“…apakah mereka tidak berjalan di muka bumi lalu mereka mempunyai hati
yang dengan itu mereka dapat memahami, atau mempunyai telinga yang dengan itu
mereka dapat mendengar? Karena sesungguhnya bukanlah mata itu yang buta,
melainkan yang buta ialah hati yang ada di dalam dada”
Hari ini, sesaat renungkan
penggalan kalimat dalam QS. al-Hajj:46
itu. Sekejap alihkan perhatian dari drama tanpa akhir tentang keserakahan para
Korawa berebut kekuasaan dan harta, untuk melihat jauh ke dalam diri, lalu
bertanya, “Apa kabar hatiku, cermin hidupku? Masihkah bening, atau justru buram
sehingga tak lagi bisa menunjukkan kebenaran dari luar sana?”
Hari ini, kita awali dengan
merenung. Sebab, merenung (dalam rangka
mencari ilmu) sesaat, lebih besar nilainya daripada amal-amal kebajikan yang
dikerjakan oleh dua jenis makhluk, yaitu manusia dan jin (HR. Ibnu Majjah).
Hari ini, ketika hampir
setiap waktu tersaji pentas drama tentang keserakahan. Ketika kehidupan sosial
politik penuh intrik sekedar untuk mendapatkan perhatian, pujian, atau bahkan
dukungan sebelum menduduki jabatan publik. Persis yang dilakukan
raksasa-raksasa jelek Korawa. Tetapi hari ini, tokoh serakah dan loba itu bukanlah
para raksasa Korawa, melainkan para ksatria tampan yang disegani, berpendidikan,
memiliki jabatan, dan hampir selalu memiliki trackrecord gemilang.
Patut kita bertanya, kenapa tokoh
utamanya berubah wujud? Pejabat pemerintah, wakil rakyat, bahkan para pegawai
negeri sipil (PNS), yang belakangan penghasilannya dilipatgandakan dari uang
negara. Terhenyak kita menyaksikan betapa sikap rakus dan serakah tak mampu
tertutupi seragam kebanggaan atau pakaian mahal. Nafsu mereka membuncah saat menghadapi
jamuan makan. Tanpa malu, berebut mengambil, lalu melahap seluruh hidangan yang
tersaji. Tak peduli dengan tangan kanan, tangan kiri, atau bahkan dua tangan
maju bersamaan, sambil duduk atau berdiri, mereka terus menjejali mulut dengan makanan,
sampai-sampai kucing dan tikus got pun tak bisa menemukan sisa makanan yang
bisa dijilati dari piring bekas mereka. Mereka sangat kelaparan, walau perutnya
sudah buncit nyaris pecah pun kenyang tak datang.
Hari ini, patut jika kita
bertanya, “Apanya yang salah?” Dahulu rakus, kasar, tamak, loba, dan
sifat-sifat buruk lainnya diidentikkan dengan orang bodoh tak berpendidikan. Sampai
saat ini sistem pendidikan kita sudah terlalu sering diubah dalam rangka
perbaikan. Standard nilai maupun materi pelajaran bagi anak sekolah pun semakin
tinggi yang diproyeksikan mampu bersaing menghadapi tantangan dunia masa depan.
Fasilitas pendidikan juga semakin mudah dan terjangkau. Jika belasan tahun lalu
ijazah S1 bisa diraih hanya bila mengikuti proses panjang di menara gading
universitas/perguruan tinggi di beberapa kota besar, sekarang bisa didapat ‘cuma’
dengan mengikuti ‘les’ seminggu sekali di banyak tempat bahkan sampai di kecamatan.
Dahulu program wajib belajar hanya sembilan tahun, ke depan target 12 tahun. Semestinya sifat
rendahan itu juga tergerus.(Mila)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar