Total Tayangan Halaman

Selasa, 31 Januari 2012

HAKEKAT IPS


  
    Ilmu Pengetahuan Sosial (IPS) 
   merupakan istilah yang diadopsi dari Amerika Serikat yang sejatinya dinamakan Social Studies. Dilihat dari muatannya, IPS dapat diartikan sebagai mata pelajaran tentang penelaahan masyarakat, baik yang terdapat di sekelilingnya maupun di negeri lain, masa sekarang maupun masa lampau.
                  IPS adalah mata pelajaran hasil fusi atau peleburan dari sejumlah disiplin ilmu sosial, seperti sejarah, ekonomi, geografi, sosiologi, antropologi, tata negara dan psikologi sosial. IPS merupakan pelajaran ilmu-ilmu sosial yang disederhanakan untuk pendidikan tingkat SD dan SMP (Nasution, 1987:3). Penyederhanaan ini memiliki makna :
a.       Menurunkan tingkat kesukaran ilmu-ilmu sosial yang biasanya dipelajari di perguruan tinggi menjadi pelajaran yang sesuai dengan kematangan berpikir siswa setingkat SD dan SMP.
b.      Mempertautkan dan memadukan bahan berasal dari aneka cabang ilmu sosial dan kehidupan masyarakat sehingga menjadi bahan pelajaran yang mudah dicerna.


Pembelajaran IPS menurut pendapat Daldjoeni (1992:27) memiliki lima tujuan, yaitu  :
a.       IPS mempersiapkan siswa untuk studi lanjut di bidang ilmu sosial. Jika nanti masuk SMA dan perguruan tinggi, akan disajikan secara parsial antara ekonomi, sejarah, geografi, antropologi dan sosiologi.
b.      IPS bertujuan untuk mendidik warga negara yang baik. Karena itu mata pelajaran yang disajikan ditempatkan dalam konteks budaya melalui pengolahan secara ilmiah dan psikologis yang tepat.
c.       IPS yang mempelajari closed area,  yaitu masalah-masalah sosial yang pantang dibahas di muka umum, bahannya berbagai pengetahuan ekonomi sampai politik, dari sosial sampai kultural untuk melatih siswa berpikir demokratis.
d.      Membina warga negara Indonesia atas dasar moral Pancasila dan UUD 1945, serta sikap sosial rasional dalam kehidupan.
Direktorat Pendidikan Lanjutan Pertama (2004:7) menyatakan bahwa Pengetahuan Sosial (sekarang IPS), di Indonesia diberikan di sekolah dan memiliki tujuan untuk mempersiapkan anak didik menjadi warga negara yang baik berdasarkan Pancasila dan UUD 1945, dengan menitikberatkan pada pengembangan individu yang dapat memahami masalah-masalah dalam lingkungan, baik yang berasal dari lingkungan sosial yang membahas interaksi antar manusia, dan lingkungan alam yang membahas interaksi antar manusia dengan lingkungannya, baik sebagai individu maupun sebagai anggota masyarakat. Selain itu anak didik diharapkan dapat berpikir kritis dan kreatif, dapat melanjutkan serta mengembangkan nilai-nilai budaya bangsa.


Dengan demikian IPS merupakan mata pelajaran yang menelaah masalah-masalah dalam masyarakat yang muncul seiring dengan perkembangan ilmu pengetahuan, teknologi dan komunikasi. Bahan kajian IPS lebih menekankan pada masalah-masalah sosial budaya yang terdapat di masyarakat dan lingkungannya maupun yang ada di negara lain pada masa lampau, masa sekarang serta mengantisipasi perubahan sosial budaya beserta pengaruhnya terhadap kelangsungan hidup manusia di masa yang akan datang.
Mata pelajaran IPS senantiasa mengikuti perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi sehingga materi pelajaran juga mengalami perubahan. Hal ini dapat terlihat dalam perkembangan kurikulum sampai detik ini yaitu KTSP. Fungsi IPS dalam KTSP adalah mengembangkan pengetahuan, nilai, sikap dan ketrampilan sosial peserta didik agar dapat direfleksikan dalam kehidupan masyarakat, bangsa dan negara Indonesia.


      Dalam Kurikulum (KTSP) SMP yang berlaku saat ini, mata pelajaran IPS tidak secara tegas membedakan materi geografi, sejarah, ekonomi maupun sosiologi seperti sebelumnya.  Meski demikian Standar Kompetensi (SK) dan Kompetensi Dasar (KD) menunjukkan adanya muatan materi-materi tersebut secara jelas. Selain itu, SK dan KD juga  menunjukkan ruang bagi masuknya potensi lokal dalam rangka pencapaian tujuannya. Adapun gambaran lengkap tentang SK dan KD yang berpotensi dimasuki muatan lokal secara tersebut, lengkap disajikan pada bagian lampiran.
Proses pembelajaran IPS yang materinya terdiri atas berbagai disiplin ilmu tersebut memerlukan berbagai alternatif pendekatan. Seperti pendekatan lingkungan yang semakin meluas, pendekatan pemecahan masalah yang aktual, serta pendekatan partisipasi sosial. Juga dikenal adanya pendekatan monodisiplin atau sering disebut juga pendekatan struktural, pendekatan interdisipliner yaitu  memusatkan perhatian pada masalah-masalah sosial yang dapat didekati dari berbagai disiplin keilmuan sosial dan  pendekatan terpadu atau integrated approach, (Direktorat PLP, 2004:18-20).             

Pembelajaran sejarah sebagai salah satu bagian dari mata pelajaran IPS harus mampu mengkaji realitas sosial yang ada. Karena itu, proses pembelajarannya perlu berorientasi pada masalah (problem oriented), terutama berkaitan dengan nilai-nilai yang berkembang dalam masyarakat. Hal ini didasari atas pemikiran bahwa semua kejadian yang terdapat dalam peristiwa sejarah mengandung pelajaran penting dan bermanfaat. Dengan demikian makna  belajar sejarah bukan hanya untuk mengetahui rentetan peristiwa masa lampau, namun yang lebih penting adalah agar generasi yang hidup sekarang dapat mengambil hikmah kearifan kesadaran sejarah (Sukardi, 2009:4).
Arca Airlangga
Kearifan, menurut Pitoyo Amrih (2008:24) adalah sebuah kemauan untuk melihat hukum alam yang diciptakan Sang Khaliq. Manusia memang diciptakan memiliki akal dan hasrat, juga dibekali sebuah keistimewaan oleh Sang pencipta untuk bebas menentukan pilihan. Akan tetapi apapun pilihan manusia, harus selalu tunduk aturan main hukum alam-Nya. Sebuah kebebasan menentukan pilihan, tetapi yang selaras dengan aturan main-Nya.

Senin, 30 Januari 2012

KULTUM




MEMBANGUN JIWA YANG SEHAT
Oleh  : Amin Hidayat

Para jamaah ….. yang dimulyakan Allah,
Marilah kita berjuang dan melaksanakan amal kebaikan, selaras dengan ketentuan-ketentuan dalam agama Islam yang suci dan luhur, serta menjauhkan semua tindakan yang tercela.
Agar hidup kita mendapat rahmat dan perlindungan dari Allah, selamat, bahagia dunia dan akherat.

Sudah disebutkan dalam Al Quran :

Yang artinya :
Sesungguhnya Allah itu menyertai orang-orang yang bertaqwa dan orang-orang yang melakukan perbuatan kebaikan” (Q.S. An Nahl : 128).

Para jamaah yang dimulyakan Allah,
Kita semua sudah memaklumi bahwa membangun jiwa, membangun rohani atau budi pekerti termasuk faktor yang penting di jaman pembangunan dewasa ini. Lebih-lebih di jaman modern, jaman kemajuan teknologi yang canggih, untuk itu sebagai keseimbangan kemajuan lahiriah sangat perlu rohaniyah dipupuk dan digembleng, agar sifat-sifat kemanusiaan, dapat dipertahankan, sehingga kesucian, kebenaran dan kebaikan dapat diwujudkan dijagad raya ini.
Para hadirin, sudah jelas bahwa bila hanya pembangunan lahir saja yang digiatkan, sedangkan pembangunan rohani dan budi pekerti diabaikan, tentu saja akan pincang. Oleh karena itu, di dalam kita berupaya memperbagus diri, rumah pekarangan dan masjidnya, disitu kita juga harus berupaya meningkatkan watak dan kelakuan budi pekerti. Sebab, apabila tidak begitu, para hadirin, dapat kita umpamakan barang yang bobrok. Walaupun dibungkus dengan kain mahal harganya, ya tetap bobrok.
Atau dapat kita umpamakan orang yang kurus, sakit-sakitan, walaupun berpakaian wool dan menempati gedung mewah, toh yang sakit tadi tetap sakit-sakitan dan tetap merintih.
Begitulah gambaran bila tidak imbang antara lahiriyah dan batiniyah. Menurut ajaran Islam, jelas bahwa pembangunan lahir harus dibarengi sarana pembangunan batin, harus sama-sama diutamakan dan tidak boleh dibedakan.
Para hadirin jamaah …. yang dimulyakan Allah,
Kemudian muncul pertanyaan, lalu bagaimana caranya membangun jiwa, membangun rohani biar tidak sakit-sakitan?

Dari Abu Hurairah r.a., bahwasanya Rasulullah SAW bersabda :

Artinya :
Jauhilah prasangka, karena prasangka itu adalah omongan paling bohong. Dan janganlah engkau mencari-cari pembicaraan orang, dan jangan pula meneliti kejelekan seseorang, dan jangan suka pamer, dan jangan saling menghasud, dan jangan saling benci membenci, dan jangan saling menjauhi, dan hendaklah kamu sekalian menjadi hamba Allah yang bersaudara, sebagaimana ia telah memerintahkan kepadamu (H.R. Bukhari – Muslim).

Hadis ini mengingatkan kepada kita agar mau menjauhi akhlak yang tercela dalam rangka menuju membangun jiwa atau membangun rokhani. Akhlak-akhlak tercel yang harus kita jauhi sebagimana disebut pada hadist ini adalah :
  1. Berprasangka, yakni menyangka orang lain melakukan kejahatan, tetapi sangkaan itu hanya terpendam dalam hatinyatanpa diucapkannya.
  2. Mencari-cari pembicaraan orang, yakni ingin mengetahui kekurangan orang lain dengan cara mencarinya lewat pembicaraan orang, termasuk di dalamnya adalah berkumpul untuk membahasa kejelekan orang lain (ngrasani).
  3. Meneliti kejelekan orang lain, yakni berusaha untuk mengetahui kejelekan orang lain dengan segala cara, baik dengan cara yang sudah disebutkan tadi atau dengan cara lainnya.
Perhatikan baik-baik kiblat kita

Menurut ajaran Islam, seperti itu mudah cukup hanya melaksanakan tiga hal :
  1. Harus dikembangkan dalam masyarakat, jiwa agama yang kuat, iman yang kokoh. Diyakinkan dengan sebenarnya sarana iman yang kuat, bahwa masih ada dzat yang Maha Kuasa yang lebih kuasa diatas manusia, yaitu Allah SWT. Bila kita melihat sejarah perjuangan para pahlawan bangsa, para Rasul, para Shuhada, para Shalihin, ternyata semua memiliki keteguhan, karena kekuatan iman.
  2.  Harus dibangun dimasyarakat, ilmu yang bermanfaat. Tidak hanya mengenai ilmu duniawi saja, tapi juga ilmu agama harus disebar dan ditanamkan  pengertiannya pada masyarakat. Cukup sudah bukti pentingnya bab ilmu, dalam Al Qur’an :  
Yang artinya :
“Allah akan mengangkat derajatnya orang-orang yang beriman dan orang-orang yang memiliki ilmu dengan beberapa derajat” (Q.S Al Mujadalah : 11).
           
                          
  1. Tanamkan di masyarakat, , budi pekerti yang luhur. Rasulullah bersabda :   
Yang artinya
 ”Yang dinamakan kebaikan adalah budi pekerti yang luhur” (HR. Muslim).

Para hadirin, bila manusia sudah berbicara santun, bersikap sopan, tingkah laku baik, ini artinya sudah dapat membangun badannya dengan tatakrama agama Islam. Bila kita sanepakan / ibaratkan sebuah rumah :
Iman dan ilmu itu ibarat tulangnya tembok dan tiang-tiangnya. Sedangkan budi pekerti itu ibarat cet-cetnya, kain gordennya, taplak meja, sprei dan kasurnya. Dengan demikian artinya dapat mewujudkan sebagai pribadi muslim yang sempurna. Jiwa menjadi sehat, hidupnya dapat rahmat dari Allah SWT.
Demikian para hadirin, tiga jalan untuk mebangun masyarakat yang baik.
Akhirul kalam,

Mudah-mudahan Allah senantiasa memberi rahmat kepada kita semua, sehingga hidup kita dapat menemukan kebahagiaan dan keselamatan, fid dun ya wal akhirah.
Amin ya robbal alamin


Wassalamu ’alaikum Wr. Wb.






KULTUM
HIKMAH MUSYAWARAH
Oleh  : Amin Hidayat


Hadirin jamah sholat .... yang berbahagia,
Bila kita kaji dengan pikiran yang bening, mengenai keberadaan manusia di dunia ini, jelas bahwa manusia itu makhluk yang paling utama. Artinya makhluk yang lebih sempurna bentuknya tinimbang makhluk-makhluk lainnya, lebih terhormat dan mulia keberadaannya dibandingkan dengan makhluk selain manusia. Tidak lain karena manusia itu dianugerahi keistimewaan oleh Allah SWT yaitu diberi panca indera yang lengkap dan fikiran yang lebih sempurna.
Sebenarnya Islam itu memberi keleluasaan berpikir pada manusia, menganjurkan agar manusia mau menggunakan pikirannya jangan sampai pikirannya mati dan beku, njendhel, tidak bisa digunakan sebagaimana mestinya.

Tersebut dalam salah satu ayat :

Artinya :
”Apakah orang-orang tadi tidak pernah berpikir tentang isinya Al Qur’an, apakah memang di dalam hati itu ada tutupnya (sehingga tidak mau berpikir isi kandungan Al Qur’an).” (Q.S. Muhammad :24).

Demikianlah, Islam sangat menghargai kepada pikiran manusia yang baik. Artinya siapa saja dapat mencetuskan pikirannya yang baik dan benar, yang dapat berguna bagi hidup sesama dan masyarakat.
Dalam bab Ubudiyah, Rasulullah SAW diperintahkan berpegang teguh kepada ajaran Al Qur’an dan Hadits, jangan sampai menyimpang dari apa yang telah dituntunkan Al Qur’an dan Hadits.

Tetapi bila mengenai urusan kemasyarakatan atau mengenai kepentingan masyarakat bab urusan keduniawian utawa mu’amalat, kita diperintahkan Allah agar selalu bermusyawarah dengan sahabatnya, temannya koleganya.

Allah memerintah dalam Al Qur’an :
Artinya :
”Dan ajaklah orang-orang tadi hai Muhammad musyawarah dalam masalah-masalah tadi” (Q.S. Ali Imraan : 159).

Maka junjungan kita Nabi Muhammad SAW selalu musyawarah dengan umatnya dalam bab kepentingan siasat peperangan dan lain-lainnya. Yaitu dalam perang Khondhak, Nabi SAW musyawarah dengan para sahabat, di situ salah satu sahabat yang bernama Salman Al Farasi mengusulkan membuat parit yang dalam yang mengelilingi kota Madinah agar musuh tidak bisa masuk kota Madinah.

Rasulullah SAW menyetujui usul tersebut dan beliau juga turut serta membuat parit tersebut. Akhirnya musuh kemudian mundur dengan kerugian dan kocar-kacir. Dan perkara lainnya bab mu’amalat, Nabi SAW juga selalu musyawarah dengan para sahabat-sahabatnya, bagaimana baiknya, jangan sampai masyarakat rugi, dalam hal kekayaannya. Al hasil para jamaah, Rasulullah SAW disegani dan disenangi oleh sahabat, sebab beliau selalu melakukan musyawarah dalam hal kepentingan umatnya.
Sehingga Rasulullah SAW pernah bersabda :

Artinya  :
”Tidak mungkin rugi orang yang istikharah dan tidak mungkin menyesal orang yang musyawarah”
Musyawarah dalam keluarga


Nabi bersabda begitu, menandakan bahwa musyawarah itu termasuk perkara yang penting dalam hidup bermasyarakat. Jangan sampai manusia hanya mencari senangnya sendiri dengan merugikan orang lain. Hal seperti itu dapat merusak persaudaraan dan kerukunan.
Para jama’ah, di dalam hal perkara yang penting-penting dan yang besar dan berat serta rumit, harus dimusyawarahkan , sebab tidak dapat dipecahkan hanya oleh satu orang. Bila dipikir oleh orang banyak akan terasa enteng dan dapat dilaksanakan dengan sebaik-baiknya.
Maka prinsip musyawarah itu harus kita lakukan sebenarnya, memang seperti itu perintah dan tuntunan dalam Islam. Sebagai penutup, mari kita tidak bosan-bosannya senantiasa memohon kehadirat Allah, semoga kita semua diberi rahmat dan ditunjukkan pada jalan yang benar, yang pada akhirnya menjadi umat yang ’begja fid dun ya wal akhirah. Amin.

Wassalamu ’alaikum Wr. Wb.



KULTUM :
RASA PERSAUDARAAN
Oleh  : Amin Hidayat


Para Jamaah sholat ... yang dimulyakan Allah,
Alhamdulillah, sebagai umat Islam yang beriman, marilah kita senantiasa meningkatkan taqwa kepada Allah. Dalam arti, selalu mawas diri untuk mengerjakan perbuatan-perbuatan yang diperintah oleh Allah dan menjauhi segala laranganNya. Sebab dengan taqwa itu, kita semua dapat menempuh jalan yang sukses, baik ketika di dunia maupun di akherat kelak.
Sebab para jama’ah,
Sudah tertuang dalam Al Qur’an :

Artinya :
”Allah sudah berjanji kepada orang-orang yang beriman dan melaksanakan kebaikan kepada orang-orang tersebut ampunan dan pahala yang agung” (Q.S Al Maidah :9).

Para Jamaah Jum’at yang dimulyakan Allah,
Seperti yang sudah kita kita maklumi bahwa Islam memberi tuntunan kepada kita semua kaum muslimin agar setiap muslim dan muslimat menanamkan rasa persaudaraan di dalam dada, jangan sampai ada rasa mendongkol, sentimen, iri, dengki dan lainnya.
Oleh karena itu, satu dengan yang lainnya harus harga-menghargai, mau tolong-menolong, bantu-membantu menegakkan agama Allah dengan sebaik-baiknya. Melaksanakan ajaran agama dengan sebenarnya.

Kita umat Islam jangan sampai satu dengan yang lain ada sikap meremehkan dan menyepelekan. Sebab para jama’ah :
” Sesungguhnya semua manusia itu di depan Allah adalah sama”
Jelasnya, semua sama-sama menjadi hamba Allah. Yang lebih mulia adalah yang lebih tebal taqwanya kepada Allah SWT. Siapa saja yang melakukan kebaikan akan menerima pahala dari Allah, sebaliknya siapa saja yang berbuat maksiat dan tindakan yang tercela akan menerima siksa Allah.
Oleh karena itu, sudah sepestinya para jama’ah, yang kaya jangan sampai meremehkan dan menganggap sepele kepada yang miskin, yang tua juga jangan sampai menyepelekan yang muda, demikian juga yang miskin, jangan sampai meremehkan dan menganggap sepele kepada yang kaya. Yang memiliki kedudukan tinggi jangan menyepelekan kepada yang memiliki kedudukan rendah, begitu juga sebaliknya.



Jama’ah yang berbahagia,
Rasa persaudaraan harus dipupuk pada jiwa setiap muslim dan muslimat, pada setiap siswa dan siswi, pada setiap Bapak/ Ibu guru dan karyawan. Demikian juga rasa persamaan Islam, sebagimana sabda Rasulullah SAW :
Artinya :
” Walaupun yang memimpin kamu sekalian, salah seorang habsyi.”
Artinya, bila memang cakap dan memenuhi syarat sebagai pemimpin, dia walaupun berasal dari kalangan miskin, desa, dia harus ditaati kepemimpinannya. Jadi yang penting yaitu memiliki kecakapan, ketrampilan dan kemampuan dapat memimpin masyarakat ke arah kebaikan.
Jama’ah yang berbahagia,
Allah tidak akan ridla, bila ada orang yang pamer pangkat dan kedudukan atau menonjol-nonjolkan ilmunya atau hartanya sehingga akhirnya mudah sekali menyepelekan orang lain.

Sahabat Anas menceritakan bab sikap Rasulullah SAW terhadap pembantunya, dimana pembantu Rasulullah berkata : Sepuluh tahun aku ikut Rasulullah SAW belum pernah aku mendengar beliau berkata yang tidak enak atau menyakitkan hati apalagi meremehkan orang lain.
Oleh karena itu di jaman sekarang ajaran agama : yaitu rasa persamaan dan rasa persaudaraan itu harus kita pupuk dihati sanubari umat Islam. Insya Allah dengan seperti itu, kita akan menerima keridlaan dari Allah SWT, begja selamat dunia akherat. Amin ya robbal alamin. 


Wassalamu ’alaikum Wr. Wb.


Santri 
                                                                                  
KULTUM :
SIFAT-SIFAT ORANG MUKMIN
Oleh  : Amin Hidayat

Jamaah sholat … yang dimulyakan Allah,
Pada kesempatan ini saya memilih topik bab sifat-sifat orang mukmin yang sejati. Mengingat bab ini saya anggap penting dan harus menjadi perhatian kita lebih-lebih di era sekarang.
Jalaran para jama’ah, masalah iman itu salah satu masalah yang sangat penting, bagi hidup manusia di alam dunia ini. Sehingga pada saat manusia kehilangan iman, ibarat dia kehilangan mahkota hidup yang sangat mahal harganya.
Rasulullah SAW pernah bersabda : Tidak aneh bila salah seorang manusia kadang-kadang ada yang :

” Pagi-pagi masih iman kepada AllahSWT, tetapi sorenya malahan menjadi kafir, menjadi orang yang ingkar kepada Allah SWT.”
Hal ini disebabkan karena tidak bisa mempertahankan imannya, imannya kabur terkena pengaruh angin yang tidak baik. Bila siswa salah mencari teman, salah bergaul, akan mudah terpengaruh hal-hal yang mengaburkan iman.

Para jama’ah, ciri-ciri atau tanda-tanda orang beriman dan bagaimana sifat-sifat orang mukmin itu sebenarnya telah dijabarkan dalam Al Qur’an surat Al Hujurat ayat 15 dan surat Al Anfal ayat 2-4. Bahwa setengah dari sifat-sifat orang mukmin sejati adalah :
  1. pertama
Percaya dengan sungguh-sungguh, iman dengan sebenarnya kepada Allah dan Rasulnya, imannya mendarah daging, tidak ragu secuilpun, sampai tidak ada apapun yang dapat mementalkan imannya. Imannya tetap tidak goncang, kokoh tidak bergeser sedikitpun.
Sampai kita ibaratkan, seandainya ada pelor atau peluru berseliweran, atau meriam seribu dibunyikan bersamaan, imannya tidak gentar. Memiliki pendirian yang teguh, melaksanakan, menjunjung tinggi,  segala perintah Allah dan Rasulnya di atas segala.
Inilah ciri orang mukmin yang pertama.

  1. Kedua
Yaitu mau berjuang menegakkan agama, membela agama sampai jiwa raga dan hartanya.
Artinya para jama’ah, orang mukmin sejati itu hidupnya untuk kepentingan Islam dan kaum muslimin. Seperti keadaan para sahabat yang hebat apda jaman Rasulullah SAW. Para sahabat itu imannya benar-benar tebal dan termasuk ’mukmin kamil’, orang mukmin yang imannya sempurna.

  1. Ketiga
Bila disebut nama Allah hatinya bergetar, sebab ingat akan kekuasaan dan keagungan Allah SWT.
Dari sini kemudian tumbuh rasa dan keyakinan bahwa dirinya hanyalah kecil dan sepele, tidak punya daya bila dibandingkan dengan kekuasaan Allah yang maha sempurna segalanya.
Hanya Allah sendiri yang diagungkan dan disembah serta dimintai. Oleh karena itu orang mukmin sejati selalu tawadlu’. Andhap asor, sopan santun di dalam pergaulan dengan siapa saja, tidak sombong.

4.      Ke empat
Yaitu bila dibacakan ayat-ayat Allah atau membaca sendiri ayat-ayat Al Qur’an, malah bertambah tabal imannya.

5.      Ke lima
Melaksanakan salat dengan benar, khusyu’ dan pasrah, salta dapat menentramkan pikiran dan hati, tidak mudah melaksnakan hal-hal yang tercela.

6.      Ke enam
Yaitu membelanjakan hartanya untuk kepentingan diri pribadi dan agama. Seperti nafkah wajib yaitu memberi sandang pangan anak istri, atau sodaqoh kepada fakir miskin. Demikian juga membantu dengan hartanya untuk kepentingan Islam dan kaum muslimin

Para jama’ah,
Orang mukmin yang memiliki sifat seperti inilah yang dikatakan mukmin yang hebat, peng-pengan :
Orang mukmin tersebut akan mendapat derajat dan martabat yang mulia di hadapan Allah SWT. Termasuk manusia yang terhormat dihadapan Allah dan agama.

Wassalamu ’alaikum Wr. Wb.


                                                                                   

CAGAR BUDAYA BANYUMAS


Pesarehan Dawuhan


a)   Pasarehan Dawuhan
                                           Pesarehan Dawuhan adalah makam para pepunden (pendiri dan petinggi) Banyumas. Ada 12 orang yang pernah menjadi Bupati Banyumas dimakamkan di pesarehan ini. Bupati Banyumas pertama, Jaka Kaiman, yang dikenal sebagai Adipati Mrapat juga dimakamkan di tempat ini. Selain itu juga terdapat makam tiga orang Bupati Purwokerto dan dua orang Bupati Purbalingga (Koderi, 1991:36).
Dalam buku itu disebutkan pula bahwa pesarehan seluas lima hektare tersebut berada di lereng Pegunungan Serayu, kurang lebih sejauh lima kilometer sebelah barat kota Banyumas.  Pada bulan Ruwah (sya’ban) pesarehan ini sering dikunjungi peziarah, baik yang sekedar ingin berdoa  maupun mereka yang menginginkan hajat tertentu.
 Menurut riwayat, sebagaimana disampaikan oleh Bambang S Purwoko, Desa Dawuhan dulunya merupakan desa perdikan yang dikepalai seorang demang. Namun sejak proklamasi kemerdekaan RI, status tersebut dihapus, sesuai dengan Undang-undang No. 13 tahun 1946, tentang penghapusan kedudukan desa-desa perdikan. Dalam Babad Banyumas yang disusun oleh dan atas perintah Pangeran Juru Pensiun Pepatih Dalem Kasultanan Yogyakarta, Pasarehan Dawuhan dinamakan Astana Redi Bendungan (wawancara tanggal 28 Oktober 2009).
Upaya pemeliharaan dan pelestarian makam bersejarah bagi masyarakat Banyumas ini telah dilakukan. Mulanya hanya dibentuk sebuah panitia perbaikan yang disebut Panitia Perbaikan Makam Dawuhan Banyumas. Lalu pada tanggal 12 Januari 1977 dibentuk ”Yayasan Pasarehan Dawuhan Banyumas” yang bertanggung jawab dalam pemeliharaan dan pelestarian situs budaya ini.
Di dalam kompleks makam ini berdiri sebuah masjid yang sudah cukup tua bernama ”Masjid Nurul Huda”. Masjid ini didirikan oleh Tumenggung Cakrawerdana I, Bupati Banyumas XIII, sekitar tahun 1830.   

b)   Pendapa si Panji
Ketika Kanjeng Raden Adipati Cakranegara I menjabat sebagai Bupati Banyumas, dan residennya adalah S. Van Deventer, banjir besar atau yang lebih dikenal dengan ’Blabur Banyumas’ merendam ibukota kabupaten dengan ketinggian mencapai tiga meter. Peristiwa ini berlangsung selama tiga hari, dari hari Kamis wage sampai dengan Sabtu legi yang bertepatan dengan tanggal 21-23 Pebruari 1861 M (Bambang S. Purwoko, tanpa tahun:2).
Sebelum terjadi banjir ada sesepuh Banyumas yang mengatakan ” Bakale ana betik mangan manggar” artinya suatu ketika akan terjadi ikan betik memakan manggar (bunga kelapa). Orang baru mengerti maksud perkataan itu setelah terjadi banjir. Rupanya tinggi air mencapai tinggi pohon kelapa yang baru keluar bunganya, yaitu setinggi tiga sampai empat meter,  (M. Koderi, 1991:108).
Konon, ketika air yang masuk menggenangi halaman pendapa semakin tinggi, saka guru (tiang utama) pendapa itu terangkat seolah-olah terapung. Setelah air surut, saka guru itu masih berdiri pada tempat semula, tidak bergeser sedikitpun dan masih kokoh. Walaupun terkesan fiktif, cerita tersebut dipercaya benar-benar terjadi dan menimbulkan kekagumam warga Banyumas. Sejak saat itu, saka guru dianggap benda keramat dan memiliki kekuatan gaib, sehingga setiap malam Jum’at kliwon dan Selasa kliwon selalu diberi sesaji berupa bunga, kelapa muda hijau dan kemenyan, (wawancara dengan Bambang S Purwoko).
Pada tanggal 5 Maret 1937, ibu kota Kabupaten Banyumas pindah ke Purwokerto. Pendapa dan saka gurunya ikut dipindahkan. Prosesi pemindahannya pun melalui upacara dengan berpantang melewati Kali Serayu. Pendapa tersebut kini dinamakan Pendapa si Panji. Nama si Panji mungkin diambil dari nama salah seorang Bupati Banyumas yang membangunnya, yaitu Raden Adipati Panji Gandakusuma yang sebelumnya bernama R. Mertawijaya, putra dari Yudanegara I (Warwin R. Sudarmo dan Bambang S. Purwoko, 2009:187).
Masjid Cikakak sewbelum di pugar
                      c)   Masjid Saka Tunggal Cikakak
Masjid Saka Tunggal Cikakak merupakan salah satu peninggalan sejarah dan purbakala yang dilindungi dan terdaftar dengan nomor Inventaris : 25.02.89 (Daftar Inventaris Peninggalan Sejarah dan Purbakala Se-Jawa Tengah Tahun 1980/1981:89). Masjid ini didirikan oleh Mbah Toleh Mustholih di Desa Cikakak dekat Wangon. Masjid itu dianggap istimewa karena hanya memiliki satu saka (tiang)  yang menyangga atap tepat di tengah bangunan, sehingga dinamai Masjid Saka Tunggal. Sekarang masjid ini dinamakan ”Masjid Baitussalam”.
Bangunan Masjid Saka Tunggal, seperti layaknya bangunan masjid di Jawa Tengah, berbentuk tajug. Menurut keterangan Sopani, juru kunci, masjid ini didirikan tahun 1288 sebagaimana keterangan yang tertulis dengan angka Arab pada Saka Tunggal. Pada mulanya masjid ini beratap ijuk, kemudian diganti dengan sirap pada masa Bupati Banyumas Poedjadi Djaring Bandayoeda pada tahun 1977. Ketika Djoko Soedantoko menjabat sebagai bupati, pada tahun 1994 masjid ini kembali dipugar sesuai ukuran aslinya 12 m x 18 m dan beratap ijuk (wawancara dengan Sopani, tanggal 23 Nopember 2009). Puncak atap (mustaka) berbentuk piramida dan pada ujung atasnya berakhir dengan bentuk bulatan. Pada bagian bulatan ini diberi sembir-sembir, sehingga berkesan seolah-olah putik dan daun bunga. Tiap ujung tepian atap diberi bungkak, yaitu hiasan melengkung yang lazim digunakan pada bangunan tradisional di daerah Jawa Tengah bagian selatan.
Bagian dalam masjid dihiasi relief dan kaligrafi dengan media cat. Hiasan-hiasan tersebut antara lain terdapat pada tiang utama,  langit-langit, dinding samping bangunan, emprit ganthil, mihrab, dan mimbar. Hiasan pada tiang mulai dari bawah (umpak) sampai ke batas penyangga sayap (kapitil) pertama. Keempat sisi tiang dihiasi relief bermotif sulur gelung mengarah ke atas dengan warna selang-seling merah, kuning tua, hijau tua dan selingan daun dan bunga berwarna putih.
Langit-langit yang terbagi empat bidang, juga penuh dengan hiasan. Pada keempat bidang tersebut terbentuk garis diagonal yang berbentuk anak panah, tertuju ke sebuah lingkaran di tengah bidang. Hiasan pada lingkaran ini seolah-olah melambangkan matahari. Sedangkan pada bagian segi tiga di antara diagonal terdapat tanda ’ + ’ yang melambangkan bintang.
Di antara pintu mihrab terdapat relief besar bermotif sulur daun bunga yang bergelung. Di atas relief tertulis ayat-ayat suci Al-Qur’an pada papan berwarna hijau tua. Tempat pertemuan antara tiang yang berdiri di kanan kiri mihrab dengan balok blandar dan pengeret terdapat relief berbentuk sayap. Sedangkan mimbar yang seluruhnya terbuat dari kayu jati juga penuh dengan hiasan relief bermotif bunga dengan daun bunga melebar dan menggelung ke kanan dan ke kiri (hasil obsevasi, tanggal 23 Nopember 2009).
Sopani juga menegaskan bahwa bangunan dan benda yang masih asli meliputi saka guru, bedug, kenthong, mimbar, tongkat, ornamen depan pengimaman, lampu lentera, dan bak air. Sampai sekarang bangunan tersebut ditetapkan sebagai cagar budaya, dan ramai dikunjungi masyarakat, terutama saat liburan,
Satu hal yang paling khas di kawasan Masjid Saka Tunggal adalah hadirnya kera liar yang jumlahnya cukup banyak di sekitar bangunan. Pada dasarnya kera-kera tersebut tidak dipiara secara khusus, tetapi dilindungi dan habitatnya berada di dalam hutan dekat masjid. Binatang itu menjadi terkesan jinak jika diberi makanan  berupa kacang oleh pengunjung. 

KESENIAN BANYUMAS




a)   Ebeg
Ebeg adalah salah satu bentuk tarian rakyat yang berkembang di daerah Banyumas. Di tempat lain, kesenian ini dikenal dengan nama Jaran Kepang, Kuda Lumping, atau Jathilan. Walaupun namanya tidak sama, namun dilihat dari gerak tari, adanya segmen intrance (kerasukan) pada para pemain maupun penonton,  dan peralatannya, pada dasarnya sama.
Sejarah pertunjukan ebeg menurut M. Koderi (1991:70),  lahir di tengah-tengah rakyat pedesaan, di luar tembok istana. Masyarakat Banyumas  berpendapat bahwa ebeg dahulunya merupakan tarian sakral yang biasa diikutsertakan dalam upacara keagamaan. Umurnya sudah sangat tua. Tidak ada literatur atau catatan pasti mengenai lahirnya ebeg. Perkembangannya sejak sekitar abad ke -19 sampai sesudah kemerdekaan mulai dibumbui dengan unsur-unsur magis. Pemain dibuat kerasukan (kesurupan) oleh pemimpin atau komandannya yang sekaligus bertindak sebagai pawang.
Setiap regu ebeg senantiasa terdiri dari dua kelompok dengan dua orang komandan. Komandan yang satu menaiki kuda kepang berwarna putih, dan yang lainnya menaiki kuda kepang hitam. Yang putih menunjukkan pemimpin menuju kebenaran sejati, sedangkan yang hitam menunjukkan pemimpin kejahatan. Pada trik-trik tertentu dalam permainan kedua pemimpin itu bertemu dan tampak saling menggelengkan kepala. Hal ini merupakan simbolisasi bahwa antara kebenaran dan kejahatan tak dapat bertemu. Kemudian mundur beberapa langkah, maju lagi sesaat ketemu menggelengkan kepala begitulah seterusnya dengan gerak-gerak yang lain.
Ebeg dipentaskan di tempat yang luas seperti; pelataran, lapangan, atau halaman rumah, karena melibatkan cukup banyak pemain. Bahkan tak jarang penontonnya pun terbawa memasuki alam permainan, hingga tanpa sadar ikut menari dan mengalami kerasukan. Waktu permainan biasanya  pada siang hari, dengan durasi antara satu hingga empat jam. Jumlah penari inti biasanya delapan orang, dua orang berperan sebagai Penthul – Tembem,    satu orang sebagai pemimpin, dan tujuh orang sebagai penabuh gamelan. Jadi satu grup bisa beranggotakan 16 orang atau lebih.
Ciri-ciri ebeg antara lain  :
(1)   Pemainnya memakai mekutho (semacam mahkota yang terbuat dari kain).
(2)   Pakaian para pemainnya relatif lebih tertutup.
(3)   Irama yang mengiringi permainan merupakan lagu-lagu Banyumasan. Seperti; ricik-ricik, gudril, eling-eling, lung gadhung dan   blendong.
Kuda ebeg terbuat dari anyaman bambu yang dibentuk menyerupai kuda, diberi warna hitam atau putih dan diberi lonceng. Karena itulah, di daerah lain kesenian ini dikenal dengan nama Jaran Kepang yang artinya kuda dari kepang (anyaman bambu).


Penarinya memakai celana yang dilapisi kain batik, tetapi sebatas lutut. Mekutha (mahkota) di kepala, dan sumping di telinga. Kedua tangan dan kaki memakai gelang yang diberi kerincingan. Biasanya pemain mengenakan kacamata hitam. Ada dua orang yang memakai topeng, yang biasa disebut Penthul dan Tembem. Fungsi keduanya adalah sebagai pelawak.  Peralatan instrumen yang digunakan yaitu: gendang, gong bumbung, saron, kenong dan trompet.


b)  Lengger atau Ronggeng
                                          Secara umum, seni lengger atau ronggeng merupakan tarian yang diiringi dengan tembang (nyanyian) dan instrumen gamelan. Yang khas, tariannya tidak diiringi dengan gamelan, tetapi dengan calung, yaitu alat musik yang seluruhnya terbuat dari bambu wulung, baik gambang, saron, gong maupun suling. Baik untuk irama ‘laras pelog’ paupun ‘laras slendro’-nya. (Koderi, 1991:61). Satu-satunya alat yang bukan bambu adalah kendhang (gendang) yang tetap dibuat dari kayu dan kulit sapi.
                                          Lengger sering diasumsikan sebagai tarian rakyat kecil yang terlalu vulgar, cenderung porno. Hal ini disebabkan banyaknya gerakan bodor (pelucu/pelawak) yang memancing birahi, sehingga sering mengundang amor (cinta rahasia/perselingkuhan). Kesan yang menimbulkan image yang salah ini sudah terlanjur melekat di hati masyarakat. Tetapi sebenarnya dulu lengger justru merupakan seni tari tingkat atas. Pernyataan  Koentjaraningrat yang dikutip Budiono Herusatoto (2008:218), menyebutkan bahwa kesenian tayub bukan hanya sebagai kesenian rakyat, melainkan juga seni pertunjukkan di kalangan priayi dan bahkan di kalangan kraton Jawa.
                                          Buku History of Java, karya Thomas Stamford Raffles menyebutkan bahwa hampir semua daerah di pulau Jawa memiliki jenis tarian ini. Hal ini dibuktikan dengan nama-nama dari masing-masing daerah yang menamakan jenis tarian ini dengan istilah gandrung, ronggeng, tledhek/ledhek, tandhak, tayub, lengger dan ronggeng, (Budiono Herusatoto, 2008:217).
                                          Dalam Serat Sastramiruda dan Serat Centini disebutkan pula bahwa tayub sudah ada pada zaman Majapahit sampai Demak. Bahkan pada zaman Mataram, Panembahan Senopati mengutus putrinya, Rara Pambayun menjadi penari tayub guna memikat dan mengalahkan Ki Ageng Mangir yang membangkang dan tidak mengakui kekuasaan Mataram, (Budiono Herusatoto, 2008:217).
c)   Begalan

Istilah begalan, berasal dari kata begal, artinya perampok. Istilah begalan dalam tradisi Banyumas menurut Supriyadi (1993:6) bukan berarti merampas barang orang lain, melainkan menjaga keselamatan apabila nanti ada roh-roh jahat datang mengganggu. Begalan diartikan dengan ucapan kebegalan sambekalanipun, maksudnya dijauhkan dari segala mara bahaya. Tradisi ini dilaksanakan sebagai syarat atau krenah/ pengruwat guna menghindari segala kekuatan-kekuatan gaib yang mengancam keselamatan kedua mempelai.
Tradisi begalan dilaksanakan apabila seseorang mempunyai hajat mengawinkan anak sulung dengan anak sulung, anak bungsu dengan anak sulung, atau anak bungsu dengan anak bungsu. Perkawinan semacam itu dalam tradisi Banyumas merupakan suatu pantangan. Oleh karenanya jika perkawinan tetap akan dilangsungkan, perlu diadakan begalan guna menyingkirkan segala bentuk gangguan yang mungkin terjadi. Begalan biasanya dilakukan pada siang atau sore hari (Koderi, 1991:55).
Sebenarnya seni begalan pada zaman dahulu diadakan oleh para demang, yang kekuasaannya kala itu adalah mutlak selayaknya raja. Setiap perintahnya harus segera dilaksanakan. Karena itu, rakyat beranggapan bahwa seni begalan merupakan warisan dari para leluhur Banyumas yang tidak boleh ditinggalkan. Bahkan karena sangat taatnya, seseorang yang sebenarnya tidak mampu, memaksakan diri dengan berbagai cara untuk bisa melaksanakannya. Fungsinya pun bergeser dari sekedar upacara dalam rangka memohon keselamatan (ruwatan) menjadi sarana untuk memperolah kebanggaan dan dan pujian. 
Pertunjukkan begalan tidak memerlukan tempat yang khusus atau mewah. Tidak perlu mendirikan panggung, cukup di halaman rumah, tanpa dekor. Tata pakaian dan tata rias sangat sederhana. Pakaian cukup baju koko hitam, celana komprang hitam, stagen dan sabuk, kain atau sarung, sampur dan iket wulung (hitam). Sedang perlengkapan yang dipergunakan yaitu wlira dan brenong kepangWlira yaitu alat yang berwujud pedang kayu dan dipergunakan sebagai pemukul. Panjang wlira satu meter, tebal dua centimeter dan lebar empat centimeter. Bahan yang dipergunakan dari ruyung atau pohon pinang. Pembawa wlira adalah si begal dari pihak mempelai wanita dengan nama Suradenta. Pengantar mempelai laki-laki yang membawa peralatan-peralatan brenong kepang bernama Surantani atau Jurutani (Supriyadi,1993:10-12)
Brenong kepang berupa sepikul alat-alat dapur. Masing-masing alat-alat dapur itu memiliki makna kias tersendiri. Adapun macam-macam alat dapur tersebut yaitu wangkring atau pikulan, ian dan ilir, cething, kukusan, kalo, tampah, sorok, centong, irus, siwur, kendil, pala pendem, pala gumantung, dan seikat padi. Kebiasaan orang Banyumas, sebelum pertunjukkan dimulai didahului dengan mengadakan (menyajikan) sesajen dengan membakar kemenyan disertai pembacaan mantra-mantra. Maksud sesajen itu supaya selama hajat dilaksanakan dan waktu mempelai disandingkan terhindar dari berbagai gangguan. Macam-macam sesajian ini biasanya diletakkan di tempat yang tidak terjangkau oleh pengunjung atau tamu. Sering ditempatkan di bagian dapur atau dekat mempelai disandingkan.
Jalannya pertunjukkan, kedua penari Suradenta dan Surantani dengan membawa peralatannya masuk sambil menari ke tempat pentas diiringi gendhing ricik-ricik. Setelah gending suwuk (berhenti), salah satu penari, biasanya Suradenta, memperkenalkan diri, menceritakan maksud dan tujuannya mengadakan begalan. Penari berdialog menanyakan nama dan maksudnya, lalu minta gendhing Gunungsari. Di sinilah Surantani menjelaskan panjang lebar sanepa (makna kias) dari semua isi brenong kepang. Intinya berisi nasehat untuk mempelai berdua dalam membangun rumah tangganya agar nantinya langgeng terhindar dari berbagai cobaan hingga kakek-kakek nenek-nenek.
Saat terjadi pertengkaran mulut, diiringi gendhing Pisang Balik. Pada waktu gendhing suwuk, pertengkaran berbuntut perkelahian diiringi gendhing Renggong Kulon. Perkelahian diakhiri dengan pemecahan kendil yang berisi beras kuning, pertanda rejeki bagi mempelai kelak akan senantiasa melimpah, kemudian isi brenong kepang diperebutkan oleh penonton. Mereka meyakini, bila mendapat barang dari brenong kepang akan mendapat sawab (berkah). Alunan gendhing Eling-eling Banyumasan mengakhiri opera begalan ini (Wawancara tanggal 21 Nopember 2009 dengan Dibyo Suwignyo, pelaku Suradenta pada tradisi begalan di Notog, Banyumas).
Tampak jelas seni begalan di Banyumas memiliki kekhasan tersendiri. Bahkan upacara seperti ini tidak dijumpai di daerah lain yang biasanya melakukan ruwatan dengan pertunjukkan wayang.
Gatotkaca
d)  Wayang Kulit  ’gagrag’ Banyumas
Wayang purwa (kulit) seperti bentuknya yang sekarang  adalah hasil rekonstruksi/ciptaan Walisanga yang telah melalui proses penyempurnaan dari bentuk aslinya. Wayang purwo kuno sudah ada sejak zaman Mataram kuno, seperti yang tertera pada relief-relief candi di Jawa Tengah dan candi-candi Jawa Timur zaman Majapahit.
                             Secara etimologi, kata ’wayang’ berasal dari kata ’ayang-ayang’ (bayang-bayang) atau ’wewayangan’ (bayangan) yang berwujud dan berwarna hitam/gelap. Wujud tersebut terbentuk dari bayangan benda yang terkena sinar/cahaya lampu blencong. Wayang hanyalah sebagai lambang atau simbol dari hidup dan kehidupan manusia. Wayang dibuat oleh manusia yang difungsikan sebagai alat untuk menggambarkan watak dan sifat manusia dalam kehidupan. Wayang dapat pula menjadi alat untuk retrospeksi dan introspeksi diri.  
Ki Sugino Siswocarito
                              Ciri utama gambaran watak wayang purwa terlihat pada warna cat muka/wajah tokoh-tokoh wayang yang bersangkutan, (Soekatno, tanpa tahun:29). Adapun warna-warna wajah tokoh-tokoh wayang tersebut meliputi:
(1)   Warna merah menggambarkan watak angkara murka atau dalam bahasa Jawa dur angkara. ’Dur’ berasal dari kata ’drusila’/ ’dursila’ (jahat, buruk, bodoh) dan ’angkara’ (loba, tamak, pemarah).
(2)   Warna hitam menggambarkan watak ksatria. ’Ksatria’ artinya bersifat jujur, berani karena benar, bertekat besar untuk menegakkan kebenaran, dan pemaaf.
(3)   Warna kuning emas menggambarkan watak mulia, budi pekerti halus, penyayang kepada sesama makhluk Tuhan.
(4)   Warna putih menggambarkan kesuciah hati, pikiran jernih, dan bijaksana, yang dimiliki tokoh tersebut.
(5)   Warna kelabu/abu-abu menggambarkan watak slewuh (dari kata mengsle lan owah). ’Mengsle’ (menyimpang) dan ’owah’ (gampang berubah-ubah) berarti ’setengah-setengah’. Setengah putih dan setengah hitam berarti abu-abu diartikan sok pintar, berlagak suci, suka mencela, penakut dan tidak percaya diri.

Ciri lainnya dari wayang purwa terlihat pada bleger (bentuk tubuh) wayang. Menurut Budiono Herusatoto (2008:189) ada lima ciri utama pada bleger, yaitu:
(1)   Golongan raksasa, umumnya menggambarkan watak yang dur angkara atau drusila/ dursila.
(2)   Golongan ksatria, umumnya menggambarkan watak jujur dan ikhlas  atau legawa.
(3)   Golongan pandhita (pendeta), umumnya menggambarkan watak suci dan bijaksana.
(4)   Golongan dewa, umumnya menggambarkan watak mulya (mulia).
(5)   Golongan punakawan (para abdi), umumnya menggambarkan watak yang ngemong (mengasuh), tut wuri handayani (menjaga dan mendorong semangat), memberi nasihat dan petunjuk dan hidup sederhana.
Seni Pewayangan di daerah Banyumas diperkirakan telah ada sejak zaman Majapahit. Hal ini didasarkan atas asal-usul pemerintahan di daerah Banyumas yang bermula ketika Raden Baribin, putra Prabu Brawijaya IV di Majapahit, singgah di Banyumas saat menuju Pajajaran. Dalam kesempatan itu, Raden Baribin juga menyebarkan kebudayaan, termasuk seni wayang, (Koderi, 1991:66). Disebutkan pula bahwa pakem pedalangan gagrag Banyumasan diawali tahun 1920 dengan dimotori oleh dalang dari Desa Menganti, Gombong bernama Ki Cerma yang kemudian dikenal dengan sebutan Ki Dhalang Menganti.


Ciri pewayangan gagrag Banyumasan menurut Ki Sugino Siswocarito, dalang kondang asal Banyumas, dalam wawancara di Ajibarang, Minggu, 8 Nopember 2009, antara lain:
(1)   Saat pementasan akan dimulai, buka kelir, pegunungan dicabut, tokoh yang muncul sebagai pembuka walau sekedar muncul sekilas adalah sosok wayang keputren yang diiringi emban (limbuk).
(2)   Tokoh punakawan terdiri atas Semar, Gareng, Petruk dan Bawor. Versi Surakarta dan Yogyakarta tokoh Bawor tidak ada, adanya Bagong.
(3)   Dialog punakawan menggunakan bahasa cablaka Banyumasan (ngapak-ngapak).
Fungsi wayang purwa di samping sebagai ekspresi kebudayaan juga merupakan media pendidikan, informasi dan hiburan. Sebagai media pendidikan karena isinya banyak memberikan ajaran kepada manusia, baik sebagai individu maupun anggota masyarakat. Wayang banyak mengandung unsur pendidikan terutama dalam hal penanaman budi pekerti, mental, dan watak.
Penayagan Wayang Kulit
Wayang menjadi media informasi karena sifatnya yang sangat komunikatif. Dengan demikian sangat tepat digunakan untuk mengadakan pendekatan kepada masyarakat, memberikan informasi tentang masalah-masalah kehidupan dan seluk-beluknya. Sedangkan fungsi wayang sebagai media hiburan, karena pertunjukannya dapat disajikan dalam berbagai macam keperluan sebagai tontonan yang menghibur (Soekatno, tanpa tahun:1).