Total Tayangan Halaman

Senin, 30 Januari 2012

UPACARA ADAT BANYUMAS


        

 Adat  Banyumas
            Masyarakat Jawa termasuk Banyumas, dikenal sebagai masyarakat yang gemar melakukan selametan. Semacam tradisi makan bersama keluarga dan masyarakat sekitar dalam rangka hajat tertentu, dengan jenis hidangan tertentu pula sesuai hajat yang diinginkan. Jika diterjemahkan, berbagai bentuk slametan itu dimaksudkan untuk memohon dihindarkan dari berbagai gangguan dalam menjalani suatu fase kehidupan. Juga dapat dimaknai sebagai tanda syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa atas segala berkah dan kemudahan yang telah diberikan. Menurut M. Koderi (1991:114-131), biasanya selamatan semacam ini muncul  pada upacara adat yang berhubungan dengan lingkaran hidup, yaitu; kelahiran, kitanan, pernikahan, dan kematian.  


(1)  Upacara Kelahiran
                                             Beberapa tradisi dilakukan masyarakat dalam menyambut kelahiran seorang anak manusia. Upacara selamatan pra-kelahiran pun digelar dengan berbagai harapan positif terhadap bayi yang hendak lahir. Biasanya  upacara itu berupa kenduri, semacam acara makan bersama masyarakat sekitar dengan hidangan tertentu sesuai usia janin dalam kandungan. Ketika janin masih berusia tiga  bulan dalam kandungan, diadakan selamatan jenang bening, bubur sumsum, dan nasi punar. Lalu ketika janin berusia empat bulan, dilakukan selamatan dengan sebutan ngupati. Wujudnya berupa ketupat, gudeg, nasi pecel, tumpeng, enten-enten dan ketan. Lalu pada masa kehamilan tujuh bulan, ada selamatan lagi yang disebut mitoni atau ningkebi dengan upacaranya disebut tingkeban. Bahkan ketika usia kehamilan mencapai sembilan bulan ada selamatan lagi yang disebut mrocoti. Makanan atau masakan yang diperlukan antara lain: jenang procot, kupat, nasi golong, bulus angrem, dhawet, dan lain-lain.
                                                Perubahan mencolok terjadi pada proses kelahiran bayi. Jika dahulu peran dukun bayi sangat dominan dalam membantu kelahiran, kini perannya digantikan oleh tenaga medis; bidan dan dokter kandungan. Meski begitu di beberapa wilayah pinggiran, keberadaan dukun bayi masih  dibutuhkan masyarakat. Terutama untuk melakukan perawatan berupa pijat urut bayi pada minggu-minggu awal kelahiran.


Satu tradisi khas Banyumas yang masih terpelihara hingga kini berkaitan dengan kelahiran bayi adalah penyimpanan ari-ari atau tali pusat bayi yang tidak dikubur sebagaimana di daerah lain. Setelah dipotong, baik dengan alat tradisional berupa welat (bilah bambu yang ditipiskan sedemikian rupa hingga menjadi tajam seperti pisau) yang telah dibaluti kunyit, maupun pisau dan gunting, tali pusat itu dimasukkan ke dalam kendhil (periuk dari tanah) yang masih baru. Kemudian ditutup dengan daun pisang raja, ditaburi kembang telon (kantil, mawar, melati), minyak wangi, garam, jarum, benang, gereh pethek (sejenis ikan asin) dua ikat sirih keris dan jambe serta kemiri. Juga disertakan kertas bertuliskan huruf abjad Arab, Latin dan Jawa. Baru di atasnya ditutup dengan cobek dari tanah. Selanjutnya, kendhil tersebut dihanyutkan di sungai, dengan maksud agar kelak anak tersebut gemar merantau. Ada pula yang digantung di laur rumah, agar kelak anaknya sendiri yang menghanyutkan. Namun juga ada yang ditanam (dikubur) oleh ayahnya sendiri. Saat menanamnya pun mengikuti aturan, harus berpakaian rapi, ari-ari digendong dengan selendang dan dipayungi. Setiap hari kelahirannya (weton) ari-ari ditaburi bunga telon.


               Saat sisa usus bayi yang melekat pada pusar mengering dan lepas, sering disebut puput puser. Menurut adat, bila bayi laki-laki, lubang pusernya disumbat dengan dua buah mrica agar kelak menjadi lelaki sejati. Bila bayinya perempuan, lubang pusar disumbat dengan ketumbar. Sore harinya biasanya diadakan upacara selamatan dengan hidangan terdiri dari nasi dan janganan (sayuran), jenang merah putih, baro-baro dan jajan pasar. Sedangkan sesajinya berupa golong lima yaitu ikan, padupan, bunga cempaka dan uang logam,  ditempatkan di takir (daun pisang dibentuk bundar).
(2)  Upacara Sepitan/ Sunatan/ Khitanan
                                                Anak laki-laki yang menginjak usia sekitar 12 -14 tahun, biasanya dikhitan sebagai tanda sudah baliq. Upacara sunatan biasanya dilakukan dengan memasang tarub,  disaksikan oleh para famili, tetangga dan warga desa lainnya. Dahulu yang menyunat anak dilakukan oleh dukun sepit. Biasanya sunatan pada pagi hari (subuh). Sebelumnya anak yang mau disunat disuruh berendam selama kurang lebih satu jam agar darahnya tidak banyak keluar. Apalagi jaman dahulu, pengobatan masih sangat sederhana. Alat yang digunakan si dukun dahulu dari welad (sembilu), kemudian menggunakan pisau kecil atau pemes.
                                                Anak yang baru dikhitan, biasanya tidak boleh banyak bergerak dan tidak mandi cukup disekah (diusap pakai lap basah), agar bagian luka yang disunat tidak kena air, sehingga cepat sembuh. Anak yang bersangkutan juga harus menjalani puasa ngasrep  (makanan tanpa garam, gula, dan cabai). Pantangan itu bertujuan agar darah tidak keluar dari luka, dan cepat kering.
                                                Anak-anak yang disunat biasanya mendapat hadiah dari sanak famili ataupun para undangan dan teman sebaya. Hari-hari penyelenggaraan sunatan bagi si anak biasanya dilakukan dengan memilih hari baik, bukan hari pantangan. Demikian pula dengan pemilihan bulan yang didasarkan pada perhitungan tertentu sehingga dianggap baik untuk melaksanakan hajatan. Bulan yang dianggap baik untuk mengadakan hajatan pada umumnya adalah bulan Besar (Dulhijjah), Mulud (Rabi’ulawal), Jumadilakhir, Rajab dan Ruwah (Sya’ban).


Mantenan


(3)  Upacara Perkawinan
Hal-hal penting dalam tata urutan upacara perkawinan menurut tata urutan Jawa sebagai berikut :
(a)    Utusan, merupakan proses penyelidikan dengn menanyakan status si gadis. Yang menjalankan tugas ini dinamakan congkokog.
(b)   Melamar, pembicaraan resmi yang disampaikan utusan orang tua pihak laki-laki dengan maksud melamar di rumah orang tua si gadis.
(c)    Srah-srahan atau bawa besanan, yaitu menyerahkan uba rampe (barang-barang) kepada keluarga calon penganten wanita oleh keluarga calon penganten pria. Biasanya dilakukan dua atau tiga hari sebelum hari perkawinan.
(d)   Siraman, yaitu upacara memandikan calon penganten wanita. Upacara ini biasanya dilakukan sehari sebelum akad nikah berlangsung. Waktunya menjelang tengah hari atau sekitar jam sebelas siang. Tujuan siraman untuk menyucikan secara jasmani dan rohani karena pada hari berikutnya calon mempelai akan melaksanakan salah satu tugas suci dalam hidup di dunia, yaitu palakrama, akad nikah (Suwarna Pringgawidagda, 2003:1).
(e)    Rias Pengantin, yaitu merias kedua calon pengantin sebelum upacara panggih atau sebelum upacara akad nikah. Tugas merias dilakukan oleh ahli perias pengantin wanita yang sering disebut dukun penganten. Busana yang digunakan pengantin putri biasanya berupa kain batik, stagen, rimong cinde, baju kebaya, dan selop. Busana dan perlengkapan pengantin pria yaitu kemeja putih lengan panjang, kain jarit (bebed), stagen, sabuk bora, epek timang, rompi, dasi kupu-kupu, jas bukak warna hitam, selop dan blangkon nodang Banyumasan.
(f)    Upacara Akad Nikah, merupakan inti dari semua rangkaian upacara perkawinan. Akad nikah yang menentukan sah tidaknya suatu perkawinan, biasanya dilakukan dengan mengundang penghulu. Umumnya pelaksanaan akad nikah (ijab qabul) bersamaan dengan upacara adat perkawinan, dan acara pesta walimahan. Dalam upacara panggih, setelah ijab qabul, diteruskan dengan: memutus benang lawe, menginjak telur, tuntunan, menanam (nandur),   rebutan panggang, suap-suapan, sungkeman, dan diakhiri acara makan untuk para tamu atau undangan (Thomas Wiyasa Bratawidjaja, 2000: 38).
Salah satu tradisi khas Banyumas dalam upacara perkawinan adalah pagelaran begalan. Pentas ini semacam ruwatan yang dimaksudkan untuk menghilangkan segala bentuk hambatan yang mungkin menghadang kehidupan mempelai. Selanjutnya tentang begalan akan dibahas tersendiri.
(4)  Upacara Kematian
                                                Tata upacara kematian di daerah Banyumas nampak adanya akulturasi kebudayaan zaman animisme, Hindu-Buddha dengan Islam. Pengaruh pra-Islam cukup kuat pada tradisi ini. Jika menurut tuntunan agama Islam yang dijalankan oleh mayoritas masyarakat perawatan jenazah terdiri atas empat hal pokok, yaitu; memandikan, mengafani, menyolatkan, dan menguburkan, dalam praktiknya masih ada prosesi lain yang dilaksanakan. Yaitu menaburkan kembang setaman, beras kuning, dan uang logam di sepanjang perjalanan jenazah dari kediaman sampai ke makam. Sebagian kembang disebar di atas gundukan pemakamannya. Kelapa muda yang telah dipotong salah satu ujungnya sampai berlobang, diletakkan dekat nisan. Ada pula yang memberi sesaji dengan membakar kemenyan dan air dalam kendi di atas gundukan tanahnya.  
                                              Tradisi lain yang juga masih dilestarikan dalam rangka upacara kematian ini adalah kenduri nyusur tanah, semacam acara pembacaan mantra yang dilanjutkan dengan sesaji pada malam harinya. Kenduri juga diadakan pada hari ke-3, ke-7, ke-40 dan hari ke-100, bahkan hari ke-1000 dari hari kematian, karena menurut kepercayaan, pada hari-hari tersebut arwah orang yang sudah meninggal masih berada di sekitar rumah.
                                              Ketika Islam masuk adat tersebut dibiarkan tetap berjalan, tetapi isi dan tata caranya dimasuki ajaran agama Islam. Seperti mantra-mantra diganti dengan doa dan tahlilan atau bacaan Al-Qur’an. Sampai saat ini, tradisi dengan nuansa Islam tersebut masih berjalan.
                                              Bertakziah atau melayat adalah berkunjung ke tempat keluarga yang terkena musibah kematian. Maksudnya untuk membantu atau meringankan beban penderitaan keluarga yang ditinggalkan.

1 komentar: