Pembelajaran dari kaum Tani |
A. Pendahuluan
Belajar dari kaum tani, berjuang seperti menanam tanaman. Kita harus
memulainya dengan menebar benih, merawat dan memelihara, sampai menuai panenan,
meski sebagian besar hasil tidak bias dinikmati oleh kaum tani yang
mengerjakannya. Tetapi kaum tani telah memberi keteladanan bagi seluruh rakyat,
tentang arti kesetiaan dan kerelaan berkorban, untuk mencapai hasil perjuangan
yanggemilang. Kami mengucapkan selamat atas terbitnya Berita Kaum Tani. Semoga
terus berlanjut, setia menemani sekaligus menyinari perjuangan kaum tani dan
rakyat Indonesia .
Dalam perjalanan 60 tahun (1945-2005) Indonesia merdeka, sektor pertanian
tercatat pernah menjadi primadona atau leading sector dalam
perekonomian yang menyumbang sekitar 70% lebih dari produk domestik bruto dan
penciptaan lapangan kerja. Namun, semrawut dan tidak adanya visi jangka panjang
pembangunan ekonomi di negara ini membuat pertanian kemudian terpuruk dan peran
sektor pertanian dalam perekonomian tak lebih dari sekedar pengganjal atau
pelengkap bagi sektor lain (adjusting atau following sector).
Dalam satu dekade lebih terakhir, sebagian besar subsektor pertanian,
perkebunan, peternakan, dan perikanan mengalami kemerosotan kinerja dan
petaninya mengalami pemiskinan secara dramatis. Sementara ketergantungan pada
impor pangan dan produk pertanian lain meningkat tajam. Bahkan , Indonesia
sempat menjadi penerima bantuan pangan terbesar dunia pada masa krisis. Indonesia
yang pada awal abad ke-19 merupakan eksportir gula terbesar kedua dunia
(setelah Kuba) kini berbalik menjadi importir gula terbesar kedua dunia. Beras
yang dulu swasembada, kini harus impor. Hal yang sama terjadi untuk produk
pangan penting lain, seperti jagung dan kedelai, serta produk holtikultura, seperti
buah-buahan dan tanaman hias, seperti pisang, jeruk, durian, dan mangga.
Dulu, kita bisa memenuhi sendiri kebutuhan dalam negeri, bahkan ekspor,
kini produk impor menyerbu bukan saja untuk konsumsi hotel, restoran,
dansupermarket, tetapi juga rumah tangga. Ketergantungan pada impor produk
holtikultura dari luar semakin meningkat, seiring dengan pertumbuhan pesat
jaringan supermarket internasional di kota-kota besar di Indonesia sejak sekitar tahun 1990.
Tahun 2002 nilai impor mencapai US$ 217 juta untuk buah-buahan, US$ 111 juta
untuk sayur-sayuran, dan sekitar US$ 0,824 juta untuk tanaman hias. Untuk
produk perkebunan terjadi penurunan pangsa pasar ekspor teh di hampir semua
jenis teh yang diekspor Indonesia
pada periode 1997-2001, kecuali teh jenis hijau curah. Kondisi suram dan
penurunan pangsa pasar juga dihadapi komoditas kopi karena kondisi tanaman yang
umumnya sudah tua, kurang terpelihara, dan produktivitas yang semakin menurun. Indonesia yang sebelumnya produsen ketiga
terbesar tergusur ke urutan keempat oleh Vietnam pada tahun 1998.
B. Fase Pembangunan Pertanian Indonesia
Pembangunan Pertanian |
Secara ringkas, pembangunan pertanian Indonesia bisa dibagi dalam enam
fase. Pertama, fase refolusi (1945-1965). Langkah pertama Presiden Soekarno
membangun pertanian adalah melakukan nasionalisasi perkebunan dan perusahaan
milik eks pemerintahan kolonial Belanda dan Jepang. Pada fase ini, pertanian
pangan belum mampu meningkatkan kesejahteraan rakyat hingga akhir tahun
1950-an. Produksi dan produktivitas padi baru meningkat setelah gerakan
intensifikasi dibakukan menjadi Bimbingan Massal pada awal tahun 1960-an.
Gerakan intensifikasi baru menemukan momentumnnya dengan adanya Demonstrasi
Massal berupa plot-plot percontohan dari para peneliti/mahasiswa tingkat akhir
Institut Pertanian Bogor pada lahan petani di pantai utara Jawa.
Kedua, fase konsolidasi (1967-1978). Pada fase ini, sektor pertanian tumbuh
3,39%. Pertumbuhan ini terutama disumbangkan oleh subsektor tanaman pangan dan
perkebunan yang tumbuh 3,58% dan 4,53%. Produksi beras mencapai di atas 2 juta
ton pada tahun 1970-an dan produktivitas berhasil ditingkatkan menjadi dua kali
lipat dari tahun 1963, yakni menjadi 2,5 juta ton per hektar. Tiga kebijakan
penting pertanian diterapkan pada masa ini, yakni intensifikasi,
ekstensifikasi, dan diversifikasi, yang didukung kemampuan meningkatkan
produksi dan produktivitas pertanian. Fondasi kokoh untuk terjadinya
pertumbuhan tinggi sektor pertanian pada periode berikutnya juga berhasil
diciptakan pada fase ini. Perhatian besar ditunjukkan oleh pemerintah pada upaya
menggenjot pembangunanSarana/infrastruktur vital pertanian, seperti sarana
irigasi, jalan, dan industri pendukung, seperti semen dan pupuk.
Ketiga, fase tumbuh tinggi (1978-1986). Ini fase cukup penting bagi
ekonomi pertanian Indonesia .
Sektor pertanian tumbuh di atas 5,7% karena strategi pembangunan ekonomi yang
berbasis pertanian. Produksi pangan, perkebunan, perikanan, dan peternakan
meningkat, dengan angka pertumbuhan 6,8%. Lonjakan kinerja produksi, terutama
pangan, seperti beras, jagung, dan biji-biji lainnya ini, terutama disebabkan
oleh meningkatnya peran riset atau iptek dalam sektor pertanian.
Program Revolusi
Hijau dan revolusi teknologi pangan berhasil meningkatkan produktivitas pangan hingga
5,6% dan memungkinkan tercapainya swasembada pangan pada tahun 1984. Ketika
itu, daerah produksi padi identik dengan kesejahteraan pedesaan. Kendati
demikian, Revolusi Hijau melalui sistem monokultur— yang dipaksakan di semua
wilayah yang secara geografis sangat beragam dan secara tradisional selama ini
mampu subsisten dengan bahan makanan pokok lain, seperti jagung, ubi, dan
sagu—menyebabkan ketahanan pangan sangat rentan terhadap perubahan iklim dan
mengakibatkan ekologi memburuk. Revolusi
Hijau juga memunculkan ketergantungan petani kecil dan buruh tani pada
tuan tanahdan pada input pertanian yang mahal dari luar, seperti bibit, pupuk,
dan pestisida.
Keempat, fase dekonstruksi (1986-1997). Akibat kebijakan yang diterapkan
sebelumnya dan diterapkan selama periode ini, sector pertanian mengalami
kontraksi pertumbuhan hingga di bawah 3,4% per tahun. Para
perumus kebijakan dan ekonom mengacuhkan sektor ini hingga pertanian
terbengkalai. Masa gelap pertanian semakin kental dengan adanya kebijakan
teknokratik pembangunan ekonomi yang mengarah pada strategi industrialisasi
dangkal (footloose) secara besar-besaran pada awal tahun 1990-an. Sejak
pertengahan 1980-an, berbagai komponen proteksi untuk sektor industri diberikan
sehinggaindustri dan manufaktur tumbuh di atas dua digit per tahun. Saat itu
muncul keyakinan Indonesia
telah mampu bertransformasi dari Negara agraris menjadi negara industri.
Kebijakan yang diterapkan pemerintah pada waktu itu diarahkan untuk menyedot
seluruh sumber daya dari sektor pertanian ke industri karena proyek-proyek
pertanian dianggap tidak bisa mendatangkan hasil secepat industri atau
investasi di perkotaan. Kebijakan pangan murah yang ada pada waktu itu didesain
untuk menyubsidi industri dengan cara menjaga harga barang-barang tetap
terjangkau oleh upah para pekerja di perkotaan. Kebijakan ini mengakibatkan
ambruknya kesejahteraan petani dan melencengnya pembangunan pertanian di Indonesia .
Kelima, fase krisis (1997-2001). Pada fase ini, sektor pertanian yang
sudah babak belur harus menanggung dampak krisis, yakni menyerap limpahan
tenaga kerja
sektor informal dan perkotaan, dan
harus menjadi penyelamat ekonomi Indonesia . Ketergantungan petani pada
input produksi mahal dari luar akibat kebijakan di masa lalu, menjadibumerang
pada saat panen gagal akibat kekeringan atau saat krisis ketika keran impor
ditutup untuk menghemat devisa, subsidi pupuk dicabut dan invasi beras dari
luar menyerbu pasar domestik, baik dalam bentuk bantuan pangan murah, beras
selundupan maupun impor.
Keenam, fase transisi dan desentralisasi (2001-sekarang). Ini fase yang
serba tidak jelas bagi para pelaku ekonomi dan bagi sector pertanian Indonesia .
Pembangunan pertanian pada era desentralisasi, yang mestinya diterjemahkan
menjadi peningkatan basis kemandirian daerah dan wewenang daerah untuk lebih
leluasa melakukan kombinasi strategi pemanfaatan keunggulan komparatif dan
kompetitif, ternyata tidak berjalan. Pembangunan sector pertanian di tangan
pemerintah daerah semakin terabaikan.
C. Kegagalan Revolusi Agustus 1945
Seluruh rakyat Indonesia
mengerti dengan baik bahwa pada hari itu merupakan hari yang cukup bersejarah
bagi bangsa dan negara. Dimana, pada tanggal tersebut, yaitu 62 tahun yang lalu
kekuasaan politik Kolonialisme Belanda berakhir tanpa ampun berkat perjuangan yang
gigih dan berdarah—dalam merebut dan
mempertahankan kemerdekaan—seluruh rakyat dari semua klas, golongan dan
sector yang anti terhadap segala bentuk penindasan dan penghisapan, baik
manusia atas manusia maupun bangsa atas bangsa.
Pada saat yang bersamaan pula, proklamasi kemerdekaan pada waktu itu sekaligus
menjadi tanda bagi penyusunan nation-state (negara- bangsa) Republik Indonesia
yang baru, yang menghendaki tegaknya sistem sosial yang menjamin keadilan dan
kesejahteraan seluruh rakyat. Gelombang pasang perjuangan rakyat Indonesia
hingga mampu mendirikan negara-bangsa Republik Indonesia tersebut, terjadi
bersamaan dengan pasang-naik perjuangan dari rakyat di negeri- negeri jajahan
dan bergantung lainnya di sebagian besar belahan dunia, mulai dari wilayah
Afrika, Asia dan Amerika Latin. Inilah cirri lain yang ada pada saat itu, zaman
imperialisme, yaitu zaman yang dicirikan
oleh bangkitnya perjuangan rakyat
di seluruh negeri jajahan dan bergantung melawan negeri-negeri penjajahnya.
Hasil gemilang yang tak terlelakkan dari gelora perjuangan seluruh rakyat di
negeri-negeri jajahan dan bergantung tersebut adalah lahirlah
negara-negara baru di sebagian wilayah di Afrika, Asia
dan Amerika Latin. Tentu saja, harapan dari seluruh rakyat di negeri-negeri
ini,
Proklamasi 17 Agustus 1945
tidak tuntasnya hasil pembebasan nasional menyebabkan langgengnya penjajahan
terhadap kaum tani Indonesia
melalui kemerdekaan yang mampu diraih akan dapat beridiri sejajar dan setara
dengan bangsa-bangsa lain dalam membangun perdamaian dunia, demokrasi dan
keadilan. Bagi rakyat Indonesia sendiri, kemerdekaan melalui proklamasi 17
Agustus 1945 diharapkan bahwa segala “sistem lama” yang menindas dan menghisap
dapat didesak sampai ke akar-akarnya dan digantikan dengan sistem yang baru
sama sekali, yaitu sistem sosial yang meletakkan kepentingan mayoritas rakyat
Indonesia dapat dijamin dan dilindungi. Golongan mayoritas itu adalah buruh,
kaum tani, serta klas pekerja lainnya maupun golongan dan sektor dalam
masyarakat yang selama masa sebelumnya merupakan golongan yang paling ditindas
dan dihisap hingga tidak dapat mengembangkan kehidupannya di semua aspek, baik
aspek ekonomi, politik maupun kebudayaan.
Golongan mayoritas itu sekaligus juga golongan yang paling banyak berjasa
dan paling setia terhadap tujuan kemerdekaan dan tegaknya negara Indonesia
yang baru. Golongan masyarakat yang pada masa sebelumnya dihambat bahkan
didesak oleh sistem social kolonialisme dan sisa-sisa feodalisme. Dengan
demikian, tugas terpenting melalui proklamasi kemerdekaan sesungguhnya mengakhiri karakter masyarakat Indonesia
yang jajahan dan setengah feodal. Tugas inilah yang pada masa awal kemerdekaan
dan terutama pada masa perang rakyat yang paling gigih dalam mempertahankan
kemerdekaan hendak diraih. Pada periode ini, sebagian besar masa rakyat, bergerak dan mengorganisasikan diri dalam
badan-badan perjuangan melakukan perang sosial yang paling sengit terhadap
kolonial.
Klas buruh di berbagai perusahaan milik kolonialis Belanda melaui
serikat-serikat buruh dan laskar-laskar yang didirikannya merebut dan menduduki
perusahaan- perusahaan tersebut. Demikian juga dengan kaum tani di berbagai
wilayah, mereka bergerak mengusir tanpa ampun dan merebut serta menduduki
perusahaan-perusahaan perkebunan milik kolonial Belanda. Namun hasil-hasil yang
telah secara gemilang diraih selama 4 tahun melalui perang rakyat untuk mempertahankan
kemerdekaan tersebut harus dibatalkan dan dikembalikan kepada kekuasaan kolonial
Belanda.
Melalui Konferensi Meja Bundar (KMB) pada Bulan Desember 1949 antara Pemerintah
RI dengan Kerajaan Belanda, hasil-hasil perjuangan yang ditempuh secara sengit
dan telahbanyak memakan korban dari rakyat tersebut terpaksa dan dipaksa
diserahkan kembali. Bahkan, seluruh kerugian dan utang Kolonial Belanda akibat
perang yang berlangsung harus ditanggung oleh Pemerintah
RI dan seluruh rakyat Indonesia . Ini
sungguh pengkhianatan yang paling sempurna dan mneyedihkan dari kaum
borjuasi komprador yang ada di tubuh Republik Indonesia yang baru lahir pada saat
itu. Kebimbangan dan memandang sebelah mata atau lebih tepat meremehkan
kekuatan rakyat dari kaum borjuasi komprador (bergantung dan reaksioner)
inilah yang menyebabkan Revolusi Demokratis Nasional-Agustus 45 menemukan kegagalannya. Kekuasaan imperialisme
dipulihkan kembali, sementara sistem social lama, yaitu sisa-sisa feodalisme
yang masih luas bercokol tetap bertahan dan tidak berhasil dihapuskan. Maka
negara Indonesia
sejak saat itu, sejak 1949 hingga saat ini tetap menjadi negara yang karakternya
setengah jajahan dengan sisa-sisa feodalisme sebagai fondasi sosialnya.
D. Kemiskinan Kaum Tani
Kemiskinan yang merajalela |
Akibat kegagalan Revolusi Agustus 1945,
kekuasaan kolonialisme dan feodalisme tidak mampu sepenuhnya didesak
hingga tidak memiliki tempat lagi untuk tumbuh
dan berkembang. Kekuasaannya pada
aspek ekonomi, politik dan budaya masih bercokol dan menyebabkan keterpurukan
seluruh klas, golongan dan sector dalam
masyarakat yang berkepentingan
atas hapusnya system sosial tersebut. Golongan mayoritas rakyat seluruhnya,
semakin jatuh dalam kesengsaraan dan kemerosotan kualitas hidup yang tiada
bandingannya dimanapun di dunia ini.
Pada era Pemerintahan Soekarno—pemerintahan yang memiliki karakter anti
imperialisme dan feodalisme—pernah
mengusahakan untuk membangun negara dan bangsa yang cukup memiliki relevansi
dengan tujuan kemerdekaan Agustus 1945, dimana pada masa itu, ditempuh
kebijakan “nasionalisasi” terhadap perusahaan-perusahaan Belanda serta
menerbitkan berbagai kebijakan yang mencerminkan kepentingan rakyat dan kaum
tani, seperti penetapan Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA) No.5 Tahun 1960 dan
Undang-Undang Perjanjian Bagi Hasil (UUPBH) No.2 Tahun 1960.
Akan tetapi, hasil-hasil inipun dibatalkan dengan naiknya Pemerintahan
Orde Baru di bawah kepemimpinan Jendral fasis kanan Soeharto dan semakin jauh
bergeser kepada kepentingan imperialisme dan feodalisme pada masa pemerintahan
sesudahnya, hingga Pemerintahan SBY-JK saat ini. Hasil “nasionalisasi”
perusahaan perkebunan milik Belanda jatuh ke tangan militer (TNI) bahkan kemudian
berkembang menjadi bisnis yang sarat dengan korupsi. Penetrasi dan ekspansi
kapital dari imperialisme pada sektor agrarian semakin tinggi dan luas mendesak
produksi pertanian perseorangan skala kecil dengan cara melakukan perampasan
tanah-tanah rakyat (land grabbing).
Sementara, UUPA No.5 Tahun 1960 dan UUPBH No.2 Tahun 1960, hanya
ditempatkan sebagai kebijakan politik formal semata. Secara esensi,
kensesi-kensesi baru melalui pemberian berbagai hak atas tanah, semisal Hak
Guna Usaha (HGU), Hak Pengusahaan Hutan (HPH) dan Kontrak Karya Pertambangan
kepada imperialisme di sector agraria terus diperluas dengan merujuk pada
berbagai pruduk kebijakan yang secara terang bertentangan dengan UUPA No. 5
Tahun1960 dan UUPBH No.2 Tahun 1960. Akibatnya, monopoli atas sumber-sumber
agraria semakin luas dan kokoh meminggirkan serta mematikan potensi kekuatan
produktif dari kaum tani dan rakyat Indonesia .
Menurut data yang dapat diorganisasikan oleh Badan Pertanahan Nasional
(BPN), hingga tahun 2000 dari sekitar 1.887 jumlah pengusaha perkebunan, paling
tidak mereka menguasai 3.358.072 Ha dengan besaran luas penguasaan berkisar
antara 6.000 Ha sampai 48.000 Ha. Ini sungguh ironi bila dibandingkan dengan
rata-rata penguasaan lahan yang dimiliki oleh kaum tani dan masyarakat pedesaan
bagi keperluan produksi pertanian- subsisten. Dimana, rata-rata penguasaan dan
kepemilikan lahan dari kaum tani tidak lebih dari 0,5 Ha/keluarga. Luas areal
penguasaan pun terus mengalami penyusutan dari tahun ke tahun ketika monopoli
yang terjadi disertai oleh terjadinya proses alih fungsi lahan. Maka kemudian,
banyak dari kalangan kaum tani yang terlempar menjadi buruh tani dan petani miskin,
hingga terpaksa harus menjadi “buruh serabutan” yang bekerja di luar sektor pertanian.
Sebagian menjadi buruh bangunan musiman di kota , sementara sebagian yang lainnya menjadi
buruh migrant di luar negeri. Oleh karenanya, menjadi keniscayaan apabila
kecilnya luas penguasaan lahan yang dimiliki oleh kaum tani ini telah
menyebabkan rendahnya produktifitas serta tingkat pendapatan. Usaha pertanian
perseorangan skala kecil untuk sekedar dapat mencukupi kebutuhan dasar yang
paling minimumsekalipun, terancam secara menyedihkan.
Di samping aspek monopoli, kaum
tani juga terjerembab dan terhambat kemajuannya dalam berbagai bentuk relasi
penindasan dan penghisapan yang berkembang pada sistem sisa-sisa feodalisme.
Sewa tanah yang tinggi, sistem bagi hasil yang tidak adil, berbagai bentuk
peribaan yang subur berkembang pada masyarakat pedesaan, sistem gadai, hingga
tengkulakisme menjadi ancaman yang selalu mengepung terhadap perkembangan kaum
tani di semua aspek kehidupan. Surplus produk pertanian dari hasil jerih payah
kaum tani diambil dan dirampas oleh sistem pertukaran dan distribusihasil yang
tidak adil tersebut. Akibat dari kelebihan produk pertanian yang tidak dapat
dinikmati ini, kaum tani tidak mampu mencukupi kebutuhan dasar, apalagi
untuk mengembangkan pengetahuan dan kebudayaannya.
Situasi lebih lanjut, kaum tani juga harus dihadapkan dengan sistem
pertukaran dan perdagangan hasil-hasil produksi pertanian yang tidak adil serta
berbagai kebijakan Negara yang tidak memberikan proteksi (red : perlindungan)
yang diperlukan guna menjamin kepentingan optimalisasi surplus produk maupun subsistensi
produksi pertanian. Imperialisme melalui berbagai lembaga multi lateral semacam
World Trade Organization (WTO), International Monetery Fund (IMF) dan World
Bank (WB) memaksa setiap negara mengikuti dan menerapkan berbagai kebijakan
yang menguntungkan bagi kepentingan kapitalisme monopoli asing pada sektor
agraria.
Sementara, negeri-negeri
imperialisme, Amerika Serikat, Jepang dan beberapa negara Uni Eropa lainnya
tidak pernah tunduk pada peraturan yang mereka desakkan sendiri, bahkan
cenderung mengkhianatinya. Sebagai contoh, kegagalan dalam putaran pertemuan
perundingan WTO terutama dalam hal
bagaimana mengatur perdagangan
hasil-hasil sector pertanian, selain disebabkan oleh desakan yang keras dari
berbagai organisasi massa tani dari berbagai negeri dan organisasi massa
demokratis laninnya, juga dikarenakan oleh keengganan negeri-negeri
imperialisme tersebut menjalankan ketentuan-ketentuan yang menguntungkan dan
adil bagi semua negara dan kaum tani. Akan tetapi dengan congkaknya demi
keuntungan yang tanpa batas, mereka tetap memaksakan aturan- aturan perdagangan
sektor pertanian yang menjamin kepentingannya agar diadobsi dan diterapkan di
negera- negara berkembang.
Oleh karenanya, setiap waktu,
hasil-hasil produksi pertanian kaum tani Indonesia harus terseok-seok
menahan gempuran produk impor pertanian. Berbagai impor produk pertanian, baik
berupa produk bahan pangan pokok, hortikultura (sayuran) hingga buah-buahan
terus membanjiri pasar dalam negeri dan mendepak hasil-hasil produksi pertanian
kaum tani.
Keadaan ini menggambarkan bahwa kaum tani dipaksa bertahan dalam keadaan
minimum pada buasnya mekanisme pasar melawan kaum monopoli distribusi
hasil-hasil produksi pertanian dan korporasi monopoli produsen hasil-hasil
pertanian skala besar. Bahkan, demi menjaga kepentingan imperialisme pada
sektor agraria, negara dipaksa mencabut berbagai subsidi pertanian. Mulai dari
subsidi benih, pupuk hingga obat-obatan, termasuk tiadanya dukungan
sarana-prasarana produksi pertanian, jaminan keamanan atas air-irigasi, pengembangan teknik serta teknologi
maupun mesin-mesin pertanian. Namun disisi lain, Negara justru memberikan
subsidi dalam bentuk menanggung utang pengusaha komprador yang telah bangkrut
dengan membebankannya pada pundak rakyat melalui penetapan pada Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara
(APBN).
Inilah situasi umum yang melingkupi dan mengekang kemajuan kaum tani dan
perkembangan sektor agraria. Situasi yang menggambarkan telah terjadinya krisis
agraria yang berkepanjangan. Maka tidak mengherankan, meski negara ini
mayoritas adalah kaum tani atau dengan kalimat lain bahwa sektor pertanian
merupakan sektor yang paling luas, namun kehidupan kaum tani dan terutama
sektor
pertaniannya tidak berkembang dan mengalami kemajuan yang
berarti. Sebaliknya, bergerak ke tingkatan krisis yang semakin dalam dan luas.
Sebagai contoh, pada tahun 2004, sector pertanian menyerap hampir 43 juta orang
atau sekitar 46,5 persen dari angkatan kerja. Namun pada tahun yang sama,
sektor pertanian hanya memberikan kontribusi pada Pendapatan Domestik Kotor
(PDB) hanya 14,7 persen. Jauh dibawah kontribusi sektor industri, terutama jasa
dan perdagangan. Keadaan ini secara jelas memberi gambaran, bahwa meski tenaga
produktif yang terlibat cukup besar bila dibandingkan pada sektor lain, namun
hasil produksi pertanian sangat rendah.
Sekaligus juga menjelaskan mengenai factor-faktor yang menghambat
kemajuan sector pertanian, yaitu adanya monopoli atas sumber-sumber agraria
serta berbagai problem-problem lain yang telah disinggung pada pemaparan
sebelumnya. Bahkan, demi kelancaran operasi modal kapitalisme monopoli
internasional, negara tidak ragu-ragu untuk mengerahkan kekuatan bersenjata
yang dimilikinya (TNI/ POLRI) serta milisi-sipil yang didirikannya untuk
memperkokoh kekuasaan—ekonomi, politik dan budaya—imperialisme dan feodalisme. Berbagai tindak kekerasan,
intimidasi penangkapaan dan bentuk-bentuk teror lainnya yang memalukan
merupakan tindakan politik yang sejalan pada perampasan tanah-tanah (land
grabbing) milik kaum tani dan masyarakat di pedesaan yang selama ini
terus berlangsung. Situasi ini, semakin memperburuk keadaan, menggoncang serta
mematikan sendi-sendi kehidupan demokrasi di pedesaan dan secara keseluruhan di
Indonesia .
Kebebasan menyampaikan Pendapat |
Berbagai hambatan dan tekanan pada organisasi massa
kaum tani dan organisasi massa
demokratis lainnya sering bertubi-tubi menghantam organisasi tersebut serta
menekan kebebasan untuk menyampaikan pendapat secara lisan maupun tulisan di
muka umum. Alasan-alasan inilah yang pada peristiwa belakangan ini sering menimpa
kaum tani, yaitu serangkaian kekerasan yang menimpa kaum tani di Rumpin- Bogor
sampai Alas Tlogo-Pasuruan. Seluruh cara yang ditempuh oleh imperialisme dan
feodalisme yang tercermin melalui tindakan politik negara, merupakan jalan
keluar yang harus diambil untuk mengatasi terjadinya krisis umum ekonomidari
imperialisme.
Inilah mengapa, secara umum,
keadaan sektor agrarian terus mengalami krisis semakin dalam, luas dan akut.
Yang tentu saja agar bisa keluar dari situasi krisis agraria ini diperlukan
usaha-usaha politik secara menyeluruh dan berskala nasional.
Kaum tani dan rakyat Indonesia ,
bahwa krisis yang timbul pada sektor agraria karena masih bercokolnya sistem
social yang menindas dan menghisap, yaitu dominasi imperialisme yang menjadikan
sisa-sisa feodalisme sebagai fondasi sosialnya. Maka, untuk dapat keluar dari
situasi krisis agraria yang terjadi, kaum tani Indonesia harus mampu menarik
pelajaran atas pengkhianatan yang dilakukan oleh borjuasi komprador hingga
menyebabkan gagalnya Revolusi Agustus 1945.
Kaum tani juga harus
sanggup mengorganisasikan dirinya secara lebih baik dan berposisi secara
tegas dihadapan golongan yang bimbang yang berpotensi menghancurkan tujuan
perjuangan. Yaitu perjuangan terhadap penyelesaian secara menyeluruh atas
krisis agraria yang timbul.
Agar tujuan strategis dari perjuangan tersebut dapat diraih, maka penting
bagi kaum tani melalui organisasinya berusaha lebih keras untuk meningkatkan
kualitas perjuangannya. Perjuangan yang ditempuh harus mampu menembus
batas-batas sifat sosial ekonomi semata. Tugas terpentingnnya adalah dengan
mendorong ke tingkatan kualitas yang lebih tinggi, yaitu perjuangan politik.
Perjuangan politik inilah yang akan menentukan kesuksesan dalam mewujudkan
kesejahteraan penuh –sosial, ekonomi, politik dan budaya—dari kaum tani. Hal
ini dapat diwujudkan apabila system imperialisme dan feodalisme mampu
dihapuskan.
DAFTAR PUSTAKA
Internet
:
Pepih Nugraha, “Revitalisasi Pertanian Jalan di Tempat?”, dalam harian umum
Kompas, Sabtu, 24 Februari 2007, hal. 34.
Sri Hartati
Samhadi, “Sektor Pertanian Dianaktirikan,” dalam Liputan Khusus
60
Tahun Indonesia
Merdeka, harian umum Kompas, 16 Agustus 2005.:50
Soegijanto
Padmo, Landreform dan Gerakan Protes Petani Klaten 1959-1965,
Tidak ada komentar:
Posting Komentar