Limbuk
menggenggam erat tangan anaknya, Cempluk yang baru saja lulus SMP. Bibirnya
yang lebar dan tebal merekahkan senyum puas. Ditatapnya paras gadis belia itu
dengan penuh kebanggaan.
“Terima
kasih, Nduk! Kamu luar biasa,”
katanya sambil masih memamerkan senyum tebal.
“Apa
sih Simbok ini? Bikin Cempluk malu saja. Lha wong jelas-jelas nilainya saja pas pasan begini kok dibilang
luar biasa. Nyindirnya jangan kebangeten begitu Mbok,” sahut Cempluk hampir
tanpa ekspresi.
“Lha bagaimana ndak luar biasa Nduk? Jelas
tadi diumumkan namamu sebagai siswa paling jujur gitu, kok,” ujar Limbuk
menimpali. Senyumnya semakin lebar dan tebal.
“Yang
itu nggak ngaruh untuk daftar ke SMA faforit, Mbok,” potong Cempluk.
Limbuk
mengamati wajah murung anaknya yang memaksakan senyum. Lalu ia berkata, “Kamu
masih ingat nasihat Eyang Semar saat kamu mau ujian SD dulu?”
“Angka-angka
bukan segalanya, Cantiknya karakter pribadimu itu lebih utama. Jujur. Teguh
hati. Berbudi pekerti. Nikmati proses belajarmu, lalu syukuri hasilnya! Yang
itu maksud Simbok?”
Limbuk
manggut-manggut. Senyum lebar dan tebalnya merekah lagi. “Ingat terus itu, Nduk! Maka di manapun kamu melanjutkan
studi, pasti ilmunya akan menjadi tabungan abadi.”