Total Tayangan Halaman

Kamis, 11 April 2013

BACA


Rasulullah SAW pertama kali menerima wahyu dengan diperintahkan untuk membaca atau Iqra’ (bacalah).  Perintah ini memberi  pemahaman pada kita bahwa kunci dari mempelajari ilmu adalah dengan membaca. Permasalahannya adalah budaya baca kita masih rendah. Di lapangan,  minat baca di Indonesia begitu rendah kalah jauh dari Singapura atau Malaysia yang jumlah penduduk lebih sedikit, bahkan luas wilayahnya jauh lebih kecil. Faktanya, penduduk Indonesia lebih banyak mencari informasi dari televisi dan radio ketimbang buku atau media baca lainnya. Laporan bank Dunia no.16369-IND (Education in Indonesi from Crisis to recovery) menyebutkan bahwa tingkat membaca usia kelas VI Sekolah Dasar di Indonesia hanya mampu meraih skor 51,7 di bawah Filipina (52,6), Thailand (65,1) dan Singapura (74,0). Data Badan Pusat Statistik tahun 2006 menunjukan bahwa penduduk Indonesia yang menjadikan baca sebagai sumber informasi baru sekitar 23,5%. Sedangkan yang menonton televisi 85,9% dan mendengarkan radio 40,3%.


Baca SMS ya, tapi baca buku…cape dech!!!.
Fakta di atas tentu memprihatinkan, mengingat budaya membaca sangat erat kaitannya dengan kultur sebuah generasi. Jika generasi sekarang memiliki minat baca rendah, bukankah sulit mengharapkan mereka menjadi teladan bagi anak cucunya dalam membudayakan membaca? Padahal kalo kita pikir, Negara kita tak miskin-miskin amat untuk menyediakan buku atau bahan bacaan ke berbagai pelosok negeri ini. Nyatanya, Indonesia memiliki banyak penerbit, penulis, ilmuan, peneliti, dan toko-toko buku dari kelas atas sampe kelas bawah. Tetapi, tetap saja masyarakat kita menganggap buku itu adalah makanan yang mahal, dan tidak penting untuk dibaca. Masyarakat kita, mulai dari anak-anak, remaja, dewasa, sampai orang tua enggan untuk membaca apalagi menulis. Sejak dahulu, bangsa kita sudah mewarisi budaya lisan dari pada  budaya literer. Alasan lebih praktis dan mudahlah yang membuat masyarakat kita mudah percaya dan dibodohi.

Jumat, 05 April 2013

MENYOAL HARI JADI BANYUMAS



            Penetapan hari jadi Banyumas sejak 1990, berangkat dari seminar pada 14 November 1989, bahwa tanggal 6 April 1582 adalah hari kelahiran Banyumas, masih menyisakan silang pendapat. Hal ini berlatar keminiman dan ketiadaan sumber atau data sejarah kelahiran daerah tersebut.  Pemakalah ternyata  tidak mampu menyajikan/menemukan prasasti penetapan hari lahir daerah itu. Fakta otentik yang sering dicari adalah prasasti zaman Hindu dan Buddha.
             Jadi, apa yang disimpulkan  Prof Dr Sugeng Priyadi M.Hum, guru besar Ilmu Pendidikan Sejarah Universitas Muhammadiyah Purwokerto, bahwa penetapan tanggal itu sebagai hari jadi tidak tercantum dalam data mana pun sejarah Banyumas, bahkan tidak lebih dari hasil perkiraan yang tidak mendasar.
              Lebih lanjut Profesor yang mendalami sejarah Banyumas ini menyatakan bahwa sulit untuk menerima pendapat bahwa peringatan sejarah hari jadi semata-mata simbolis,  mengingat peristiwa sejarah selalu bersifat faktual. Jika hari jadi tiap 6 April itu diperingati, tetapi tidak berdasar fakta sejarah maka kita memperingati hari jadi yang konyol. Lagi pula, peristiwa sejarah tidak sama dengan peristiwa sastra yang memang sering dibuat dalam bentuk simbol.