara lebih baik dan berposisi secara tegas dihadapan golongan yang bimbang yang berpotensi menghancurkan tujuan perjuangan. Yaitu perjuangan terhadap penyelesaian secara menyeluruh atas krisis agraria yang timbul.
Agar tujuan strategis dari perjuangan tersebut dapat diraih, maka penting bagi kaum tani melalui organisasinya berusaha lebih keras untuk meningkatkan kualitas perjuangannya. Perjuangan yang ditempuh harus mampu menembus batas-batas sifat sosial ekonomi semata. Tugas terpentingnnya adalah dengan mendorong ke tingkatan kualitas yang lebih tinggi, yaitu perjuangan politik. Perjuangan politik inilah yang akan menentukan kesuksesan dalam mewujudkan kesejahteraan penuh –sosial, ekonomi, politik dan budaya—dari kaum tani. Hal ini dapat diwujudkan apabila system imperialisme dan feodalisme mampu dihapuskan.







DAFTAR PUSTAKA



Internet   :

Pepih Nugraha, “Revitalisasi Pertanian Jalan di Tempat?”, dalam harian umum
Kompas, Sabtu, 24 Februari 2007, hal. 34.

Sri Hartati Samhadi, “Sektor Pertanian Dianaktirikan,” dalam Liputan Khusus

60 Tahun Indonesia Merdeka, harian umum Kompas, 16 Agustus 2005.:50


Soegijanto Padmo, Landreform dan Gerakan Protes Petani Klaten 1959-1965,
Bandung : media Pressindo



Tidak ada komentar:

Posting Komentar