Sosok tokoh langka Indonesia yang berjasa memajukan dunia
pendidikan adalah Ki Hadjar Dewantara.
Lahir di Yogyakarta, Kamis, 2 Mei 1889,
dengan nama Raden Mas Soewardi Soerjaningrat. Saat usianya genap 40 tahun ia
berganti nama menjadi Ki Hadjar Dewantara. Gelar kebangsawanan Raden Mas di
depan namanya ia tanggalkan, hal ini bertujuan agar bisa bebas dekat dengan kehidupan rakyat tanpa
dibatasi oleh ningrat dan darah biru kehidupan keraton.
Ki Hadjar Dewantara menamatkan
Sekolah Dasar di ELS (Sekolah Dasar Belanda), melanjutkan ke STOVIA (Sekolah
Dokter Bumiputera) namun ia tidak sampai tamat karena sakit. Ia mengambil
profesi jurnalis di beberapa surat kabar seperti Sedyotomo, Midden Java, De
Express, Oetoesan Hindia, Kaoem Moeda, Tjahaja Timoer dan Poesara.
Tulisan-tulisan Ki Hadjar Dewantara pada surat kabar tersebut sangat
komunikatif dan tajam sehingga mampu membangkitkan semangat patriotik dan
antikolonial bagi rakyat Indonesia saat itu.
RM
Soewardi Soerjaningrat adalah tokoh utama yang memainkan peran penting dalam
sepak terjang ‘tiga serangkai’ Indische
Partij (IP). Alasannya karena ia pada era itu berani menulis sebuah
karangan monumental dalam ranah sejarah pemikiran politik Indonesia. Als
ik een Nederlander was… (Seandainya aku seorang Belanda …).
Intinya Soewardi menyiratkan
pertanyaan pada pihak kolonial yang penuh sindiran tajam. Apa sebabnya Belanda
mau merayakan 100 tahun peringatan kebebasan mereka sendiri dari kekuasaan
asing (baca; Perancis era Napoleon) juga diperingati di tanah “Hindia Belanda”,
di negeri jajahan? Apakah orang Belanda mau merayakannya di depan berjuta-juta rakyat
yang sedang menderita akibat “dualisme”, bahkan mau mengumpulkan dana dari saku
rakyat pula untuk merayakan itu? Apakah
mereka bermaksud menganjurkan “bangsa Indonesia” melepaskan diri dari
penjajahan secepatnya sehingga bangsa Indonesiapun dapat menikmati perayaan
kemerdekaannya sendiri?
Soewardi telah menampilkan diri sebagai seorang “satria” sejati dengan
menyatakan masalah legitimacy
(keabsahan) secara langsung, tanpa tedeng
aling-aling. Kenji Tsuchiya dalam buku Indonesia Dalam Kajian Sarjana
Jepang ( 1986: 194) menyatakan belum ada seorang pribumi seperti Soewardi yang
mampu menggunakan bahasa mereka untuk memperoleh suatu tempat yang sederajat
seperti waktu Soewardi menghadapi Idenburg. Bahkan lebih jauh Soewardi
digambarkan laksana Werkudara (tokoh pewayangan) yang gagah berani. Werkudara
alias Bima membongkar hutan Tikrasara,
gunung Candramuka dan menghadapi raksasa Rahmoka dan Rukmakala dengan tekad
berani mati demi satu tujuan, air kehidupan (baca: Dewa Ruci dalam Wayang Kulit
Purwa, tanpa tahun : 82).
Akibat tulisan yang berbau menentang
usaha-usaha peringatan 100 tahun kemerdekaan Belanda, maka ia dibuang ke negeri
Belanda bersama dengan dr. Tjipto Mangunkusumo dan E.F.E. Douwes Dekker sejak 1913 sampai 1919. Justru pada masa
pembuangan inilah digunakan kesempatan untuk mempelajari seluk beluk, masalah-masalah
pendidikan dan berhasil merumuskan asas pengajaran nasional. Ing
ngarso asung tuladha ing madya mangun karsa, tut wuri handayani.
Penyaluran perjuangan selanjutnya
melalui lembaga pendidikan Taman Siswa, Soewardi bersikeras mewujudkan dasar
perjuangan meningkatkan derajat rakyat. Usahanya mendidik dengan pendekatan
pembelajaran sistim among mengarah murid-muridnya memiliki kompetensi
berperasaan, berpikiran dan bekerja merdeka di dalam batas-batas tujuan
mencapai tertib damainya hidup bersama. Ternyata bila dicermati sasaran muatan domain afektif, kognitif dan
psikomotor serta pendekatan saintifik sudah ada pada visi misi Taman Siswa.
Dengan demikian, secara substansi asas
dan sistem serta tujuan pengajaran pemikiran Soewardi tidak kalah hebat
dengan apa yang diadopsi pemerintah dewasa ini dan besok (kurikulum 2013). Mari kita kenang 2 Mei lebih arif dan cerdas. (Amin
Hidayat)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar