Total Tayangan Halaman

Rabu, 13 September 2017

MENYIBAK TIRAI

              Pagi masih buta. Temaram sinar bulan masih tersisa. Nyanyian jangkrik juga masih terdengar pemecah lengang. Baru beberapa ekor ayam jantan yang sudah terjaga, berkokok nyaring menyambut fajar datang, membelah kelam malam. Tapi, tubuh kerempeng Kukuh telah berpeluh. Kedua tangannya berkeringat mengkilat, usai mengupas dan mengirissekeranjang penuh bawang merah. Kelopak matanya sesekali rapat dipejamkan menahan perih. Air bening mengintip malu-malu di sudut kedua mata, sesekali meleleh, bergulir-gulir di pipinya yang tirus. Jalinan otot-otot belia terlihat jelas dari balik kulit mudanya yang cokelat. Bara semangat remaja memancar tajam dari sorot
matanya yang bulat, hitam tajam. Sepasang alis tegas dengan bulu mata tebal, kian mempertegas betapa keras jalan hidup yang harus dilalui. Nyaris tak pernah melepas tawa. Hanya, sesekali senyum
kecil tersungging, menjadi tanggul bagi air mata yang tak hendakdiperlihatkan.
                Kukuh Tegar Santosa. Pemuda jebolan salah satu SMP Muhammadiyah Dusun Jeruk Legi, di pedalaman Gunungkidul. Umurnya belum genap 16 tahun. Anak keenam dari sebelas bersaudara.Hidup jauh dari orang tua, merantau di Jakarta, menumpang di rumah Pakde Sumar, kerabatnya. Menghidupi diri dengan menjadi buruh pengiris bawang, di sebuah warung soto ayam milik Pak Isak di bilangan Pasar Minggu, Jakarta Selatan. “Tidak akan aku membiarkan diri menjadi peminta-minta. Tak kan kurelakan tanganku tengadah memohon belas kasihan, kecuali
pada Tuhan,” tekad dalam hatinya. Sesaat jarum jam baru meninggalkan waktu tengah malam,
Kukuh sudah bangkit dari sisi Pakde Sumar. Langkahnya terarah menuju kamar mandi, mencuci muka, lalu ke dapur minum segelas air putih. Tanpa menimbulkan suara, ia keluar menuju tempat kerjanya, dapur warung soto Pak Isak. Segera diraihnya sekarung bawang merah. Disiapkannya sebuah keranjang bambu, tampah besar,talenan, juga pisau kecil yang tajam sebagai senjatanya. Seketika, jemarinya yang kurus panjang-panjang, lincah mengupas kulit bawang.

              Butir demi butir bawang lokal dikupas kulit arinya, lalu dimasukkan ke dalam keranjang bambu. Bau menyengat dan gas pedas yang menguras air mata sama sekali tak dihiraukan, hingga
setengah isi karung berpindah ke dalam keranjang. Dengan menahan pedih di bola mata, ia mencuci umbi-umbi berwarna merah itu dengan air bersih di bawah keran. Kedua lengan kecilnya yang berpeluh, tampak berkilau-kilau tertimpa cahaya lampu bohlam 80 watt di dapur. Dua bola matanya
yang tampak agak menonjol, terlihat memerah berair. Diusapnya mata itu dengan lengan atas, sebelum kemudian mengambil tampah, juga talenan kayu asam. Sejurus kemudian, jemarinya kembali menari-nari sangat cekatan, mengiris butir-butir bawang hingga menjadi serpihan-serpihan tipis. Gerakannya sangat cepat, seakan tak peduli bahwa jarinya bisa tercabik-cabik pula. Baru sepertiga isi keranjang berkurang, air mata telah bergulir-gulir di pipinya. Jika sudah begitu, ia berhenti sejenak. Ditengadahkannya muka, menyeka air mata dan mengambil oksigen segar dari
udara sebanyak ia bisa. Sesekali ia pejamkan mata rapat rapat, menahan pedih yang menusuk nusuk,
sembari terus memainkan pisau. Terkadang digeleng gelengkan pula kepala, atau bahkan bangkit lalu
mencuci muka, jika perih di kedua bola matanya tak lagi tertahankan. Tapi, hanya beberapa saat saja hal itu dilakukan, sebelum ia kembali melanjutkan pekerjaanya, sampai seluruh isi keranjang
berubah menjadi serpihan tipis siap goreng. Tak kurang dari 20 kg bawang merah segar setiap menjelang fajar telah ia taklukkan. 
              Setiap menjelang dini hari pekerjaan itu Kukuh lakukan. Sendirian! Dari semenjak bangun tidur, hanya sekitar satu setengah jam selepas tengah malam, baru selesai sesaat menjelang subuh
datang. Irisan bawang lalu dicucinya lagi dengan garam dapur, sebelum kembali ditiriskan dan siap digoreng.
              Usai menyelesaikan pekerjaan, ia bergegas mencuci muka di bawah keran air. Dibiarkannya derasnya cucuran air memijat permukaan wajah, mengalirkan sebagian kecil air untuk membasuh
dua bola matanya yang seakan terbakar. Sesaat ia meringis menahan perih yang terasa kian mengiris-iris indra penglihatnya. Dinikmatinya detik-detik ketika air mata deras mengucur ......

Inilah sepenggal cerita MENYIBAK TIRAI bagian dari Novel  MERETAS BATAS ASA,  selengkapnya dapat Anda baca di novel yang sudah diterbitkan atau hubungi penulisnya.

1 komentar: