Rasulullah SAW pertama kali
menerima wahyu dengan diperintahkan untuk membaca atau Iqra’ (bacalah). Perintah ini memberi pemahaman pada kita bahwa kunci dari
mempelajari ilmu adalah dengan membaca. Permasalahannya adalah budaya baca kita
masih rendah. Di lapangan, minat baca di
Indonesia begitu rendah kalah jauh dari Singapura atau Malaysia yang jumlah
penduduk lebih sedikit, bahkan luas wilayahnya jauh lebih kecil. Faktanya,
penduduk Indonesia lebih banyak mencari informasi dari televisi dan radio
ketimbang buku atau media baca lainnya. Laporan bank Dunia no.16369-IND
(Education in Indonesi from Crisis to recovery) menyebutkan bahwa tingkat
membaca usia kelas VI Sekolah Dasar di Indonesia hanya mampu meraih skor 51,7
di bawah Filipina (52,6), Thailand (65,1) dan Singapura (74,0). Data Badan
Pusat Statistik tahun 2006 menunjukan bahwa penduduk Indonesia yang menjadikan
baca sebagai sumber informasi baru sekitar 23,5%. Sedangkan yang menonton
televisi 85,9% dan mendengarkan radio 40,3%.
Baca SMS ya, tapi baca buku…cape dech!!!.
Fakta di atas tentu memprihatinkan, mengingat budaya membaca
sangat erat kaitannya dengan kultur sebuah generasi. Jika generasi sekarang
memiliki minat baca rendah, bukankah sulit mengharapkan mereka menjadi teladan
bagi anak cucunya dalam membudayakan membaca? Padahal kalo kita pikir, Negara
kita tak miskin-miskin amat untuk menyediakan buku atau bahan bacaan ke
berbagai pelosok negeri ini. Nyatanya, Indonesia memiliki banyak penerbit,
penulis, ilmuan, peneliti, dan toko-toko buku dari kelas atas sampe kelas
bawah. Tetapi, tetap saja masyarakat kita menganggap buku itu adalah makanan
yang mahal, dan tidak penting untuk dibaca. Masyarakat kita, mulai dari anak-anak,
remaja, dewasa, sampai orang tua enggan untuk membaca apalagi menulis. Sejak
dahulu, bangsa kita sudah mewarisi budaya lisan dari pada budaya literer. Alasan lebih praktis dan
mudahlah yang membuat masyarakat kita mudah percaya dan dibodohi.