Tuhan Yang Agung hadir
dalam jiwa, saat bibir bergetar mengucap asmaNYA, memurukkan kesombongan yang selalu
mengangkang ke dasar kesadaran tentang kuasaNYA, menafikan segala yang indah
terlihat mata, mengais puing damai di tengah masyarakat hedonis.
Itu juga yang sedang
dipraktikkan Gareng, Petruk, dan Bagong belakangan ini, atas nasihat Romo Semar,
bapak sekaligus guru tunggal bagi mereka. Ketiganya, juga anak-anak batur lainnya, tak pernah berkesempatan
belajar dari guru-guru terbaik di berbagai padepokan seperti para majikan. Guru
utama bagi mereka hanyalah alam. Lalu sang Romo yang sejatinya adalah salah
satu dari dua mahaguru, sesekali menasihati, menunjukkan sejarah sebagai
palajaran, atau menyentil jika mereka nakal. Kini, mereka sedang diajak
melakukan meditasi.
Kawah Candradimuka yang
menjadi pusat pendadaran terhebat di negeri ini masih bergolak. Bukan oleh ketatnya
persaingan para cantrik yang berpacu menguasai berbagai teknik ilmu tingkat
tinggi, melainkan karena sistemnya berantakan. Kong kalingkong Begawan korup seperti Drona dan seorang makelar
bernama Sengkuni, telah mengacaukan tatanan lembaga keilmuan, menebarkan
prasangka dan kebencian di antara para cantrik bangsawan. Mereka juga
membentangkan jalan terjal penuh onak duri bagi anak-anak Semar dan batur lainnya, yang tidak memungkinkan bagi
mereka sampai di pusat pendadaran bernama Kawah Candradimuka seperti para
majikan.
Romo Semar yang
biasanya memilih diam, akhirnya bertindak setelah menyaksikan kecurangan-kecurangan
yang semakin terkoordinir, pelan tapi pasti menyebar masuk dalam sistem,
layaknya kanker menggerogoti tubuh. Ia yang tak pernah menonjolkan diri, bergerak
memperbaiki Kawah Candradimuka dari orang-orang korup. Meski agak terlambat,
harus mengait nama-nama yang sangat berpengaruh hingga sulit disentuh, upayanya
patut diapresiasi. Setidaknya satu langkah positif berani telah dilakukan sesepuh punakawan, yang
memilih menanggalkan status tertinggi sebagai dewa di kahyangan lalu menjadikan
dirinya batur di bumi, hanya agar bisa
mendidik keluarga Pandawa menjadi ksatria-ksatria lurus dan tangguh itu.
Belakangan,
Romo Semar kian meradang ketika menyaksikan dekadensi moral telah mengikis
habis keluguan anak-anak. Data-data tentang kejahatan oleh anak bertambah
setiap hari. Kualitas kejahatannya pun kian meningkat. Betapa bocah-bocah yang
semestinya masih dalam masa bermain telah mampu melakukan perbuatan keji,
merampas, mencuri, berkelahi, bahkan sampai membunuh. Tak sampai di situ,
sebagian di antaranya juga piawai menjual diri lalu menjadi mucikari, melego
teman-teman hanya demi bisa tampil trendi, komplit dengan pegangan gadget
terkini.
Buru-buru
Romo Semar menarik tangan ketiga anaknya kembali masuk rumah. Bersama mereka
melihat peristisa yang terjadi, lalu diajak diskusi. Ia tak mengumbar nasihat yang membosankan,
hanya mengutip nasihat Lukman yang diabadikan dalam Al-Qur’an, “Wahai anakku! Sungguh, jika ada (sesuatu
perbuatan) seberat biji sawi, dan berada dalam batu atau di langit atau di
bumi, niscaya Alloh akan memberinya (balasan). Sesungguhnya Alloh Mahahalus,
Mahateliti.” (QS. Luqman:16).
“Le, anak-anakku, ketahuilah bumi sudah
tua. Banyak yang sudah keblinger.
Tapi kalau kita mau tetap ngaji kalimasada (kalimat syahadat), Gusti Alloh
pasti melindungi. Puasakan tubuhmu, puasakan inderamu! Saat perut kelaparan, seluruh
indera lemah, lihat dengan cermat seperti apa wajahmu, seberapa busuk borok di tubuhmu, lalu
bagaimana harus segera mengobati,” tegas Romo Semar. Begitulah ia memilih
posisi, sebagai batur yang mendidik dengan
jujur, lurus, dan tulus. Batur yang
menjadikan bendoronya orang terhormat
dan bermartabat, menjaga lalu mengembangkan sosok unik anak-anaknya tetap dalam
kesederhanaan hingga menjadi pribadi-pribadi dengan kelebihan masing-masing. Batur yang selalu memulai langkahnya
dengan, “Bismillaah, lailaahaillallooh”
Ke
mana sosok Romo Semar sekarang?
Miladiyah S.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar