Bagong
mendekat. “Itulah orang-orang yang
membeli kehidupan dunia dengan (kehidupan) akhirat, maka tidak akan diringankan
siksa mereka,” katanya mengutip arti Q.S.
al-Baqarah:86. “Keserakahan telah menutup ketajaman nalar Paman Togog yang
telah diakui dengan sederet gelar cendekia. Bagaimana mungkin seorang penasihat
di Padepokan Sang Hyang Guru bisa menjadi pembantu, seperti kerbau dicocok
hidung bagi si Mbilung, hanya menonton trik sulap kacangan di depan mata?” imbunya
gemas.
Romo
Semar geleng-geleng. Tersirat raut muka sedih melihat Togog yang sudah dianggap
sebagai adiknya sendiri. “Togog, lihat Gareng! Tubuhnya miring. Matanya juling.
Padahal, sejatinya ilmu si Gareng sudah bisa melihat bahwa dunia ini hanya
palsu. Cuma tipu-tipu. Maka dia pilih mengesampingkannya, agar tetap bisa
melihat kebenaran, lalu menyeret kakinya dengan hati-hati agar selamat. Lihat pula
si Petruk! Betapa sebenarnya dia dikaruniai sedikit pengetahuan tentang ruh
hingga hampir mencapai puncak ilmu hakikat. Lihat dia tetap bersahaja
menjalankan tugas sebagai pengasuh bagi para ksatria Pandawa. Saat tatanan di
negeri ini kacau, dengan izin Gusti Pangeran, justru Petruk yang naik tahta menjadi
raja mengembalikan tatanan. Tapi apa dia jumawa? Setelah situasi kembali
normal, Petruk mengembalikan tahta, lalu
kembali ke padepokan ini, bersamaku, Gareng dan Bagong, mengasuh, menjaga, mempersiapkan para cantrik agar kelak menjadi
ksatria-ksatria tangguh lahir batin, berpekerti luhur,” tuturnya sambil
memegang pundak Togog.
“Bangunkan
nalarmu saat melihat Mbilung, Paman! Kembalilah kepada kami! Bersama kita asah sisi
akal yang lain untuk mengenal Gusti Pangeran, dengan mengkaji isi kitab suci
secara utuh,” ujar Bagong sungguh-sungguh.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar