Total Tayangan Halaman

Rabu, 30 April 2014

MENGENANG RADEN MAS SOEWARDI SOERJANINGRAT



Sosok tokoh langka Indonesia yang berjasa memajukan dunia pendidikan adalah Ki Hadjar Dewantara. Lahir di Yogyakarta, Kamis, 2 Mei 1889, dengan nama Raden Mas Soewardi Soerjaningrat. Saat usianya genap 40 tahun ia berganti nama menjadi Ki Hadjar Dewantara. Gelar kebangsawanan Raden Mas di depan namanya ia tanggalkan, hal ini bertujuan agar  bisa bebas dekat dengan kehidupan rakyat tanpa dibatasi oleh ningrat dan darah biru kehidupan keraton.
Ki Hadjar Dewantara menamatkan Sekolah Dasar di ELS (Sekolah Dasar Belanda), melanjutkan ke STOVIA (Sekolah Dokter Bumiputera) namun ia tidak sampai tamat karena sakit. Ia mengambil profesi jurnalis di beberapa surat kabar seperti Sedyotomo, Midden Java, De Express, Oetoesan Hindia, Kaoem Moeda, Tjahaja Timoer dan Poesara. Tulisan-tulisan Ki Hadjar Dewantara pada surat kabar tersebut sangat komunikatif dan tajam sehingga mampu membangkitkan semangat patriotik dan antikolonial bagi rakyat Indonesia saat itu.
RM Soewardi Soerjaningrat adalah tokoh utama yang memainkan peran penting dalam sepak terjang ‘tiga serangkai’ Indische Partij (IP). Alasannya karena ia pada era itu berani menulis sebuah karangan monumental dalam ranah sejarah pemikiran politik Indonesia. Als ik een Nederlander was… (Seandainya aku seorang Belanda …).

            Intinya Soewardi menyiratkan pertanyaan pada pihak kolonial yang penuh sindiran tajam. Apa sebabnya Belanda mau merayakan 100 tahun peringatan kebebasan mereka sendiri dari kekuasaan asing (baca; Perancis era Napoleon) juga diperingati di tanah “Hindia Belanda”, di negeri jajahan? Apakah orang Belanda  mau merayakannya di depan berjuta-juta rakyat yang sedang menderita akibat “dualisme”, bahkan mau mengumpulkan dana dari saku rakyat pula untuk merayakan itu?  Apakah mereka bermaksud menganjurkan “bangsa Indonesia” melepaskan diri dari penjajahan secepatnya sehingga bangsa Indonesiapun dapat menikmati perayaan kemerdekaannya sendiri?
            Soewardi telah menampilkan diri  sebagai seorang “satria” sejati dengan menyatakan masalah legitimacy (keabsahan) secara langsung, tanpa tedeng aling-aling. Kenji Tsuchiya dalam buku Indonesia Dalam Kajian Sarjana Jepang ( 1986: 194) menyatakan belum ada seorang pribumi seperti Soewardi yang mampu menggunakan bahasa mereka untuk memperoleh suatu tempat yang sederajat seperti waktu Soewardi menghadapi Idenburg. Bahkan lebih jauh Soewardi digambarkan laksana Werkudara (tokoh pewayangan) yang gagah berani. Werkudara alias Bima  membongkar hutan Tikrasara, gunung Candramuka dan menghadapi raksasa Rahmoka dan Rukmakala dengan tekad berani mati demi satu tujuan, air kehidupan (baca: Dewa Ruci dalam Wayang Kulit Purwa, tanpa tahun : 82).
            Akibat tulisan yang berbau menentang usaha-usaha peringatan 100 tahun kemerdekaan Belanda, maka ia dibuang ke negeri Belanda bersama dengan dr. Tjipto Mangunkusumo dan E.F.E. Douwes Dekker  sejak 1913 sampai 1919. Justru pada masa pembuangan inilah digunakan kesempatan untuk mempelajari seluk beluk, masalah-masalah pendidikan dan berhasil merumuskan asas pengajaran nasional. Ing ngarso asung tuladha ing madya mangun karsa, tut wuri handayani.
            Penyaluran perjuangan selanjutnya melalui lembaga pendidikan Taman Siswa, Soewardi bersikeras mewujudkan dasar perjuangan meningkatkan derajat rakyat. Usahanya mendidik dengan pendekatan pembelajaran sistim among mengarah murid-muridnya memiliki kompetensi berperasaan, berpikiran dan bekerja merdeka di dalam batas-batas tujuan mencapai tertib damainya hidup bersama. Ternyata bila dicermati  sasaran muatan domain afektif, kognitif dan psikomotor serta pendekatan saintifik sudah ada pada visi misi Taman Siswa. Dengan demikian, secara substansi asas  dan sistem serta tujuan pengajaran pemikiran Soewardi tidak kalah hebat dengan apa yang diadopsi pemerintah dewasa ini dan besok (kurikulum 2013). Mari kita kenang  2 Mei lebih arif dan cerdas. (Amin Hidayat)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar